Anda di halaman 1dari 22

TEORI DAN APRESIASI SASTRA ANAK SD

“ANALISIS UNSUR PEMBANGUN PROSA (CERPEN)”


Dosen :
M. Habibi, S.Pd., M.Pd

Oleh:
Kelompok 5
1.Devigra Restu Ananda (22354008)
2.Dhiya Ariandimas (22354009)
3.Laura Dwi Fortuna (22354013)
4.Luthfi Ayunda Andika (22354014)

DEPARTEMEN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI DILUAR KAMPUS UTAMA
SAWAHLUNTO
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2023
FORM PENILAIAN TUGAS ANALISIS UNSUR PEMBANGUN PROSA

Judul Cerpen :’’Banun’’


Kelompok : kelompok 5
Anggota : 1.Devigra Restu Ananda
2. Dhiya Ariandimas
3.Laura Dwi Fortuna
4.Lutfi Ayunda Andika
No Unsur yang Dianalisis Nilai
A. Unsur Intrinsik
1 Tema
2 Tokoh dan Penokohan
3 Alur/Plot
4 Sudut Pandang
5 Latar/Setting
6 Gaya Bahasa
7 Amanat
Skor Analisis Unsur Intrinsik
B. Unsur Ekstrinsik
1 Biografi Pencipta/
2 Psikologi Pengarang
3 Psikologi Pembaca
4 Keadaan Lingkungan Pengarang
5 Nilai Budaya
6 Nilai Sosial
7 Nilai Agama
Skor Analisis Unsur Ekstrinsik
Nilai Analisis Unsur Pembangun Puisi

Dosen
Pengampu,

M. Habibi, S.Pd., M.Pd


NIP. 199110102022031014
BUKTI DOKUMENTASI PENGERJAAN TUGAS SECARA KELOMPOK

No Foto Deskripsi
1 Pencarian judul analisis prosa
(cerpen)
Banun
Bila ada yang bertanya, siapa makhluk paling kikir di kampung itu, tidak akan ada yang
menyanggah bahwa perempuan ringkih yang punggungnya telah melengkung serupa sabut
kelapa itulah jawabannya. Semula ia hanya dipanggil Banun. Namun, lantaran sifat kikirnya dari
tahun ke tahun semakin mengakar, pada sebuah pergunjingan yang penuh dengan kedengkian,
seseorang menambahkan kata ”kikir” di belakang nama ringkas itu, hingga ia ternobat sebagai
Banun Kikir. Konon, hingga riwayat ini disiarkan, belum ada yang sanggup menumbangkan
rekor kekikiran Banun.
Ada banyak Banun di perkampungan lereng bukit yang sejak dulu tanahnya subur hingga
tersohor sebagai daerah penghasil padi kwalitet nomor satu itu. Pertama, Banun dukun patah-
tulang yang dangau usangnya kerap didatangi laki-laki pekerja keras bila pinggang atau pangkal
lengannya terkilir akibat terlampau bergairah mengayun cangkul. Disebut-sebut, kemampuan
turun-temurun Banun ini tak hanya ampuh mengobati patah-tulang orang-orang tani, tapi juga
bisa mempertautkan kembali lutut kuda yang retak, akibat bendi yang dihelanya terguling
lantaran sarat muatan. Kedua, Banun dukun beranak yang kehandalannya lebih dipercayai
ketimbang bidan desa yang belum apa-apa sudah angkat tangan, lalu menyarankan pasien
buntingnya bersalin di rumah sakit kabupaten. Sedemikian mumpuninya kemampuan Banun
kedua ini, bidan desa merasa lebih banyak menimba pengalaman dari dukun itu ketimbang dari
buku-buku semasa di akademi. Ketiga, Banun tukang lemang yang hanya akan tampak sibuk
pada hari Selasa dan Sabtu, hari berburu yang nyaris tak sekali pun dilewatkan oleh para
penggila buru babi dari berbagai pelosok. Di hutan mana para pemburu melepas anjing, di sana
pasti tegak lapak lemang-tapai milik Banun. Berburu seolah tidak afdol tanpa lemang-tapai
bikinan Banun, yang hingga kini belum terungkap rahasianya. Tapi, hanya ada satu Banun Kikir
yang karena riwayat kekikirannya begitu menakjubkan, tanpa mengurangi rasa hormat pada
Banun-banun yang lain, sepatutnyalah ia menjadi lakon dalam cerita ini.
Di sepanjang usianya, Banun Kikir tak pernah membeli minyak tanah untuk mengasapi
dapur keluarganya. Perempuan itu menanak nasi dengan cara menyorongkan seikat daun kelapa
kering ke dalam tungku, dan setelah api menyala, lekas disorongkannya pula beberapa keping
kayu bakar yang selalu tersedia di bawah lumbungnya. Saban petang, selepas bergelimang
lumpur sawah, daun-daun kelapa kering itu dipikulnya dari kebun yang sejak lama telah
digarapnya. Mungkin sudah tak terhitung berapa jumlah simpanan Banun selama ia menahan diri
untuk tidak membeli minyak tanah guna menyalakan tungku. Sebab, daun-daun kelapa kering di
kebunnya tiada bakal pernah berhenti berjatuhan.
“Hasil sawah yang tak seberapa itu hendak dibawa mati, Mak?” tanya Rimah suatu ketika.
Kuping anak gadis Banun itu panas karena gunjing perihal Banun Kikir tiada kunjung reda.
“Mak tak hanya kikir pada orang lain, tapi juga kikir pada perut sendiri,” gerutu Nami, anak
kedua Banun.

