Anda di halaman 1dari 24

PENGANTAR PERPAJAKAN

“Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) & Bea
Materai (BM)”

Dosen Pembimbing :
Nur Ajizah, S. Sos, M. AB
( PERPAJAKAN )

Kelompok 4
Di susun oleh :

1. Ginanjar Arif Santoso ( 201969100052 )


2. Khoirul Ma’rufih ( 201969100135 )
3. Muhammad Sandi Prayoga ( 201969100067 )

FAKULTAS ADMINISTRASI BISNIS EKSTENSI


UNIVERSITAS YUDHARTA PASURUAN
2020
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 BPHTB

2.1.1 Pengertian BPHTB


Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB): adalah pajak yang
dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut
pajak;
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan: adalah perbuatan atau peristiwa
hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau bangunan oleh orang
pribadi atau badan;
Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, berserta
bangunan di tasnya sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 tentang Rumah
Susun dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya.

2.1.2 Dasar Hukum BPHTB


Dasar hukum Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah :
 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.Undang-undang ini menggantikan Ordonasi Bea
Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291.
 Peraturan Pemerintah No.111 Tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB karena
waris dan hibah
 Peraturan Pemerintah No.112 Tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB karena
pemberian Hak Pengelolaan
 Peraturan Pemerintah No.113 Tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya NPOPTKP
BPHTB.

Dengan diterapkannya Undang-undang ini maka :


 Dapat mengkonpensasikan penurunan penerimaandaerah karna diberlakukannya
Undang-undangmengenai pajak dan retribusi daerah karena 99% penerimaan
BPHTB dikembalikan kepada daerah.
 Meningkatkan kepastian hukum dan keadilan
 Menciptakan sistem perpajakan yang sederhana tanpa mengabaikan pengawasan
dan pengamana keuangan Negara.

2.1.3 Obyek Pajak BPHTB


Sesuai bunyi pasal 2 Undang-undang BPHTB, yang menjadi objek BPHTB
adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut meliputi:
1. Pemindahan Hak karena :
a. Jual Beli
b. Tukar Menukar
c. Hibah
d. Hibah Wasiat yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai
pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau
badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat
meninggal dunia
e. Waris
f. Pemasukan dalam Perseroan atau Badan Hukum lainnya yaitu pengalihan
hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada
Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal
pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut
g. Pemisahan Hak yang mengakibatkan peralihan yaitu pemindahan sebagian
hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan
kepada sesama pemegang hak bersama
h. Penunjukan pembeli dalam Lelang yaitu penetapan pemenang lelang oleh
Pejabat Lelang sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang
i. Pelaksanaan putusan Hakim yang mempunyai kekuatan Hukum Tetap
yaitu adanya peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai
salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim
tersebut
j. Penggabungan Usaha yaitu penggabungan dari dua badan usaha atau lebih
dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan
melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung
k. Peleburan Usaha yaitu penggabungan dari dua atau lebih badan usaha
dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan
usaha yang bergabung tersebut.
l. Pemekaran Usaha
yaitu pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih
dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva
dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa
melikuidasi badan usaha yang lama
m. Hadiah yaitu suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan
atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada
penerima hadiah
2. Pemberian Hak Baru karena :
a. Kelanjutan Pelepasan Hak yaitu pemberian hak baru kepada orang pribadi
atau badan hukum dari
Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak
b. Diluar Pelepasan Hak yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada orang
pribadi atau badan hukum dari Negara atau dari pemegang hak milik
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku

Hak atas tanah yang menjadi objek BPHTB adalah :

a. hak milik, yaitu hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan
oleh Pemerintah;
b. hak guna usaha (HGU),
yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara
dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundangundangan
yang berlaku;
c. hak guna bangunan (HGB), yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka
waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria.
d. hak pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang
memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam
perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa
atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak
bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e. hak milik atas satuan rumah susun, yaitu hak milik atas satuan yang bersifat
perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga
hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang
bersangkutan.
f. hak pengelolaan, yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara
lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan
tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian
dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak
ketiga.

