Anda di halaman 1dari 10

JESUS IS A HUMOURIST TEACHER!

Wacana Humor Dalam Matius 18:21-35

Hendrik Sutikno Siboro

Pendahuluan

Kita sebagai manusia memiliki kecenderungan untuk mencari kegembiraan. Sejak bayi
kita selalu dilatih orang tua kita untuk menyukai kegembiraan. Orang tua akan memperagakan
gerak-gerik bianatang atau mengeluarkan bunyi-bunyian yang aneh untuk merangsang agar
anaknya tertawa dan menyukai kegembiraan sehingga ketika anak sudah beranjak dewasa
kebutuhan akan kegembiraan sudah melekat dalam hidupnya. Dapat dikatakan bahwa naluri
manusia cenderung untuk mencari kegembiraan dan hiburan.1 Dengan asumsi bahwa naluri
manusia adalah mencari kegembiraan, maka kita tidak dapat melepaskan humor sebagai salah
satu kebutuhan manusia non-materi (rohani) yang sulit dihindari. Humor merupakan salah satu
sarana hiburan dan rekreasi yang dibangun melalui permainan bahasa (sistem linguistik) yang
mampu memancing tawa, juga mampu menyentak kesadaran, komedi turut menyentak sistem
logika kita. Menurut Widjaja, hiburan merupakan kebutuhan mutlak bagi manusia sebagai
resiliensi dalam proses pertahanan hidupnya.2

Setiap individu bahkan sekelompok orang sering berhumor, baik sengaja atau tidak
sengaja. Tentu kita semua selalu mempunyai pengalaman yang lucu dalam hidup kita. Di era
berkembangnya teknologi informasi kita akan dengan mudah menemukan konten-konten
humor. Dengan menarikan jari kita di layar untuk mengetikkan kata kunci di internet, voila!
ada berbagai jenis humor yang bisa kita temukan. Humor yang ditampilkan bisa bentuk tulisan,
gambar, dan humor atau yang ditampilkan dengan gerakan tubuh pencipta humornya seperti
dalam suatu pertunjukan tradisional ludruk, ketoprak, atau yang lebih kekinian dalam bentuk
stand up comedy.

Dalam penghayatan iman kristen, humor sama sekali tidak mendapatkan tempatnya,
hal ini dikarenakan satu dan lain alasan. William Pyrnne, misalnya, menganggap bahwa
komedi adalah hal yang tidak sesuai dengan sikap hidup kristiani, menurutnya humor membuat
kita hidup dalam sikap yang sembrono, sia-sia, dan berlebihan.3 Hal ini tentu menarik sekali.

1
Didiek Rahmanadji, “Sejarah, Teori Dan Fungsi Humor,” Bahasa dan Seni, Tahun 35 (2007).
2
Ibid.
3
John Morreall, “Comic Relief: A Comprehensive Philosophy of Laughter” (2009). 5-6
Karena mengapa sesuatu yang sentral dalam kehidupan manusia tidak mendapat bagian dalam
penghayatan iman kekristenan? Melalui pandangan dari Emmanuel Gerrith Singgih kita dapat
mengetahui ketahui bahwa dalam berteologi hendaknya kita menyadari konteks setiap
kita.4Berangkat dari pandangan Gerrith tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa penghayatan
kita akan Tuhan dipengaruhi segala hal yang menjadi bagian kehidupan kita. Jika demikan,
maka humor yang adalah bagian terpenting dalam kehidupan semestinya dapat digunakan
sebagai landasan untuk berteologi.

