Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

PEMAHAMAN MASYARAKAT TERHADAP UU INFORMASI DAN


TRANSAKSI ELEKTRONIK

Dosen Pengampu : Muh. Ivan Nur Iva, S.Sos, M.Si.

Kelompok 2

Anggota :

Ravinda Nindya Wulandari A021221049

A. Rohadatul’aisy A021221050

Siti Davina A021221051

Luthfi Hanif Abdillah E061221040

Ullilfha Nouvellia Asrovie E061221042

Florencia Caroline E061221044

Rania Nur Izzati E061221045

Universitas Hasanuddin

2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................................. i

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................................................ 1

1. Apa konsep dari UU informasi dan transaksi elektronik? .......................................... 1

2. Bagaimana realita dari UU informasi dan transaksi elektronik? .................................. 1

3. Apa saja masalah dan kasus yang berkaitan dengan UU informasi dan transaksi
elektronik ................................................................................................................... 1

4. Bagaimana solusi dari masalah dan kasus yang berkaitan dengan UU informasi dan
transaksi elektronik?.......................................................................................................... 1

C. Tujuan Makalah................................................................................................................ 2

D. Manfaat Makalah.............................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 3

A. Konsep .............................................................................................................................. 5

B. Realita............................................................................................................................... 4

C. Masalah ............................................................................................................................ 9

D. Solusi .............................................................................................................................. 11

BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 13

A. Kesimpulan..................................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 14

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap Undang-Undang yang dibuat dan dirumuskan harus dipahami dengan baik.
Pemahaman masyarakat terhadap Undang-Undang yang dikeluarkan sangatlah penting dan
berpengaruh terhadap bangsa. Oleh karena itu masyarakat perlu diberi edukasi mengenai
Undang-Undang yang dikeluarkan serta melakukan pemantauan terhadap tingkat
pemahaman masyarakat terhadap Undang-Undang yang ada. Hal tersebut pastinya juga
berlaku untuk UU informasi dan transaksi elektronik.
Teknologi di zaman sekarang mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Perkembangan teknologi yang terjadi saat ini tentunya sangat memudahkan masyarakat
dalam beraktivitas sehari-hari. Salah satu bentuk nyata dari pesatnya perkembangan
teknologi adalah dengan diciptakannya handphone yang sangat memudahkan dalam hal
komunikasi, seperti penggunaan untuk melakukan panggilan dan bertukar pesan atau yang
biasa disebut sebagai Short Message Service (SMS).
Seiring dengan berkembangnya teknologi komunikasi, peradaban baru pun perlahan
masuk ke dalam masyarakat. Hal ini biasanya berdampak dari efek globalisasi yang sangat
cepat dan berakhir memberikan dampak pada memudarnya nilai, norma, kesusilaan dan
mendorong terjadinya perubahan perilaku pidana melalui teknologi komunikasi. Contohnya
seperti penyebaran hoax atau berita palsu yang sangat marak saat ini. Maka dari itu,
pemerintah membuat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 mengenai
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

B. Rumusan Masalah
1. Apa konsep dari UU informasi dan transaksi elektronik?
2. Bagaimana realita dari UU informasi dan transaksi elektronik?
3. Apa saja masalah dan kasus yang berkaitan dengan UU informasi dan transaksi
elektronik?
4. Bagaimana solusi dari masalah dan kasus yang berkaitan dengan UU informasi dan
transaksi elektronik?

1
C. Tujuan Makalah
Tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah agar para pembaca dan penulis dapat
mengetahui mengenai pemahaman masyarakat terhadap UU informasi dan transaksi
elektronik.

