Anda di halaman 1dari 10

ALTAR DI TENGAH PASAR:

PANGGILAN GEREJA DALAM BIDANG EKONOMI1

A. PENGANTAR
Hubungan antara gereja dan dunia bisnis - ekonomi seringkali dipakai sekadar bersifat
pragmatis: gereja membutuhkan para pengusaha/pemodal sebagai sumber pendanaan,
sedang pelaku bisnis membutuhkan gereja semata-mata untuk memenuhi kebutuhan
ritual dalam rangka menyegarkan sumber daya manusianya agar tetap dapat bekerja
secara produktif. Baik di dalam gereja maupun di kalangan bisnis sendiri terdapat
pandangan yang menganggap gereja dan bisnis sebagai dua dunia yang terpisah,
masing-masing dengan persoalan, kepentingan dan nilai-nilainya sendiri. 2
Gereja dianggap sebagai wilayah sakral yang berurusan dengan dimensi rohani
dari kehidupan manusia. Sedangkan ekonomi dan bisnis dianggap wilayah yang pada
dirinya kotor dan berurusan dengan dimensi jasmani. 3 Ini bersumber dari pemahaman
yang melihat kekayaan dan usaha untuk mencapainya sebagai sesuatu yang berdosa
dan kotor. Sedangkan hidup miskin, dianggap lebih rohani dan saleh. Ini bisa dicermati
melalui khotbah-khotbah di mimbar-mimbar gereja yang lebih sering meromantisasi
kemiskinan, seolah-olah kemiskinan adalah sebuah prestise. Belum lagi dalam
memaknai ayat-ayat Alkitab secara dangkal yang dianggap menentang kegiatan
ekonomi bisnis, seperti perkataan Yesus yang menginginkan seorang muda menjual
seluruh hartanya sebelum mengikut Dia. Lalu tulisan Paulus yang mengecam sikap cinta
uang sebagai akar segala kejahatan. Dan ada juga yang memaknai dan memakai hukum
“jangan mengingini apa yang dipunyai oleh sesamamu” sebagai penolakan terhadap
kegiatan berdagang.
Dengan latar belakang seperti itulah, banyak yang berpandangan bahwa kedua
wilayah ini, gereja dan ekonomi, pada dasarnya bertentangan: gereja mengajarkan
pengendalian diri, sedangkan ekonomi mendorong ambisi; gereja mengajarkan
solidaritas, ekonomi mengharuskan persaingan.4 Tulisan ini berjudul Altar di Tengah
Pasar: Panggilan Gereja dalam Bidang Ekonomi yang menunjukkan dua hal yang
1
Disusun dan disampaikan oleh Pdt. Yosia Polando Ressa dalam Workshop Kewirausahaan Pembangunan
Kampung Wisata dan Agrowisata Ikan Air Tawar yang diselenggarakan PKB GTM Jemaat Imanuel
Rantekatoan di gedung gereja GTM Jemaat Rantekatoan pada tanggal 24-25 Juni 2022.
2
Yahya Wijaya, Kesalehan Pasar: Kajian Teologi Terhadap Isu-Isu Ekonomi dan Bisnis di Indonesia (Jakarta:
Grafika KreasIndo, 2010), hlm. 1-2
3
Ibid, hlm. 2
4
Ibid.
bertentangan, yaitu altar dan pasar. Altar merupakan simbol penyembahan kepada
Allah, sedangkan pasar merupakan tempat perdagangan, di mana barang dan jasa
dipertukarkan dengan uang. Tulisan ini ingin memperlihatkan bahwa antara altar dan
pasar atau gereja dan ekonomi, ada hubungan yang erat dan tidak hanya sekadar
hubungan pragmatis semata-mata.

