Segala puji bagi Allah, Sang Pencipta Alam semesta yang telah memberikan nikmatNya kepada
kita. Dengan rida dan izin-Nya makalah ini bisa selesai ditulis. Sholawat serta salam semoga tercurah
kepada Nabiyullah Muhammad saw, keluarga , dan para sahabat beliau. Semoga juga kelak kita
mendapatkan syafaat beliau di akhirat nanti.
Dalam makalah ini sedikit banyak membahas beberapa akhlak, baik akhlakul karimah ataupun
akhlakul mazmudah. Dan penulis mengambil 5 contoh akhlak terpuji dan 5 contoh akhlak tercela.
Untuk akhlak terpuji penulis memberikan contoh seperti : Ikhlas , Amanah, Bersyukur, Adil, rasa
malu. Sedangkan untuk akhlak tercela penulis memberikan contoh seperti Riya, Hasad,
Ghadob( pemarah), Takabur, Namimah.
Dari contoh contoh yang penulis sajikan dapat petik pelajaran yang dapat memperbaiki
kualitas akhlak baik pada penulis itu sendiri dan lebih luasnya kepada para pembaca makalah ini. Dan
penulis mengajak mari kita meneladani akhlakul karimah rasulullah yang memang diciptakan untuk
memperbaiki akhlak umatnya.
Dengan demikian kami harapakan makalah ini sangat bermanfaat bagi mahasiswa STT-PLN
khususnya dan kepada masyarakat pada umumnya. Untuk kesempurnaan makalah ini, penulis
mengharapkan saran yang dapat membangun untuk lebih sempurna makalah ini.
\
BAB I
PENDAHULUAN
Ajaran islam adalah ajaran yang bersumber pada wahyu Allah, Al-Quran dalam
penjabarannya terdapat pada hadis Nabi Muhammad SAW. Masalah akhlak dalam Islam mendapat
perhatian yang sangat besar. Berdasarkan bahasa, akhlak berarti sifat atau tabiat.
Berdasarkan istilah, akhlak berarti kumpulan sifat yg dimiliki oleh seseorang yang melahirkan
perbuatan baik dan buruk.
Konsep Akhlak menurut Al-Ghazali adalah sifat yg tertanam dalam jiwa seseorang, darinya
lahir perbuatan yang mudah tanpa pertimbangan pikiran terlebih dahulu. Akhlak meliputi jangkauan
yang sangat luas dalam segala aspek kehidupan. Akhlak meliputi hubungan hamba dengan Tuhannya
(vertikal) dalam bentuk ritual keagamaan dan berbentuk pergaulan sesama manusia (horizontal) dan
juga sifat serta sikap yang terpantul terhadap semua makhluk (alam semesta).
Bagi seorang muslim, akhlak yang terbaik ialah seperti yang terdapat pada diri Nabi
Muhammad SAW karena sifat-sifat dan perangai yang terdapat pada dirinya adalah sifat-sifat yang
terpuji dan merupakan uswatun hasanah (contoh teladan) terbaik bagi seluruh kaum Muslimin.
Dan seharusnya kita lebih dapat mengetahui antara akhlak terpuji dan akhlak tercela. Untuk
itu dalam makalah ini diuraikan bebagai macam akhlak terpuji dan macam akhlak tercela. Contoh
akhlak terpuji yaitu Ikhlas, Amanah, Adil, bersyukur dan rasa malu. Sedangkan akhlak tercela yaitu
Riya, takabur, hasad, Ghadab( pemarah ), Namimah ( adu Domba).
Secara etimologi akhlak (bahasa arab) adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi
pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Berakar dari kata khalaqa yang berarti
menciptakan. Seakar dengan kata khaliq (pencipta), makhluk (yang diciptakan )
dan khalq(penciptaan).