2.1.4 Pengecualian Obyek Pajak BPHTB


Berdasarkan ketentuan pasal 3 ayat (1) terdapat beberapa objek pajak yang tidak
dikenakan BPHTB yaitu :
1. Objek yang diperoleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasar azas
perlakuan timbal balik

2. Objek yang diperoleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau


untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum
3. Objek yang diperoleh Badan/Perwakilan organisasi internasional yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat tidak
menjalankan usaha/kegiatan lain diluar fungsi dan tugasnya
4. Objek yang diperoleh orang pribadi/Badan karena KONVERSI HAK atau
karena perbuatan Hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama
5. Objek yang diperoleh orang pribadi/Badan karena WAKAF
6. Objek yang diperoleh orang pribadi/Badan karena kepentingan IBADAH
2.1.5 Pengecualian Tidak Dikenakan Pajak BPHTB
( Pasal 7 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 jo. PP No.113
Tahun 2000 jo. KMK-516/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah terakhir dengan
PMK-33/PMK.03/2008)
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional
paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal
perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih
dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau
satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Yang dimaksud dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
ditetapkan secara regional adalah penetapan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak untuk masing-masing Kabupaten/Kota.
Selanjutnya didalam pasal 7 UU BPHTB, pemerintah menentukan suatu batas
nilai perolehan tidak kena pajak yang disebut Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak (NPOPTKP). Ketentuan pasal 7 ini dijabarkan lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah dan yang terakhir adalah Peraturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000
tanggal 1 Desember 2000 yang kemudian ditindaklanjuti lagi dengan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000. Keputusan
Menteri Keuangan ini kemudian mengalami perubahan dan yang terakhir diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 33/PMK.03/2008 tanggal 22 Februari
2008 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor
516/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek
Pajaak Tidak Kena Pajak BPHTB.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 33/PMK.03/2008 ini berisikan ketentuan
sebagai berikut:
a. untuk perolehan hak karena waris , atau hibah wasiat yang diterima orang
pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah
wasiat, termasuk suami/istri, ditetapkan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah)
b. untuk perolehan hak Rumah Sederhana Sehat (RSH) sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 03/PERMEN/M/2007
tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas
Subsidi Perumahan Melalui KPR bersubsidi, dan Rumah Susun Sederhana
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor
7/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan
Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Sarusun Bersubsidi,
ditetapkna sebesar Rp49.000.000,00 (empat puluh sembilan juta rupiah)
c. untuk perolehan hak baru melalui program pemerintah yang diterima pelaku
usaha kecil atau mikro dalam rangka Program Peningkatan Sertifikasi Tanah
untuk Memperkuat Penjaminan Kredit bagi Usaha Mikro dan Kecil, ditetapkan
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
d. untuk perolehan hak selain perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf a,
huruf b, dan huruf c, ditetapkan paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh
juta rupiah)
e. dalam hal NPOPTKP yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf d lebih
besar daripada NPOPTKP yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf b,
maka NPOPTKP untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf b
ditetapkan sama dengan NPOPTKP sebagaimana ditetapkan pada huruf d
f. dalam hal NPOPTKP yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf d lebih
besar daripada NPOPTKP yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf c,
maka NPOPTKP untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf c
ditetapkan sama dengan NPOPTKP sebagaimana ditetapkan pada huruf d.

Besarnya NPOPTKP ditetapkan secara regional, maksudnya adalah


NPOPTKP tersebut ditetapkan per daerah tingkat II (Kabupaten/Kota) dengan
mempertimbangkan usulan dari Kepala Daerah yang bersangkutan.

2.1.6 Subyek Pajak BPHTB


Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas
tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB yang dikenakan kewajiban membayar
BPHTB menurut perundang-undangan perpajakan yang menjadi Wajib Pajak.
2.1.7 Tarif Pajak BPHTB
( Pasal 5 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 ). Tarif pajak yang
dikenakan atas objek BPHTB adalah sebesar 5 % (lima persen).

2.1.8 Dasar Perhitungan Pajak BPHTB BPHTB =

( NPOP - NPOPTKP ) x Tarif atau bila NJOP

digunakan sebagai dasar pengenaan :

BPHTB = NPOPKP x Tarif

Besarnya pajak terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak (5%)
dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP). Besarnya NPOPKP
adalah NPOP – NPOPTKP. Apabila NPOP lebih rendah dari NJOP PBB tahun
terjadinya transaksi, atau bila NPOP tidak diketahui, maka dasar pengenaan pajaknya
adalah NJOP PBB.