D. Manfaat Makalah
Manfaat dari disusunnya makalah ini adalah penulis dan para pembaca dapat
mengetahui tentang pemahaman masyarakat terhadap UU informasi dan transaksi
elektronik.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep
Teknologi informasi merupakan teknologi digital yang membantu manusia dalam
membuat, mengomunikasikan, menyimpan, mengubah dan menyebarkan informasi.
Teknologi informasi memberikan perubahan dalam segala aspek, baik dari aspek sosial,
ekonomi, maupun budaya yang berlangsung secara cepat. Pemanfaatan teknologi informasi
mengubah parilaku masyarakat dan peradaban manusia secara global. Teknologi informasi
memiliki banyak resiko untuk disalahgunakan, banyak hal buruk yang dapat terjadi melalui
teknologi informasi. Karena itu pula, pemerintah merasa bahwa teknologi informasi perlu
untuk diatur dalam hukum. Cyber Law merupakan aspek hukum yang meliputi setiap aspek
yang berhubungan dengan subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi
elektronik yang dimulai saat online dan memasuki dunia cyber atau maya. Cyber Law
bertujuan dengan upaya penanganan tindak pidana maupun pencegahan tindak pidana.
Cyber Law menjadi dasar hukum dalam proses penegakan hukum terhadap kejahatan
dengan sarana teknologi digital.
Adapun yang merupakan ruang lingkup Cyber Law ada beberapa hal, antara lain: Hate
Speech (penistaan, penghinaan, fitnah), Trademark (hak merek), Defamation (pencemaran
nama baik), Copyright (hak cipta), Privacy (kenyamanan pribadi), Duty Care (kehati-
hatian), Criminal Liability (kejahatan menggunakan IT), Hacking, Viruses, Illegal Access,
(penyerangan terhadap komputer lain), Regulation Internet Resource (pengaturan sumber
daya internet), Procedural Issues (yuridiksi, pembuktian, penyelidikan, dll.), Pornography,
Robbery (pencurian lewat internet), Electronic Contract (transaksi elektronik), E-
Commerce, E-Government (pemanfaatan internet dalam keseharian) dan Consumer
Protection (perlindungan konsumen).
UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE) menjadi cyber law pertama di Indonesia
dan merupakan instrumen hukum yang mengatur teknologi informasi dan transaksi
elektronik. Lahirnya suatu undang-undang dapat dilihat pada politik hukum yang tercantum
dalam konsideransnya. Salah satu pertimbangan sosiologis lahirnya UU ITE yaitu
mendukung pengembangan teknologi informasi melalui infrastruktur hukum dan

3
pengaturannya, sehingga pemanfaatannya dilakukan secara aman untuk mencegah
penyalahgunaan dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat
Indonesia. UU ITE ini adalah produk legislasi yang sangat dibutuhkan dan menjadi pionir
yang meletakan dasar pengetahuan dibidang pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi
elektronik.

B. Realita
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE) adalah regulasi hukum di Indonesia yang mengatur mengenai penggunaan
teknologi informasi dan elektronik dalam melakukan transaksi, serta penggunaan internet
dalam kehidupan sehari-hari.
UU ITE telah direvisi beberapa kali, terakhir kali pada tahun 2016, untuk
memperbarui ketentuan-ketentuan yang ada dan menyesuaikan dengan perkembangan
teknologi dan kebutuhan masyarakat. Dalam UU ITE, terdapat beberapa ketentuan yang
berkaitan dengan penggunaan internet dan media sosial, di antaranya:
1. Pelarangan tindakan yang melanggar hak privasi dan keamanan informasi.
UU ITE melarang tindakan yang merugikan orang lain dalam hal pelanggaran
privasi dan keamanan informasi. Misalnya, mengambil dan menyebarkan informasi
pribadi orang lain tanpa izin, serta melakukan hacking dan penipuan online.
2. Pelarangan tindakan yang merusak nama baik orang lain.
UU ITE juga melarang tindakan yang merusak nama baik orang lain, baik melalui
media sosial maupun situs web. Misalnya, menyebarkan informasi palsu atau menghina
seseorang secara online.
3. Penyebaran konten pornografi.
UU ITE juga melarang penyebaran konten pornografi di internet. Konten
pornografi ini meliputi gambar, video, atau teks yang dapat merusak moral dan
kesusilaan masyarakat.
4. Penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara.
UU ITE melarang penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara yang
dilakukan melalui media sosial dan internet. Hal ini dilakukan untuk menjaga stabilitas
keamanan dan ketertiban masyarakat.