B. SEJARAH PEMIKIRAN HUBUNGAN ANTARA GEREJA DAN EKONOMI


Secara historis, pemisahan tegas gereja dari dunia ekonomi tidaklah berdasar. Sejak
awal sejarahnya, gereja sudah bersentuhan dengan dunia ekonomi dan perdagangan.
Kota-kota yang menjadi tempat penyemaian gereja mula-mula, khususnya sehubungan
dengan pelayanan Rasul Paulus (dia sendiri adalah pebisnis, pembuat kemah, lih. Kis.
18:1-3), adalah kota-kota pelabuhan dan pusat-pusat perindustrian, sebut saja Korintus,
Efesus, Laodikia, dan Tesalonika.5
Banyak anggota gereja adalah orang-orang yang hidup dari sektor bisnis, baik
sebagai pengusaha seperti Lidia, si penjual kain ungu, maupun sebagai budak seperti
Onesimus. Kritik-kritik Perjanjian Baru terhadap “orang kaya” (mis. Yak. 5:1-6; 1Tim.
6:17) dan nasihat-nasihat mengenai sikap terhadap uang (mis. 1Tim. 6:10), betapa pun
terkesan terlalu simplistik, harus dilihat sebagai upaya gereja perdana untuk
menyumbangkan suatu etika ekonomi bagi masyarakat yang sedang bertumbuh pesat. 6
Pada abad pertengahan, hubungan gereja dan dunia ekonomi sangat dekat. Para
biarawan, meskipun menjalani hidup sederhana sesuai dengan kaul 7 mereka, secara
sadar melibatkan diri dalam perkembangan bisnis masyarakat. Mereka menjadi perintis
dalam berbagai produk industri yang berkembang berkat industri peternakan yang
mereka jalankan. Misalnya, produk kain wool yang merupakan temuan para biarawan
Kistersian di Inggris. Sementara itu, para teolog Dominikan dan Fransiskan di Paris
secara khusus menaruh perhatian pada isu-isu etika ekonomi, termasuk masalah-
masalah hal kepemilikan, penetapan harga, penetapan upah pekerja, dan bunga
pinjaman.8
Pada bagian selanjutnya kita akan melihat pandangan 3 tokoh Protestan, yaitu
Martin Luther, Yohanes Calvin dan John Wesley mengenai gereja dan ekonomi. Tentu