Menarik untuk kita melihat bagaimana hubungan antara humor dan kehidupan Yesus
sebagai sentral iman kekristenan. Terdapat banyak pandangan para ahli yang mengkritik bahwa
Yesus bukanlah seorang yang humoris hal ini kita bisa lihat dari pendapat Henry F. Harris yang
mengatakan bahwa Yesus bukanlah seorang yang humoris karena tipe kepribadian-Nya yang
primitif karena Ia hidup terkungkung dalam budaya sejarah Yahudi yang dipenuhi dengan
kisah tragis, sehingga humor tampaknya menjadi hal yang asing bagi Yesus. 5 Namun
Penulis mempunyai pandangan lain, penulis mengimani bahwa Yesus adalah inkarnasi Allah
yang menjadi manusia. Jika Yesus benar-benar seorang manusia sejati, dalam Dia pasti
mempraktekkan Humor, sebab humor adalah salah satu kebutuhan yang sentral bagi manusia.6
Dengan demikian penulis berasumsi bahwa adalah hal yang alami jika Yesus menggunakan
humor dalam khotbah dan pengajaranNya. Alasannya kemungkinan banyak masyarakat mau
duduk betah mendengarkan ajaran Yesus adalah selain karena ada kebenaran, terdapat juga
humor sebagai bagian dalam pengajaraNya. Penulis mencoba melakukan experiment thought
untuk menguji hal ini dengan mengimajinasikan diri penulis sebagai masyarakat saat itu.
Penulis merasa jika tidak ada hal yang menggembirakan atau dalam kata lain jika Yesus garing
(sebuah ungkapan untuk menyatakan seseorang yang mempunyai sense of humor yang rendah),
maka sudah pasti Yesus akan ditinggal oleh para audienceNya.

Keterbatasan tentu menghalangi penulis untuk membahas semua ajaran Yesus.


Sehingga dalam tulisan ini tentu saja mustahil untuk menunjukkan potensi humor dalam
pengajaran Yesus pada seluruh bagian Alkitab. Dengan alasan demikian penulis memberi
batasan dalam tulisan ini untuk melihat potensi yang terdapat dalam Matius 18:21-35 yang
menurut asumsi penulis perikop ini mengandung beberapa potensi humor. Untuk menunjukkan

4
Emmanuel Gerrit Singgih, “Mengantisipasi Masa Depan,” Jakarta: BPK Gunung Mulia (2005).
5
Stefanus Kristianto, “YESUS, SI HUMORIS: Beberapa Contoh Dari Antitesis,” Jurnal Amanat Agung 14, no. 2
(2018).
6
Habib Safillah Akbariski, “Wacana Humor Dalam Gelar Wicara Ini Talkshow” (2019).
potensi humor dalam perikop ini, pertama-tama penulis akan melihat secara singkat diskusi
dan perdebatan para ahli mengenai relasi humor, kitab suci,dan Yesus. Selanjutnya penulis
mencoba melihat berbagai padangan para ahli mengenai definisi humor, fungsi Humor dan
sebagai tema utama dalam hal ini. Sesudahnya, menunjukkan beberapa potensi humor dalam
perikop ini. Sehingga penulis merasa metode naratologi dalam level discourse analysis.7 Yang
pertama-tama hendak diteliti adalah penelitian naratologi yang hendak melihat pada level
wacana (discourse) dan tidak sekedar hanya pada cerita (story)nya saja. Untuk melakukan
hal ini tentu saja story tetap menjadi signifikan. Namun demikian story yang signifikan ini
akan didalami untuk menganalisis pewacanaan yang terkandung di dalam story itu. Penelitian
naratologi – sebagai ”ranah” tafsir dari discourse analysis itu sendiri adalah salah satu
bentuk pendekatan sastra yang khusus diaplikasikan pada cerita/narasi secara sinkronik yakni
yang memusatkan perhatian pada teks dan konteks di dalam Alkitab itu sendiri. Apa yang
diamati oleh pendekatan naratologi adalah cara penggambaran karakter (karakterisasi)
yaitu bagaimana penampilan karakter atau tokoh cerita, apa yang dikatakannya, apa yang
dipikirkannya, bagaimana ia berhubungan dengan tokoh lain, apa yang diinginkan, dan
bagaimana ia memandang peristiwa yang dialaminya. Pendekatan naratologi juga meneliti
keterlibatan narator sebagai suara yang menghadirkan cerita seperti yang kita baca dalam
teks. Apa yang perlu disadari adalah bahwa narator Alkitab tidak sekedar melaporkan
sebuah peristiwa apa adanya atau menceritakan ulang begitu saja peristiwa yang ia dengar,
namun ia pun terlibat dalam memberikan kesan tertentu kepada pembaca lewat cerita-
ceritanya. Hal yang menarik yang kemungkinan terjadi apabila interpretasi penulis dalam paper
ini bisa diterima, itu berarti Alkitab (khususnya kitab Injil) bukan sekadar mengandung humor,
tetapi lebih jauh lagi, Alkitab ternyata menampilkan Yesus sebagai sosok yang humoris.