4
5. Pelanggaran hak cipta.
UU ITE juga mengatur mengenai hak cipta di dunia digital. Misalnya, pelarangan
pengunduhan dan pembajakan software, musik, film, dan buku elektronik.

Pandangan masyarakat mengenai UU ITE cenderung beragam, tergantung pada latar


belakang, pengalaman, dan sudut pandang masing-masing. Realitas implementasi UU ITE
dalam masyarakat Indonesia saat ini seringkali menjadi perdebatan dan kontroversial.
Sebagian masyarakat mungkin menganggap UU ITE sebagai regulasi yang penting dan
diperlukan untuk mengatur penggunaan teknologi informasi dan internet di Indonesia.
Namun, ada juga yang merasa bahwa UU ITE memberikan kewenangan yang terlalu besar
kepada pemerintah dan dapat mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Perkembangan UU ITE saat ini masih terus mengalami dinamika dan kontroversi di
masyarakat. Beberapa isu penting terkait UU ITE yang sedang menjadi perhatian publik
adalah:

1. Kontroversi terkait pasal karet dalam UU ITE yang dianggap dapat menjerat banyak
orang dan membatasi kebebasan berekspresi di media sosial.
2. Polemik terkait pelaksanaan UU ITE oleh aparat penegak hukum yang dianggap kurang
transparan dan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang.
3. Tuntutan revisi UU ITE dari berbagai kalangan, termasuk dari para aktivis hak asasi
manusia dan kebebasan berekspresi, yang menganggap UU ITE harus diubah untuk
memperkuat perlindungan privasi dan kebebasan berekspresi di dunia maya.
4. Kasus-kasus hukum terkait UU ITE yang terus bermunculan di masyarakat, seperti kasus
penyebaran informasi hoax, pencemaran nama baik, atau penghinaan terhadap tokoh
publik atau agama.

Realita UU ITE saat ini masih kompleks dan terus berkembang mengikuti
perkembangan dunia maya dan tuntutan masyarakat. Ada beberapa fakta dan peristiwa
terkait UU ITE yang dapat mencerminkan realita terkini, di antaranya:

1. Kasus UU ITE masih terus terjadi.


Meskipun UU ITE telah mengalami beberapa kali revisi, kasus-kasus pelanggaran
UU ITE masih sering terjadi. Beberapa kasus terbaru yang menarik perhatian masyarakat
antara lain, kasus Habib Rizieq Shihab yang dituduh melanggar pasal ujaran kebencian,
dan kasus Rizieq Shihab Jr. yang dituduh melanggar pasal tentang konten pornografi.

5
2. Polemik penggunaan UU ITE dalam konteks kebebasan berekspresi.
Polemik tentang penggunaan UU ITE dalam konteks kebebasan berekspresi masih
terus berlangsung. Beberapa kekhawatiran yang seringkali muncul dari masyarakat
terkait UU ITE antara lain adalah ketentuan yang dianggap ambigu dan subjektif, seperti
Pasal 27 ayat (3) yang mengatur tentang ujaran kebencian dan Pasal 28 ayat (2) yang
mengatur tentang penghinaan. Beberapa kelompok masyarakat seperti mahasiswa,
aktivis, jurnalis, dan influencer sering menjadi korban UU ITE karena mengekspresikan
pendapat di media sosial atau platform digital lainnya. Beberapa pihak berpendapat
bahwa UU ITE dapat disalahgunakan untuk mengekang kebebasan berekspresi dan
membatasi hak privasi di dunia maya.
3. Upaya revisi UU ITE terus dilakukan.
Beberapa pihak masih mengusulkan revisi UU ITE guna menyeimbangkan antara
kebebasan berekspresi dan perlindungan terhadap tindakan kriminal di dunia maya.
Beberapa poin yang diusulkan dalam revisi antara lain, penghapusan pasal yang dianggap
terlalu ambigu dan terlalu luas, serta peningkatan perlindungan privasi pengguna
internet.
4. Penegakan hukum UU ITE masih dipertanyakan.
Beberapa kasus hukum terkait UU ITE menunjukkan bahwa pelaksanaan UU ITE
masih belum sempurna dan terkadang dipertanyakan. Beberapa pihak menilai penegakan
hukum UU ITE masih terlalu selektif dan tidak adil, sehingga menimbulkan
kekhawatiran akan terjadinya ketidakadilan hukum.

