Anda di halaman 1dari 12

Sebelum Anda deal dalam sebuah transaksi jual beli rumah, sudah sepatutnya jika terlebih dahulu

mempelajari status dan kelengkapan surat yang dimiliki. Jangan sampai karena sudah
terlanjur naksirdengan unitnya, lalu Anda lalai dan terkesan mengabaikan perintilan yang
melengkapinya.

Sebagai langkah awal, perhatikan status hunian tersebut agar dimasa depan Anda tak lagi merasa rancu.
Dan lagi, menyelidiki status tanah juga perlu agar tak timbul masalah terkait legalitasnya dikemudian
hari.

Arti / Pengertian HGB – Sertifikat Hak Guna


Bangunan
Dalam perizinan mengenai sebuah bangunan, Anda tentu sudah familiar mendengar
mengenai SertifikatHak Guna Bangunan atau disingkat dengan sebutan HGB. Sesuai dengan
namanya, HGB (Hak Guna Bangunan) adalah kewenangan yang diberikan oleh pemerintah atau suatu
hak yang didapatkan untuk menggunakan sebuah lahan yang bukan miliknya sendiri dengan jangka
waktu 30 tahun yang atas permintaan pemegang hak mengikat keperluan serta keadaan bangunan-
bangunannya dan dapat diperpanjang sampai dengan jangka waktu maksimum 20 tahun.

Ini artinya, pemegang sertifikat tersebut hanya diberikan kuasa untuk memberdayakan lahan baik untuk
mendirikan bangunan ataupun keperluan lain dalam jangka waktu tertentu. Jadi, pemilik properti dengan
status HGB hanya memiliki bangunannya saja, sedangkan tanahnya masih milik negara.
Biasanya, developer atau pengembang menggunakan lahan berstatus HGB untuk membesut unit
perumahan dan apartemen.

Dengan sertifikat HGB pun Anda tak serta merta bebas dalam penggunaan lahannya karena harus sesuai
dengan perijinan. Tujuan lainnya yang sesuai dengan kriteria sertifikat HGB adalah ketika Anda
berencana untuk memiliki properti dengan penggunaan yang hanya sementara. Properti dengan status
HGB juga cocok untuk dikembangkan menjadi sesuatu yang bersifat komersial. Benefit dari properti
dengan jenis sertifikat ini bagi Warga Negara Asing merupakan salah satu cara kepemilikan properti.

Arti / Pengertian SHM – Sertifikat Hak Milik


Sertifikat Hak Milik yang merupakan jenjang sertifikat hak atas sebuah tanah yang tertinggi atau
terkuat. SHM (Sertifikat Hak Milik) adalah jenis sertifikat yang pemegangnya memiliki kekuasaan
penuh sebagai pemilik dari lahan disebuah kawasan dengan luas tertentu yang tercantum dalam surat
dengan waktu yang tidak terbatas. Dengan demikian, pemegang sertifikat yang tercantum dalam surat
menjadi pemilik seutuhnya tanpa adanya campur tangan dan kemungkinan kepemilikan bagi pihak lain.

Beda HGB dan SHM


Perbedaan SHM dan HGB dapat dilihat dari tingkat kuasa dan jangka waktu kepemilikan properti.
Jika Sertifikat Hak Milik dapat diwariskan dan tidak memiliki batasan waktu kepemilikan maka Hak
Guna Bangunan memiliki batasan waktu dan diperkenanan untuk diperpanjang masa
penggunaannya.

Sertifikat Hak Milik pun bisa di gunakan sebagai jaminan kepada lembaga keuangan jika Anda ingin
mengajukan kredit hal ini berbeda jika Anda hanya memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan. Oleh karena
itu, bila bertekad untuk menetap di bangunan dan tanah dalam jangka waktu lama atau berencana untuk
investasi jangka panjang, sebaiknya membeli properti dengan status Sertifikat Hak Milik.