2.1.9 Dasar Pengenaan Pajak BPHTB


Yang menjadi dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak atau
disingkat NPOP sesuai ketentuan pasal 6 UU BPHTB.
Berdasarkan jenis perolehan haknya, NPOP tersebut adalah sebagai berikut :
1. Jual Beli = Harga Transaksi
2. Tukar Menukar = Nilai Pasar
3. Hibah = Nilai Pasar
4. Hibah Wasiat = Nilai Pasar
5. Waris = Nilai Pasar
6. Pemasukan dalam Perseroan / Badan Hukum lainnya = Nilai Pasar
7. Pemisahan Hak = Nilai Pasar
8. Peralihan Hak karena Putusan Hakim = Nilai Pasar
9. Pemberian Hak Baru = Nilai Pasar
10. Penggabungan Usaha = Nilai Pasar
11. Peleburan Usaha = Nilai Pasar
12. Pemekaran Usaha = Nilai Pasar
13. Hadiah = Nilai Pasar
14. Lelang = yang tercantum dalam Risalah Lelang

2.1.10 Perhitungan Pajak BPHTB


( Pasal 8 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Secara umum besarnya BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) yang diperoleh dari
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak (NPOPTKP), atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan pada
rumus dibawah ini:
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) XXXXX
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) XXXXX (-)
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) XXXXX

Besarnya BPHTB terutang = 5 % X NPOPKP XXXXX


Contoh :
Tuan Budi membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Rp
70.000.000,-. Sedangkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang berlaku
di kabupaten/ kota tersebut Rp 60.000.000,- .
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) Rp 70.000.000
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) Rp 60.000.000 (-)
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) Rp 10.000.000

Besarnya BPHTB terutang = 5 % Rp 10.000.000,- = Rp 500.000.-

2.1.11 Saat Terutangnya Pajak BPHTB


Saat yang menentukan terutang nya pajak adalah
1. Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta, untuk :
a. Jual beli
b. Tukar menukar
c. Hibah
d. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya
e. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
f. Penggabungan usaha
g. Peleburan usaha
h. Pemekaran usaha
i. Hadiah
2. Sejak tanggal penunjukan pemenang lelang, untuk lelang
3. Sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
untuk putusan hakim
4. Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya kek kantor
pertanahan, untuk hibah wasiat dan waris
5. Sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak,
untuk :
a. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak
b. Pemberian hak baru diluar pelepasan hak.
2.1.12 Tempat Pajak Terutang
Tempat pajak terutang adalah di wilayah :
1. Kabupaten
2. Kota,atau
3. Propinsi

Tempat tersebut meliputi letak tanah dan atau bangunan.

Tempat Pembayaran :

Pajak yang terutang dibayar ke Kas Negara melalui:

1. Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah
2. Kantor Pos dan Giro
3. Tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

2.1.13 Tata Cara Pembayaran

Ketentuan tata cara pembayaran BPHTB tercantum dalam pasal 10 UU BPHTB


yang dijabarkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
517/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000 yang kemudian ditindak lanjuti dengan
Keputusan Dirjen Pajak Nomor 269/PJ/2001 tanggal 2 April 2001 dan Surat Edaran
Dirjen Pajak Nomor 09/PJ.6/2001 tanggal 6 April 2001 yang intinya adalah sebagai
berikut :

a. Pembayaran tidak mendasarkan kepada adanya Surat Ketetapan Pajak.


b. Dibayar dengan menggunakan Surat Setoran Bea ( SSB ) ke Kas Negara melalui
Bank/Kantor Pos atau Tempat Pembayaran lain yg ditunjuk
c. SSB juga berfungsi sebagai SPOP dan sekaligus digunakan untuk melaporkan
data perolehan hak atas tanah dan atau bangunan

Kewajiban Bayar pada saat :