Kesamaan akar kata di atas mengisyarakatkan bahwa dalam akhlak tercakup pengertian
terciptanya keterpaduan antara kehendak (khaliq) dengan perilaku (makhluk). Atau dengan
kata lain tata perilaku seseorang terhadap orang lain dan lingkungannya baru mengandung
nilai akhlak yang hakiki manakala tindakan atau perilaku tersebut didasarkan kepada
kehendak (khaliq). Dari pengertian etimologi tersebut, akhlak bukan saja merupakan tata
aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan antar sesama manusia tetapi juga norma
yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan bahkan dengan alam semesta.
Secara terminologis, menurut Imam Ghazali akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa
yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan
pertimbangan dan pemikiran. Contohnya, ketika menerima tamu bila seseorang membedabedakan tamu yang satu dengan yang lain atau kadang kala ramah kadang kala tidak, maka
orang tersebut belum bisa dikatakan memiliki sifat memuliakan tamu. Sebab seseorang yang
mempunyai akhlak memuliakan tamu, tentu akan selalu memuliakan tamunya.[1]
Pengertian etika dari segi etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani,Ethos yang berarti
watak kesusilaan atau adat. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu
pengetahuan tentang asas-asas akhlak.
Adapun etika secara istilah telah dikemukakan oleh para ahli salah satunya yaitu Ki Hajar
Dewantara menurutnya etika adalah ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan di
dalam hidup manusia semuanya, terutama yang mengenai gerak gerik pikiran dan rasa yang
merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya yang merupakan
perbuatan.[2]
Adapun moral secara etimologi berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari
kata mos yang berarti adat kebiasaan. Didalam kamus umum bahasa Indonesia dikatakan
bahwa moral adalah penentuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. Selanjutnya
moral secara terminologi adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas
dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dikatakan benar,
salah, baik atau buruk.
Selanjutnya pengertian moral dijumpai pula dalam The Advanced Leaners Dictionary of
Current English. Dalam buku ini dikemukakan beberapa pengertian moral sebagai berikut:
1. Prinsip-parinsip yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk.
2. Kemampuan untuk memahami perbedaan antara benar dan salah.
3. Ajaran atau gambaran tingkah laku yang baik.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang digunakan
untuk memberikan batasan terhaap aktivitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau
buruk, benar atau salah. Jika dalam kehidupan sehari-hari dikatakan bahwa orang tersebut
bermoral, maka yang dimaksudkan adalah bahwa orang tersebut tingkah lakunya baik. [3]
1. Sumber dari Akhlak, Etika dan Moral.
Yang dimaksud dengan sumber akhlak adalah yang menjadi ukuran baik dan buruk atau
mulia dan tercela. Sumber akhlak adalah Al-Quran dan sunah, bukan akal pikiran atau
pandangan masyarakat sebagaimana konsep etika dan moral. Dan bukan karena baik dan
buruk dengan sendirinya sebagaimana pandangan muktazilah.
Hati nurani atau fitrah dalam bahasa Al-Quran memang dapat menjadi ukuran baik dan buruk
karena manusia diciptakan oleh Allah swt memiliki fitrah bertauhid, mengakui keesaan-Nya
(QS. Arrum: 30). Karena fitrah itulah manusia cinta kepada kesucian dan selalu cenderung
kepada kebenaran. Namun fitrah manusia tidak selalu terjamin dapat berfungsi dengan baik
karena pengaruh dari luar, misalnya pengaruh pendidikan dan linngkungan. Oleh sebab itu
ukuran baik dan buruk tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada hati nurani atau fitrah
manusia semata. Fitrah hanyalah potensi dasar yang perlu dipelihara dan dikembangkan.
Semua keputusan syara tidak akan bertentangan dengan hati nurani manusia, karena keduaduanya berasal dari sumber yang sama yaitu Allah swt. Demikian juga dengan akal pikiran, Ia
hanyalah salah satu kekuatan yang dimilki manusia untuk mencari kebaikan atau keburukan.
