Dosen pembimbing :
Pdt. Nimali Fidelis Buke
Disusun oleh :
Darda Meitania 432019016
Kusnendri Ardiani 412019022
Risa Lusiana 412019024
Maria Anggie C.D 412019026
Amazia Ananta 202019032
Andina Ela 202019052
Hans Dohar 392018008
M. Harits Jagadhita 392018083
Aplis Tixwari 522017050
A. LATAR BELAKANG
Agama adalah seperangkat nilai dan norma yang tersusun dalam sebuah sistem
kepercayaan yang mengatur bagaimana cara manusia berhubungan dengan Tuhan dan
berhubungan dengan sesamanya. Setiap sistem kepercayaan mempunyai cara-cara tertentu
yang mengatur manusia berhubungan dengan Tuhan-nya yang dimanifestasikan dalam
berbagai ritual peribatan. Nilai normatif agama mengatur bagaimana cara seseorang
individu menafsirkan dan menanggapi segala sesuatu fenomena yang dihadapinya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa agama mengatur individu dan masyarakat pada
setiap sendi kehidupan.
Salah satu sendi dari kehidupan sosial manusia yang turut serta diatur oleh agama
adalah kehidupan ekonomi masyarakat. Ekonomi sendiri merupakan serangkaian aktivitas
yang dilakukan oleh manusia untuk memenuhi segala kebutuhan dan keinginannya yang
menyangkut usaha pembuatan keputusan, pelaksanaan dan pengalokasian sumber daya
yang ada. Proses ekonomi pada dasarnya meliputi tiga jenis aktivitas, yaitu : produksi,
distribusi dan konsumsi. Berdasarkan paparan tersebut, penulis ingin mendalami lebih
lanjut materi mengenai “Korelasi Ajaran Agama Kristen dengan Aktivitas Ekonomi
Bisnis”.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat
dirumuskan beberapa masalah antara lain :
C. TUJUAN
Tujuan yang ingin dicapai dari rumusan masalah di atas adalah :
1. Mengetahui etika dalam berekonomi menurut ajaran agama Kristen
2. Mengetahui permasalah apa saja yang menyangkut agama dan ekonomi di Indonesia
3. Mengetahui hubungan agama dan bisnis ekonomi dalam menurut perjanjian lama,
persepuluhan, penalayanan dalam ajaran Yesus, dan penatalayanan dalam ajaran
Paulus
4. Mengetahui sikap dalam berekonomi menurut terhadap pandangan diri sendiri
maupun sesama, dunia, dan kemiskinan
II. PEMBAHASAN
Agama merupakan pengatur atau pembatas tindakan ekonomi agar sesuai dengan ajaran
agama, sedangkan ekonomi merupakan usaha dalam pelaksanaannya pengalokasian sumber
daya rumah tangga yang terbatas. Agama mengatur sendi kehiidupan masyarakat termasuk
kehidupan perekonomian. Ada pandangan dari beberapa para tokoh mengenai agama dan
ekonomi, yaitu :
1. Karl Max
Agama sebagai alat eksploitasi kapitalis yang dilakukan oleh para kapitalis pada kaum
protelar.
2. Max Weber
Doktrin yang terkandung dalam agama menentukan aktivitas dan kekuatan ekonomi para
penganutnya.
3. Karl Polanyi
Agama sebagai institusi sosial yang memiliki keteladanan dengan ekonomi.
Etika Ekonomi menurut Iman Kristen adalah keinginan untuk mengatur tatanan
ekonomi masyarakat supaya bisa terbangun dalam kultus yang alkitabiah dan memiliki
nilai keilahian.
1. Eka Darmaputera
Ekonomi dan agama semuanya didasari oleh kepercayaan, karena kepercayaan itulah
yang akan menjadi kekuatan untuk bisa membangun sistem ekonomi yang tinggi.
3. Yusuf B.Subsada
Yusuf adalah “man of self-content” yang selalu merasa cukup dengan apa yang Tuhan
berikan kepadanya. ia bukan budak nafsu kedagingannya, ia juga bukan budak hak
asasinya sendiri. Ia mampu mengampuni bahkan memakai persfektif Ilahi untuk
menafsirkan kejahatan keluarga-keluarganya ( Kej. 42 :15, 43 :30). Hidupnya untuk
mengabdi kepada sesama manusia.