Perdebatan Para Ahli Mengenai Relasi Humor dan Yesus

Mendefinisikan Humor & Problematikanya

Mendefinisikan apa yang disebut humor dan komedi bukanlah perkara mudah. Secara
sederhana humor, ialah sesuatu yang lucu, yang menimbulkan kegelian atau tawa. Seperti
pengertian humor yang demikian hal menjadi tolak ukur adanya humor adalah gelak tawa.
Pengertian ini dirasa belum cukup untuk memahami apa itu humor karena beberapa pandangan
lain beranggapan bahwa humor bisa menjadi “humor”, walaupun ia tidak disertai tawa.

7
Daniel Kurniawan Listijabudi, “YUDAS MURID YANG TERHILANG? DISCOURSE ANALYSIS DARI PENELITIAN
NARATOLOGI TERHADAP MATIUS 27: 1-10,” Gema Teologi 32, no. 2 (2008).
Sehingga sebagian sebagian ahli mencoba mengkaji komedi lewat perspektif literatur, namun
ada juga yang memahami komedi sebagai salah satu bentuk drama selain tragedi. Amy Carrel,
seorang ahli yang mencoba mengumpulkan diskusi mengenai humor dari beberapa tokoh mulai
dari Plato, Aristotels, Thomas Hobbes, G.W.F Hegel, hingga Anthony Ludovici. 8 Bagi Plato,
humor dikatakan sebagai “a mixed feeling of the soul”. Sedikit berbeda dari Plato, Humor
dalam kerangka pemahaman Aristoteles mengacu pada suatu bentuk seni imitasi dimana
komedi dipahami sebagai sebuah imitasi dari kehidupan nyata, ia mengantarkan manusia untuk
tidak mencari jawaban dari setiap pertanyaan kepada sesuatu yang imanen dan luhur, hingga
menyebutnya menjadi antithesis dari tragedi. Bagi parah tokoh di era modern, seperti Hegel
memahami humor sebagai sebuah ekspresi dari self-satisfied shrewdness. Hobbbes
memahamai humor sebagai sebuah implikasi dari penggunaan pandangan superioritas.
Pandangan superioritas ini digunakan dalam memperbandingkan nilai tindakan, yang dipicu
oleh sebuah peristiwa tertentu. Berbeda dengan Hobbes, Ludovici memandang humor sebagai
ekspresi, dalam rangka adaptasi dari pandangan superioritas.

Tidak bisa disangkal bahwa memang, dalam taraf tertentu, ada aspek subyektif dalam
pengenalan seseorang terhadap humor apa yang dianggap seseorang lucu, belum tentu
dianggap lucu oleh orang lain. Karena alasan inilah, maka diperlukan sebuah definisi tentang
humor meskipun sifatnya tentatif. Sebab bila tidak, maka studi humor akan menjadi sangat
subyektif, yakni hanya mencerminkan selera humor dari pembaca atau penafsir. sehingga
mencapai sebuah definisi yang tepat mengenai humor pasti menjadi sangat sulit (bila bukan
mustahil). Nyatanya, apa yang bisa dicapai sejauh ini ini ialah pemahaman yang cukup
mengenai humor. Meski demikian, penulis tidak melihat definisi yang ditawarkan oleh para
sarjana di atas sebagai definisi yang cukup tepat untuk mendefinisikan humor. Sebagian dari
definisi tersebut sifatnya terlalu luas, sementara yang lainnya terlalu sempit. Karena itu, penulis
akan menggunakan definisi dari studi mutakhir mengenai humor dalam bidang filsafat dan
psikologi sebagai landasan definisi penulis.