Di sisi lain, pemerintah, aparat keamanan, dan beberapa lapisan masyarakat yang pro
terhadap UU ITE juga berargumen bahwa UU ITE diperlukan untuk melindungi masyarakat
dari ancaman kejahatan cyber seperti penipuan online, penyebaran informasi palsu (hoax),
pencurian identitas, peretasan identitas pribadi dan tindakan kriminal lainnya yang terjadi
di dunia maya. Mereka juga menganggap UU ITE sebagai upaya untuk meningkatkan
keamanan dan kenyamanan masyarakat dalam menggunakan teknologi informasi tanpa
adanya berita simpang siur yang tersebar luas tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan dan
mengatur transaksi dan kegiatan bisnis yang dilakukan secara elektronik dengan mengatur
hak dan kewajiban para pelaku bisnis serta membangun kepercayaan masyarakat dalam
menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik.

6
Secara keseluruhan, realita UU ITE saat ini masih mencerminkan kompleksitas dan
kontroversi di tengah berkembangnya teknologi informasi dan dunia maya. Oleh karena itu,
perlu adanya upaya yang terus menerus untuk memperbaiki dan menyesuaikan regulasi
tersebut agar sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat, serta mampu menjaga
keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan perlindungan terhadap tindakan kriminal
di dunia maya.

UU ITE direvisi karena adanya tuntutan dari masyarakat dan penggiat hak asasi
manusia terkait kebebasan berekspresi di dunia maya. UU ITE dianggap oleh beberapa
pihak sebagai undang-undang yang ambigu dan dapat disalahgunakan oleh pihak yang tidak
bertanggung jawab untuk menindak orang yang melakukan kritik atau menyuarakan
pendapatnya. Beberapa kasus penahanan dan pengadilan terhadap aktivis, jurnalis, dan
warga biasa karena postingan atau komentar di media sosial telah menimbulkan
kekhawatiran di masyarakat dan dianggap melanggar hak asasi manusia. Selain itu, revisi
UU ITE juga dilakukan untuk mengatasi masalah pelanggaran privasi, penyebaran
informasi palsu, dan kejahatan cyber lainnya.

Revisi UU ITE bertujuan untuk mengurangi ambiguitas dan ruang lingkup yang luas
dalam UU ITE yang dapat menimbulkan penyalahgunaan dan tindakan represif terhadap
masyarakat. Revisi tersebut juga bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan
berekspresi dan keamanan di dunia maya.

Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) telah direvisi sebanyak


dua kali sejak pertama kali diundangkan pada tahun 2008. Berikut adalah informasi
mengenai revisi UU ITE:

● Revisi pertama dilakukan pada tahun 2016 melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2016 tentang Perubahan atas UU ITE Nomor 11 Tahun 2008. Revisi ini dilakukan untuk
memperjelas beberapa pasal dalam UU ITE yang dianggap ambigu dan mengandung
tafsir ganda, serta menambahkan ketentuan baru terkait perlindungan data pribadi dan
hak kekayaan intelektual.
● Revisi kedua dilakukan pada tahun 2020 melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja. Revisi ini mengubah beberapa pasal UU ITE terkait dengan
tindakan kriminal di dunia maya, dan juga menambahkan sanksi pidana yang lebih berat
bagi pelaku kejahatan cyber.

7
Namun, revisi UU ITE ini juga menuai kritik dari sejumlah kalangan karena dianggap
dapat mengekang kebebasan berekspresi di dunia maya. Oleh karena itu, muncul wacana
untuk melakukan revisi lebih lanjut terhadap UU ITE guna menyeimbangkan antara
perlindungan terhadap tindakan kejahatan di dunia maya dan kebebasan berekspresi.