1. Nilai rupiah terhadap dolar terbanting berulang kali, menjadi tidak sampai
seperempatnya dari nilai rupiah pada kwartal ketiga tahun 1997
2. Harga-harga membubung tinggi,
3. Bank-bank bertumbangan, perusahaan-perusahaan hancur
4. PHK melonjak
5. Jumlah pengangguran meningkat
6. Harga saham anjlok,
7. Hutang luar negeri menjadi membengkak
8. BBM dinaikkan, harga- harga melangit
Gereja gagal memberikan pengajaran yang jelas dan benar tentang implikasi-
implikasi kebenaran Alkitab ke dalam dunia ekonomi, tentang prinsip- prinsip etika
ekonomi dan moral bisnis, baik kepada warganya maupun menyuarakannya sebagai
wawasan dan sikap Kristen tentang ekonomi kepada dunia luas.
Ikatan perjanjian dengan Allah berarti hidup dalam iman, kesetiaan, dan
ketaatan kepada Allah dalam segala hal (Kel 19: 3-9). Termasuk mengenaI ‘milik’
dengan berpegang pada prinsip :
2. Persepuluhan
Dalam I Timotius 6:3, Rasul Paulus sendiri menulis, bahwa ia menentang orang
yang “mengajarkan ajaran lain dan tidak menurut perkataan sehat yakni perkataan
Tuhan kita Yesus Kristus”Jadi paling sedikit menurut keyakinan Paulus, apa yang ia
kemukakan itu, pasti tidak lain daripada atau bertentangan dengan “perkataan sehat,
yaitu perkataan Tuhan kita Yesus Kristus”. Jika ada perbedaan, itu adalah perbedaan
yang saling melengkapi.
Dalam hubungan itulah, Paulus mengecam para pengajar”yang mengira ibadah itu
adalah sumber keuntungan” (ayat 5). Bahaya yang dilihat oleh Paulus disini adalah,
sebaliknya dari memberi makna rohani kepada benda-benda duniawi, orang telah
sebaliknya menduniawikan yang rohani yang ditentang oleh Paulus di sini adalah
sikap yang melihat “keuntungan” sebagai tujuan yang paling akhir. Lebih fatal lagi,
apabila kemirisan serta ibadah juga hanya dilihat sebagai sarana untuk memperoleh
“keuntungan”.
“Memang”, kata Paulus, “ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi
keuntungan besar” (ayat 6). Yesus pun menjanjikan kepada murid-murid-Nya,
anugerah dan karunia yang jauh lebih besar dan jauh lebih beharga daripada
persembahan atau pengorbanan apapun yang dapat dan pernah mereka berikan (bnd.
Mrk 10:28-31)
Tetapi disini, manusia tidak sedang berdagang dengan Allah. Orang percaya tidak
dapat berprinsip “ merugi sedikit, untuk mendapat untung berlipat ganda”, di dalam
perkara-perkara rohani. Sebab yang mesti lebih dahulu diberikan oleh orang percaya
adalah semuanya dan seluruhnya: menaklukkan diri sepenuhnya. Artinya, ia bahkan
harus bersedia untuk kehilangan segala sesuatu, dan(seperti Paulus) menganggap
segala sesuatu itu ”sampah”, untuk memperoleh yang satu itu, yaitu Kristus.
Pelajaran yang amat berguna bagi kita disini, ialah: kita harus memberi makna
rohani bagi kegiatan-kegiatan ekonomi dan bisnis kita ; tetapi jangan sekali-sekali
memberi makna ekonomi dan bisnis bagi kegiatan-kegiatan rohani kita. Yang bisnis
kita rohanikan, tetapi yang rohani jangan kita bisniskan. Peringatan yang amat relevan
bagi situasi kita sekarang, di mana Injil telah sering diperlakukan sebagai komoditi
bisnis, dan mengabarkan Injil sering telah menjadi “menjual Injil”, bukan ?
