Anda di halaman 1dari 5

NAMA : ANNISA MUFADIILLAH

NPM : B1A020003
MATA KULIAH : PERALIHAN HAK ATAS TANAH

TUGAS 3
ANALISIS KASUS
Judul : Bom Waktu Kasus Apartemen di Jakarta: HGB di Atas Tanah Negara
1. Kasus Rumah Susun Komersial
Pengembang properti apartemen kerap mengecoh konsumen. Informasi soal apartemen
dibangun di atas lahan milik negara disembunyikan rapi. Pengembang juga pelit membuka
dokumen izin mendirikan bangunan (IMB), sertifikat laik fungsi (SLF). Hal itu dibenarkan oleh
Meli Budiastuti dari Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Perumahan DKI Jakarta.
Menurutnya, konsumen seringkali tak disuguhi informasi yang lengkap soal hak guna bangunan
apartemen di atas tanah milik orang lain-alias hak pengelolaan lahan (HPL sebagai untuk jurus
marketing pengembang merugikan konsumen. Padahal, jika tanah berstatus HPL, konsumen
hanya berhak menghuni selama 30 tahun dan dapat memperpanjang 20 tahun, dengan
rekomendasi persetujuan pengembang. Puncak masalahnya, hak guna bangunan konsumen akan
hilang apabila pengembang tidak menyetujui perpanjangan.
Salah satu contohnya Mediterania Palace Residence di Kemayoran, Jakarta Timur.
Apartemen milik developer properti Agung Podomoro Group itu dibangun di atas tanah milik
Kementerian Sekretariat Negara, yang masa HPL-nya habis pada 2022. Masalahnya, para
konsumen baru mengetahuinya setelah membeli dan mencari tahu sendiri. Masalahnya bisa
menumpuk di masa mendatang. Sebab perlindungan hukum pemegang hak atas suatu bidang
tanah dipangkas. Status tanah HPL cuma mendapatkan sertifikat kepemilikan bangunan gedung
satuan rumah susun (SKBG Sarusun). Dampaknya, nilai bangunan lebih murah dibandingkan
sertifikat hak milik satuan rumah susun (SHM Sarusun).
Dalam hak pengelolaan maka, jika masa kedaluwarsa tiba maka harus memperpanjang
HGB, akan tetapi muncul pertanyaan, siapa yang akan memperpanjang HGB? Siapa yang
menanggung biaya perpanjangannya? Jika perpanjangan ditolak, apa dampaknya bagi penghuni
apartemen?.
Kasus pertama yang terungkap adalah Mangga Dua Court, yang dibangun di atas tanah
milik Pemprov DKI Jakarta. Sebagian penghuninya baru tahu hal itu setelah 16 tahun apartemen
dibangun. Untuk memutuskan perpanjangan, bukan hanya harus melibatkan gubernur, tapi harus
dibahas di DPR dan Kementerian Keuangan sebab tanah itu aset negara.