“Tak usah hiraukan gunjingan orang! Kalau benar apa yang mereka tuduhkan, kalian tak bakal
mengenyam bangku sekolah, dan seumur-umur akan jadi orang tani,” bentak Banun.
“Sebagai anak yang lahir dari rahim orang tani, semestinya kalian paham bagaimana tabiat petani
sejati.”
Sejak itulah Banun menyingkapkan rahasia hidupnya pada anak-anaknya, termasuk pada
Rimah, anak bungsunya itu. Ia menjelaskan kata “tani” sebagai penyempitan dari ‘tahini”, yang
bila diterjemahkan ke dalam bahasa orang kini berarti: ”menahan diri”. Menahan diri untuk tidak
membeli segala sesuatu yang dapat diperoleh dengan cara bercocok tanam. Sebutlah misalnya,
sayur-mayur, cabai, bawang, seledri, kunyit, lengkuas, jahe. Di sepanjang riwayatnya dalam
menyelenggarakan hidup, orang tani hanya akan membeli garam. Minyak goreng sekalipun,
sedapat-dapatnya dibikin sendiri. Begitu ajaran mendiang suami Banun, yang meninggalkan
perempuan itu ketika anak-anaknya belum bisa mengelap ingus sendiri. Semakin banyak yang
dapat “ditahani” Banun, semakin kokoh ia berdiri sebagai orang tani.
Maka, selepas kesibukannya menanam, menyiangi, dan menuai padi di sawah milik
sendiri, dengan segenap tenaga yang tersisa, Banun menghijaukan pekarangan dengan
bermacam-ragam sayuran, cabai, seledri, bawang, lengkuas, jahe, kunyit, gardamunggu, jeruk
nipis, hingga semua kebutuhannya untuk memasak tersedia hanya beberapa jengkal dari sudut
dapurnya. Bila semua kebutuhan memasak harus dibeli Banun dengan penghasilannya sebagai
petani padi, tentu akan jauh dari memadai. Bagi Banun, segala sesuatu yang dapat tumbuh di atas
tanahnya, lagi pula apa yang tak bisa tumbuh di tanah kampung itu akan ditanamnya, agar ia
selalu terhindar dari keharusan membeli. Dengan begitu, penghasilan dari panen padi, kelak
bakal terkumpul, guna membeli lahan sawah yang lebih luas lagi. Dan, setelah bertahun-tahun
menjadi orang tani, tengoklah keluarga Banun kini. Hampir separuh dari lahan sawah yang
terbentang di wilayah kampung tempat ia lahir dan dibesarkan, telah jatuh ke tangannya. Orang-
orang menyebutnya tuan tanah, yang seolah tidak pernah kehabisan uang guna meladeni mereka
yang terdesak keperluan biaya sekolah anak-anak. Tak jarang pula untuk biaya keberangkatan
anak-anak gadis mereka ke luar negeri, untuk menjadi TKW, lalu menggadai, bahkan menjual
lahan sawah. Empat orang anak Banun telah disarjanakan dengan kucuran peluhnya selama
menjadi orang tani.
Sesungguhnya Banun tidak lupa pada orang yang pertama kali menjulukinya Banun Kikir
hingga nama buruk itu melekat sampai umurnya hampir berkepala tujuh. Orang itu tidak lain
adalah Palar, laki-laki ahli waris tunggal kekayaan ibu-bapaknya. Namun, karena tak terbiasa
berkubang lumpur sawah, Palar tak pernah sanggup menjalankan lelaku orang tani. Untuk
sekebat sayur Kangkung pun, Zubaidah (istri Palar), harus berbelanja ke pasar. Pekarangan
rumahnya gersang. Kolamnya kering. Bahkan sebatang pohon Singkong pun menjadi tumbuhan
langka. Selama masih tersedia di pasar, kenapa harus ditanam? Begitu kira-kira prinsip hidup
Palar. Baginya, bercocok tanam aneka tumbuhan untuk kebutuhan makan sehari-hari, hanya akan
membuat pekerjaan di sawah jadi terbengkalai. Lagi pula, bukankah ada tauke yang selalu
berkenan memberi pinjaman, selama orang tani masih mau menyemai benih? Namun, tauke-
tauke yang selalu bermurah-hati itu, bahkan sebelum sawah digarap, akan mematok harga jual