Ubah HGB ke SHM


Apabila properti yang dibeli masih berstatus HGB dan sudah mencapai jangka waktu 30 tahun,
selanjutnya kewajiban pemegang sertifikat HGB adalah untuk memperpanjang maksimum jangka
waktu hingga 20 tahun lamanya dan selanjutnya masih dapat diperpanjang sampai 30 tahun.

Yang perlu diingat, mengajukan perpanjangan HGB paling lambat diurus 2 tahun sebelum masa berlaku
hak habis dengan cara mengisi formulir kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat dengan
dilengkapi KTP dan dilampirkan fotokopi HGB yang akan diperpanjang beserta Surat Keterangan
Pendaftaran Tanah.

Biaya perpanjangan HGB tergantung dengan harga tanah per meter persegi yang ditetapkan oleh
Menteri setelah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan dan luas tanah yang digunakan. Rumus
perhitungan untuk 20 tahun perpanjangan adalah 3 % x Luas Tanah x Harga Tanah pada tahun ke 31
ditambah dengan dana landreform sebesar 50 % (lima puluh persen) dari hasil perhitungan sesuai rumus
sebelumnya.

Sedangkan untuk perpanjangan 30 tahun rumusnya adalah 4 ½ % x Luas Tanah x Harga Tanah pada
tahun ke 51 ditambah dengan dana landreform sebesar 50 % (lima puluh prosen) dari hasil perhitungan
sesuai rumus sebelumnya. Namun jika terlanjur terlewat dari masa tenggang waktunya, biaya
pengurusan HGB mati akan lebih mahal jika dibandingkan dengan diurus tepat waktu karena akan
dikenakan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) karena akan dilakukan proses mulai dari awal
seperti seperti pengecekan, pengukuran, dan pencatatan. Sedangkan jika pemegang hak yang tertulis
telah meninggal dunia, maka ahli waris berkewajiban untuk memperpanjang dan melakukan pengajuan
hak atas tanah dengan dikenakan BPHT (Bea Perolehan Hak atas Tanah atau Bangunan).

Jika dibandingkan dengan memperpanjang yang sifatnya berjangka sehingga kurang praktis, Anda dapat
segera mengubah Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik jika memang berencana memiliki
seutuhnya. Proses HGB ke SHM sama halnya dengan perpanjangan, harus diawali dengan mengurus ke
kantor pertanahan dimana lahan yang akan diproses berada.

Ketentuan lahan yang akan mengalami peningkatan hak ini tak lebih dari 600 meter persegi dan
pemegan HGB yang berlaku atau sudah mati adalah WNI karena WNA tidak diperbolehkan untuk
memiliki properti dengan SHM. Untuk melakukan proses HGB ke SHM, surat-surat yang
dilampirkandiantaranya adalah sertifikat asli HGB yang statusnya akan diubah, fotokopi IMB (Izin
Mendirikan Bangunan). Namun jika mengubah HGB ke SHM tanpa IMB, Anda harus meminta surat
pengantar lurah (PM1) dari kelurahan yang menyatakan bahwa rumah digunakan untuk tempat
tinggal, identitas diri, fotokopi SPPT PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) terakhir, surat
permohonan kepada Kepala Pertanahan setempat, surat pernyataan tidak memiliki lebih dari 5
bidang dengan luas kurang dari 5000 meter persegi, dan yang terakhir membayar biaya perkara.
Berapa pengeluaran biaya HGB ke SHM? Tentu besarannya tergantung dengan NJOP kavling yang
akan diproses. Rumus yang digunakan untuk menghitung adalah 2% x (NJOP tanah – Rp. 60 juta). Cara
lain adalah Anda bisa menggunakan jasa notaris PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah).

