Anda di halaman 1dari 4

Hubungan antara Agama dan Ekonomi

Pengertian Ekonomi

Ekonomi adalah sistem aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi,
pertukaran, dan konsumsi barang dan jasa. Kata "ekonomi" sendiri berasal dari kata Yunani
οἶκος (oikos) yang berarti "keluarga, rumah tangga" dan νόμος (nomos), atau "peraturan, aturan,
hukum," dan secara garis besar diartikan sebagai "aturan rumah tangga" atau "manajemen rumah
tangga." Sementara yang dimaksud dengan ahli ekonomi atau ekonom adalah orang
menggunakan konsep ekonomi dan data dalam bekerja. Ilmu yang mempelajari ekonomi disebut
sebagai ilmu ekonomi.

Hubungan Antara Agama dengan Ekonomi


Islam adalah sistem kehidupan (way of life). Islam menyediakan berbagai perangkat aturan yang
lengkap bagi kehidupan manusia, termasuk dalam bidang ekonomi. Ekonomi Islam dibangun
atas dasar agama Islam, sehingga ekonomi Islam bagian tak terpisahkan (integral) dari agama
Islam. Sebagai derivasi dari agama Islam, ekonomi Islam akan mengikuti agama Islam dalam
berbagai aspeknya. Ciri khas ekonomi Islam adalah tidak memisahkan antara norma dan fakta,
serta konsep yang rasional.

Bagaimana bisa agama disatukan dengan ilmu ekonomi

Secara umum, agama (religion) diartikan sebagai persepsi dan keyakinan manusia terkait dengan
eksistensinya, alam semesta, dan peran Tuhan terhadap alam semesta dan kehidupan manusia
sehingga membawa kepada pola bahwa agama yang menentukan perilaku dan tujuan hidup
manusia.

Islam mendefinisikan agama bukan hanya berkaitan dengan spiritualitas atau ritualitas, namun
agama merupakan serangkaian keyakinan, peraturan serta tuntutan moral bagi setiap aspek
kehidupan manusia., termasuk ketika manusia berinteraksi dengan sesama manusia atau alam
semesta.

Ekonomi, secara umum, didefinisikan sebagai hal yang mempelajari perilaku manusia dalam
menggunakan sumber daya yang langka untuk memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan
manusia. Dengan demikian, ekonomi merupakan suatu bagian dari agama.

Mungkinkah Agama menjadi Dasar bagi Ilmu Pengetahuan?

Chapra (2001) memberikan penjelasan tentang alasan yang umum digunakan untuk menolak
kemungkinan ilmu pengetahuan dibangun di atas paradigma agama, antara lain :

 Antara ilmu pengetahuan dan agama berada pada tingkat kenyataan yang berbeda. Ilmu
pengetahuan berkaitan dengan alam raya secara fisik yang dapat dikenali oleh
pancaindera, sedangkan agama mencakup tingkat kenyataan yang lebih tinggi, bersifat
transendental, dan melebihi jangkauan panca indera, termasuk aspek kehidupan setelah
kematian (akhirat).
 Sumber acuan agama dan ilmu pengetahuan adalah berbeda. Ilmu pengetahuan bertumpu
kepada akal sementara agama bersumber dari wahyu Tuhan.

Dengan menggunakan metode ilmiah, ilmu pengetahuan berusaha untuk mendiskripsikan,


menganalisis, dan kemudian memprediksi fakta-fakta empiris untuk berbagai kepentingan
kehidupan manusia. Di sini terkandung sebuah asumsi implisit bahwa manusia mengetahui
dengan pasti atas seluruh aspek kehidupannya sehingga ia dapat memutuskan sendiri apa yang
terbaik baginya.

Sementara itu, dengan mendasarkan atas wahyu Tuhan dan segala derivasi sumber kebenaran
darinya agama juga berusaha untuk mendeskripsikan, menganalisis, dan memprediksi berbagai
peristiwa dalam kehidupan manusia. Di sini terkandung asumsi implisit bahwa hanya Tuhan-lah
yang mengetahui segala kebenaran dengan sebenar-benarnya kebenaran, sedangkan manusia
hanya memiliki pengetahuan yang sedikit.