Dalam studi psikologi dan filsafat, sebenarnya ada beragam teori yang telah
dimunculkan mengenai natur atau sifat humor. Di antara berbagai macam teori tersebut, tiga
teori yang paling terkemuka ialah teori superioritas, teori pelepasan dan kelegaan (the release
and relief theory), serta teori keganjilan (the incongruity theory).9

8
Victor Raskin, Willibald Ruch, and Victor Raskin, The Primer of Humor Research (Mouton de Gruyter, 2008).
306- 310.
9
Rakhmat Jalaludin, “Psikologi Komunikasi Edisi Revisi,” PT. Remaja Rosdakarya, Bandung (2001). 126-127
1. Teori Superioritas

Teori ini berpijak pada pandangan Plato, Aristoteles, serta pemikir sebelum era modern
yang menyatakan bahwa manusia tertawa karena merasa lebih superior dibandingkan orang
lain. Ia menempatkan orang lain lebih rendah posisinya dibandingkan dengan dirinya. Teori ini
memandang humor yang disampaikan dengan cara membuat objek humor menjadi sesuatu
yang janggal atau aneh sehingga menimbulkan kelucuan. Sehingga dengan teori ini kita dapat
melihat bagaimana humor digunakan untuk menemukan kesenangan pada mereka yang
dianggap kurang beruntung.

2.Teori Keganjilan

Menurut teori ini humor dihasilkan lewat pengalaman dalam merasakan adanya sesuatu
yang ganjil antara apa yang diketahui atau diharapkan terhadap suatu persoalan dengan apa
yang tampak dalam lelucon maupun sindiran-sindiran lucu. Menurut teori ini Sesuatu yang
tidak sesuai antara konsep dan realitas dapat menimbulkan kelucuan. Secara sederhana,dapat
diartikan bahwa manusia belajar dari pengalaman mereka dan dari pengalaman-pengalaman
tersebut menciptakan sebuah pola akan sebuah pemahaman hidup. Manusia tahu bahwa api itu
panas, salju itu dingin, dan bahwa manusia tidak memiliki kemampuan untuk terbang karena
mereka membuat pola dari pengalaman mereka. Menurut teori ini, humor terjadi ketika pola
tersebut dilanggar atau ketika ekspektasi, yang didasarkan pada pola yang dipelajari tersebut,
ternyata tidak terjadi.

2. Teori Pelepasan & Kelegaan

Teori ini diambil dari Freud yang sangat berhubungan dengan teori psikologi. Suatu
kesenangan timbul karena adanya dorongan pada diri individu masuk ke dalam alam bawah
sadarnya dan bergabung dengan kesenangan bermain ketika masih anak-anak. Jika dorongan
ini dilepaskan dalam bentuk yang bisa diterima oleh masyarakat, maka ini dinamakan
melepaskan inhibisi. Dengan teori ini, setiap individu dapat merasa senang karena telah lepas
dari sesuatu yang menghimpit humor dalam beberapa aspek tertentu merupakan representasi
dari ketidaksadaran yang direpresi. Ketidaksadaran yang direpresi dan memancing kelucuan
misalnya bisa ditemukan pada kasus salah ucap atau salah tulis.

Fungsi & Bentuk Humor


Sebagai suatu proses komunikasi, pengelompokan humor dapat pula dilakukan
berdasarkan tujuannya dan fungsinya.10

1. Humor Kritik

Humor ini biasanya terlahir dari rasa tidak puas hati seseorang atau kelompok terhadap
lingkungan. Karena itu humor jenis ini mengandung sindiran atau kritikan yang cenderung
tajam terhadap golongan atau oknum tertentu.