Ini memang tidak berarti, bahwa mereka yang harus bekerja penuh-waktu bagi
pelayanan Injil, lalu tidak boleh memperoleh apa-apa secara duniawi. Dalam I
Korintus 9:14,dengan tegas Paulus mengatakan , “ Demikian pula Tuhan telah
menetapkan, bahwa mereka yang memberitakan Injil, harus hidup dari pemberitaan
Injil itu.”
Penolakan Paulus untuk menerima imbalan bagi pelayanan Injilnya, sama sekali
bukan oleh karena ia tidak berhak untuk menerimanya. Sikap itu diambilnya, oleh
karena ia tidak ingin ada salah tafsir, seolah-olah ia mengabarkan Injil untuk itu.
Salah tafsir semacam itu memang mudah sekali terjadi, baik bagi yang melayani
Injil maupun yang dilayani. Perbedaan antara “melayani Injil untuk memperoleh
sesuatu” dan “ memperoleh sesuatu karena melayani Injil” adalah begitu tipisnya,
sehingga mudah dan sering diputar-balikkan.
Melayani Injil sebagai kegiatan bisnis, hanya dapat dicegah oleh orang-orang yang
memberi makna injil bagi kegiatan bisnis mereka. Yaitu, keuntungan dari kegiatan
bisnis, juga dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka yang secara
penuh waktu melayani Injil.
Sebab apa yang dikatakan oleh Paulus dalam I Timotius 5:8 “ Tetapi jika ada
seorang tidak memelihara sanak saudara, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad
danlebih buruk dari orang yang tak beriman”, tidak hanya dapat diterapkan pada
keluarga dalam arti sempit, tetapi juga pada kehidupan jemaat sebagai persekutuan
keluarga umat Allah.
Padahal Paulus tidak menghendaki kemurahan hati kristiani itu disalah gunakan
oleh orang-orang yang malas. Persekutuan kristiani (dan ini pun berlaku bagi
masyarakat luas) tidak boleh secara sadar atau tidak sadar, memeras yang kaya untuk
memanjakan yang miskin. Yang diinginkan oleh Paulus adalah “Orang yang
mengumplkan banyak, tidak kelebihan, dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak
kekurangan” (2 Kor 8:15), “supaya ada keseimbangan”(ayat 14).
Satu hal memang harus kita camkan: memang sulit bagi kita untuk setia kepada
prinsip, jika tidak bersedia untuk menderita. Sebab, bukankah sudah ada prinsip dasar
bagi ekonomi dan bisnis, bahwa untuk segala sesuatu selalu ada harga yang mesti kita
bayar?
Dalam alkitab menurut cerita yang amat kita kenal yaitu Ananias dan Safira (Kis
5:1-11) Ananias dan Safira adalah anggota-anggota yang sah dan penuh dari koinonia
atau persekutuhan gereja Tuhan pada waktu itu.maka seperti halnya dengan Barnabas
dengan yang lain-lainnya,mereka “menjual sebidang tanah”agar hasil penjualan itu
mereka jual kemudian dapat mereka bagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan
keperluannya (ayat 35).
Disini tindakan Ananias dan Safira tindakan yang terpuji, menjual milik, bukanlah
suatu peraturan, bila kita mengartikan penatalayanan sebagai membagi apa yang
dimiliki nya dengan sesama yang bernasib kurang baik.dan dapat dikatakan mereka
telah melaksanakan penatalayanan itu dengan baik.
Suatu yang menjadi masalah ialah oleh karena merteka menahan sebagian hasil
dari penjualan itu mereka lakukan tidak terus terang.ketika ketahuan,maka Petrus
menuduh mereka sebagai mendustai Roh kudus, mendustai Allah dan rebalah mereka
dan putuslah nyawa-nyawa mereka.apakah sebabnya hukuman yang teragis dan
dramatis itu? Apakah hukuman mereka yang paling fatal dan fundamental ?
Kelemahan yang paling mencolok dari tindakan mereka menurut hamat saya ialah
oleh karena mereka melakukannya sekedar untuk memenuhi apa apa yang
formal,namun tidak dialaaskan dengan suatu kesadaran sikap yang eksisten.
Sesunggunyalah, tidak ada suatu keharusan untuk mereka menjual tanah mereka.