Selain besaran kocek yang harus dikeluarkan, banyak pula yang bertanya-tanya lama waktu yang
dibutuhkan untuk pengubahan HGB ke SHM. Untuk pertanyaan berapa lama HGB ke SHM, beberapa
tahap yang dilalui melalui penjelasan sebelumya yaitu dengan mengajukan ROYA atau pembebasan hak
tanggungan yang memakan waktu sekitar 5 hari kerja atau satu minggu. Setelah itu, baru bisa berlanjut
dengan mengurus peningkatan hak. Proses keluarnya sertifikat SHM diperkirakan selesai seminggu
setelah pengurusan. Lain halnya dengan pengurusan Akta Jual Beli menjadi Sertifikat Hak Milik yang
memakan waktu sekitar 6 hingga 12 bulan. Siapakan pula biaya pengurusan SHM dari AJB sesuai
dengan ketentuan pemerintah saat ini.
Sekilas tentang Pemecahan Hak Atas
Tanah (Hak Guna Bangunan)
Posted on July 22, 2016
Developer perumahan tidak dapat mengalihkan dalam hal ini menjual rumah dari perumahan yang
didirikannya begitu saja kepada end user. Dalam hal ini developerharus telah memiliki hak atas tanah
terlebih dahulu, dalam hal ini Hak Guna Bangunan dan telah bersertipikat. Sertipikat Hak Guna
Bangunan yang diberikan atas nama pengembang lazim disebut sertipikat (Hak Guna Bangunan) induk
dan agar perumahan dapat dijual maka sertipikat Hak Guna Bangunan induk tersebut harus dipecah atas
nama masing-masing pembeli (Hak Guna Bangunan pecahan) yang jangka waktunya sama dengan
jangka waktu yang tertera pada sertipikat Hak Guna Bangunan induk.[1]
Mengenai pemecahahan Hak Guna Bagunan ini diatur berdasarkan Pasal 48 Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997, yang menentukan bahwa:

1. Atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan, satu bidang tanah yang sudah terdaftar dapat
dipecah secara sempurna menjadi beberapa bagian, yang masing-masing merupakan satuan
bidang baru dengan status hukum yang sama dengan bidang tanah semula

2. Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk tiap bidang dibuatkan surat ukur, buku
tanah dan sertipikat untuk menggantikan surat ukur, buku tanah dan sertipikat asalnya

3. Jika hak atas tanah yang bersangkutan dibebani Hak Tanggungan dan atau beban-beban lain
yang terdaftar, pemecahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) baru boleh dilaksanakan setelah
diperoleh persetujuan tertulis dari pemegang Hak Tanggungan atau pihak lain yang berwenang
menyetujui penghapusan beban yang bersangkutan

4. Dalam pelaksanaan pemecahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang mengenai tanah
pertanian, wajib memperhatikan ketentuan mengenai batas minimal sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Maksud dari pasal tersebut dapat dikatakan bahwa sebidang tanah dengan status Hak Guna Bangunan
sebagai salah satu hak atas tanah, dimungkinkan untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dengan
status Hak Guna Bangunan dengan menghapuskan Hak Guna Bangunan semula.
Berdasarkan pengaturan mengenai pemecahan hak atas tanah yang dalam hal ini pemecahan Hak Guna
Bangunan yang diatur dalam Pasal 48 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dapat disimpulkan
bahwa:

1. Pemecahan Hak Guna Bangunan induk menjadi Hak Guna Bangunan perseorangan merupakan
inisatif dari pemegang Hak Guna Bangunan induk itu sendiri yang dimana diawali dengan
mengajukan permohonan tertulis kepada Kantor Pertanahan setempat. Dalam pemecahanan ini,
Hak Guna Bangunan perseorangan hasil pecahaan Hak Guna Bangunan induk tersebut
merupakan satu bidang baru dengan status hukum yang sama dengan Hak Guna Bangunan induk
yang dipecah tersebut, dalam hal ini status haknya sama yakni Hak Guna Bangunan dan jangka
waktunya sama dengan Hak Guna Bangunan induk semula yakni 30 tahun.

