Anda di halaman 1dari 5

PKN II ANGKATAN X PUSLATBANG KMP LAN 2022

Tugas individu I SYNCRONOUS ‘INTEGRITAS’

ROEDOLLOF,S.STP, NDH: 23

I. ISU STRATEGIS : Penerbitan SHM Warga Transmigrasi UPT Janja

Setiap transmigran, idealnya menerima lahan untuk pemukiman dan lahan


usaha. Lahan yang sudah diberikan izin untuk lokasi transmigrasi harusnya sudah
diberikan sertifikat untuk hak pemukiman dan penggunaan usaha bagi transmigran.
Pemerintah setempat dalam hal ini Dinas Transmigrasi harus meng clear kan urusan
tersebut sebelum diberikan kepada transmigran. dan tidak boleh berpindah tangan
sebelum 15 tahun.

Koordinasi dan kolaborasi antara pihak terkait harus dibangun untuk


memperoleh data yang lengkap terkait permasalahan yang dihadapi di lapangan.
Tujuan kegiatan ini untuk memperoleh data dan masukan terkait penyediaan tanah
dalam Pembangunan Pemukiman Transmigrasi agar memenuhi kriteria 2C (Clear and
Clean) dan 3L (Layak Huni, Layak Usaha dan Layak Berkembang), memperoleh data
dan informasi tentang Pertanahan Transmigrasi yang masuk ke dalam Kawasan
Hutan, percepatan Penyelesaian SHM Transmigrasi, serta penyelesaian masalah
Pertanahan Transmigrasi khususnya di Kawasan Pembangunan Pemukiman
Transmigrasi serta melaksanakan Penelitian & Validasi Lapangan Pertanahan
Kawasan Transmigrasi di area pemukiman transmigrasi di UPT (Unit Pemukiman
Transmigrasi) Janja, Kecamatan Lampasio, Kabupaten Tolitoli.

Perihal tersebut berkenaan dengan proses untuk penerbitan Sertifikat Hak


Milik/SHM bagi warga UPT Janja yang selama ini sejak Tahun 2018 telah menempati
tanah transmigrasi sebagaimana peruntukan, dengan demikian dapat sepenuhnya
memiliki status kepemilikan tanah menjadi hak milik yang bersertifikat agar tidak
menjadi kekhawatiran dikemudian hari dan pemerintah akan memproses serta
memfasilitasi perijinan dan penerbitan sertifikat kepada warga

Tanah seluas dua hektar untuk transmigran pola pertanian diberikan secara
bertahap. Tahap pertama diberikan tanah seluas satu seperempat hektar yang
penggunaannya ditentukan untuk rumah dan pekarangan seluas seperempat hektar
dan lahan usaha I (satu) seluas satu hektar. kemudian tanah seluas tiga perempat
hektar untuk lahan usaha II (dua). Lahan pekarangan dan lahan usaha I (satu) dibuka
oleh pihak Pemerintah, sedangkan lahan usaha II (dua) dibuka oleh transmigran
sendiri.

Pada kenyataannya, pemberian hak milik atas tanah ini, sering disalahgunakan
oleh transmigran. Hak milik atas tanah sering dijual kepada pihak ketiga orang lain.
Tindakan transmigran yang menjual hak milik atas tanahnya tersebut menjauhkan diri
dari apa yang hendak dicapai terhadap program transmigrasi yang dilakukan oleh
Pemerintah dan merugikan Negara, karena untuk pelaksanaan transmigrasi ini
banyak biaya yang harus dikeluarkan. Tanah yang dijual oleh transmigran tersebut
merupakan salah satu dari masalah yang timbul, karena masih ada beberapa masalah
lain yang timbul atau yang mungkin timbul dari pemberian tanah dengan hak milik
atas tanah yang melekat di atas tanah yang diberikan . Masalah – masalah tersebut
antara lain:

1. Kesesuaian lahan pada saat distribusi lahan dengan kondisi saat ini?
2. Hak milik atas tanah yang diberikan dapat dijual oleh transmigran ?
3. Apakah hak milik atas tanah tersebut dapat dijadikan jaminan hutang?
4. Apakah tanah hak milik transmigran boleh digadaikan, atau disewakan ?
5. Bagaimana dengan hak milik atas Tanah, apa bisa diwariskan ?
6. Mengapa ada perbedaan dalam hal pemberian hak milik atas tanah kepada
transmigran atau bekas transmigran
7. Masalah-masalah lain yang berkaitan dengan cara pemberian hak milik atas
tanah.