5
Yahya Wijaya, Kesalehan Pasar, hlm. 3
6
Ibid.
7
Janji di hadapan Tuhan.
8
Ibid, hlm. 4
masih banyak para pemikir Protestan yang layak untuk dibahas, tetapi karena
keterbatasan materi ini, maka dianggap ketiga pemikir tersebut cukup mewakili
pandangan Protestan.
1. Martin Luther
Gereja reformasi memulai babak baru dalam sejarah gereja, termasuk dalam
hubungan gereja dan dunia bisnis. Martin Luther cenderung memandang bisnis
secara kritis meskipun ia mengakui bahwa kegiatan jual beli adalah penting dan
dapat dilakukan secara Kristen. Luther memahami perdagangan sebagai salah satu
dari empat cara yang alkitabiah untuk mempertukarkan barang. Tiga cara yang lain
adalah membiarkan harta milik sendiri dirampok atau dicuri (Mat. 5:41),
memberikan secara gratis kepada orang yang membutuhkan (Mat. 5:42), dan
memberi pinjaman tanpa mengharapkan dikembalikan oleh seorang pedagang
dengan barang dagangannya tanpa membuatnya bangkrut.9
Dalam hal perdagangan, Luther hanya merestui pembayaran secara tunai. Ia
sangat mencurigai sistem pembayaran kredit. Bagi Luther, sistem pembayaran
kredit mensyaratkan keamanan yang hanya dapat diberikan oleh pemerintah.
Masalahnya, pemerintah dalam kenyataannya tidak selalu dapat diandalkan. Maka
Luther menyarankan barangsiapa menjual barang secara kredit, sebaiknya bersiap
untuk mengalihkan status kreditnya menjadi hibah apabila ternyata pembeli tidak
mampu membayar. Pada masa itu, perusahaan dagang menciptakan monopoli
perdagangan yang bertindak sewenang-wenang dan menyuap para raja dan kaisar.
Perusahaan hanya memperkaya diri sendiri. Luther bahkan dengan tegas
menyatakan bahwa orang Kristen yang bekerja di perusahaan keluar saja.
Perusahaan dagang dipandang tidak dapat berdampingan dengan kebenaran dan
kejujuran.10
Meskipun Luther terkesan kurang memahami seluk beluk dunia perdagangan,
pengaruhnya terhadap perkembangan ekonomi cukup signifikan. Memang
pengaruh itu lebih bersifat tidak langsung dan justru tidak terlalu berkaitan dengan
nasihat-nasihatnya tentang isu-isu perdagangan. Pangkalnya adalah ajaran Luther
tentang panggilan. Luther mentransformasi panggilan yang semula hanya dikaitkan
dengan pekerjaan biarawan, biarawati dan imam. Menurut Luther, panggilan Allah
itu ditujukan kepada semua orang percaya melalui kedudukan dan pekerjaan yang
9
Yahya Wijaya, Kesalehan Pasar, hlm. 4-5
10
Ibid., hlm. 5
sedang mereka jalani. Ajaran itu telah memberi makna dan martabat spiritual
terhadap pekerjaan sehari-hari yang sebelumnya cenderung dianggap rendah. 11
Implikasi dari ajaran Luther adalah bahwa setiap pekerjaan, termasuk dalam bidang
ekonomi, itu penting di mata Allah.
2. Yohanes Calvin
Calvin hidup dan bekerja di Genewa, yang merupakan salah satu pusat perniagaan
Eropa pada zamannya. Sebagai seorang tokoh yang mengerti hukum dan teologi, ia
harus berhadapan dengan masalah-masalah moral ekonomi sehari-hari. Konteks
seperti ini membuatnya berbeda dari Luther yang terkesan kurang memahami
situasi riil dunia perdagangan. Calvin bersikap lebih positif dalam hal profit dan
aspek-aspek perdagangan yang lain, termasuk pemungutan bunga atas pinjaman
modal. Ia melakukan reinterpretasi terhadap hukum anti riba dalam Kitab Ulangan,
dan mengizinkan pemungutan bunga sepanjang ditetapkan pada tingkat yang wajar
dan tidak menyakitkan. Hanya bunga yang dikenakan kepada orang miskin yang
dilarang.12
Dibandingkan dengan Luther, pendirian Calvin dalam hal bunga ini
mencerminkan sikap yang lebih seimbang antara nasib orang miskin di satu pihak,
dan perputaran roda ekonomi di pihak lain. Menurut John de Gruchy, sebagaimana
yang dikutip dari Yahya Wijaya, Calvin memang sangat menyadari pentingnya suatu
kebijakan ekonomi yang memadai, dan ia ikut mengambil bagian dalam penyusunan
kebijakan ekonomi kota Genewa.13
Calvin mengakui bahwa peredaran barang dan uang dalam masyarakat
diperlukan demi kesejahteraan bersama. Menjalankan bisnis adalah bentuk
partisipasi dalam kegiatan yang sangat manusiawi itu. Tetapi ia tidak sekadar
memberi pembenaran dan kelegaan teologis terhadap pelaku-pelaku bisnis seperti
pada ajaran teologi kemakmuran. Etika Calvin menekankan kewajiban menerapkan
kejujuran dan keadilan dalam bisnis. Penipuan dan praktik-praktik pemalsuan
dalam bisnis dikutuknya sebagai pelanggaran atas hukum “jangan mencuri” atau
“jangan mengucapkan kesaksian dusta”.14 Ia mengkritik para pedagang yang