2. Pecahan Hak Guna Bangunan perseorangan tersebut kemudian dibuat surat ukur, buku tanah
serta sertipikat baru untuk menggantikan surat ukur, buku tanah dan sertipikat Hak Guna
Bangunan induk yang telah dipecah-pecah tersebut. Berdasarkan Pasal 1 angka 17 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menentukah bahwa surat ukur adalah dokumen yang memuat
data fisik suatu bidang tanah dalam bentuk peta dan uraian. Data fisik ini memuat mengenai luas
tanah, batas-batas tanah serta keterangan mengenai ada atau tidak adanya bangunan yang
berdiri di atasnya. Sedangkan buku tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat
data yuridis dan data fisik suatu objek pendaftaran tanah yang sudah ada haknya, yang dimana
diatur pada Pasal 1 angka 19 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Mengenai sertipikat,
diatur dalam Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang menentukan
bahwan sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan
data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang
bersangkutan.
3. Dalam hal Hak Guna Bangunan induk yang akan dipecah menjadi Hak Guna Bangunan
perseorangan dibebani dengan Hak Tanggungan atau beban-beban lain yang terdaftar, sebelum
dilakukan pemecahan ini harus mendapat persetujuan tertulis dari pemegang Hak Tanggungan
atau pihak lain yang berwenang menyetujui penghapusan beban yang bersangkutan. Hal ini
diperlukan agar kepentingan dari pemegang Hak Tanggungan atau pihak lain yang berwenang
terlindungi.

4. Jika pemecahan hak atas tanah ini merupakan tanah pertanian harus memperhatikan ketentuan
batas minimal kepemilikan tanah pertanian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960.

Pada penjelasan Pasal 48 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang menentukan bahwa
pemecahan bidang tanah harus sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku dan tidak boleh
mengakibatkan tidak terlaksananya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, misalnya
ketentuan landreform

Mengenai prosedur serta proses pemecahan Hak Guna Bangunan induk menjadi Hak Guna Bangunan
perseorangan ini diatur dalam Pasal 133 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badam Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997, yang menentukan bahwa:

 Permohonan pemecahan bidang tanah yang telah terdaftar, diajukan oleh pemegang hak atau
kuasanya dengan menyebutkan untuk kepentingan apa pemecahan tersebut dilakukan dan
melampirkan:

 Sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan;


 Identitas pemohon;
 Persetujuan tertulis pemegang Hak Tanggungan, apabila hak atas tanah yang
bersangkutan dibebani dengan Hak Tanggungan;
 Untuk mendapatkan satuan-satuan bidang tanah baru dari pemecahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan pengukuran;

 Status hukum bidang-bidang tanah hasil pemecahan adalah sama dengan status bidang tanah
semula, dan untuk pendaftarannya masing-masing diberi nomor hak baru dan dibuatkan surat
ukur, buku tanah dan sertipikat baru, sebagaimana pengganti nomor hak, surat ukur, buku tanah
dan sertipikat asalnya;

 Catatan mengenai adanya Hak Tanggungan dan beban lain yang ada pada buku tanah dan
sertipikat asal dicatat pada buku tanah dan sertipikat baru;

 Surat ukur, buku tanah dan sertipikat hak atas tanah semula dinyatakan tidak berlaku lagi dengan
mencantumkan catatan dengan kalimat sebagai berikut:

“Tidak berlaku lagi karena haknya sudah dibukukan sebagai hak atas bidang-bidang tanah hasil
pemecahan sempurna, yaitu Hak ………. Nomor ………. sampai dengan ………. (lihat buku tanah nomor
………. sampai dengan……….)”, yang dibubuhi tanda tangan Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat
yang ditunjuk berikut cap dinas Kantor Pertanahan;

 Pencatatan pemecahan bidang-bidang tanah tersebut dikerjakan juga dalam daftar-daftar lain
dan peta pendaftaran tanah atau peta-peta lain yang ada dengan menghapus gambar bidang
tanah asal diganti dengan gambar bidang-bidang tanah pecahannya yang diberi nomor-nomor
hak atas tanah dan surat ukur yang baru.