II. TANTANGAN Yang Dihadapi

Kewajiban pemerintah dalam hal ini dinas transmigrasi dalam memberikan hak
atas tanah bagi warga transmigrasi merupakan suatu tantangan yang membutuhkan
integritas seorang pemimpin. Beberapa hal yang menjadikan hal tersebut sebagai
suatu tantangan yaitu;
1. Legalitas
Warga Transmigrasi berhak atas kepemilikan lahan sesuai gambaran diatas,
hal tersebut merupakan hak utama bagi transmigran sesuai UU Nomor 29
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No 15 tahun 1997 tentang
ketransmigrasian. Dalam Undang-undang tersebut memuat tentang hak
normatif para transmigran atas tanah. Demikian juga terkait tahapan
redistribusi tanah dan legalisasi aset transmigrasi dilakukan antara lain dengan
tahapan pengurusan sertipikat HPL, perencanaan, pembangunan
permukiman, penempatan transmigrasi, pengukuran dan pembagian lahan dan
terakhir adalah penerbitan dari SHM itu sendiri. Hal tersebut tertuang pada
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi
Republik Indonesianomor 23 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Konsolidasi
Tanah Dalam Pelaksanaan Transmigrasi. Pada Perpres 86 tahun 2018 tentang
Reforma Agraria, diamanahkan bahwa dalam hal tanah transmigrasi belum
memperoleh Hak Pengelolaan Lahan maka legalisasi asetnya dilakukan
setelah terbit Kepmen Desa PDT Transmigrasi atau Bupati/Walikota/Pejabat
yang ditunjuk yang menyatakan bahwa pembinaannya telah diserahkan
kepada pemerintah daerah dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab
Pemerintah Kota/Kabupaten. Demikian juga Permendes PDTT No 11 Tahun
2017 tentang Penataan Persebaran Penduduk sudah mengatur tentang
kewenangan KemendesPDTT dalam pengurusan penerbitan SHM hanya
diperuntukkan bagi transmigran pada UPT serah yang dari awal
penempatannya berstatus transmigran berdasarkan SK Bupati/Walikota atau
transmigran pengganti yang sudah di SK kan oleh pemerintah daerah pada
permukiman transmigrasi yang masih dalam binaan KemendesPDTT.
Dari berbagai dasar hokum tersebut maka sangat penting dan dibutuhkan
integritas seorang pemimpin dalam menyelesaikan dan menuntaskan apa yang
menjadi Hak bagi warga Transmigran.
2. Anggaran
Dalam penerbitan SHM merupakan bidang tugas dari Kanta BPN, namun hal
ini tidak terlepas dari koordinasi Dinas Transmigrasi khususnya
mempersiapkan kelengkapan persyaratan serta penjadwalan penerbitan SHM
sehingga BPN dapat mengalokasikan anggaran sesuai waktu yang
terjadwalkan berdasarkan koordinasi tersebut. Namun hal ini jika diabaikan
maka akan berdampak kepada semua pihak termasuk Dinas Transmigrasi
serta Warga Transmigran manakala sudah tidak lagi menjadi warga
binaan/UPT Bina maka biaya akan menjadi beban langsung pemilik lahan
tersebut.
3. Moral dan Sosial
Alangkah berdosanya seorang pimpinan jika mengabaikan urusan Hak warga
Transmigran yang merupakan hak wajib normative yaitu Tanah/Lahan sebagai
modal utama dalam mewujudkan peradaban baru dalam kehidupan
bermasyarakat yang ‘Baru’. Hal ini merupakan tanggungjawab moral dan sosial
seorang pemimpin.

III. RESIKO yang akan dihadapi

Sebagai contoh, Penerbitan SHM bagi Warga Transmigrasi yang terabaikan


atau dikategorikan sebagai kelalaian dan kurang integritasnya pimpinan saat itu
adalah di eks UPT Lampasio, yang sampai saat ini belum selesai pemenuhan hak
warga atas kepemilikan lahan (SHM). Dalam hal tersebut menggambarkan beberapa
resiko yang muncul dan berdampak yaitu;

1. Warga Eks UPT Lampasio, berkewajiban membayar biaya pembuatan


SHM untuk setiap bidang tanah yang diperoleh sebesar
@Rp.150.000/bidang, dimana setiap warga memiliki hak 3 bidang.
2. Ketidaksesuaian luasan dan lokasi dengan penetapan awal yang
diakibatkan pengabaian disertai kurun waktu yang lama sehingga status
lahan yang belum memiliki SHM dapat mengaburkan hak dari warga
transmigran tersebut. Dan akan menjadi masalah hukum
3. Tanggung jawab Dinas Transmigrasi tetap dilaksanakan meskipun
merupakan ‘PR’ yang belum tuntas yang semestinya sudah harus
diselesaikan pada masanya. Hal ini merupakan dampak dari kelalaian
tersebut yang menambah beban tugas dan tanggung jawab bagi pimpinan
saat ini.
IV. PENUTUP

Uraian tersebut diatas merupakan isu strategis yang merupakan ujian bagi
pimpinan terkait integritas dalam hal tanggung jawab moral dan social bagi
masyarakat khususnya warga transmigran.

Anda mungkin juga menyukai