Saat ini, UU ITE masih dalam proses revisi oleh pemerintah Indonesia, sehingga
belum ada realitas UU ITE yang sudah direvisi secara resmi. Namun, sejak pengumuman
rencana revisi UU ITE pada tahun 2021, sudah banyak diskusi dan reaksi dari masyarakat
terkait isi revisi UU ITE yang diusulkan. Beberapa elemen masyarakat menyambut positif
rencana revisi UU ITE karena diharapkan dapat mengurangi tindakan penyalahgunaan dan
pelanggaran hak asasi manusia di dunia maya. Revisi UU ITE yang diusulkan juga dinilai
lebih tepat dalam mengatur keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan keamanan di
dunia maya. Namun, ada juga beberapa pihak yang menyoroti isi revisi UU ITE yang
diusulkan, terutama terkait dengan pasal-pasal yang dianggap masih memberikan ruang
lingkup yang luas bagi aparat keamanan untuk mengekang kebebasan berekspresi. Beberapa
pasal seperti Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) yang berkaitan dengan pencemaran
nama baik dan ujaran kebencian juga masih menuai kontroversi dan perdebatan.

Namun, meskipun revisi UU ITE belum disahkan secara resmi, ada beberapa langkah
yang sudah dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi tindakan represif terhadap
masyarakat di dunia maya. Misalnya, Menteri Komunikasi dan Informatika telah
mengeluarkan surat edaran yang menginstruksikan para pejabat publik untuk tidak
menangkap atau menahan seseorang hanya karena postingan atau komentar di media sosial.
Surat edaran tersebut diharapkan dapat mengurangi kasus penyalahgunaan UU ITE oleh
aparat keamanan. Secara keseluruhan, realitas UU ITE setelah direvisi masih harus dinilai
ketika revisi UU ITE disahkan dan diimplementasikan secara resmi oleh pemerintah
Indonesia. Namun baru - baru ini santer terdengar kabar bahwa terdapat rencana
penggabungan UU ITE ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RKUHP) yang sedang dibahas oleh pemerintah Indonesia. Penggabungan ini mengundang
banyak kritik dan kontroversi di masyarakat, terutama dari kalangan aktivis dan penggiat
hak asasi manusia.

Alasan kritik terhadap penggabungan UU ITE ke dalam RKUHP antara lain karena
RKUHP memiliki ketentuan hukuman yang lebih berat, serta potensi penyalahgunaan dan
pengekangan kebebasan berekspresi di dunia maya. Selain itu, penggabungan UU ITE ke

8
dalam RKUHP dinilai tidak tepat karena UU ITE merupakan undang-undang khusus yang
diatur secara terpisah dari hukum pidana umum. Namun, beberapa pihak juga mendukung
penggabungan UU ITE ke dalam RKUHP karena dianggap dapat mengurangi ambiguitas
dan memperkuat ketentuan hukum terkait kejahatan cyber dan pelanggaran di dunia maya.
Pemerintah Indonesia sendiri telah mengeluarkan pernyataan bahwa penggabungan UU ITE
ke dalam RKUHP masih dalam tahap diskusi dan belum menjadi keputusan resmi.
Pemerintah juga menegaskan bahwa revisi UU ITE akan tetap dilakukan secara terpisah dan
tidak dipengaruhi oleh proses penggabungan ke dalam RKUHP. Secara keseluruhan,
penggabungan UU ITE ke dalam RKUHP masih menjadi perdebatan di masyarakat dan
harus dipertimbangkan secara matang oleh pemerintah sebelum diambil keputusan yang
final.