2. Humor untuk meringan beban pesan (relief tension humor)

Humor ini biasanya digunakan untuk melengkapi pesan-pesan yang disampaikan atau
memperjelas suatu maksud sehingga lebih mudah untuk dipahami.

3. Humor semata mata hiburan

Merupakan humor yang sekedar melucu, semata-mata hanya untuk membuat orang lain
tertawa.

Danandjaja berpendapat bahwa humor dapat berfungsi sebagai sarana penyalur


perasaan yang menekan diri seseorang. Perasaan tersebut dapat disebabkan oleh ketidakadilan
sosial, persaingan politik, ekonomi, suku bangsa atau golongan, dan kekangan dalam
kebebasan bergerak, seks, atau kebebasan mengeluarkan pendapat. Dari berbagai masalah
tersebut, humor biasanya muncul dalam bentuk protes sosial atau tentang seks. Selain
Danandjaja terdapat juga pendapat dari ahli lain. Asyura, membagi fungsi humor menjadi 3
bentuk. dapat disimpulkan bahwa humor dapat berfungsi sebagai: (1) penyalur keinginan dan
gagasan; (2) pemahaman diri untuk menghargai orang lain; (3) pemahaman untuk kritis
terhadap masalah yang ada; (4) penghibur; (5) penyegaran pikiran; dan (6) peningkatan rasa
sosial masyarakat.11

Wacana Humor dalam Matius 11:7-19

Cerita ini dibuka dengan pertanyaan Petrus kepada Yesus tentang berapa kali ia harus i
ia harus mengampuni saudaranya yang bersalah kepadanya penggunaan kata ἀδελθορ dalam,
sangat mungkin bahwa saudara yang dimaksud berbicara lebih dari sekadar saudara secara
biologis, yakni saudara secara rohani atau sesama saudara seiman. Petrus secara impulsif
bertanya kepada Yesus “(apakah) sampai tujuh kali?” Jika tujuan Petrus ingin membuat Yesus

10
Rahmanadji, “Sejarah, Teori Dan Fungsi Humor.”
11
Ibid.
terkesan dengan memberi tambahan komentar dalam pertanyaannya bahwa mengampuni harus
sampai tujuh kali. Ternyata Yesus tidak terkesan dengan itu. Sebaliknya, dia justru menolak
usulan Petrus dan memberikan angka untuk mengampuni yang lebih lagi “tujuh puluh kali
tujuh kali”. Banyak para ahli yang mencoba menafsirkan maksud dari angka yang disodorkan
Petrus dan Yesus namun dalam hemat penulis, yang hendak Yesus tegaskan melalui ungkapan
ini ialah bahwa murid-Nya harus mengampuni tanpa batas.

Untuk memberi pengajaran mengenai hal yang ditanyakan oleh Petrus Yesus
memberikan sebuah perumpamaan sebagai penegas. Tentu banyak dari kita tidak menyadari
atau bahkan melewatkan bahwa dalam pengajaran ini Yesus memberikan sebuah ilustrasi yang
lucu (setidaknya untuk masyarakat saat itu). Jarak budaya dan waktu menjadi penghalang bagi
kita mengenal humor yang terdapat pada perumpamaan ini. Pada pembukaan perumpamaan,
Yesus menceritakan bahwa ada seorang raja yang mengadakan perhitungan dengan hamba-
hambanya. Setelah melakukan perhitungan, raja tersebut mendapati seorang hamba yang
berhutang sangat besar kepadanya, yakni sebesar sepuluh ribu talenta. Penulis melihat ada
potensi humor dalam pembukaan perumpamaan ini. Yesus mengatakan dalam
perumpamaannya bahwa hamba tersebut berhutang sebesar sepuluh ribu talenta. Jika kita
melihat konteks numerologi kuno angka sepuluh ribu (μςπίων) adalah angka terbesar dan
talenta adalah satuan ukur uang yang terbesar pada saat itu.12 Bahkan seorang ahli mengatakan
pajak gabungan dari Galilea dan Perea untuk kekaisaran roma hanya mencapai 200 talenta,
sedangkan pajak untuk daerah Samaria, Yudea, Idumea hanya 600 talenta.13 Bagaimana
seorang hamba dari seorang raja mampu memiliki hutang yang sangat besar14. Dengan melihat
konteks sosial tersebut maka kita dapat melihat potensi humor dari pembuka perumpamaan
Yesus ini yaitu memberi sebuah contoh ilustrasi yang dilebih-lebihkan (exaggeration).
Menurut Bednardz, Hiperbola atau exaggeration adalah salah satu bentuk perangkat humor di
dalam literatur kuno15