Pandangan masyarakat juga bisa dijadikan salah satu ukuran baik dan buruk. Masyarakat
yang hati nuraninya sudah tertututp dan akal pikiran mereka sudah dikotori oleh perilaku
tercela tidak bisa dijadikan ukuran. Hanya kebiasaan masyarakat yang baiklah yang dapat
dijadikan ukuran.[4]
Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama,
kalau dalam pembicaraan etika untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk
tolak ukur yang digunakan atau sumbernya adalah akal pikiran atau rasio (filsafat),
sedangkan dalam pembicaraan moral tolak ukur yanng digunakan adalah norma-norma yang
tumbuh dan berkembang dan berlangsung dimasyarakat.[5]
Mengenai istilah akhlak, etika dan moral dapat dilihat perbedaannya dari objeknya, dimana
akhlak menitikberatkan perbuatan terhadap Tuhan dan sesama manusia, sedangkan etika dan
moral hanya menitikberatkan perbuatan terhadap sesama manusia saja. Maka istilah akhlak
sifatnya teosentris, meskipun akhlak itu ada yang tertuju kepada manusia dan makhlukmakhluk lain, namun tujuan utamanya karena Allah swt. Tetapi istilah etika dan moral
semata-mata sasaran dan tujuannya untuk manusia saja. Karena itu, istilah tersebut bersifat
antroposentris (kemanusiaan saja).
Warisan sifat-sifat orang tua kepada keturunannya ada yang sifatnya langsung (mubasharah)
dan ada juga yang tidak langsung (gairu mubasharah), misalnya sifat-sifat itu tidak langsung
turun kepada anaknya, tetapi bisa turun kepada cucunya. Sifat-sifat ini juga kadang dari ayah
atau ibu, dan kadang anak atau cucu mewarisi kecerdasan (sifah al-aqliyah) dari ayahnya
atau kakeknya, lalu mewarisi sifat baik (sifah al-khuluqiyaah) dari ibunya atau neneknya,
atau dengan sebaliknya.
Di samping adanya sifat bawaan anak sejak lahir (naluri dan sifat keturunan), sebagai potensi
dasar potensi dasar untuk mempengaruhi perbuatan setiap manusia, dan juga faktor
lingkungan yang mempengaruhinya; misalnya pendidikan dan tuntunan agama. Faktor ini,
disebut faktor usaha (al-muktasabah) dalam ilmu akhlaq. Semakin besar pengaruh faktor
pendidikan atau kemungkinan warisan sifat-sifat buruk orang tua dapat mempengaruhi sikap
dan perilaku anaknya.
Kemampuan ilmu (kognitif), sikap kejiwaan yang baik (afektif) dan keterampilan yang
didasari oleh ilmu dan sikap baik manusia (psikomotorik) yang telah diperoleh dari proses
pendidikan dan tuntunan agma, termasuk kemampuan dan sifat-sifat yang telah diusahakan
oleh manusia (sifah al-muktasabah). Maka disinilah peranan orang tua di rumah tangga, guru
di sekolah, dan tokoh agama di masyarakat, untuk membentuk manusia yang beragama,
berilmu, dan berakhlaq mulia.
3. Faktor Lingkungan Dan Adat Istiadat
Pembentukan akhlaq manusia, sangat ditentukan oleh lingkungan alam dan lingkungan sosial
(faktor adat kebiasaan), yang dalam pendidikan disebut dengan faktor empiris (pengalaman
hidup manusia), terutama sekali dipelopori oleh John Lock.
Pertumbuhan dan perkembangan manusia, ditentukan juga oleh faktor dari luar dirinya; yaitu
faktor pengalaman yang disengaja, termasuk pendidikan dan pelatihan, sedangkan yang tidak
disengaja, termasuk lingkungan alam dan lingkungan sosial. Lingkungan alam disebut albiah dalam ilmu akhlaq, sedangkan lingkungan sosial disebut dengan al-adah dalam ilmu
akhlaq.