Mengenai proses dan prosedur pemecahan Hak Guna Bangunan tersebut diatur lebih lanjut dalam
Standar Prosedur Operasi Pelayanan Pertanahan yang diatur berdasarkan Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2008 Nomor 6 Tahun 2008 tentang
Penyederhanaan dan Percepatan Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan Pertanahan untuk
Jenis Pelayanan Pertanahan Tertentu

Berkaitan dengan pelayanan pertanahan tidak lepas dari biaya yang dibutuhkan seperti halnya
pemecahan Hak Guna Bangunan induk menjadi Hak Guna Bangunan perseorangan. Biaya yang
dibutuhkan dalam hal pemecahan Hak Guna Bangunan induk menjadi Hak Guna Bangunan
perseorangan meliputi:

 Biaya administrasi sebesar Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah); dan
 Biaya pengukuran.
Biaya administrasi ini dibayarkan per bidang tanah hasil pecahan Hak Guna Bangunan induk menjadi
Hak Guna Bangunan perseorangan sedangkan biaya pengukuran dihitung berdasarkan luasan bidang
tanah hasil pecahan tersebut yang penghitungannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun
2010 tentang Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan
Nasional. Mengenai biaya pengukuran pemecahan Hak Guna Bangunan induk menjadi Hak Guna
Bangunan perseorangan diatur berdasarkan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 yang
diatur sebagai berikut:

 Tarif pelayanan, pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 huruf b angka 1, dihitung berdasarkan rumus:

Luas tanah sampai dengan 10 (sepuluh) hektar

Tu = ( —— x HSBKu ) + Rp100.000,00

500

Luas tanah lebih dari 10 (sepuluh) hektar sampai dengan 1.000 (seribu) hektar

Tu = ( ——– x HSBKu ) + Rp14.000.000,00

4.000

Luas tanah lebih dari 1.000 (seribu) hektar

Tu = ( ——— x HSBKu ) + Rp134.000.000,00

10.000

 Tarif pelayanan pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah secara massal sebagaimana
dimaksud Pasal 2 huruf b angka 2 adalah sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari tarif
pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);

 Tarif pelayanan pengembalian batas sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 huruf b angka 3
adalah sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari tarif pelayanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1);

 Tarif pelayanan legalisasi gambar ukur surveyor berlisensi sebagaimana dimaksud Pasal 2 huruf
b angka 4 adalah sebesar 30% (tiga puluh persen) dari tarif pelayanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).

Berdasarkan rumus penghitungan biaya pengukuran tersebut dapat diketahui bahwa Tu merupakan tarif
ukur, L merupakan luas bidang yang akan dipecah dan HSBKu merupakan Harga Satuan Biaya Khusus
Pengukuran. Mengenai besaran HSBKu berbeda-beda antara daerah yang satu dengan daerah yang
lainnya, hal tersebut diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
51/PMK.02/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.02/2010
tentang Indeks Dalam Rangka Penghitungan Penetapan Tarif Pelayanan PNBN Pada Badan Pertanahan
Nasional, yang mulai berlaku pada tanggal 13 April 2012.

Pengurusan permohonan pemecahan Hak Guna Bangunan induk menjadi Hak Guna Bangunan
perseorangan merupakan kewajiban dari pemohon dalam hal ini developer. Dalam prakteknya,
pengurusan permohonan pemecahan Hak Guna Bangunan induk menjadi Hak Guna Bangunan
perseorangan ini dikuasakan kepada PPAT.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta
Tanah, menentukan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum
yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai
hak atas tanah atau Hak Milik atas satuan rumah susun. PPAT memiliki tugas pokok yang berupa
melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah
dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas satuan rumah
susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan
perbuatan hukum tertentu, sebagaimana yang telah diatur berdasarkan pasal 2 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998. Mengenai perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tersebut di atas ditentukan sabagaimana dimaksud dalam ayat (2), yakni:

1. Jual beli;
2. Tukar menukar;
3. Hibah;
4. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
5. Pembagian hak bersama;
6. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Hak Milik;
7. Pemberian Hak Tanggungan;
8. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengurusan permohonan pemecahan Hak Guna
Bangunan induk menjadi Hak Guna Bangunan perseorangan bukan merupakan tugas maupun
kewenangan dari PPAT akan tetapi dalam pelaksanaannya developer menyerahkannya kepada PPAT.
Hal ini dibenarkan karena merupakan salah satu bentuk pelayanan dari PPAT kepada klien yang datang
kepadanya serta permohonan pengurusan pemecahan Hak Guna Bangunan inuk menjadi Hak Guna
Bangunan perseorangan dapat dikusakan oleh pemilik hak atas tanah kepada kuasanya dengan membuat
surat kuasa.
Sertifikat Hak Guna Bangunan Atau SHGB
Adalah....
09 January 2018 • 5 mins read
HGB adalah suatu hak yang didapatkan untuk menggunakan bangunan di atas
sebuah lahan yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu tertentu.

the
sales agreement form lies on a table. On it the pen lies

RumahCom - Sertifikat Hak Guna Bangunan atau SHGB mungkin sudah tidak asing lagi bagi Anda, apalagi jika
Anda sering disodorkan brosur perumahan atau apartemen oleh para sales properti.

Namun, apakah Anda tahu dengan jelas pengertian dari SHGB dan juga perbedaannya dengan sertifikat hak milik?

Nah, sebelum membahas lebih jauh mengenai ap itu SHGB, berikut ini beberapa poin penting yang juga akan
dibahas:

1. Apa Itu HGB?


2. Perbedaan SHGB dengan SHM
3. Prosedur Mendapatkan HGB
4. Biaya Perpanjangan Sertifikat HGB
5. Kewajiban Pemilik Sertifikat HGB

Langsung saja simak pembahasan lengkap mengenai SHGB di bawah ini, yuk!

Apa Itu HGB?


Tidak sedikit orang yang menyesal di kemudian hari saat menyadari adanya masalah sertifikat setelah membeli
rumah. Ketika hendak membeli properti, memang sudah sepatutnya jika Anda mempelajari terlebih dulu jenis
sertifikat yang ditawarkan beserta kelengkapan surat lainnya.

Ini penting guna mencegah timbulnya masalah di masa depan. Apalagi jika Anda tertarik berbisnis properti dengan
membangun gedung, maka Anda wajib mengenal SGHB dan memahami cara mengurusnya ketika SHGB habis
masa berlakunya.

Sesuai namanya, HGB adalah suatu hak yang didapatkan untuk menggunakan bangunan di atas sebuah lahan yang
bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu tertentu.

Dengan kata lain, sang pemegang sertifikat HGB tidak memiliki lahan, melainkan hanya memiliki bangunan yang
dibuat di atas lahan ‘pinjaman’ tersebut. Pemilik lahan bisa negara, pengelola, maupun perorangan.
Jika milik pemerintah alias tanah negara, artinya hak guna bangunan diberikan dengan keputusan pemberian hak
oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Untuk tanah hak pengelolaan, hak guna bangunan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh menteri atau
pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang hak pengelolaan.

Sedangkan untuk tanah hak milik perseorangan, pemegang hak milik memberikan hak guna bangunan melalui akta
yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Bangunan di atas lahan dapat digunakan untuk kepentingan pribadi maupun bisnis usaha, termasuk tempat tinggal
vertikal alias apartemen.

Siapa saja yang bisa memperoleh sertifikat HGB? Harus Anda yang berstatus warga negara Indonesia atau Badan
Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Properti dengan sertifikat HGB ini tepat bagi Anda yang tidak berniat tinggal di satu tempat yang sama untuk
periode lama. Maklum, jangka waktu penggunaan lahan memang beragam. Bisa 5, 10, 15, 20, hingga maksimal 30
tahun.

Jika masih mau menggunakannya setelah hak guna bangunan berakhir, sertifikat ini harus diperpanjang secara
berkala.

Tanya Rumah

Temukan jawab seputar properti dari ahlinya

Perbedaan SHGB Dengan SHM


Tentunya SHGB berbeda dengan SHM. SHM merupakan sertifikat terkuat karena pemilik lahan dapat memiliki
lahan tanpa batas waktu sehingga bisa diwariskan. Artinya, ia juga punya kekuasaan penuh untuk mengelola
bangunan dan tanah.

Jadi kecuali ada peralihan hak pakai atas tanah hak milik tersebut, pemegang SHM bisa terus memanfaatkan dan
memiliki lahan tersebut.

Ini tentunya berbeda dengan pemegang SHGB, yang harus memperpanjang sertifikat ketika masa berlaku berakhir.

SHGB juga bisa dihentikan jika pemegangnya tidak lagi memenuhi syarat sehingga harus melepas atau
memberikannya kepada orang lain, atau mengembalikannya kepada negara, pemegang hak pengelola, atau
pemegang hak milik.

Prosedur Mendapatkan HGB


Saat seseorang mau membuka usaha sendiri, biasanya ia akan mencari tempat—bahkan membangun
gedung sendiri di atas tanah pinjaman. Untuk itulah Anda harus memperoleh hak atas tanah tersebut.

Berhubung perusahaan tidak diperkenankan memiliki tanah dengan status Hak Milik, maka Anda
dapat mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan.
Cari Agen

Temukan agen terbaik dan spesialis di setiap area


Jika Anda mengurusnya untuk perseorangan dengan luas tanah tidak lebih dari 3.000 m2, atau badan
hukum dengan luas tanah maksimal 20.000 m2, maka Anda dapat mengurusnya di Kepala Kantor
Pertanahan.

Jika luas tanah untuk perseorangan lebih dari 600 m2 namun tidak lebih dari 10.000 m2, maka Anda
harus datang ke Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional(Kanwil BPN). Sedangkan
pengurusan di Kepala Badan Pertanahan Nasional hanya diperuntukkan bagi pemohon yang luas
tanahnya di atas 10.000 meter persegi.

Berikut adalah tahapan-tahapan pembuatan sertifikat Hak Guna Bangunan.

1. Siapkan Dokumen-Dokumen Yang Diperlukan

Bagi perorangan, Anda bisa mempersiapkan dokumen berupa fotokopi identitas diri yang
membuktikan kewarganegaraan Republik Indonesia, sertifikat, girik, surat kavling, surat-surat bukti
pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang telah dibeli dari pemerintah,
PPAT, akta pelepasan hak, putusan pengadilan, surat ukur, gambar situasi dan IMB (jika ada).

Jangan lupa juga siapkan surat pernyataan pemohon mengenai jumlah bidang, luas, dan status tanah
yang dimiliki pemohon. Bagi badan hukum, jangan lupa siapkan fotokopi akta dan salinan surat
keputusan penunjukkan.

2. Buat Permohonan

Ajukan permohonan secara tertulis yang ditujukan kepada pihak berwenang, antara lain Kepala
Kantor Pertanahan/Kepala Kanwil BPN/Kepala BPN sambil membawa dokumen yang diperlukan.
Pihak berwenang tersebut akan melakukan pengecekan kelengkapan berkas.

Anda pun akan mendapatkan tanda terima berkas permohonan sesuai formulir yang diisi.
Selanjutnya Anda harus membayar biaya penyelesaian permohonan.

3. Pemeriksaan Kelengkapan

Kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik permohonan Hak Guna Bangunan akan
diperiksa pihak berwenang untuk dilihat apakah permohonan ini dapat diproses lebih lanjut sesuai
UU.