Kita mengetahui bahwa salah satu teknik humor untuk memancing kelucuan adalah
dengan membuat efek yang berlebihan kepada suatu hal. Kita bisa melihat ini dalam

12
WD Davies, Dale C Allison, and JA Emerton, The Gospel According to St. Matthew: Matthew 19-28 (T & T
Clark, 1997), 798.
13
Craig S Keener, The Gospel of Matthew: A Socio-Rhetorical Commentary (Wm. B. Eerdmans Publishing,
2009), 458.
14
Banyak para ahli yang mencoba merasionalisasi hutang dari hamba ini dengan argument bahwa hamba ini
adalah pegawai tinggi kerajaan, tapi dalam hemat penulis tetap saja jika sepuluh ribu angka terbesar dalam
numerology masa itu maka hal ini tetap berlebihan.
15
Kristianto, “YESUS, SI HUMORIS: Beberapa Contoh Dari Antitesis.”
pertunjukan-pertunjukan ludruk atau ketoprak dimana aktornya membuat gerakan yang
berlebihan untuk memancing gelak tawa. Jika dalam pertunjukan stand up comedy kita akan
menemukan teknik rule of three yaitu sebuah taknik menggunakan menyebutkan menceritakan
atau memberi contoh dalam format dua hal pertama yang diucapkan akan menjadi setup yaitu
informasi yang dibutuhkan supaya sebuah humor bisa dimengerti dan masuk akal, sedang hal
yang ketiga akan menjadi punchline atau bagian lucu yang membuat audiens tertawa sesuatu
yang dibesar-besarkan (exaggearated).

Karena tidak mampu membayar hutangnya, maka sang raja memerintahkan agar orang
tersebut beserta keluarga dan semua yang dimilikinya dijual untuk membayar hutang tersebut.
Karena ketakutan hamba tersebut lantas bersujud, menyembah serta memohon agar dirinya
diberi tambahan waktu oleh raja untuk melunaskan segala hutangnya. Sang raja, yang tergerak
oleh belas kasihan, akhirnya memutuskan untuk membebaskan si hamba dan menghapuskan
segala hutangnya. Kita lazimnya langsung melihat bagian ini sebagai gambaran Allah yang
penuh kasih, hal ini tentu tidak salah, akan tetapi dengan langsung melompat kepada
pembacaan yang demikian maka unsur humornya akan terlewat. Jika kita kembali lagi pada
jumlah hutang yang dimiliki oleh hamba tersebut, yang dapat kita katakan sebagai angka yang
tidak terhingga, maka permintaan hamba tersebut untuk meminta waktu agar ia bisa melunasi
hutang tersebut adalah hal yang konyol, karena permintaannya sangat tidak realistis. Keyakinan
hamba tersebut bahwa ia mampu melunasi hutangnya yang tak terhingga adalah suatu hal yang
inkoherensi antara hal yang diharapkan dan realitas (incongruity).