C. Masalah
Kami mengambil dua contoh kasus, yaitu :
• Kasus Pertama
Perikatan atau populer disebut kontrak memiliki fungsi begitu berarti pada
kehidupan masyarakat sosial khususnya dalam dunia perdagangan. Pada umum
perjanjian telah lahir pada saat terjadinya persesuaian kehendak para pihak tentang unsur
esensial atau hal yang pokok dari perjanjian tersebut. Seperti contoh, seandainya pada
perjanjian jual beli sudah terjadinya kesepakatan mengenai “barang dan harga,” lahirnya
perjanjian, sebaliknya segala sesuatu yang belum diperjanjikan untuk para pihak
hendaknya ditentukan oleh Undang-Undang. Perjanjian jual beli, khususnya jual beli
barang bergerak merupakan perjanjian yang bersifat konsensual, yakni mengikat pada
saat terjadinya kesepakatan, walaupun harganya belum dibayar dan barangnya belum
diserahkan.
Kasus penipuan perjanjian jual beli online adalah kasus yang terjadi di Kabupaten
Barru Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2020, di mana dalam kronologis kasusnya
korban berinsial F dan pelaku NBH telah melakukan kesepakatan lewat media online
untuk transaksi jual beli masker sensi yang telah diunggah pelaku lewat aplikasi media
sosial Facebook, kemudian pelaku dan korban mulai saling tawar menawar melalui
aplikasi messenger, korban dan pelaku sepakat mengenai harga Rp.170.000/box dengan
memesan masker sebanyak 15 box dengan harga Rp.2.550.000, kemudian korban
kembali mengirim pesan melalui aplikasi WhatsApp dan pelaku mengirim nomor

9
rekening ke korban. Akan tetapi, setelah korban mengirimkan uang terhadap si pelaku
dengan lunas sesuai dengan harga barang yang dipesan. Pada saat uang telah berada di
tangan pelaku, pelaku pun membuat paket berupa satu kotak berisi buku tulis dan handuk
bayi bekas, dengan tampilan rapi kemudian pelaku menarik uang transfer Rp. 2.550.000
lalu menuju ke tempat pengiriman barang di Kota Parepare bersama istrinya, tidak
berselang beberapa menit kemudian pelaku memblokir nomor WhatsApp dan akun
Facebook korban. Dalam kasus ini korban mengalami kerugian dan melaporkan kejadian
ini ke Polres Kabupaten Barru dan dalam kasus ini pihak kepolisian telah berhasil
mengungkap kasus penipuan perjanjian jual beli online dengan barang bukti yang
diamankan satu buah handphone merek Oppo warna gold, satu kartu handphone, kardus
dengan tampilan rapi, buku, serta selimut bayi bekas dan uang Rp. 450.000,- berdasarkan
alat bukti, saksi-saksi dan fakta-fakta hukum pelaku dijerat dugaan terpenuhi unsur
penipuan Pasal 45A ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE) dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan akan dikenakan Pasal 378
KUHPidana tentang penipuan dengan hukuman penjara 4 (empat) tahun.

• Kasus Kedua
Ahmad Dhani adalah seorang musisi, politikus, dan tokoh publik Indonesia yang
pernah terlibat dalam kasus hukum terkait UU ITE (Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik). UU ITE adalah sebuah undang-undang di Indonesia yang
mengatur tentang kegiatan transaksi elektronik, termasuk di dalamnya penggunaan
media sosial dan internet.
Pada tahun 2018, Ahmad Dhani dijerat dengan UU ITE karena dugaan pencemaran
nama baik melalui media sosial. Dhani diduga melakukan tindakan pencemaran nama
baik terhadap seorang pengacara bernama Eggy Sudjana melalui akun Twitter
pribadinya. Dhani menyebarkan cuitan yang dianggap mengandung fitnah dan
menyebabkan kerugian bagi pengacara tersebut.
Kemudian pada tahun 2019, Ahmad Dhani dinyatakan bersalah oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan atas kasus UU ITE yang menjeratnya. Dhani dihukum selama 1
tahun 6 bulan penjara dan denda sebesar 10 juta rupiah. Putusan ini kemudian diupayakan
banding oleh pihak Dhani, namun pada akhirnya Mahkamah Agung memutuskan untuk
menolak banding Dhani dan mempertahankan putusan pengadilan sebelumnya.