padi seenak perutnya, dan para petani tidak berkutik dibuatnya. Perangai lintah darat itu sudah
merajalela, bahkan sejak Banun belum mahir menyemai benih. Palar salah satu korbannya. Dua
pertiga lahan sawah yang diwarisinya telah berpindah tangan pada seorang tauke, lantaran dari
musim ke musim hasil panennya merosot. Palar juga terpaksa melego beberapa petak sawah
guna membiayai kuliah Rustam, anak laki-laki satu-satunya, yang kelak bakal menyandang gelar
insinyur pertanian. Dalam belitan hutang yang entah kapan bakal terlunasi, Palar mendatangi
rumah Banun, hendak meminang Rimah untuk Rustam.
“Karena kita sama-sama orang tani, bagaimana kalau Rimah kita nikahkan dengan Rustam?”
bujuk Palar masa itu.
“Pinanganmu terlambat. Rimah sudah punya calon suami,” balas Banun dengan sorot mata sinis.
“Keluargamu beruntung bila menerima Rustam. Ia akan menjadi satu-satunya insinyur pertanian
di kampung ini, dan hendak menerapkan cara bertani zaman kini, hingga orang-orang tani tidak
lagi terpuruk dalam kesusahan,” ungkap Palar sebelum meninggalkan rumah Banun.
“Maafkan saya, Palar.”
Rupanya penolakan Banun telah menyinggung perasaan Palar. Lelaki itu merasa terhina.
Mentang-mentang sudah kaya, Banun mentah-mentah menolak pinangannya. Dan, yang lebih
menyakitkan, ini bukan penolakan yang pertama. Tiga bulan setelah suami Banun meninggal,
Palar menyampaikan niatnya hendak mempersunting janda kembang itu. Tapi, Banun bertekad
akan membesarkan anak-anaknya tanpa suami baru. Itu sebabnya Palar menggunakan segala
siasat dan muslihat agar Banun termaklumatkan sebagai perempuan paling kikir di kampung itu.
Palar hendak membuat Banun menanggung malu, bila perlu sampai ajal datang menjemputnya.
Meski kini sudah zaman gas elpiji, Banun masih mengasapi dapur dengan daun kelapa kering
dan kayu bakar, hingga ia masih menyandang julukan si Banun Kikir. ”Nasi tak terasa sebagai
nasi bila dimasak dengan elpiji,” kilah Banun saat menolak tawaran Rimah yang hendak
membelikannya kompor gas. Rimah sudah hidup berkecukupan bersama suaminya yang bekerja
sebagai guru di ibu kota kabupaten. Begitu pula dengan Nami dan dua anak Banun yang lain.
Sejak menikah, mereka tinggal di rumah masing-masing. Setiap Jumat, Banun datang
berkunjung, menjenguk cucu, secara bergiliran.
“Kalau Mak menerima pinangan Rustam, tentu julukan buruk itu tak pernah ada,” sesal Rimah
suatu hari.
“Masa itu kenapa Mak mengatakan bahwa aku sudah punya calon suami, padahal belum,
bukan?”
“Bukankah calon menantu Mak calon insinyur?”
“Tak usah kau ungkit-ungkit lagi cerita lama. Mungkin Rustam bukan jodohmu!” sela Banun.
“Tapi seandainya kami berjodoh, Mak tak akan dinamai Banun Kikir!”
Sesaat Banun diam. Tanya-tanya nyinyir Rimah mengingatkan ia pada Palar yang begitu bangga
punya anak bertitel insinyur pertanian, yang katanya dapat melipatgandakan hasil panen dengan
mengajarkan teori-teori pertanian. Tapi, bagaimana mungkin Rustam akan memberi contoh cara
bertani modern, sementara sawahnya sudah ludes terjual? Kalau memang benar Palar orang tani
yang sesungguhnya, ia tidak akan gampang menjual lahan sawah, meski untuk mencetak
insinyur pertanian yang dibanggakannya itu. Apalah guna insinyur pertanian bila tidak
mengamalkan laku orang tani? Banun menolak pinangan itu bukan karena Palar sedang terbelit
hutang, tidak pula karena ia sudah jadi tuan tanah, tapi karena perangai buruk Palar yang
dianggapnya sebagai penghinaan pada jalan hidup orang tani.