Paham empirisme ini, berkembang luas di dunia Barat, terutama di Amerika Serikat, yang
menjelma menjadi liran behaviorisme dalam ilmu pendidikan. Sedangkan dalam ilmu akhlaq,
Mansur Ali Rajab mengemukakan pendapat J.J Rosseau yang mengatakan, bahwa faktor
dalam diri manusia, termasuk pembawaannya, selalu membentuk akhlaq baik manusia,
sedangkan faktor dari luar, termasuk lingkungan alam dan lingkungan sosialnya; ada kalanya
berpengaruh baik, dan ada kalanya berpengaruh buruk. Ketika manusia lahir di ligkungan
yang baik, maka pengaruhnya kepada pembentukan akhlaqnya juga baik, dan ketika ia lahir
di lingkungan yang kurang baik, maka pengaruhnya juga menjadi tidak baik. Maka disinilah
pendidikan dan bimbingan akhlaq sangat diperlukan, untuk membentuk dan mengembangkan
akhlaq manusia. Ini diakui oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulum al-Din yang
mengaatakan: seandainya akhlaq manusia tidak bisa diubah, maka tidak ada gunanya
memberikan pesan-pesan, nasehat-nasehat dan pendidikan kepada manusia.[6]
4. Faktor Agama (Kepercayaan)
Agama bukan saja kepercayaan yang harus dimiliki oleh setiap manusia, tetapi ia harus
berfungsi dalam dirinya, untuk menuntun segala aspek kehidupannya; misalnya berfungsi
sebagai sistem kepercayaan, sistem ibadah dan sistem kemasyarakatan yang terkait dengan
nilai akhlaq.[7]
B.
Akhlak mahmudah (terpuji) adalah perbuatan yang dibenarkan oleh agama (Allah dan RasulNya).
Contohnya : disiplin, hidup bersih, ramah, sopan-santun, syukur nikmat, hidup sederhana, rendah hati,
jujur, rajin, percaya diri, kasih sayang, taat, rukun, tolong-menolong, hormat dan patuh, sidik,
amanah, tablig, fathanah, tanggung jawab, adil, bijaksana, teguh pendirian, dermawan, optimis,
qanaah, dan tawakal, ber-tauhiid, ikhlaas, khauf, taubat, ikhtiyaar, shabar, syukur, tawaadu', husnuzhzhan, tasaamuh dan taaawun, berilmu, kreatif, produktif, akhlak dalam berpakaian, berhias,
perjalanan, bertamu dan menerima tamu, adil, rida, amal salih, persatuan dan kerukunan, akhlak
terpuji dalam pergaulan remaja, serta pengenalan tentang tasawuf.
1.
Dalam pembahasan ini kami akan menjabarkan akhlak mahmudah yang meliputi ikhlas, sabar,
syukur, jujur, adil dan amanah.
a.
Ikhlas
Kata ikhlas mempunyai beberapa pengertian. Menurut al-Qurtubi, ikhlas pada dasarnya
berarti memurnikan perbuatan dari pengaruh-pengaruh makhluk. Abu Al-Qasim Al-Qusyairi
mengemukakan arti ikhlas dengan menampilkan sebuah riwayat dari Nabi Saw, Aku pernah bertanya
kepada Jibril tentang ikhlas. Lalu Jibril berkata, Aku telah menanyakan hal itu kepada Allah, lalu
Allah berfirman, (Ikhlas) adalah salah satu dari rahasiaku yang Aku berikan ke dalam hati orangorang yang kucintai dari kalangan hamba-hamba-Ku.
Keikhlasan seseorang ini, akan menghasilkan kemenangan dan kejayaan. Anggota masyarakat
yang mengamalkan sifat ikhlas, akan mencapai kebaikan lahir-bathin dan dunia-akhirat, bersih dari
sifat kerendahan dan mencapai perpaduan, persaudaraan, perdamaian serta kesejahteraan.
b. Amanah
Secara bahasa amanah bermakna al-wafa (memenuhi) dan wadiah (titipan) sedangkan secara
definisi amanah berarti memenuhi apa yang dititipkankan kepadanya. Hal ini didasarkan pada firman
Allah SWT: