Kartini akhirnya menikah dengan bupati tersebut pada 12 November 1903. Kartini ingin mendirikan
sekolah sekolah wanita. Sang suami mengerti keinginan Kartini untuk mendirikan sekolah wanita.
Berkat kegigihan Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada
1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama
sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer,
seorang tokoh politik Etis.
Baca juga:
7 Macam Besaran Pokok yang Sudah Disepakati
2. Pemikiran Feminisme di Indonesia
Perjuangan R.A Kartini lainnya berupa pemikiran-pemikirannya yang dituliskan melalui surat-suratnya.
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang
kondisi perempuan pribumi.
Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang
dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Pemikiran Kartini juga merupakan pioner dari
pemikiran feminisme di Indonesia.
Pada perkenalan dengan seorang perempuan Belanda bernama Estelle 'Stella' Zeehandelaar, Kartini
menulis surat dengan mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia
menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di
bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia
dimadu.
Abendanon membukukan surat tersebut dan memberi judul yaitu Door Duisternis tot Licht yang berarti
"Dari Kegelapan Menuju Cahaya" atau yang bisa disebut Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku tersebut
dicetak pada tahun 1911. Di dalam buku tersebut menunjukkan perubahan pola pikir Kartini.
Buku tersebut mengubah pola pikir masyarakat Belanda terhadap wanita pribumi kala itu. Tulisan dari
buku Kartini juga menginspirasi W.R Soepratman dalam menulis lagu Ibu Kita Kartini.
Fatmawati
Proses Penjahitan Bendera Pusaka
Bendera Merah Putih pertama kali dibuat oleh
Fatmawati pada tahun 1944. Menurut buku Ziarah
Sejarah yang disusun oleh Hamid Nabhan, Sang Saka
Merah Putih terbuat dari katun Jepang dengan ukuran
274 x 196 cm.
Sebagai sosok yang tangguh, Fatmawati menjahit bendera Merah
Putih dengan mesin jahit Singer yang dijalankan dengan tangannya.
Saat itu, ia tengah hamil tua dan dokter melarangnya untuk
mengoperasikan mesin jahit dengan menggunakan kaki.
Kukuh Pamuji mengatakan dalam buku Menyelisik Museum
Istana Kepresidenan Jakarta, karena kondisi fisik Fatmawati
yang tengah hamil tua dan ukuran bendera yang besar, pekerjaan
menjahit bendera itu baru selesai dalam waktu dua hari.
Pada salah satu buku karya Bondan Winarno dengan judul Berkibarlah Benderaku terdapat sejumlah
kutipan dari penjahit bendera Pusaka itu. Seperti momen haru ketika Fatmawati meneteskan air mata
dan sekelumit cerita tentang dirinya yang sedang dalam kondisi hamil tua saat menjahit.
"Berulang kali saya menumpahkan air mata di atas bendera yang sedang saya jahit itu,"
"Menjelang kelahiran Guntur, ketika usia kandungan telah mencukupi bulannya, saya paksakan diri
menjahit bendera Merah Putih,"
jamin ginting
kerajaan goa
Peninggalan
kapitan pattimura
perjuangan peninggalan
Tuanku imambonjol
Peninggalan perjuangan
Bungtomo peninggalan
perjuangan