1. UNSUR INTRINSIK PROSA (CERPEN)

a. Tema
Tema dalam cerpen “Banun” karya Damhuri Muhammad disini diceritakan
bahwa seorang tua bangka yang bernama Banun dengan kegigihannya dalam bertani
yang mampu menghidupi anak – anaknya dengan hanya menyandang profesi sebagai
petani, akan tetapi anak dan orang di kampungnya sering kali menyebutnya dengan
seorang Banun yang kikir,karena kehematannya di zaman yang mulai canggih
tersebut, ia sering kali di fitnah orang yang kikir konon, ia lebih memilih untuk tidak
memakai peralatan yang modern, ia memilih untuk masih menggunakan peralatan
yang masih layak pakai, karena itulah ia disebutkan orang kampung dengan manusia
terkikir di kampung tersebut,padahal ia hanya teguh pendirian tentang kehematan
yang harus ia terapkan dalam hidupnya. Dengan pikiran seperti itu tidak ada satupun
manusia mau bergaul dengan Banun, karena pemikiran orang dikampung nya yang
menganggap prinsip hidup Banun yang jauh berbeda dengan orang – orang .

b. Tokoh dan Penokohan


1) Banun
a) Teguh Pendirian
- “Tak usah hiraukan gunjingan orang! Kalau benar apa yang mereka tuduhkan,
kalian tak bakal mengenyam bangku sekolah, dan seumur-umur akan jadi orang
tani,” bentak Banun.”Sebagai anak yang lahir dari rahim orang tani, semestinya
kalian pahambagaimana tabiat petani sejati.”
b) Hemat
- Menahan diri untuk tidak membeli segala sesuatu yang dapat diperoleh dengan
cara bercocok tanam. Sebutlah misalnya, sayur-mayur, cabai, bawang, seledri,
kunyit, lengkuas, jahe. Di sepanjang riwayatnya dalam menyelenggarakan hidup,
orang tani hanya akan membeli garam. Minyak goreng sekalipun, sedapat -
dapatnya dibikin sendiri.
- Lagi pula apa yang tak bisa tumbuh di tanah kampung itu akan ditanamnya,
agar ia selalu terhindar dari keharusan membeli. Dengan begitu, penghasilan dari
panen padi, kelak bakal terkumpul, guna membeli lahan sawah yang lebih luas
lagi.
c) Pekerja keras.
- Maka, selepas kesibukannya menanam, menyiangi, dan menuai padi di sawah
milik sendiri, dengan segenap tenaga yang tersisa, Banun menghijaukan
pekarangan dengan bermacam-ragam sayuran, cabai, seledri, bawang, lengkuas,
jahe, kunyit, gardamunggu, jeruk nipis, hingga semua kebutuhannya untuk
memasak tersedia hanya beberapa jengkal dari sudut dapurnya.
- Tak jarang pula untuk biaya keberangkatan anak-anak gadis mereka ke luar
negeri, untuk menjadi TKW, lalu menggadai, bahkan menjual lahan sawah.
Empat orang anak Banun telah disarjanakan dengan kucuran peluhnya selama
menjadi orang tani.
d) Angkuh
- “Pinanganmu terlambat. Rimah sudah punya calon suami,” balas Banun dengan
sorot mata sinis”.
- “Apalah guna insinyur pertanian bila tidak mengamalkan laku orang tani?
Banun menolak pinangan itu bukan karena Palar sedang terbelit hutang, tidak pula
karena ia sudah jadi tuan tanah”.

2) Nami.

a)Pembantah

- “Mak tak hanya kikir pada orang lain, tapi juga kikir pada perut sendiri”
3) Rima

a) Pembantah

- “Hasil sawah yang tak seberapa itu hendak dibawa mati, Mak?”

- “Kalau Mak menerima pinangan Rustam, tentu julukan buruk itu tak pernah
ada,”

- “Bukankah calon menantu Mak calon insinyur?”

4)Palar

a) Pemalas

- “Namun, karena tak terbiasa berkubang lumpur sawah, Palar tak pernah
sanggup menjalankan lelaku orang tani. Untuk sekebat sayur Kangkung pun,
Zubaidah (istri Palar), harus berbelanja ke pasar. Pekarangan rumahnya gersang.
Kolamnya kering. Bahkan sebatang pohon singkong pun menjadi tumbuhan
langka. Selama masih tersedia di pasar, kenapa harus ditanam? Begitu kira-kira
prinsip hidup Palar”.

- “Baginya, bercocok tanam aneka tumbuhan untuk kebutuhan makan sehari-


hari, hanya akan membuat pekerjaan di sawah jadi terbengkalai. Lagi pula,
bukankah ada tauke yang selalu berkenan memberi pinjaman”.

b) Pendendam

- “Mentang-mentang sudah kaya, Banun mentah-mentah menolak pinangannya.


Dan, yang lebih menyakitkan, ini bukan penolakan yang pertama”.

- “Itu sebabnya Palar menggunakan segala siasat dan muslihat agar Banun
termaklumatkan sebagai perempuan paling kikir di kampung itu. Palar hendak
membuat Banun menanggung malu, bila perlu sampai ajal datang
menjemputnya”.