2. Analisis Kasus
Dalam Pasal 15 Ayat 5 Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2021 Tentang
Penyelenggaraan Rumah Susun dikatakan bahwa “Dalam hal pembangunan Rumah Susun
Umum atau Rumah Susun Komersial dibangun di atas tanah hak guna bangunan atau hak pakai
di atas hak pengelolaan, Pelaku Pembangunan wajib menyelesaikan status hak guna bangunan
atau hak pakai di atas hak pengelolaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
sebelum menjual Sarusun”.
Padahal dalam Pasal 139 PP No.13 Tahun 2021 diatur juga mengenai sanksi, yang
menyebutkan bahwa “Pelaku Pembangunan yang tidak menyelesaikan status hak guna bangunan
atau hak pakai di atas hak pengelolaan dalam hal pembangunan Rumah Susun Umum atau
Rumah Susun Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5) dikenai sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pengenaan denda administratif; dan
c. pencabutan izin usaha.”
Akan tetapi pada kenyataannya yang terlihat pada kasus di atas dapat diketahui jika
pengembang properti apartemen kerap membohongi konsumen dengan tidak memberikan
informasi mengenai status lahan atau tanah yang digunakan dalam pendirian bangunan
apartemen. Dimana konsumen tidak tau apakah apartemen tersebut dibangun atas dasar hak guna
bangunan pada tanah Negara, tanah hak pengelolaan atau tanah hak milik. Sebab hal ini akan
berdampak pada kedepannya, terutama yaitu pada jangka waktu yang penempatan apartemen.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 37 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun
2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, Dan Pendaftaran Tanah
yang menyebutkan bahwa “Hak guna bangunan di atas Tanah Negara dan Tanah Hak
Pengelolaan diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun, diperpanjang untuk
jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan diperbarui untuk jangka waktu paling lama
30 (tiga puluh) tahun”.
Dalam hal ingin melakukan permohonan perpanjangan ini pula, pemegang hak guna
bangunan dalam hal ini adalah apartemen harus bisa memenuhi syarat-syarat yang ditentukan
dan mendapat persetujuan dari pemegang hak pengelolaan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi
oleh pemegang hak guna bangunan di atas tanah Negara dalam hal ingin mengajukan
permohonan perpanjangan atau diperbarui terdapat dalam ketentuan Pasal 40 ayat 1 PP No.18
Tahun 2021, yaitu :
a. Tanahnya masih diusahakan dan dimanfaatkan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat,
dan tujuan pemberian hak;
b. Syarat-syarat pemberian hak dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;
c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak;
d. Tanahnya masih sesuai dengan rencana tata ruang; dan
e. Tidak dipergunakan dan/atau direncanakan untuk kepentingan umum.
Apabila permohon perpanjangan oleh konsumen ini tidak disetujui oleh pemerintah.
Maka upaya hukum yang bisa dilakukan oleh konsumen atau pembeli apartemen adalah dengan
meminta ganti rugi kepada pengembang untuk membeli tanah pemerintah sehingga pembeli
tidak perlu keluar dari apartemen yang sudah lama ditempati olehnya. Dan apabila konsumen
dapat membuktikan bahwa pengembang menyembunyikan fakta bahwa apartemen yang
dibelinya berada diatas tanah Hak Pengelolaan instansi Pemerintah. Maka tindakan hukum
lainnya yang dapat diambil adalah negoisasi dengan pihak pemerintah pemegang hak
pengelolaan agar pemerintah dapat memberikan izin perpanjangan Hak Guna Bangunan dengam
memberikan retribusi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Jika konsumen tidak mengetahui status lahan atau tanah yang digunakan untuk
pembangunan Apartemen maka konsumen tidak bisa untuk melakukan perpanjangan hak.
Banyak pengembang yang hanya berorientasi pada profit sehingga tidak mengindahkan etika jual
beli, yang pada akhirnya akan merugikan para konsumen atau para pembeli apartemen. Karena
apabila apartemen tersebut dibangun di atas Tanah Hak Pengelolaan, maka konsumen pasti
memiliki konsekuensi yang akan diterima nantinya, yaitu :
1) Konsumen sebagai penghuni apartemen bisa saja kehilangan apartemen jika pengembang
properti apartemen tidak memberikan rekomendasri perjanjangan Hak Gunan Bangunan.
Hal ini terjadi karena konsumen yang tidak mengetahui status tanah dan pengembang yang
tidak memberikan informasi.
2) Nilai apartemen yang dimiliki oleh para konsumen bisa turun karena hak atas tanah bisa
saja hilang sewaktu-waktu
3) Pemilik apartemen yang dibangun di atas tanah HPL hanya mendapat Sertipikat
Kepemilikan Bangunan Gedung (SKBG), bukan mendapat Sertipikat Hak Milik atas
Satuan Rumah Susun (SHMSRS)
Oleh sebab itu, pengembang properti apartemen sebaiknya menerbitkan Sertipikat Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun (SHMSRS) kepada para konsumenya. Akan tetapi, apabila
sistem kerja sama yang dilakukan menggunakan sistem perjanjian BOT, yang mana dalam
perjanjian BOT terdapat jangka waktu perjanjian dan berakhirnya perjanjian kerja sama. Dimana
saat perjanjian BOT berakhir maka semua tanah dan bangunan harus dikembalikan kepada
instansi pemerintah sebagai pemegang hak pengelolaan. Akibatnya pula akan timbul
permasalahan hukum yang melibatkan pembeli atau konsumen, pengembang dan instansi
pemerintah. Ini disebakan karena konsumen yang menganggap bahwa dengan sistem
kepemilikan yang dimiliknya yaitu SHMSRS, maka satuan rumah susun atau apartemen tersebut
sudah menjadi sepenuhnya dimiliki oleh konsumen sehingga tidak perlu dikembalikan lagi oleh
pemerintah.
Berdasaran Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Satuan Rumah Susun, yang
mana sistem pemilikan SHMSRS berbeda dengan hak milik pribadi. Hak ini karena SHMSRS
mempunyai sistem kepemilikan bersama dan terpisah. Maksudnya adalah kepemilikan terpisah
pada satuan rumah susun masing-masing konsumen dan kepemilikan bersama pada tanah
bersama yang dibagi secara proporsional sesuai dengan luas bangunan yang dimiliki oleh
masing-masing konsumen.
Jadi yang perlu dilakukan oleh konsumen atau pembeli sebelum membeli satuan rumah
susun dalam hal ini adalah apartemen, yaitu sebaiknya pembeli sebagai calon penghuni
apartemen terlebih dahulu memeriksa aspek legalistas atas lokasi proyek apartemen yang akan
dibelinya. Calon pembeli data meminta kepada pengembang sertipikat induk tanahnya guna
memberikan kepastian mengenai keabsahan kepemilikan tanah yang akan dikembangkan
menjadi area apartemen. Selain itu, calom pembeli dapat juga menanyakan izin lokasi dan izin
mendirikan bangunan dari hunian yang akan dibelinya. Langkah awal lainnya adalah memeriksa
Hak Guna Bangunan dari proyek rumah susun atau apartemen tersebut, apakah sudah terdapat
sertipikat Hak Guna Bangunan, induknya yang akan menjadi tanah bersama para penghuni
apartemen. Pengembang berbadan hukum atau PT diperbolehkan mendapatkan Hak Guna
Bangunan atas tanahnya walaupun rumah susun atau apartemen tersebut dibangun di atas tanah
dengan status Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai Atas Tanah Negara dan Hak
Pengelolaan.

Anda mungkin juga menyukai