Anda di halaman 1dari 8

PROBLEM MENJAMIN KEPASTIAN & PERLINDUNGAN HUKUM

BMN/D BERUPA TANAH

Nurhasan Ismail

Disampaikan dalam Webinar, Kerja Sama Antara


Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum UGM Dengan
Pusat Studi Hukum Agraria Universitas Trisakti
24 September 2022
 Barang Milik Negara (BMN) Berupa Tanah Seharusnya Tunduk pada 2 (dua) Rezim Hukum yaitu :

HUKUM PERTANAHAN HUKUM PERBENDAHARA


(UUPA & PERATURAN AN NEGARA
PELAKSANAANNYA) (UU 1/2004 & PP 27/2014)

 Kedua Rezim Hukum tersebut seharusnya ditempatkan sebagai unsur dari satu Sistem Hukum :
 Antara keduanya tidak boleh mengandung norma yang tumpang-tindih atau tidak boleh dipertentangkan karena
jika terdapat tumpang-tindih atau dipertentangkan, maka : Pertama, terjadi ketidakpastian hukum dalam
pengaturan BMN/D berupa Tanah dengan konsekuensi akan terdapat kendala dalam pemberian perlindungan
hukum; Kedua, terjadi dominasi penguasaan tanah oleh instansi pemerintah baik pusat maupun daerah atas
dasar pertimbangan : (1) maksimalisasi kepentingan ekonomi & konsekuensinya akan terjadi pengabaian
terhadap fungsi & tugas pemerintah sebagai pelayan dan pelindung pemenuhan kebutuhan tanah warga
masyarakat; (2) siapapun yang menyebabkan hilangnya BMN berupa tanah dihadapkan pada ancaman korupsi
meskipun tanah dimaksud diberikan kepada warga masyarakat yang sangat membutuhkan tanah; Ketiga, terjadi
konflik struktural atau kepentingan antara warga masyarakat yang sangat membutuhkan tanah dengan instansi
pemerintah yang sudah menjadi pesaing dalam kepemilikan tanah
 Antara keduanya harus saling melengkapi jika dalam salah satu rezim hukum tersebut terdapat kelengkapan
pengaturannya. Artinya, dalam PP No.27/2014 terdapat beberapa ketentuan yang tidak tuntas pengaturannya,
maka jangan berhenti hanya mendasarkan pada ketentuan PP tersebut namun harus dilengkapi dengan
ketentuan dalam Hukum Pertanahan
 Upaya untuk menempatkan kedua Rezim Hukum tersebut dalam posisi saling melengkapi merupakan bagian
dari langkah untuk menjamin kepastian & perlindungan hukum terhadap BMN/D berupa Tanah. Di antaranya :
 Pengaturan Peralihan/pemindahtanganan BMN/D berupa tanah
Terdapat perbedaan antara kedua Rezim Hukum tersebut dalam pengaturan pemindahtanganan BMN/D
berupa tanah :

ASPEK UU 1/2004 + PP 27/2014 UUPA + PP 40/1996 (PP 18/2021)


Dasar Boleh-tidaknya dipindahtangankan tergan- (1) Semua tanah kepunyaan instansi pemerintah
Pertimbangan tung pada dipergunakannya tanah sebagai harus digunakan sebagai tempat pemberian
tempat melaksanakan tugas pokok dan pelayanan publik atau misi tertentu; (2) status
fungsi (TUPOKSI) instansi pemerintah haknya berupa Hak Pakai Selama Digunakan (HPSD)
dan Hak Pengelolaan (HPL)

Kebolehan • Tidak boleh jika digunakan sebagai tempat Pada prinsipnya tidak boleh diperalihkan karena
peralihan melaksanakan TUPOKSI mengganggu : (1) pelayanan publik jika tanah
• Boleh jika tidak digunakan untuk TUPOKSI berstatus HPSD; (2) misi dari tanah HPL