10
Kasus UU ITE yang melibatkan Ahmad Dhani menjadi salah satu sorotan dalam
debat mengenai penggunaan UU ITE di Indonesia. Beberapa pihak mengkritik
penggunaan UU ITE yang dianggap dapat mengekang kebebasan berbicara dan
berekspresi, sementara yang lain menganggap UU ITE sebagai instrumen untuk melawan
penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian di dunia maya. Kasus Dhani juga
menjadi pelajaran bagi publik untuk lebih bijaksana dalam menggunakan media sosial
dan internet serta memahami batasan-batasan yang diatur dalam UU ITE.

D. Solusi
Berikut adalah solusi yang dapat dilakukan untuk kasus yang telah disebutkan di atas :
• Solusi Kasus Pertama
Berdasarkan kasus di Kabupaten Barru yaitu kasus penipuan jual beli online
melalui media sosial Facebook dan WhatsApp yaitu jual beli online yang bukan salah
satu perusahaan e-commerce, sehingga risiko terjadinya rawan penipuan sangat besar.
Masalah hukum yang terjadi dalam kasus di Kabupaten Barru yaitu penjual dan pembeli
melakukan transaksi jual beli lewat online pelaku dan korban pun sepakat mengenai
barang dan harga, Akan tetapi, pada saat penjual mengarahkan pembeli untuk mengirim
uangnya dan saat uang sudah sampai di tangan pelaku, kemudian pelaku mengirim
barang tidak sesuai dengan yang disepakati, sehingga pembeli tidak memakainya, dalam
kasus ini Polres Kabupaten Barru berdasarkan alat bukti, saksi-saksi dan fakta-fakta
hukum pelaku dijerat dikenakan dugaan unsur penipuan Pasal 45A ayat (1) Undang-
Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan ancaman pidana paling
lama 6 (enam) tahundan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan akan dikenakan Pasal 378 KUHPidana tentang penipuan dengan hukuman
penjara 4 (empat) tahun.
Masalah-masalah hukum yang sering terjadinya dalam perjanjian jual beli online
lewat transaksi elektronik, yaitu masih rawan terjadinya penipuan, karena dalam
perjanjian jual beli online tidak dilakukan pertemuan secara langsung dalam
transaksinya. Akan tetapi, dilakukan lewat media elektronik, masalah yang sering
muncul, yaitu pembeli sudah membayar harganya tetapi penjual tidak mengirim barang
sampai waktu yang lama bahkan tidak sampai, karena barang tersebut memang tidak
pernah ada sebelumnya, barang yang sampai ke pembeli rusak atau tidak sebagaimana
mestinya sehingga pembeli tidak memakainya. Berdasarkan masalah hukum tersebut di
atas, tentunya dengan adanya kerugian yang dialami oleh pembeli maka akan
11
memberikan konsekuensi hukum berupa tanggung jawab kepada penjual atas kerugian
pembeli tersebut, baik tanggung jawab pidana (pidana penjara) maupun tanggung jawab
denda sesuai dengan pengaturan UU ITE masalah akibat penipuan online.