Kemungkinan ilmu pengetahuan dibangun atas dasar agama dijelaskan oleh Kahf (1992). Sangat
dimungkinkan, karena agama didefinisikan sebagai seperangkat kepercayaan dan aturan yang
pasti untuk membimbing manusia dalam tindakannya terhadap Tuhan, orang lain dan terhadap
diri sendiri. Ilmu ekonomi didefinisikan sebagai kajian tentang perilaku manusia dalam
hubungannya dengan pemanfaatan sumber daya ekonomi untuk memproduksi barang dan jasa
serta mendistribusikannya untuk dikonsumsi. Sehingga ilmu ekonomi dapat dicakup oleh agama,
sebab ia merupakan salah satu bentuk perilaku kehidupan manusia.

Alasan lainya disampaikan oleh Abu Sulaiman. Terdapat keterkaitan agama dan ilmu ini juga
dapat dikaji dengan melihat kaitan antara wahyu (revelation) dan akal (reason). Allah
menganugerahkan manusia dengan akal untuk memahami dunia di mana ia berada, untuk
menggunakannya bagi pemenuhan segala kebutuhan, dan untuk mendukung posisinya sebagai
khalifah Allah di bumi. Sementara itu, wahyu merupakan sarana untuk menuntun manusia
terhadap segala pengetahuan tentang tujuan hidupnya, untuk memberitahu segala tanggung
jawabnya dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Wahyu memberi informasi kepada
manusia tentang hubungan berbagai hal dalam alam semesta, hingga tentang kompleksitas
manusia dan interaksi sosialnya. Dengan demikian, sebenarnya antara akal dan wahyu saling
melengkapi satu sama lain (complementary) dan sangat berguna bagi kehidupan manusia. Jadi,
ilmu pengetahuan dan agama juga saling melengkapi dalam membangun suatu kehidupan yang
baik (hayyah thayyibah) bagi manusia dan seluruh kehidupan.

Ekonomi Islam itu sebagai suatu ilmu atau norma

Pemahaman tentang terminologi ekonomi positif (positive economics) dan ekonomi normatif
(normative economics) merupakan sesuatu yang sangat penting dalam mempelajari ekonomi
Islam. Ekonomi positif membahas mengenai realitas hubungan ekonomi atau membahas sesuatu
yang senyatanya terjadi, sementara ekonomi normatif membahas mengenai apa yang seharusnya
terjadi atau apa yang seharusnya dilakukan. Keharusan ini didasarkan atas nilai (value) atau
norma (norm) tertentu, baik secara eksplisit maupun implisit. Kemiskinan yang terjadi di negara-
negara berkembang tidak seharusnya semakin memburuk adalah contoh pernyataan normatif.
Kenyataan bahwa kemiskinan di negara-negara ini memang semakin memburuk adalah contoh
pernyataan positif. Contoh lain, misalnya tentang fakta bahwa kebanyakan orang akan
mengonsumsi barang dan jasa apa saja sepanjang memberikan kepuasan maksimal adalah
ekonomi positif, sementara anjuran agar tidak semestinya segala nafsu mencari kepuasan
dipenuhi adalah pernyataan normatif.

Ilmu ekonomi konvensional melakukan pemisahan secara tegas antara aspek positif dan aspek
normatif. Pemisahan aspek normatif dan positif mengandung implikasi bahwa fakta ekonomi
merupakan sesuatu yang independen terhadap norma; tidak ada kausalitas antara norma dengan
fakta. Dengan kata lain, realitas ekonomi merupakan sesuatu yang bersifat independen, dan
karenanya bersifat objektif -dan akhirnya berlaku universal. Hukum penawaran, misalnya, yang
menyatakan bahwa jika harga suatu barang meningkat, maka jumlah barang yang ditawarkan
akan meningkat, cateris paribus- adalah pernyataan positif. Hukum tersebut berlaku karena para
produsen memandang bahwa kenaikan harga barang adalah kenaikan pendapatan mereka dan
motivasi produsen adalah untuk mencetak keuntungan (pendapatan) setinggi-tingginya. Teori ini
tidak menjelaskan faktor apakah yang mendorong dan mengharuskan produsen untuk mencari
keuntungan maksimum, yang sebenarnya hal ini merupakan pernyataan normatif.