Bentuk peralihan Bagi BMN/D berupa tanah yang dapat dipera Meskipun prinsip tidak boleh namun dalam kondisi
lihkan dilakukan melalui : jual beli/lelang, tertentu boleh melalui : pelepasan kpd negara utk
tukar menukar, hibah, & penyertaan modal kepentingan umum atau Ruilslag jika lokasi tanah
sudah tidak layak pemberian layanan publik
CATATAN :
 Peralihan tanah BMN/D melalui jual beli/lelang, tukar menukar, hibah, atau penyertaan modal yang harus
dilakukan dengan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah akan menyebabkan hak atas tanah yang melekat pada tanah
BMN/D yaitu HPSD atau HPL akan berpindah kepada penerima peralihan, sedangkan penerima peralihan belum
tentu dapat menjadi subyek HPSD atau HPL
 Peralihan BMN/D berupa tanah yang dilakukan dengan jual beli/lelang, tukar menukar, hibah, atau penyertaan
modal dapat berakibat batal demi hukum karena : Pertama, jika penerima peralihan berstatus badan hukum
swasta, maka tidak dapat menjadi subyek dari tanah BMN/D yang berstatus HPSD atau HPL kecuali : (1) hibah yang
diberikan kepada sesama instansi pemerintah; atau (2) penyertaan modal tanah HPL kepada BUMN/D yang dapat
juga menjadi subyek HPL; Kedua, melanggar syarat sahnya perjanjian yaitu : (1) syarat subyektif yaitu penerima
peralihan, misalnya badan hukum swasta tidak mempunyai kecakapan bertindak karena badan hukum swasta
tidak dapat menjadi subyek HPSD atau HPL; dan (2) syarat obyektif yaitu kausa yang halal karena badan hukum
swasta dilarang mempunyai tanah dengan status HPSD atau HPL
 Untuk menempatkan agar kedua Rezim Hukum saling melengkapi atau mendukung, maka sebaiknya :
o Jika tanah BMN/D yang berstatus HPSD atau HPL akan diperalihkan kepada badan hukum swasta, maka harus
dilakukan melalui : (1) hubungan hukum Ruilslag atau Tukar Bangun dan bukan tukar-menukar jika masih
diperlukan tanah pengganti sebagaimana pernah dijelaskan dalam SE Menteri Negara Agraria/Kepala BPN
No.500-468, tanggal 12 Pebruari 1996 perihal Masalah Ruilslag Tanah Pemerintah sebagai petunjuk teknis
dalam rangka pelaksanaan tukar bangun tanah instansi pemerintah; (2) dilepaskan haknya kepada negara
setelah ada pembayaran harga & diikuti permohonan hak atas tanah baru yang sesuai oleh pihak penerima
peralihan jika tidak diperlukan lagi tanah pengganti
o Jika tanah BMN/D akan dijadikan penyertaan modal kepada BUMN/D, maka lebih tepat jika tanahnya berstatus
HPL dan bukan HPSD karena BUMN/D dapat mempunyai HPL namun tidak dapat menjadi subyek HPSD
 Pengaturan bentuk akta perjanjian dan proses balik nama dari pemindahtanganan/peralihan tanah BMN/D
melalui jual beli/lelang, hibah, tukar menukar, dan penyertaan terdapat keberagaman dan ketidaktuntasan
ketentuan. Hal ini dapat dicermati dalam Permenkeu No.111/PMK-06/2016 tentang Tata Cara
Pemindahtanganan BMN dan Permendagri No.19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan BMD. Keberagaman
dan ketidaktuntasan ketentuan akan menjadi kendala bagi upaya pemberian kepastian dan perlindungan
hukum terutama bagi penerima pemindahtanganan & lebih lanjut akan membuka peluang terjadinya
konflik/sengketa. Lebih lanjut dapat dijelaskan sebagai berikut :
 Keberagaman bentuk akta perjanjian