Kisah ini berlanjut dimana setelah hamba tersebut menerima pembatalan hutang,
hamba ini bertemu dengan seorang seorang hamba lain yang berhutang seratus dinar
kepadanya. Berbanding terbalik dari kemurahan yang ia terima dari sang raja, hamba ini
menangkap dan mencekik temannya itu untuk membayar hutangnya yang hanya seratus dinar,
padahal temannya tersebut juga sudah melakukan hal yang sama dilakukan hamba yang
berhutang sepuluh ribu talenta kepada raja yaitu memohon dan menyembah. Hamba yang
berhutang sepuluh ribu talenta tersebut malahan menyerahkan temannya tersebut ke penjara.
Akhir dari perumpamaan ini menceritakan apa yang dilakukan oleh hamba yang berhutang
sepuluh ribu talenta kepada raja dan raja menghukum hamba tersebut

Perumpamaan yang lucu ini juga berasal dibangun dari sebuah humor yang bersifat
ironi. Jika pertanyaan Petrus ingin mengetahui bagaimana caranya untuk mengampuni saudara,
ia mungkin tidak maju dengan menyodorkan angka berapa kali ia harus mengampuni, sehingga
nampak bahwa Petrus datang ingin mendapatkan pujian dari Yesus atau setidaknya
menunjukkan bahwa dia hebat. Namun malah Ironi yang muncul jika tujuan awal Petrus ingin
dipuji dan terlihat hebat, namun justru dibuat jadi terlihat konyol bisa jadi akan memicu tawa
bagi orang-orang yang melihat peristiwa itu maupun bagi pembaca pertama Matius

Kesimpulan

Humor merupakan suatu hal yang sentral dalam kehidupan manusia namun suatu hal
yang sentral tersebut seakan hilang dari pembacaan Alkitab, jika tidak dalam hidup orang
Kristen. Paper ini menunjukan bahwa Yesus dalam pengajarannya memperlihatkan hal-hal
humor, yaitu nominal hutang si hamba, dan juga permohonan hamba yang tidak realistis.
Bahkan Perumpamaan Yesus untuk mengajar mengenai pengampunan dengan cara humoris
ini dibangun dalam situasi yang komikal dan ironis dimana Petrus yang ingin terlihat hebat
malah direspon dengan perumpamaan yang lucu. Dengan demikian kita bisa memberikan
penawaran bahwa Yesus bukanlah pengajar yang kering dan kaku.

Dalam pembacaan Alkitab, seringkali kita melewatkan aspek humor. Padahal


menghayati Tuhan juga bisa dihayati melalui perspektif humor justru kita akan dapat lebih
meneladani sikap Tuhan yang penuh kasih, tawa dan kegembiraan. Sehingga penghayatan
melalui humor ini diharapkan mampu menjadi alternative penghayatan pada Tuhan yang
humoris.

Daftar Acuan

Akbariski, Habib Safillah. “Wacana Humor Dalam Gelar Wicara Ini Talkshow” (2019).

Davies, WD, Dale C Allison, and JA Emerton. The Gospel According to St. Matthew:
Matthew 19-28. T & T Clark, 1997.

Jalaludin, Rakhmat. “Psikologi Komunikasi Edisi Revisi.” PT. Remaja Rosdakarya, Bandung
(2001).

Keener, Craig S. The Gospel of Matthew: A Socio-Rhetorical Commentary. Wm. B.


Eerdmans Publishing, 2009.

Kristianto, Stefanus. “YESUS, SI HUMORIS: Beberapa Contoh Dari Antitesis.” Jurnal


Amanat Agung 14, no. 2 (2018).

Listijabudi, Daniel Kurniawan. “YUDAS MURID YANG TERHILANG? DISCOURSE


ANALYSIS DARI PENELITIAN NARATOLOGI TERHADAP MATIUS 27: 1-10.”
Gema Teologi 32, no. 2 (2008).

Morreall, John. “Comic Relief: A Comprehensive Philosophy of Laughter” (2009).


Rahmanadji, Didiek. “Sejarah, Teori Dan Fungsi Humor.” Bahasa dan Seni, Tahun 35
(2007).

Raskin, Victor, Willibald Ruch, and Victor Raskin. The Primer of Humor Research. Mouton
de Gruyter, 2008.

Singgih, Emmanuel Gerrit. “Mengantisipasi Masa Depan.” Jakarta: BPK Gunung Mulia
(2005).

Anda mungkin juga menyukai