11
Yahya Wijaya, Kesalehan Pasar, hlm. 5
12
Ibid, hlm. 7
13
Ibid.
14
Yahya Wijaya, Kesalehan Pasar, hlm. 8
menaikkan harga karena alasan yang artifisial, dan menyatakan bahwa praktik
semacam itu telah membebani kaum miskin.15
Calvin mengakui bahwa panggilan Tuhan sehubungan dengan ekonomi bukan
hanya terkait dengan pelaku bisnis, tetapi juga dengan negara dan pemerintah.
Pemerintah, misalnya, bertanggung jawab atas terjaminnya hubungan kerja yang
adil dan manusiawi antara buruh dan pengusaha. Bentuk partisipasi gereja dalam
kehidupan ekonomi masyarakat mencakup pemberitaan mimbar, pengajaran, dan
perundingan (lobbying) untuk mendesak badan-badan publik memenuhi
kepentingan masyarakat. Gereja juga dipanggil untuk memulihkan kegiatan
diakonia menjadi pelayanan konkret yang mencerminkan kesetiakawanan
manusia.16
Calvin sendiri hidup dalam kesederhanaan bersama rekan-rekan
sepelayanannya. Dalam kondisi seperti itu ia ikut menggalang dana bagi orang yang
membutuhkan, dan sekaligus melakukan pendekatan-pendekatan kepada
pemerintah untuk bertindak demi kaum miskin. Misi Calvin bukan membuat yang
miskin menjadi kaya, tetapi membangun masyarakat yang berkecukupan secara
wajar dan solider satu dengan yang lain.17
3. John Wesley
John Wesley bekerja di era revolusi industri di Inggris pada abad ke-18. Refleksi
teologisnya menceriminkan kepedulian terhadap pihak-pihak yang nasibnya paling
dipertaruhkan dalam perkembangan pesat industri, khususnya kaum pekerja.
Pandangannya yang sangat berpengaruh dikemukakan dalam khotbahnya yang
terkenal dengan judul The Use of Money. Khotbah Wesley itu sebenarnya
menekankan pentingnya orang Kristen memberi dengan harta miliknya kepada
pihak yang berkekurangan.18
Wesley mengaitkan semangat memberi dengan pertumbuhan dalam anugerah
dan pewarisan harta sorgawi. Tema semacam itu tentu saja bukan hal yang baru,
bahkan terkesan terlalu biasa. Yang menarik dalam khotbahnya adalah bahwa
semangat memberi dirangkaikan dengan semangat mencari uang dan semangat
menabung. Sistematika khotbah itu terdiri dari tiga bagian, yaitu “carilah uang

15
Ibid.
16
Ibid.
17
Ibid, hlm. 9
18
Ibid.
sedapat mungkin”, tabunglah uang sedapat mungkin,” dan “berilah sedapat
mungkin.” Kebanyakan pemberitaan Kristen hanya menekankan soal memberi, dan
kurang menjelaskan bagaimana seseorang bisa memberi. Wesley mengulangi
pemberitaan klasik tentang pentingnya memberi, namun khotbahnya memberikan
apresiasi terhadap kegiatan mencari uang secara optimal dan menabungnya.
Dengan demikian, Wesley, berbeda dengan kebanyakan pengkhotbah di zamannya,
tidak mempertentangkan antara semangat mencari uang dan menabung di satu
pihak, dengan semangat memberi di pihak lain.19