 Pemindahtanganan BMN maupun BMD berdasarkan kedua Peraturan Menteri di atas dituangkan dalam
akta perjanjian yang berbeda yaitu :
o Untuk pemindahtanganan melalui penjualan (jual beli) dilakukan dengan : (1) Risalah Lelang jika
penjualan dilakukan dengan lelang atau Akta Jual Beli yang dibuat oleh Notaris/PPAT bagi BMN dan
bagi BMD hanya ditentukan Akta Jual Beli tanpa penjelasan akta otentik oleh Notaris/PPAT atau akta di
bawah tangan; (2) serah terima tanah BMN/D yang dituangkan dalam Berita Acara Serah Terima
o Untuk tukar menukar dilakukan dengan Perjanjian Tukar Menukar tanpa ada penjelasan mengenai
bentuk aktanya di bawah tangan atau akta otentik dan kemudian serah terimanya dituangkan dalam
Berita Acara Serah Terima
o Untuk hibah dilakukan dengan Naskah Hibah yang diikuti dengan serah terima yang dituangkan dalam
Berita Acara Serah Terima
o Untuk penyertaan modal dilakukan dengan penetapan dalam Peraturan Pemerintah bagi BMN dan
Peraturan Daerah bagi BMD serta diikuti dengan serah terima yang dituangkan dalam Berita Acara
Serah Terima
 Keberagaman bentuk akta perjanjian pemindahtanganan tanah BMN/D yang kemudian diikuti dengan
Berita Acara Serah Terima tanah BMN/D tampaknya lebih mendasarkan pada ketentuan
pemindahtanganan benda bergerak seperti kendaraan bermotor, peralatan kantor, dan bangunan. Artinya,
pengaturan pemindahtanganan BMN/D mempersamakan antara BMN/D berupa tanah dengan yang selain
tanah dan mengambil ketentuan bentuk akta perjanjian dari BMN/D selain tanah sebagai dasarnya yaitu
bentuk aktanya bebas dalam pengertian dapat berupa akta di bawah tangan atau akta otentik.
Catatan yang perlu dikemukakan :
o Dengan bentuk akta yang beragam tersebut, jika dikaji dari hukum pertanahan (PP No.24/1997) yang
berlaku sekarang, pemindahtanganan tanah BMN/D tersebut tetap sah selama memenuhi : (1) syarat
sahnya perjanjian serta memenuhi asas kongkret, tunai, dan terang sebagaimana dianut dalam hukum
pertanahan nasional; (2) persyaratan dan prosedur internal instansi pemerintah yang telah ditentukan
dalam PP No.27/2014 serta kedua Peraturan Menteri;
o Serah terima yang dituangkan dalam Berita Acara Serah Terima hanya bermakna sebagai penyerahan
(levering) penguasaan fisik tanah sedangkan penyerahan yuridis tanah yaitu balik nama dari instansi
pemerintah kepada penerima pemindahtanganan belum dilakukan dan belum terjadi;
o Dengan kondisi seperti di atas, kedudukan penerima pemindahtanganan tanah BMN/D masih relatif
belum sepenuhnya pasti dan terlindungi karena namanya belum tercantum dalam Sertipikat hak atas
tanahnya, kecuali dalam pemindahtanganan dalam bentuk hibah atau tukar menukar antarsesama
instansi pemerintah.
 Ketidaktuntasan pengaturan proses balik nama dalam pemindahtanganan tanah BMN/D
Dari ketentuan dalam Permenkeu No. No.111/PMK-06/2016 dan Permendagri No.19 Tahun 2016 tidak
ditemui ketentuan baik secara eksplisit maupun implisit yang mengarahkan pada proses balik nama dari nama
instansi pemerintah pusat atau daerah. Dalam kondisi pengaturan yang demikian, rezim hukum Pengelolaan
BMN/D harus dilengkapi dengan ketentuan rezim hukum pertanahan. Dalam Rezim Hukum Pertanahan yaitu
Pasal 19 UUPA dan PP No.24 Tahun 1997 diatur mengenai proses balik nama subyek pemegang hak atas tanah