Teori max weber

Agama merupakan sistem sosial yang sudah terlembaga dalam setiap masyarakat. Secara
mendasar agama menjadi norma yang mengikat dalam keseharian dan menjadi pedoman dari
sebagian konsep ideal. Ajaran-ajaran agama yang telah dipahami dapat menjadi pendorong
kehidupan individu sebagai acuan dalam berinteraksi kepada Tuhan, sesama manusia maupun
alam sekitarnya. Ajaran itu bisa diterapkan dalam mendorong perilaku ekonomi, sosial dan
budaya (Nasir, 1999: 45-47). Agama dan etos kerja memang memiliki wilayah yang berbeda.
Agama bergerak dalam dimensi ritual, sedang bekerja atau usaha adalah berdimensi duniawi
untuk mencari nafkah hidup. Namun, pada wilayah yang lain, agama dan etos kerja memiliki
relevansi yang cukup signifikan sebagai salah satu motivasi spiritual menuju tambahan nilai
kebaikan dan amal bagi keluarga dan orang lain.
Sejarah membuktikan bahwa pemikiran agama sangat berpengaruh bagi perkembangan
aspek material (kehidupan di dunia ini), baik politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Atau
dengan kata lain, ada hubungan yang sangat signifikan antara kemajuan dalam bidang pemikiran
(immaterial) dan kemajuan dalam bidang material.
Untuk menggambarkan bagaimana relevansi pemahaman agama dengan perilaku ekonomi maka
ada teori max weber yaitu Die Protestantische Ethik und der “Geist” des Kapitalismus (1905),
menjelaskan bahwa ada peranan yang besar bahwa nilai-nilai agama pramodern dalam proses
modernisasi.
Weber mengatakan “Cavinisme”, terutama sekte puritanisme, melihat kerja sebagai Beruf
atau panggilan. Kerja tidak hanya sekedar pemenuhan keperluan, tetapi suatu tugas yang suci
(Weber, 1905:20). Sikap hidup keagamaan menurut doktrin ini, kata Weber, ialah “askese
duniawi” (innerweltliche Askese, innerwordly ascesticism), yaitu intensifikasi pengabdian agama
yang dijalankan dalam kegairahan kerja sebagai gambaran dan pernyataan dari manusia yang
terpilih. Dalam kerangka pemikiran teologis seperti ini, maka “semangat kapitalisme” yang
bersandarkan kepada cita ketekunan, hemat, berperhitungan, rasional, dan sanggup menahan diri,
menemukan pasangannya. Sukses hidup yang dihasilkan oleh kerja keras bisa pula dianggap
sebagai pembenaran bahwa ia, si pemeluk, adalah orang yang terpilih.
Teori max weber (1864-1924) dalam bukunya Die Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism menjelaskan bahwa: pemikiran agama sangat berpengaruh bagi perkembangan aspek
material (kehidupan di dunia ini), baik politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Atau dengan
kata lain, ada hubungan yang sangat signifikan antara kemajuan dalam bidang pemikiran
(immaterial) dan kemajuan dalam bidang material. Weber menganalisis bahwa perubahan
masyarakat Barat menuju kemajuan ekonomi tidak hanya disebabkan oleh kelompok bisnis dan
pemodal. Dalam penelitiannya, sebagian dari nilai keberagamaan Protestan memiliki aspek
rasionalitas ekonomi dan nilai-nilai tersebut ditunjukkan pada spirit keagamaan (Max Weber,
2006: 95). Tesis yang diperkenalkannya sejak 1905 mengatakan bahwa ada hubungan antara
ajaran agama dengan perilaku  ekonomi (Asifudin, Ahmad Janan , 2004: 157).
Apa yang dikatakan Weber dalam tesisnya ”Etika  Protestan” rupanya memiliki
kongruensi dengan yang terjadi di Islam. Taufik Abdullah (1979) dalam bukunya Agama, Etos
Kerja, dan Perkembangan Ekonomi mengatakan bahwa “etika” yang dipancarkan oleh Al-
Qur’an hampir takberbeda jauh dengan yang disebut Weber “etika Protestan: jujur, kerja keras,
berperhitungan, dan hemat”. Dari teori di atas dapat disimpulkan sebuah teori, yang akan
dijadikan landasan berfikir dalam penelitian ini yaitu semakin tinggi pemahaman agama
seseorang maka akan semakin maju pula dalam perilaku ekonominya, dan akan maju pula
tingkat kesejahteraan seseorang. Sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan dapat
dipengaruhi oleh seberapa besar tingkat pemahaman keagamaan dan perilaku ekonominya.

Anda mungkin juga menyukai