C. BAGAIMANA DENGAN ALKITAB?


Pada bagian awal telah disampaikan bahwa Alkitab tidaklah melihat kegiatan ekonomi-
bisnis sebagai sesuatu yang kotor dan perlu dihindari, melainkan harus dilihat sebagai
etika ekonomi yang coba disampaikan oleh penulis Alkitab dalam konteksnya pada
masa itu. Lagipula apa yang dikritik oleh Alkitab bukanlah usaha mencari uang,
melainkan sifat “cinta uang” (1Tim. 6:10; 2Tim. 3:2) yang terwujud dalam tindakan
menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkan uang, seperti menipu dan
memonopoli.
Ketika Yesus menyuruh orang muda yang kaya untuk menjual segala hartanya dan
dibagikan kepada orang miskin dalam perikop Matius 19:21, itu harus dilihat sebagai
kritik Yesus terhadap mereka yang hatinya sudah melekat dengan harta sehingga berat
untuk mengikuti Yesus. Orang muda itu sudah melakukan segala hal yang berkaitan
dengan hukum Taurat, tetapi dia belum melakukan yang terpenting dalam hukum
Taurat, yaitu memberi. Meskipun dia mengasihi sesamanya (Mat. 19:19), tetapi
wujudnya hanya berupa melakukan tindakan yang tidak merugikan orang lain, belum
sampai memberi sesuatu kepada orang lain. Wajarlah jika orang muda yang kaya itu
pergi meninggalkan Yesus karena hartanya terlalu banyak (Mat. 19:22). Meskipun
begitu, persoalannya bukan pada banyaknya harta pemuda itu, tetapi hatinya yang tidak
ingin melepas hartanya untuk orang-orang yang membutuhkan.
Namun, pada kesempatan ini, saya ingin kita memperhatikan perumpamaan
tentang talenta yang terdapat dalam Matius 25:14-30. Perumpamaan ini memberi
makna kesungguhan dalam bekerja sehingga dapat menghasilkan lima dan dua talenta.
Jika perumpamaan ini dibaca sepintas lalu, memberi kesan bahwa yang diukur adalah

19
Yahya Wijaya, Kesalehan Pasar, hlm. 9
hasilnya lima, dua, dan nol talenta. Tetapi sebenarnya bukan itu pokok bahasan cerita.
Yang sentral dalam cerita ini adalah sikap terhadap tugas dan perilaku tugas. Pegawai
pertama dan kedua dipuji bukan karena hasil yang diperolehnya, melainkan karena
komitmen mereka dalam menjalankan tugas.20
Perhatikan bahwa sang majikan bukan berkata: Hai hambaku yang berhasil,”
melainkan “Hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia dalam perkara kecil …”
Lalu pegawai ketiga bukan disebut “hamba yang gagal”, melainkan “hamba yang jahat
dan malas.” Ia dimarahi bukan karena tidak menghasilkan talenta, melainkan karena
tidak mengerjakan tugas yang dipercayakan kepadanya.21
Pokok bahasan cerita ini bukanlah tentang jumlah talenta, melainkan tentang
bagaimana sikap para hamba dalam mengelola talenta. Sikap yang dipuji adalah sikap
yang setia terhadap tugas, yaitu bijaksana dalam mengatur tugas, bertanggung jawab
terhadap tugas, rajin dalam menjalankan tugas, waspada dalam melaksanakan tugas,
dan rela berlelah dalam menyelesaikan tugas. Sebenarnya itulah inti pokok bahasan
dalam beberapa perumpamaan lain sebelumnya, yaitu perumpamaan tentang tuan
rumah yang berjaga-jaga di Matius 24:43-44, perumpamaan tentang hamba yang setia
dan bijaksanan yang didapati tuannya melakukan tugasnya di Matius 24:45-51 dan
perumpamaan tentang para gadis menyongsong mempelai di Matius 25:1-14.
Sebaliknya sikap yang dicela adalah sikap kerja yang asal-asalan, yang dilakukan
dengan setengah hati, yang kurang kesungguhan, yang tidak berencana, yang kurang
dipersiapkan, yang kurang cermat, yang berhenti di tengah jalan. 22
Ukuran utama yang digunakan oleh Yesus bukanlah produk, melainkan proses.
Yang terpenting bukanlah hasil akhir, melainkan proses upaya mencapai hasil itu.
Pendekatan ini disebut orientasi proses, kebalikan dari orientasi produk. Apa gunanya
memenangkan, memperoleh atau meraih sebuah hasil gemilang, kalau hasil itu didapat
secara curang? Apa guna menghasilkan sesuatu dengan jalan pintas dan tergesa-gesa
kalau kemudian itu malah menjadi bencana? Dalam pendekatan orientasi proses,
kegagalan itu sendiri bukan merupakan kesalahan; yang salah adalah sikap yang kurang
tekun dan kurang cermat sehingga berakibat kegagalan. Yang terpenting kita sudah