1. Dibuat & ditandatanganinya Akta

2. Pendaftaran Hak untuk Waris & Hibah Wasiat

3. Ditunjuknya pemenang Lelang

4. Ditandatanganinya SK Pemberian Hak dalam hal pemberian Hak Baru

5. Putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap

2.1.14 Ketetapan BPHTB

Direktorat Jenderal Pajak (menurut UU No. 20 Tahun 2000) atau Kepala Daerah
(menurut UU No. 28 Tahun 2009) dalam jangka waktu 5 tahun sesudah terutangnya
BPHTB setelah terlebih dahulu melakukan pemeriksaan lapangan ataupun kantor dan
dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea (SKB) atau Surat Ketetapan Pajak Daerah
(SKPD):

1. Lebih bayar (LB), apabila pajak yang dibayar ternyata lebih besar daripada
jumlah pajak yang terutang atau dilakukan pembayaran pajak yang tidak
seharusnya terutang,
2. Nihil (N), apabila jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak
terutang,
3. Kurang bayar (KB) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan
lainnya ternyata jumlah pajak yang terutang tidak atau kurang bayar.
4. Kurang bayar tambahan (KBT) apabila ditemukan data baru dan atau data
yang semula belum terungkap (novum) yang menyebabkan penambahan
jumlah pajak yang terutang kecuali WP melapor sebelum pemeriksaan.
Terhadap jumlah kekurangan pajak yang terhutang dalam SKBKB tersebut
dikenakan sanksi administrasi sebesar 2% sebulan dihitung dari pajak yang kurang
atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan (sehingga maksimal
48%) terhitung sejak tanggal terutangnya pajak. Sedangkan terhadap kekurangan pajak
yang terutang dalam SKBKBT dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar
100% dari jumlah kekurangan pajak tersebut, namun demikian jika WP melaporkan
sendiri sebelum dilakukan pemeriksaan maka kenaikan tersebut tidak dikenakan.
Jangka waktu pelunasan SKB tersebut adalah 1 bulan sejak tanggal diterbitkannya
surat ketetapan.

2.1.15 Surat Tagihan BPHTB (STB)

Menurut UU No. 20 Tahun 2000 Direktorat Jenderal Pajak dapat menerbitkan STB
apabila;

1. Pajak yang terutang tidak atau kurang bayar,


2. Dari hasil pemeriksaan kantor surat setoran BPHTB terdapat kekurangan
pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung,
3. Wajib pajak dikenakan sanksi berupa denda dan atau bunga,
4. Sanksi administrasi dikenakan bunga sebesar 2% sebulan untuk jangka waktu
paling lama 24 bulan sejak terutangnya pajak.

Sanksi administrasi berupa bunga 2% sebulan untuk jangka waktu paling lama
24 bulan dapat dikenakan apabila hasil pemeriksaan menyatakan kurang bayar, sanksi
ini dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB).

2.1.16 Hak WP untuk Keberatan BPHTB

Dalam jangka waktu 3 bulan sejak diterimanya SKP yang dapat dibuktikan dengan cap
pos, Wajib pajak dapat mengajukan keberatan terhadap:

1. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah & Bangunan Kurang Bayar
(SKBKB),
2. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah & Bangunan Kurang Bayar
Tambahan (SKBKBT),
3. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah & Bangunan Lebih Bayar
(SKBLB),
4. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah & Bangunan Nihil (SKBN).

Syarat pengajuan keberatan;

1. Diajukan secara tertulis dalam bahas Indonesia,


2. Mengemukakan jumlah pajak yang terutang menurut perhitungan wajib pajak
dengan disertai alasan yang jelas dengan mengemukakan data atau bukti bahwa
jumlah pajak yang terutang atau pajak lebih bayar yang ditetapkan oleh fiskus
tidak benar,

Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap sebagai surat


keberatan sehingga tidak dipertimbangkan. DJP harus memberi keputusan atas
keberatan apakah diterima, ditolak atau bahkan menambah besarnya pajak terutang
dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal surat ketetapan diterima.

2.1.17 Hak WP untuk Banding BPHTB

Apabila permohonan keberatan ditolak, WP masih dapat mengajukan upaya


Banding ke Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 3 bulan sejak diterimanya SK
Keberatan yang dapat dibuktikan dengan cap pos. Pengadilan Pajak harus memberi
keputusan atas banding apakah diterima, ditolak atau bahkan menambah besarnya
pajak terutang dalam jangka waktu paling lama 12 bulan.

Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian


atau seluruhnya, maka kelebihan pembayaran pajak akan dikembalikan dengan
ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling
lama 24 bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan
Banding tersebut.

2.1.18 Hak WP untuk Pengurangan

Selain hak WP untuk mengajukan keberatan terhadap SKP, WP juga dapat


mengajukan pengurangan dalam hal:
1. Kondisi tertentu wajib pajak yang ada hubungannya dengan wajib pajak, yaitu:
2. Wajib pajak orang pribadi yang mempunyai hak baru melalui program
pemerintah di bidang pertanahan dan tidak mempunyai kemampuan secara
ekonomis,
3. Wajib pajak badan yang memperoleh hak baru selain hak pengelolaan dan
telah menguasai tanah dan atau bangunan secara fisik lebih dari 20 tahun yang
dibuktikan dengan pernyataan wajib pajak dan keterangan dari pejabat
pemerintah daerah setempat,
4. Wajib pajak orang pribadi yang menerima hibah dari orang pribadi yang
mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat ke atas atau satu derajat ke bawah,
5. Wajib pajak orang pribadi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan
RS dan RSS yang diperoleh lansung dari pengembang.
6. Kondisi wajib pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu,
yaitu:
7. Wajib pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil
ganti rugi pemerintah yang nilai ganti rugi dibawah nilai jual objek pajak,
8. Wajib pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah
yang dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang memerlukan
persyaratan khusus,
9. Wajib pajak yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang
berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional sehingga wajib pajak
harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai dengan
kebijaksanaan pemerintah,
10. Wajib pajak bank mandiri yang memperoleh hak atas tanah yang berasal dari
bank bumi daya, bank dagang negara, bank pembangunan Indonesia, bank
ekspor impor dalam rangkaian proses penggabungan usaha,
11. Wajib pajak penggabungan usaha atau peleburan usaha dengan atau tanpa
terlebih dahulu mengadakan likuidasi dan telah memperoleh persetujuan nilai
buku dalam rangka penggabungan usaha dari DJP,
12. Wajib pajak yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak
berfungsi lagi seperti semula disebabkan bencana alam atau sebab-sebab
lainnya seperti kebakaran banjir dan tanah longsor paling lama 3 bulan setelah
penandatanganan akta,
13. Wajib pajak orang pribadi veteran, TNI dan pensiunan , janda/dudanya yang
memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan rumah dinas pemerintah,
14. Tanah atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial dan pendidikan yang
semata-mata tidak untuk mencari keuntungan mislanya tanah dan atau
bangunan yang digunakan antara lain untuk panti asuhan.

Pengurangan akan diproses dalam waktu paling lama 3 bulan (apabila proses
dilakukan di KPP Pratama) dan 6 bulan (apabila proses dilakukan di Kantor Pusat
Dirjen Pajak) sejak tanggal diterima permohonan pengurangan BPHTB. Bagi WP
yang memenuhi syarat dapat menghitung sendiri besarnya pengurangan sebelum
melakukan pembayaran BPHTB. Contohnya untuk kasus waris dan hibah wasiat,
dimana pembayaran menggunakan SSB setelah dikurangi dengan pengurangan
dilakukan terlebih dahulu baru pengajukan permohonan pengurangan ke KPP Pratama.

Dalam Surat Setoran Bea diberi tanda “pengurangan dihitung sendiri” dan
jumlah setoran BPHTB setelah pengurangan. Dalam hal ini WP tetap mengajukan
permohonan pengurangan sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Bila
permohonan pengurangannya ditolak/dikabulkan namun dalam pembayaran
BPHTBnya masih kurang bayar maka terhadap WP tersebut akan dikenakan sanksi
bunga sebesar 2% per bulan dari kekurangan bayar tersebut, maksimum 24 bulan.
Terhadap BPHTB kurang bayar (SKBKB) tidak dapat diajukan pengurangan kembali.