Pihak berwenang akan memerintahkan Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah untuk
melakukan pengukuran jika Anda belum memiliki surat ukur.

4. Pembuatan Risalah Pemeriksaan Tanah

Kepala Kantor Pertanahan/Kepala Kanwil BPN/Kepala BPN akan menugaskan Kepala Seksi Hak
atas Tanah untuk memeriksa permohonan hak atas tanah yang sudah terdaftar, dan data yuridis
maupun data fisiknya telah cukup untuk mengambil keputusan yang dituangkan dalam Risalah
Pemeriksaan Tanah.
Jika data tersebut belum lengkap, maka pihak berwenang akan meminta pemohon untuk
melengkapinya.

5. Penerbitan Surat Keputusan

Setelah mempertimbangkan pendapat Kepala Seksi Hak atas Tanah atau pejabat yang ditunjuk,
Kepala Kantor Pertanahan/Kepala Kanwil BPN/Kepala BPN akan menerbitkan keputusan
pemberian HGB atas tanah, atau keputusan penolakan disertai alasannya.

6. Membayar Uang Pemasukan

Begitu Kutipan Surat Keputusan Pemberian Hak Guna Bangunan diterima, maka Anda wajib
membayar uang pemasukan kepada Negara. Jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam
keputusan pemberian haknya.

7. Pembukuan HGB

HGB akan dibukukan dalam buku tanah, berdasarkan alat bukti hak yang ada seperti girik, PPAT,
dan lain-lain. Kepala Kantor Pertanahan bertugas untuk menandatangani buku tanah tersebut.

8. Penerbitan Sertifikat

Berdasarkan ketentuan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, akan diterbitkan
sertifikat bagi Hak Guna Bangunan yang sudah didaftar dalam buku tanah.

9. Penandatanganan Sertifikat

Sertifikat akan ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan, kecuali beliau berhalangan maka
penandatanganan dilakukan oleh Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah.

10. Penyerahan Sertifikat

Sertifikat pun diserahkan kepada pemegang hak atau kuasanya.

Biaya Perpanjangan Sertifikat HGB

Jika mengacu pada Peraturan Pemerintah No.46 tahun 2002, maka rumus perhitungan biaya
perpanjangan sertifikat HGB adalah: jangka waktu perpanjangan HGB yang diberikan dibagi 30
tahun dikalikan 1%.

Nantinya, jumlah ini akan dikalikan dengan Nilai Perolahan Tanah (NPT) yang sudah dikurangi
dengan NPT Tidak Kena Uang Pemasukan (NPTTTKUP) lalu dikalikan dengan 50%. Untuk nilai
NPT dan NPTTTKUP bisa dilihat di SPT PBB tanah yang akan diperpanjang SHGB-nya.
Misalnya, jangka waktu perpanjangan HGB yang diberikan adalah 20 tahun. Sedangkan Nilai NPT
yang sudah dikurangi NPTTTKUP untuk tanah seluas 500 m2 adalah Rp800 juta. Maka
perhitungannya adalah sebagai berikut:

20/30 x 1% = 0,0067

Biaya perpanjangan Sertifikat HGB:

0,0067 x 800.000.000 x 50% = Rp2.680.000

Kewajiban Pemilik Sertifikat HGB


Begitu Anda sudah mengantongi Sertifikat Hak Guna Bangunan, ada beberapa kewajiban untuk
dipenuhi. Salah satunya, menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan yang
ditetapkan dalam keputusan pemberian hak.

Hal yang tidak kalah pentingnya adalah memelihara tanah dan bangunan dengan baik, termasuk
menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Ketika hak guna bangunan itu habis, misalnya karena jangka waktunya sudah berakhir dan tidak
diperpanjang, Anda pun berkewajiban menyerahkan tanah tersebut kepada negara, pemegang hak
pengelola, atau pemegang hak milik. Sedangkan untuk sertifikatnya wajib diserahkan kepada Kepala
Kantor Pertanahan.

Anda mungkin juga menyukai