Untitled
Untitled
Posisi bangunan Masjid Kotegede ini sempat ditinggal pada masa kepemimpinan
Sultan Agung, yang memindahkan ibukota Mataram ke Kerta kemudian penggantinya Sunan
Amangkurat I memindahkan lagi dari Kerto ke Plered tahun 1647 termasuk pendirian Masjid
Agung (Sasongko dkk., 2015: 1). Arsitektur Masjid Kotagede termasuk “masjid demakan”
atau prototipe Masjid Demak (dibangun sekitar abad ke-15) dengan menggunakan atap
tumpang diujungnya terdapat mustaka serta berfungsi masjid makam. Bangunan utama
Masjid Kotagede yang digunakan untuk sembahyang (sholat) seluas 15 x 14 meter, sementara
ukuran mihrabnya 1,5 x 2 x 3 meter yang berfungsi sebagai tempat imam (memimpin sholat).
Kelengkapan lain terdapat mimbar kuno yang berukuran 2 x 1,5 x 2,5 meter yang dipakai
oleh khotib pada saat menyampaikan ceramah atau khutbah (Sasongko dkk., 2015: 10).
Dari waktu ke waktu bangunan Masjid Kotagede yang digerogoti usia dan diusik
cuaca serta terkena bencana (gempa bumi), sehingga mengalami kerapuhan hingga kerusakan
dari segi fisik bangunannya. Oleh karena itu, pada tahun 1850 M, Sunan Paku Buwana IX
memperbaiki bangunan dan penambahan serambi masjid dan Sunan Paku Buwana X
merenovasi Masjid Kotagede pada tahun 1926 M (Suwito dkk., 2015: 85-94). Hingga kini
bangunan Masjid Kotagede berdiri tegak dan terawat dengan baik.