• Solusi Kasus Kedua


Setelah mengetahui contoh kasus UU ITE diatas maka tentunya kita memperoleh
pelajaran yang tentunya akan bermanfaat utamanya dalam mencegah atau meminimalisir
kasus UU ITE atau kasus serupa yang melibatkan penggunaan media sosial dan internet
terjadi lagi. Solusi umtuk yang dapat dilakukan diantaranya perlunya masyarakat
Mengetahui dan memahami UU ITE dengan baik dan jelas ketentuan-ketentuan yang ada
didalam UU ITE termasuk larangan terkait pencemaran nama baik, penghinaan, fitnah,
dan tindakan lain yang dapat melanggar hukum. Mengetahui batasan-batasan ini akan
membantu untuk menghindari tindakan yang melanggar UU ITE, Solusi lainnya yaitu
Berbicara dengan bijaksana dalam beraktivitas (memposting atau membagikan konten)
di media sosial, hindari menggunakan bahasa yang kasar, mengandung ujaran kebencian,
atau dapat merugikan orang lain. Berbicara dengan bijaksana dan bertanggung jawab
dapat menghindarkan dari masalah hukum. Dan juga ada baiknya jika pemerintah
memberikan edukasi dan kesadaran masyarakat tentang penggunaan media sosial dan
internet yang bertanggung jawab sesuai dengan hukum yang berlaku. Penyuluhan dan
kampanye yang efektif dapat membantu masyarakat memahami pentingnya berperilaku
bijaksana dan bertanggung jawab dalam dunia maya.
Penting untuk diingat bahwa penggunaan media sosial dan internet harus dilakukan
dengan penuh tanggung jawab, menghormati hak-hak orang lain, serta mematuhi
ketentuan hukum yang berlaku, termasuk UU ITE. Dengan memahami dan mengikuti
prinsip-prinsip ini, diharapkan kasus UU ITE atau kasus serupa dapat dihindari atau
diminimalisir.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Seiring dengan berkembangnya teknologi komunikasi, peradaban baru pun perlahan
masuk ke dalam masyarakat. Hal ini biasanya berdampak dari efek globalisasi yang sangat
cepat dan berakhir memberikan dampak pada memudarnya nilai, norma, kesusilaan dan
mendorong terjadinya perubahan perilaku pidana melalui teknologi komunikasi. Contohnya
seperti penyebaran hoax atau berita palsu yang sangat marak saat ini. Maka dari itu,
pemerintah membuat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 mengenai
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE) menjadi cyber law pertama di Indonesia
dan merupakan instrumen hukum yang mengatur teknologi informasi dan transaksi
elektronik. UU ITE ini adalah produk legislasi yang sangat dibutuhkan dan menjadi pionir
yang meletakan dasar pengetahuan dibidang pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi
elektronik.
UU ITE telah direvisi beberapa kali, terakhir kali pada tahun 2016, untuk
memperbarui ketentuan-ketentuan yang ada dan menyesuaikan dengan perkembangan
teknologi dan kebutuhan masyarakat. Dalam UU ITE, terdapat beberapa ketentuan yang
berkaitan dengan penggunaan internet dan media sosial. Pandangan masyarakat mengenai
UU ITE cenderung beragam, tergantung pada latar belakang, pengalaman, dan sudut
pandang masing-masing. Realitas implementasi UU ITE dalam masyarakat Indonesia saat
ini seringkali menjadi perdebatan dan kontroversial. Sebagian masyarakat mungkin
menganggap UU ITE sebagai regulasi yang penting dan diperlukan untuk mengatur
penggunaan teknologi informasi dan internet di Indonesia. Namun, ada juga yang merasa
bahwa UU ITE memberikan kewenangan yang terlalu besar kepada pemerintah dan dapat
mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Di sisi lain, pemerintah, aparat keamanan, dan beberapa lapisan masyarakat yang pro
terhadap UU ITE juga berargumen bahwa UU ITE diperlukan untuk melindungi masyarakat
dari ancaman kejahatan cyber.

13
DAFTAR PUSTAKA

Rohmy dkk. (2021). UU ITE Dalam Perspektif Perkembangan Teknologi Informasi dan
Komunikasi. Jurnal Dakwah dan Komunikasi Islam, 309-339.

Kamran, and Maskun. (2021). Penipuan Dalam Jual Beli Online : Perspektif Hukum
Telematika. Balobe Law Journal, 41-56.

Septiawan Ardiputra, Burhanuddin. (2022). Sosialisasi UU ITE No.19 Tahun 2016 dan Edukasi
Cerdas dan Bijak dalam Bermedia Sosial. Jurnal Abdi Masyarakat Indonesia (JAMSI),
707-718.

Siregar, S. H. (2020). Bahasa dan Media Sosial pada UU ITE. Nady Al-Adab, 25-35.

14

Anda mungkin juga menyukai