C. Alur
Menggunakan alur campuran, karena menceritakan kehidupan tokoh dari
awal hingga akhir cerita , kemudian beberapa kali ditampilkan beberapa flashback
yang menjelaskan latar belakang cerita .

1) Pengenalan Cerita

Awal cerita yang menceritakan seorang tua bangka yang bernama Banun
yang hidup di sebuah perkampungan, menjelaskan bagaimana seorang Banun
yang terkenal kikir oleh semua orang dikampung tersebut karena ia menerapkan
prinsip hemat dalam hidupnya.

Bukti:

Bila ada yang bertanya, siapa makhluk paling kikir di kampung itu, tidak
akan ada yang menyanggah bahwa perempuan ringkih yang punggungnya telah
melengkung serupa sabut kelapa itulah jawabannya. Semula ia hanya dipanggil
Banun. Namun, lantaran sifat kikirnya dari tahun ke tahun semakin mengakar,
pada sebuah pergunjingan yang penuh dengan kedengkian, seseorang
menambahkan kata ”kikir” di belakang nama ringkas itu, hingga ia ternobat
sebagai Banun Kikir. Konon, hingga riwayat ini disiarkan, belum ada yang
sanggup menumbangkan rekor kekikiran Banun.

Ada banyak Banun di perkampungan lereng bukit yang sejak dulu


tanahnya subur hingga tersohor sebagai daerah penghasil padi kwalitet nomor satu
itu. Pertama, Banun dukun patah-tulang yang dangau usangnya kerap didatangi
laki-laki pekerja keras bila pinggang atau pangkal lengannya terkilir akibat
terlampau bergairah mengayun cangkul. Disebut-sebut, kemampuan turun-
temurun Banun ini tak hanya ampuh mengobati patah-tulang orang-orang tani,
tapi juga bisa mempertautkan kembali lutut kuda yang retak, akibat bendi yang
dihelanya terguling lantaran sarat muatan. Kedua, Banun dukun beranak yang
kehandalannya lebih dipercayai ketimbang bidan desa yang belum apa-apa sudah
angkat tangan, lalu menyarankan pasien buntingnya bersalin di rumah sakit
kabupaten. Sedemikian mumpuninya kemampuan Banun kedua ini, bidan desa
merasa lebih banyak menimba pengalaman dari dukun itu ketimbang dari buku-
buku semasa di akademi. Ketiga, Banun tukang lemang yang hanya akan tampak
sibuk pada hari Selasa dan Sabtu, hari berburu yang nyaris tak sekali pun
dilewatkan oleh para penggila buru babi dari berbagai pelosok. Di hutan mana
para pemburu melepas anjing, di sana pasti tegak lapak lemang-tapai milik
Banun. Berburu seolah tidak afdol tanpa lemang-tapai bikinan Banun, yang
hingga kini belum terungkap rahasianya.
Di sepanjang usianya, Banun Kikir tak pernah membeli minyak tanah
untuk mengasapi dapur keluarganya. Perempuan itu menanak nasi dengan cara
menyorongkan seikat daun kelapa kering ke dalam tungku, dan setelah api
menyala, lekas disorongkannya pula beberapa keping kayu bakar yang selalu
tersedia di bawah lumbungnya. Saban petang, selepas bergelimang lumpur sawah,
daun-daun kelapa kering itu dipikulnya dari kebun yang sejak lama telah
digarapnya. Mungkin sudah tak terhitung berapa jumlah simpanan Banun selama
ia menahan diri untuk tidak membeli minyak tanah guna menyalakan tungku.
Sebab, daun-daun kelapa kering di kebunnya tiada bakal pernah berhenti
berjatuhan.
2) Awal Konflik

Awal mula terjadinya konflik yang diceritakakan dalam cerita ini karena
ulah kedua anak nya Banun yang membantah Banun karena mereka juga tidak
suka dengan Banun yang terlalu hemat itu, bukan hanya anaknya bahkan orang
sekampung meledek keluarga Banun, kemudian anak-anaknya merasa malu dan
mencoba menggoyahkan keteguhan Banun, akan tetapi Banun tidak
menghiraukan dan bahkan balik mempertegas ucapan anaknya.