termasuk tentunya tanah BMN/D yang dipindahtangankan yaitu balik nama harus dilakukan melalui 2 (dua)
tahapan :
 Pembuatan dan penandatanganan akta otentik yang dibuat dan ditandatangani oleh dan di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (Akta PPAT). Adanya Akta PPAT tentang pemindahtanganan tanah termasuk
tanah BMN/D merupakan syarat bagi proses balik nama subyek hak atas tanah.
 Pendaftaran pemindahtanganan ke Kantor Pertanahan yang akan memeroses balik nama dari semula
tercantum atas nama instansi pemerintah (Pemerintah Indonesia atau Pemda) menjadi atas nama
penerima pemindahtanganan sebagai pemilik hak atas tanah baru. Balik nama tersebut dicatat dalam
Sertipikat hak atas tanah yang dipindahtangankan.
Ketidaktuntasan pengaturan proses balik nama tentu akan berdampak : Pertama, secara administratif, tanah
BMN/D yang sudah dipindahtangankan masih tetap tercatat atas nama instansi pemerintah meskipun tanah
secara fisik sudah berada dalam penguasaan dan pemanfaatannya pihak penerima pemindahtanganan;
Kedua, kondisi demikian menimbulkan ketidakpastian hukum baik bagi instansi pemerintah maupun bagi
pihak penerima pemindahtanganan serta dalam kasus tertentu telah memicu konflik/sengketa pemanfaatan
tanah antara instansi pemerintah dengan BUMN tertentu.
 Upaya Pengamanan dan Pemeliharaan tanah BMN/D
Di samping upaya singkronisasi antara PP No.27/2014 beserta Peraturan Menteri sebagai pelaksanaannya, upaya
menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi BMN/D, juga dilakukan :
 Melakukan pengamanan dalam 3 aspek yaitu :
 Pengamanan hukum yaitu :
o mensertipikatkan tanah BMN/D yang memang belum bersertipikat & dengan sertipikasi akan diperoleh
kepastian data fisik yaitu letak lokasinya, batas, luas, dan penggunaannya serta data yuridis yaitu macam hak
atas tanahnya dan pemegang haknya. Dengan adanya kepastian data fisik dan yuridis tanah, jaminan
perlindungan hukum tentu akan semakin kuat;
o memeroses lebih lanjut dokumen kepemilikan tanah yang masih berupa Letter C, akta jual beli, akte hibah,
atau dokumen perolehan tanah lainnya seperti akta/surat pernyataan pelepasan dari warga masyarakat
karena dokumen-dokumen kepemilikan tersebut belum tentu dapat langsung dijadikan dasar dilakukan
sertipikasi namun masih diperlukan proses seperti pelepasan hak, permohonan hak, dan sertipikasi hak.
 Pengamanan secara fisik yaitu : (1) secara umum jangan biarkan tanah tampak tidak terawat yang akan
menimbulkan penilaian adanya penelantaran tanah; (2) dipasang pagar dan tanda batas sementara untuk
menunjukkan instansi pemerintah memberikan perhatian atas tanah kepunyaan; (3) menugaskan petugas untuk
secara rutin mengontrol kondisi tanah BMN/D
 Pengamanan secara administratif yaitu : mencatat semua dokumen kepemilikan yang ada dan belum
ditindaklanjuti untuk dilakukan sertipikasi dan menyimpannya dalam tempat yang aman oleh petugas tertentu
yang diberi tanggung jawab
 Melakukan pemeliharaan tanah BMN/D yang diujudkan dalam tindakan : (1) menggunakan tanah BMN/D untuk
tempat layanan publik jika tanahnya berstatus HPSD atau sesuai dengan misi diberikannya HPL; (2) menyerahkan
pemanfaatan tanah kepada pihak ketiga melalui hubungan hukum yang diperbolehkan

Anda mungkin juga menyukai