2.1.19 Pengembalian Kelebihan Pembayaran

Wajib pajak dapat mengajukan usul permohonan pengembalian atas kelebihan


pembayaran pajak kepada DJP, antara lain berupa:

1. Pajak yang dibayar lebih besar daripada seharusnya terutang,


2. Pajak yang dterutang yang dibayarkan oleh wajib pajak sebelum akta
ditandatangani, namun perolehan hak atas tanah atau bangunan tersebut batal.

Berdasarkan kondisi di atas maka pengembalian kelebihan pembayaran dapat


diberikan karena:

1. Pengajuan permohonan pengurangan yang dikabulkan baik sebagian ataupun


seluruhnya,
2. Pengajuan keberatan atau banding yang dikabulkan baik sebagian atau
seluruhnya, maka jumlah pengembalian akan ditambahkan bunga 2%/bln
maksimal 24 bulan,
3. Pajak yang dibayar lebih besar dari yang seharusnya terutang atau sudah
terlanjur bayar tetapi proses perolehan haknya dibatalkan, maka terlebih
dahulu akan dilakukan dilakukan proses pemeriksaan (Pasal 22) jumlah
pengembalian akan ditambahkan bunga 2%/bln maksimal 24 bulan apabila
pengembalian telah lewat 2 bulan,
4. Perubahan peraturan perundang-udangan.

Pengajuan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak tersebut


diajukan oleh WP ke DirJen Pajak. Kemudian DirJen Pajak dalam jangka waktu paling
lama 12 bulan sejak diterimanya permohonan harus memberikan keputusan. Terhadap
pengembalian pajak tersebut WP dapat melakukan restitusi atau kompensasi.

2.1.20 Kewajiban Ber NPWP dalam proses BPHTB

Sebagai upaya untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam kewajiban


perpajakan maka salah satu upaya yang dilakukan oleh DJP adalah melalui transaksi
jual beli properti. Untuk itu DJP perlu memonitor setiap pemenuhan kewajiban
perpajakan WP yang akan dipantau melalui mekanisme pencantuman NPWP. Dasar
hukum proses ini adalah Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-35/PJ/2008 tanggal 9
September 2008 tentang Kewajiban Pemilikan NPWP Dalam Rangka Pengalihan Hak
Atas Tanah/Bangunan.

Dalam hal ini berarti bahwa baik penjual maupun pembeli wajib memiliki
NPWP kecuali:

• — Bagi pembeli, tidak wajib mencantumkan NPWP jika NJOP atau NPOP di
bawah Rp60.000.000,-
• — Bagi penjual, tidak wajib mencantumkan NPWP jika PPh Final
terutangnya di bawah Rp3.000.000,-.
2.2 Bea Materai

2.2.1 Pengertian Bea Materai


"Bea Materai adalah pajak tidak langsung yang dipungut secara insidentil
(sekali pungut) atas dokumen yang disebut oleh Undang-Undang Bea Materai yang
digunakan masyarakat dalam lalu lintas hukum sehingga dokumen tersebut dapat
digunakan sebagai alat bukti dimuka pengadilan."
Dengan kata lain, Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas pemanfaatan
dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, kwitansi pembayaran, surat berharga,
dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan
ketentuan dan dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.

2.2.2 Dasar Hukum Bea Materai


• Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai
• Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea
Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea
Meterai.
• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2005 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 Tentang Bentuk,
Ukuran, Warna, Dan Desain Meterai Tempel Tahun 2005
• Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133b/KMK.04/2000 tentang Pelunasan
Bea Meterai dengan Menggunakan Cara Lain.
• Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122b/PJ./2000 tentang Tatacara
Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas
dengan Mesin Teraan.
• Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122c/PJ./2000 tentang Tatacara
Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai dengan
Teknologi Percetakan.
• Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122d/PJ./2000 tentang Tatacara
Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai dengan
Sistem Komputerisasi.
• Keputusan Menteri Keuangan Nomor 476/KMK.03/2002 tentang Pelunasan
Bea Meterai dengan Cara Pemeteraian Kemudian.

• Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-02/PJ./2003 tentang Tatacara


Pemeteraian Kemudian.
• Surat Edaran Nomor 29/PJ.5/2000 tentang Dokumen Perbankan yang
dikenakan Bea Meterai.