20
Andar Ismail, Selamat Melayani Tuhan: 33 Renungan tentang Pelayanan (Jakarta, BPK Gunung Mulia,
201115), hlm. 97-98
21
Ibid., hlm. 98
22
Ibid.
berusaha dengan penuh kesungguhan, betapa pun atau apa pun hasilnya itu bukan soal
utama.23
Dari perumpamaan tentang talenta ini, kita bisa melihat bahwa yang terpenting
dalam menjalankan pelayanan kepada Tuhan, termasuk bekerja dan berusaha setiap
hari dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, bukanlah semata-mata hasilnya, melainkan
sikap dan perilaku kita dalam menjalani pekerjaan itu. Ukuran pekerjaan bukanlah
hasil, melainkan kesetiaan, kejujuran, ketekunan, kesungguhan, kegembiraan, dan
kerelaan dalam bekerja. Memang terkadang kita gagal, namun seperti kata pepatah
“hasil tidak akan mengkhianati proses”. Artinya, segala sesuatu yang dikerjakan dengan
sungguh-sungguh akan membuahkan hasil yang baik.

D. TIGA PRINSIP ETIKA EKONOMI KRISTEN


Gerakan reformasi yang merelatifkan pemisahan antara kaum rohaniwan dan kaum
awam, pemahaman mengenai “panggilan” tidak lagi dikaitkan hanya dengan para
rohaniwan. Martin Luther mengajarkan bahwa Allah memanggil setiap orang ke dalam
pekerjaannya masing-masing untuk mendatangkan kebaikan dan kesejahteraan. Maka
kerja adalah bentuk partisipasi dalam karya pemeliharaan atas ciptaan-Nya. Calvin
menggarisbawahi ajaran Luther itu dengan menganggap kerja sebagai cara yang luhur
dan mulia untuk memuji Allah melalui ciptaan-Nya. Lebih lanjut, Calvin menganggap
keuntungan bisnis sama terpujinya dengan upah pekerja, asalkan bisnis dijalankan
dengan kejujuran dan ketekunan. Wesley juga memberi sumbangan pemikiran bahwa
kegiatan mencari uang bukanlah sesuatu yang tidak baik, melainkan menjadi jalan
untuk bisa memberi lebih banyak daripada yang diharapkan. Dengan demikian,
reformasi telah meletakkan fondasi bagi suatu spiritualitas yang akrab dengan dunia
ekonomi, bisnis, dan profesi.
Dalam Alkitab pun, kita menjumpai pesan yang aktual bagi kehidupan bergeraja di
masa kini bahwa segala talenta (potensi) yang Allah beri hendaknya dikelola dengan
sungguh-sungguh sesuai dengan kehendak-Nya agar berdampak bagi kelangsungan
kehidupan dan perekonomian masyarakat yang lebih baik. Persoalannya bukanlah pada
ketiadaan modal, tetapi kesungguhan dalam mengelola modal itu sendiri.
Dalam konteks Mamasa, dana modal usaha bagi masyarakat yang digelontorkan
pemerintah mungkin sudah mencapai angka ratusan milyaran, tetapi sampai sejauh

23
Ibid, hlm. 99
mana pengembangan modal usaha itu berdampak, masih menjadi persoalan yang harus
dicarikan solusinya. Dengan demikian, ekonomi bukan hanya soal “mencari” dan
“memakai”, melainkan juga “mengelola”. 24 Jadi, bukan soal tidak ada berkat, melainkan
minimnya kemampuan mengelola berkat yang sudah diberikan oleh Tuhan.
Jelaslah bahwa ekonomi bukanlah bidang yang harus dihindari oleh gereja,
melainkan medan pelayanan yang membutuhkan peran gereja juga di dalamnya.
Ekonomi bukanlah dunia yang harus dibiarkan berjalan secara otomatis seperti yang
dianut dalam teori ekonomi pada umumnya. Sumbangsih pemikiran Kristen akan
memberikan dampak agar tindakan ekonomi yang dilakukan tidak berujung pada
ketidakadilan, keserakahan (monopoli), dan penipuan.
Eka Darmaputera mengusulkan tiga prinsip pokok etika ekonomi Kristen. Pertama,
kehidupan ekonomi dan bisnis bukanlah sesuatu yang mempunyai otonomi mutlak,
melainkan sesuatu yang harus kita jalankan dan taklukkan di bawah dan dengan penuh
pertanggungjawaban kepada Allah. Dengan perkataan lain, tindakan-tindakan ekonomi
manusia harus dilaksanakan sebagai penatalayanan kehendak Allah atas dunia
ciptaan-Nya. Kedua, bahwa kehidupan ekonomi dan bisnis harus dibebaskan dari
egoisme dan egosentrisme manusia, serta ditujukan untuk kesejahteraan manusia.
Ketiga, bahwa ekonomi harus dijalankan di dalam kaitan tanggung jawab manusia
terhadap oikumene (dunia tempat manusia tinggal). Artinya, kegiatan ekonomi wajib
diarahkan untuk menciptakan “oikumene” yang sejahtera. Di sini faktor kelestarian dan
keutuhan lingkungan hidup menjadi fungsi ekonomi yang amat penting. 25

E. PENUTUP
Tulisan sederhana ini tentu jauh dari harapan workshop kewirausahaan pada hari ini.
Meskipun begitu, kiranya apa yang disampaikan dalam tulisan ini bisa sedikit
memberikan sumbangan pemikiran dalam usaha PKB Jemaat Imanuel Rantekatoan

24
Ekonomi berasal dari kata oikos yang berarti “rumah” atau “rumah tangga” dan nomos yang berarti
“aturan” atau “adat” (tata cara). Jika dua kata Yunani ini digabung, akan menjadi oikonomia yang berarti
“penatalayanan” atau manajemen sebuah rumah tangga. Jadi, pada awalnya oikonomia yang kemudian
dialihbahasakan menjadi “ekonomi” berarti majemen, tata cara mengatur barang-barang dalam rumah
tangga, bagaimana bahan-bahan makanan dan lain-lain itu diproduksi, dibagi-bagikan, dikonsumsi atau
digunakan demi kesejahteraan para anggota rumah tangga. Lih. Pdt. Judo Poerwowidagdo, Ph.D.,
“Ekonomi dan Teologi” dalam Robert Setio, Ph.D. (peny.), Teologi Ekonomi (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
20112), hlm. 33
25
Eka Darmaputera, Etika Sederhana Untuk Semua: Bisnis, Ekonomi dan Penatalayanan (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 20096), hlm. 44-49
secara khusus, dan GTM secara umum, bagi kemajuan ekonomi dan pariwisata Mamasa
di masa yang akan datang.

Sumber Pustaka:
Darmaputera, Eka, 20096, Etika Sederhana Untuk Semua: Bisnis, Ekonomi dan
Penatalayanan, Jakarta: BPK Gunung Mulia
Ismail, Andar, 201115, Selamat Melayani Tuhan: 33 Renungan tentang Pelayanan, Jakarta,
BPK Gunung Mulia
Setio, Robert, Ph.D. (peny.), 2011 2, Teologi Ekonomi, Jakarta: BPK Gunung Mulia
Wijaya, Yahya, 2010, Kesalehan Pasar: Kajian Teologi Terhadap Isu-Isu Ekonomi dan
Bisnis di Indonesia, Jakarta: Grafika KreasIndo

Anda mungkin juga menyukai