Tidak ada pula suatu keharusan untuk menyerakan seluruh hasil penjualan tanah itu
kepada para rasul. Benar sekali apa yang dikatakan oleh Petrus, selama tanah itu tidak
dijual bukankah itu tetap kepunnyaanmu, setelah dijual, bukankah hasilnya tetap
dalam kuasamu (ayat 4).
Jadi mengapa mereka menjualnya juga? Oleh karena orang-orang lain juga
melakukannya.mereka ingin memperoleh “citra”yang baik dalam pandangan orang
lain.dengan begitu maka sebenarnya alasan yang paling dalam,bukanlah untuk berbagi
dengan orang lain,melainkan melayani diri sendiri.melakukan tindakan formal berbagi
tetapi berdasarkan egosentrisme dan egoism di dalam hati itulah yang digolongkan
oleh petrus tidak kurang dari penipuan.
Mereka ingin berbagi namun yang mereka bagikan ialah sebagian dari kelebihan
mereka .mereka ingin mempersembahkan sesuatu ,namun mereka tidak bersedia
mengalami “sakitnya”mempersembahkan itu,mereka tidak mau rugi yang mereka
harapkan malah adala keuntungan.paling sedikit keuntungan moral inipun adalah
penipuan.secara formal apa yang mereka lakukan seolah-olah adalah melayani sesame
namun secara eksistinsial kebutuhan sesama mereka menipulir serta manfaatkan untuk
memperoleh nama baik diri mereka sendiri.menutupi keserakaan serta
kecurangan,dengan tindakan kedarmawanan ini adalah penipuan
Oleh karena itu janganlah anda bertanya “Apakah yang harus saya lakukan
sebagai seorang bisnisman?” apa yang anda harus lakukan adalah kewajiban anda
sendiri untuk memutuskannya.apa yang harus anda berikan dan hak anda juga untuk
menetapkannya.bukanlah soal apa yang teknis harus dilakukan atau apa yang secara
kuantitatif harus diberikan,persoalan kita adalah persoalan bagaimana anda
memandang apa yang anda “miliki” dan persoalan bagaimana anda memandang
sesama anda.
Secara umum dapat dikatakan bahwa etika alkitablah selalu memandang harta
benda dengan sangat serius. Ia memberi penilaian yang positif dan negatif terhadap
harta benda. Baik buruknya tidak terletak pada benda itu sendiri melainkan pada
penggunanya. yang hendak dihindari disini bukanlah harta bendanya, melainkan sikap
tamak dan eksploitatif terhadapnya untuk kenikmatan sendiri.
Jadi dapat disimpulkan bahwa apa yang dikatakan paulus di dalam 1 Korintus 7 ,
apa yang ingin ia katakan jelaslah bukan penolakan terhadap segala sesuatu yang
duniawi, melainkan bagaimana memanfaatkannya secara benar dan mendahulukan
apa yang harus didahulukan.
III. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Prinsip ekonomi dunia harus dikembalikan kepada jalur kebenaran Alkitab, karena
tanpa itu, tidak ada kemungkinan ekonomi dunia akan membereskan seluruh kehidupan
manusia dan membawa manusia kepada kesejahteraan yang sejati.
Prinsip ekonomi harus berada di bawah etika firman. Tidak ada dualisme antara
bidang ekonomi dan pengenalan firman, antara etika Kristen dan etika ekonomi. Seorang
Kristen yang Tuhan letakkan di dunia ekonomi harus berjuang keras untuk menjalankan
panggilannya menyatakan kebenaran di dunia ekonomi. Kita perlu jelas akan panggilan
Tuhan ini. Kita bukan anak-anak setan di dunia ekonomi yang tunduk kepada aturan dan
kehendak setan dan sifat kedagingan yang penuh nafsu. Oleh karena itu, kebenaran Allah
harus dinyatakan secara serius.
Darmaptera, Eka. 2001. Etika Sederhana untuk semua : Bisnis, Ekonomi, dan Penatalayanan.
V. LAMPIRAN
Lampiran makalah ini berisi pertanyaan pertanyaan yang diajukan dalam presentasi mengenai
makalah ini, terdiri dari :