2.2.3 Obyek Bea Materai

Pada prinsipnya dokumen yang harus dikenakan meterai adalah dokumen


menyatakan nilai nominal sampai jumlah tertentu, dokumen yang bersifat perdata dan
dokumen yang digunakan di muka pengadilan, antara lain :
a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan
sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat
perdata.

b. Akta-akta notaris termasuk salinannya.

c. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk


rangkaprangkapnya.

d. Surat yang memuat jumlah uang yaitu: - yang menyebutkan penerimaan uang;
- yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening
bank;
- yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank
- yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian telah
dilunasi atau diperhitungkan.

e. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep dan cek.

f. Dokumen yang dikenakan Bea Meterai juga terhadap dokumen yang akan
digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan yaitu surat-surat biasa dan
surat-surat kerumahtanggaan, dan surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea
Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan
oleh orang lain, lain dan maksud semula.

2.2.4 Pengecualian Obyek Bea Materai

Secara umum dokumen yang tidak dikenakan bea meterai adalah dokumen yang
berhubungan dengan transaksi intern perusahaan, berkaitan dengan pembayaran
pajak dan dokumen Negara.

Dokumen yang tidak termasuk objek Bea Meterai adalah:

1. Dokumen yang berupa:


- surat penyimpanan barang;
- konosemen;
- surat angkutan penumpang dan barang;
- keterangan pemindahan yang dituliskan diatas dokumen surat penyimpanan
barang, konosemen, dan surat angkutan penumpang dan barang;
- bukti untuk pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
- surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
- surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat di atas.

2. Segala bentuk ijazah

3. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan dan pembayaran lainnya
yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk
mendapatkan pembayaran itu.
4. Tanda bukti penerimaan uang negara dan kas negara, kas pemerintah daerah dan
bank.

5. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat
disamakan dengan itu ke kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.

6. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi.

7. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada


penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang
tersebut

8. Surat gadai yang diberikan oleh Perum Pegadaian.

9. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dan Efek, dengan nama dan bentuk
apapun.

2.2.5 Pengecualian Tidak Dikenakan Pajak Bea Materai


 Apabila suatu dokumen (kecuali cek dan bilyet giro) mempunyai tidak lebih dari
Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), maka atas dokumen tersebut
tidak terutang Bea Meterai.
 Dokumen yang berupa, antara lain: surat penyimpanan barang, konosemen,
surat angkutan penumpang dan barang, bukti pengiriman dan dan penerimaan
barang, surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim,
suratsurat lainnya yang disamakan dengan surat-surat tersebut di atas.
 Segala bentuk Ijasah. Yang termasuk dalam pengertian ini adalah Surat Tanda
Tamat Belajar (STTB), tanda lulus, surat keterangan telah mengikuti suatu
pendidikan, latihan, kursus, dan penataran.
 Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran
lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang
diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu.
 Tanda bukti penerimaan uang negara dari Kas Negara, Kas Pemerintah Daerah,
dan Bank.
 Kuitansi untuk semua jenis pajak dan penerimaan lainnya yang dapat disamakan
dengan itu dari Kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan Bank.
 Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan internal organisasi.
 Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayarn uang tabungan kepada
penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang
tersebut.
 Surat gadai yang diberikan oleh Perum Pegadaian.
 Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam
bentuk apapun.

2.2.6 Subyek Pajak Bea Materai


Subjek Bea Materai adalah pihak yang menerima atau pihak yang mendapat
manfaat dari dokumen, kecuali pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain.

2.2.7 Tarif Pajak Bea Materai

1. Tarif Bea Meterai Rp 6.000,00 untuk dokumen sebagai berikut:

a. Surat Perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk
digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau
keadaan yang bersifat pendata
b. Akta-akta Notaris termasuk salinannya
c. Surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep selama nominalnya lebih
dan
Rp1.000.000,00.;
d. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka
Pengadilan, yaitu:
- surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan.
- surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan
tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh
orang lain selain dan tujuan semula.

2. Untuk dokumen yang menyatakan nominal uang dengan batasan sebagai berikut:

- nominal sampai Rp250.000,- tidak dikenakan Bea Meterai


- nominal antara Rp250.000,- sampai Rp1.000.000,- dikenakan Bea Meterai
Rp3.000,-
- nominal diatas Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 6.000,-

3. Cek dan Bilyet Giro dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,- tanpa
batas pengenaan besarnya harga nominal.

4. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal
sampai dengan Rp1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 3.000,- sedangkan yang
mempunyai harga nominal lebih dari Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp

6.000,-.

5. Sekumpulan Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam
surat kolektif yang mempunyai jumlah harga nominal sampai dengan Rp
1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 3.000,-, sedangkan yang mempunyai harga
nominal lebih dan Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp
6.000,-.

2.2.8 Dasar Pengenaan Pajak Bea Materai

Dasar hukum pengenaan Bea Meterai adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun


1985 atau disebut juga Undang-Undang Bea Meterai. Undang-Undang ini berlaku
sejak tanggal 1 Januari 1986. Selain itu untuk mengatur pelaksanaannya, telah
dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea
Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai.

• Bea Meterai dikenakan atas dokumen (merupakan pajak atas dokumen).


• Satu dokumen hanya terutang satu Bea Meterai.
• Rangkap/tindasan (yang ikut ditandatangani) terutang Bea Meterai sama
dengan aslinya.
2.2.9 Cara Pelunasan Bea Materai

Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 mengatur tata cara pelunasan
bea meterai. Pada dasarnya pelunasan bea meterai dapat ditempuh dengan dua cara
yaitu :

1. Dengan menggunakan benda meterai yaitu meterai tempel dan kertas meterai.
2. Cara pelunasan bea meterai dengan cara lain yang ditetapkan menteri keuangan,
yaitu :
a. Tata Cara Pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan Mesin Teraan
Meterai.
Dasar Hukum :
133b/KMK.04/2000
KEP - 122b/PJ./2000 Jo SE - 07/PJ.5/2001 Jo SE - 28/PJ.5/2001
Pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan Mesin Teraan Meterai
diperbolehkan bagi penerbit dokumen yang melakukan pemeteraian dengan
jumlah rata-rata setiap hari minimal 50 dokumen.
b. Tata Cara Pelunasan Bea Meterai Dengan Teknologi Percetakan Dasar
Hukum :
133b/KMK.04/2000
KEP - 122c/PJ./2000 Jo SE - 04/PJ.5/2001 Jo SE - 28/PJ.5/2001
c. Tata Cara Pelunasan Bea Meterai Dengan
Menggunakan Sistem
Komputerisasi
Dasar Hukum :
133b/KMK.04/2000
KEP - 122d/PJ./2000 Jo SE - 05/PJ.05/2001

2.2.10 Denda Administrasi

Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985

 Dokumen yang terutang bea meterai tetapi bea meterainya tidak atau kurang
dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda sebesar 200% dari bea
meterai yang tidak atau kurang di bayar.
 Pelunasan bea meterai yang terutang berikut dendanya dilakukan dengan cara
pemeteraian kemudian.
DAFTAR PUSTAKA

Prof Dr. Mardiasmo, MBA. Perpajakan. AK Andi. Yogyakarta

http://dispenda.badungkab.go.id/obyek-pajak/pajak-bphtb-bea-perolehan-hak-
atastanah-dan-bangunan/

http://eddiwahyudi.com/perspektif-pajak-sebagai-sarana-pendukungpembangunan/bea-
perolehan-hak-atas-tanah-dan-bangunan-bphtb/

http://jovi-joe.blogspot.com/2012/01/blog-post.html

http://pajaktaxes.blogspot.com/p/bphtb.html

http://pelayanan-pajak.blogspot.com/2009/04/bphtb.html

http://sharing-pajak.blogspot.com/2009/02/pengertian-objek-pajak-dan-
subjekpajak.html

https://sites.google.com/site/referensipajak/Pengertian-Obyek-Subyek-Tarif-
CaraContoh-Menghitung-Pembayaran-Penetapan-Penagihan-Keberatan-Banding-
BeaPerolehan-Hak-Atas-Tanah-Dan-Bangunan-BPHTB
http://www.tarif.depkeu.go.id/Bidang/?bid=pajak&cat=bphtb

Anda mungkin juga menyukai