Bukti :
“Hasil sawah yang tak seberapa itu hendak dibawa mati, Mak?” tanya Rimah
suatu ketika. Kuping anak gadis Banun itu panas karena gunjing perihal Banun
Kikir tiada kunjung reda.
“Mak tak hanya kikir pada orang lain, tapi juga kikir pada perut sendiri,” gerutu
Nami, anak kedua Banun.
“Tak usah hiraukan gunjingan orang! Kalau benar apa yang mereka tuduhkan,
kalian tak bakal mengenyam bangku sekolah, dan seumur-umur akan jadi orang
tani,” bentak Banun.
“Sebagai anak yang lahir dari rahim orang tani, semestinya kalian paham
bagaimana tabiat petani sejati.”
Sejak itulah Banun menyingkapkan rahasia hidupnya pada anak-anaknya,
termasuk pada Rimah, anak bungsunya itu. Ia menjelaskan kata ”tani” sebagai
penyempitan dari ”tahani”, yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa orang kini
berarti: ”menahan diri”. Menahan diri untuk tidak membeli segala sesuatu yang
dapat diperoleh dengan cara bercocok tanam. Sebutlah misalnya, sayur-mayur,
cabai, bawang, seledri, kunyit, lengkuas, jahe. Di sepanjang riwayatnya dalam
menyelenggarakan hidup, orang tani hanya akan membeli garam. Minyak goreng
sekalipun, sedapat-dapatnya dibikin sendiri. Begitu ajaran mendiang suami
Banun, yang meninggalkan perempuan itu ketika anak-anaknya belum bisa
mengelap ingus sendiri. Semakin banyak yang dapat ”ditahani” Banun, semakin
kokoh ia berdiri sebagai orang tani.
3) Pengenalan Cerita
Karena cerita nya menggunakan alur campuran , maka kita tidak dapat
menentukan alur nya seperti alur maju dan mundur , alur campuran tersebut tidak
menentu ,misalnya diawal menceritakan tentang tokoh kemudian konflik dan
bisa di flashback menceritakan atau melanjutkan biografi si tokoh.
Bukti:
Sejak itulah Banun menyingkapkan rahasia hidupnya pada anak-anaknya,
termasuk pada Rimah, anak bungsunya itu. Ia menjelaskan kata ”tani” sebagai
penyempitan dari ”tahani”, yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa orang kini
berarti: ”menahan diri”. Menahan diri untuk tidak membeli segala sesuatu yang
dapat diperoleh dengan cara bercocok tanam. Sebutlah misalnya, sayur-mayur,
cabai, bawang, seledri, kunyit, lengkuas, jahe. Di sepanjang riwayatnya dalam
menyelenggarakan hidup, orang tani hanya akan membeli garam. Minyak goreng
sekalipun, sedapat-dapatnya dibikin sendiri. Begitu ajaran mendiang suami
Banun, yang meninggalkan perempuan itu ketika anak-anaknya belum bisa
mengelap ingus sendiri. Semakin banyak yang dapat ”ditahani” Banun, semakin
kokoh ia berdiri sebagai orang tani.
Maka, selepas kesibukannya menanam, menyiangi, dan menuai padi di
sawah milik sendiri, dengan segenap tenaga yang tersisa, Banun menghijaukan
pekarangan dengan bermacam-ragam sayuran, cabai, seledri, bawang, lengkuas,
jahe, kunyit, gardamunggu, jeruk nipis, hingga semua kebutuhannya untuk
memasak tersedia hanya beberapa jengkal dari sudut dapurnya. Bila semua
kebutuhan memasak harus dibeli Banun dengan penghasilannya sebagai petani
padi, tentu akan jauh dari memadai. Bagi Banun, segala sesuatu yang dapat
tumbuh di atas tanahnya, lagi pula apa yang tak bisa tumbuh di tanah kampung itu
akan ditanamnya, agar ia selalu terhindar dari keharusan membeli. Dengan begitu,
penghasilan dari panen padi, kelak bakal terkumpul, guna membeli lahan sawah
yang lebih luas lagi. Dan, setelah bertahun-tahun menjadi orang tani, tengoklah
keluarga Banun kini. Hampir separuh dari lahan sawah yang terbentang di
wilayah kampung tempat ia lahir dan dibesarkan, telah jatuh ke tangannya.
Orang-orang menyebutnya tuan tanah, yang seolah tidak pernah kehabisan uang
guna meladeni mereka yang terdesak keperluan biaya sekolah anak-anak. Tak
jarang pula untuk biaya keberangkatan anak-anak gadis mereka ke luar negeri,
untuk menjadi TKW, lalu menggadai, bahkan menjual lahan sawah. Empat orang
anak Banun telah disarjanakan dengan kucuran peluhnya selama menjadi orang
tani.

3) Awal konflik

Kembali lagi diceritakan awal mula konflik yang terjadi pada cerita
Banun, yakni antara Banun dengan Palar.

Bukti:
“Sesungguhnya Banun tidak lupa pada orang yang pertama kali menjulukinya
Banun Kikir hingga nama buruk itu melekat sampai umurnya hampir berkepala
tujuh. Orang itu tidak lain adalah Palar, laki-laki ahli waris tunggal kekayaan ibu-
bapaknya. Namun, karena tak terbiasa berkubang lumpur sawah, Palar tak pernah
sanggup menjalankan lelaku orang tani. Untuk sekebat sayur Kangkung pun,
Zubaidah (istri Palar), harus berbelanja ke pasar. Pekarangan rumahnya gersang.
Kolamnya kering. Bahkan sebatang pohon Singkong pun menjadi tumbuhan
langka. Selama masih tersedia di pasar, kenapa harus ditanam? Begitu kira-kira
prinsip hidup Palar. Baginya, bercocok tanam aneka tumbuhan untuk kebutuhan
makan sehari-hari, hanya akan membuat pekerjaan di sawah jadi terbengkalai.
Lagi pula, bukankah ada tauke yang selalu berkenan memberi pinjaman, selama
orang tani masih mau menyemai benih? Namun, tauke-tauke yang selalu
bermurah-hati itu, bahkan sebelum sawah digarap, akan mematok harga jual padi
seenak perutnya, dan para petani tidak berkutik dibuatnya. Perangai lintah darat
itu sudah merajalela, bahkan sejak Banun belum mahir menyemai benih. Palar
salah satu korbannya. Dua pertiga lahan sawah yang diwarisinya telah berpindah
tangan pada seorang tauke, lantaran dari musim ke musim hasil panennya
merosot. Palar juga terpaksa melego beberapa petak sawah guna membiayai
kuliah Rustam, anak laki-laki satu-satunya, yang kelak bakal menyandang gelar
insinyur pertanian. Dalam belitan hutang yang entah kapan bakal terlunasi, Palar
mendatangi rumah Banun, hendak meminang Rimah untuk Rustam”.

4) Konflik Klimaks /Puncak Masalah

Diceritakan Kembali puncak masalah antara Banun dengan Palar yang


hendak menjodohkan anak nya dengan Rima anaknya Banun, akan tetapi dengan
bohongnya Banun mengatakan anaknya telah mempunyai calon suami, karena ia
tidak ingin berbesan dengan Palar.

Bukti:
“Karena kita sama-sama orang tani, bagaimana kalau Rimah kita nikahkan
dengan Rustam?” bujuk Palar masa itu.
“Pinanganmu terlambat. Rimah sudah punya calon suami,” balas Banun dengan
sorot mata sinis.
“Keluargamu beruntung bila menerima Rustam. Ia akan menjadi satu-satunya
insinyur pertanian di kampung ini, dan hendak menerapkan cara bertani zaman
kini, hingga orang-orang tani tidak lagi terpuruk dalam kesusahan,” ungkap Palar
sebelum meninggalkan rumah Banun.
“Maafkan saya, Palar.”
Rupanya penolakan Banun telah menyinggung perasaan Palar. Lelaki itu
merasa terhina. Mentang-mentang sudah kaya, Banun mentah-mentah menolak
pinangannya. Dan, yang lebih menyakitkan, ini bukan penolakan yang pertama.
Tiga bulan setelah suami Banun meninggal, Palar menyampaikan niatnya hendak
mempersunting janda kembang itu. Tapi, Banun bertekad akan membesarkan
anak-anaknya tanpa suami baru. Itu sebabnya Palar menggunakan segala siasat
dan muslihat agar Banun termaklumatkan sebagai perempuan paling kikir di
kampung itu. Palar hendak membuat Banun menanggung malu, bila perlu sampai
ajal datang menjemputnya.

5) Penyelesaian/Ending.

Di cerita ini ending nya berawal dari biografi Banun Kembali, kemudian
konflik lagi antara Banun dan anaknya yang menyesali Banun yang tidak mau
menjodohkan anaknya Rima dengan anaknya si Palar, karena Banun yang
mengetahui siapa Palar sebenarnya.

Bukti:
“Meski kini sudah zaman gas elpiji, Banun masih mengasapi dapur dengan daun
kelapa kering dan kayu bakar, hingga ia masih menyandang julukan si Banun
Kikir. “Nasi tak terasa sebagai nasi bila dimasak dengan elpiji,” kilah Banun saat
menolak tawaran Rimah yang hendak membelikannya kompor gas. Rimah sudah
hidup berkecukupan bersama suaminya yang bekerja sebagai guru di ibu kota
kabupaten. Begitu pula dengan Nami dan dua anak Banun yang lain. Sejak
menikah, mereka tinggal di rumah masing-masing. Setiap Jumat, Banun datang
berkunjung, menjenguk cucu, secara bergiliran.
”Kalau Mak menerima pinangan Rustam, tentu julukan buruk itu tak pernah ada,”
sesal Rimah suatu hari.
“Masa itu kenapa Mak mengatakan bahwa aku sudah punya calon suami, padahal
belum, bukan?”
“Bukankah calon menantu Mak calon insinyur?”
“Tak usah kau ungkit-ungkit lagi cerita lama. Mungkin Rustam bukan jodohmu!”
sela Banun.
“Tapi seandainya kami berjodoh, Mak tak akan dinamai Banun Kikir!”
Sesaat Banun diam. Tanya-tanya nyinyir Rimah mengingatkan ia pada
Palar yang begitu bangga punya anak bertitel insinyur pertanian, yang katanya
dapat melipatgandakan hasil panen dengan mengajarkan teori-teori pertanian.
Tapi, bagaimana mungkin Rustam akan memberi contoh cara bertani modern,
sementara sawahnya sudah ludes terjual? Kalau memang benar Palar orang tani
yang sesungguhnya, ia tidak akan gampang menjual lahan sawah, meski untuk
mencetak insinyur pertanian yang dibanggakannya itu. Apalah guna insinyur
pertanian bila tidak mengamalkan laku orang tani? Banun menolak pinangan itu
bukan karena Palar sedang terbelit hutang, tidak pula karena ia sudah jadi tuan
tanah, tapi karena perangai buruk Palar yang dianggapnya sebagai penghinaan
pada jalan hidup orang tani”.

d) Sudut Pandang
Pada cerpen Banun menggunakan sudut pandang orang ketiga yakni
penggunaan nama yang sering digunakan pengarang dalam menceritakan tokoh
utama nya yaitu Banun.

Seperti tampak pada kutipan dibawah ini :


Bila ada yang bertanya, siapa makhluk paling kikir di kampung itu, tidak
akan ada yang menyanggah bahwa perempuan ringkih yang punggungnya telah
melengkung serupa sabut kelapa itulah jawabannya. Semula ia hanya dipanggil
Banun. Namun, lantaran sifat kikirnya dari tahun ke tahun semakin mengakar,
pada sebuah pergunjingan yang penuh dengan kedengkian, seseorang
menambahkan kata “kikir” di belakang nama ringkas itu, hingga ia ternobat
sebagai Banun Kikir. Konon, hingga riwayat ini disiarkan, belum ada yang
sanggup menumbangkan rekor kekikiran Banun.

Berdasarkan kutipan diatas dapat diketahui bahwa membawakan sudut


pandang ketiga ,karena pengarang atau penulis banyak menggunakan nama orang
yakni Banun sebagai tokoh utama.

e) Latar
1) Latar Tempat

- Di sebuah perkampungan

Bukti:

“Siapa makhluk paling kikir di kampung itu, tidak akan ada yang menyanggah
bahwa perempuan ringkih yang punggungnya telah melengkung serupa sabut
kelapa itulah jawabannya. Semula ia hanya dipanggil Banun”.

- Dirumah Banun

Bukti :
“Keluargamu beruntung bila menerima Rustam. Ia akan menjadi satu-satunya
insinyur pertanian di kampung ini, dan hendak menerapkan cara bertani zaman
kini, hingga orang-orang tani tidak lagi terpuruk dalam kesusahan,” ungkap Palar
sebelum meninggalkan rumah Banun.
- Perkarangan kebun Banun

Bukti:

“Banun menghijaukan pekarangan dengan bermacam-ragam sayuran, cabai,


seledri, bawang, lengkuas, jahe, kunyit, gardamunggu, jeruk nipis, hingga semua
kebutuhannya untuk memasak tersedia hanya beberapa jengkal dari sudut
dapurnya’’.

2) Latar waktu

- siang jumat

Bukti:
“Setiap Jumat, Banun datang berkunjung, menjenguk cucu, secara bergiliran”

3) Latar Suasana

-tegang

Bukti:
“Karena kita sama-sama orang tani, bagaimana kalau Rimah kita nikahkan
dengan Rustam?” bujuk Palar masa itu.
“Pinanganmu terlambat. Rimah sudah punya calon suami,” balas Banun dengan
sorot mata sinis.
“Keluargamu beruntung bila menerima Rustam. Ia akan menjadi satu-satunya
insinyur pertanian di kampung ini, dan hendak menerapkan cara bertani zaman
kini,hingga orang-orang tani tidak lagi terpuruk dalam kesusahan,” ungkap Palar
sebelum meninggalkan rumah Banun”.

f. Gaya Bahasa
Jika ada yang bertanya siapa makhluk paling kikir di desa itu, tidak akan
ada yang membantah bahwa perempuan ringkih dengan punggung bungkuk
seperti sabut kelapa adalah jawabannya. Menyembunyikannya) dari tahun ke
tahun (idiom, yaitu penegasan idiom dengan mengungkapkan beberapa hal secara
berurutan dengan rangkaian kata yang masih puncaknya).
Sifat kikirnya semakin kokoh setiap tahun. (Maya berlebihan adalah ucapan
berlebihan di mana kesengsaraan berakar)
Namun, hingga berita ini diterbitkan, tidak ada yang bisa mempengaruhi catatan
kesulitan Banun. (gambar jeda tuturan, yaitu tuturan afirmatif yang menggunakan
kata atau frasa yang disisipkan di antara kalimat utama untuk menjelaskan dan
menegaskan kalimat sebelumnya).
Dukun rusak yang gubuk tuanya sering dikunjungi oleh orang-orang yang rajin.
(Idiom trope adalah idiom komparatif yang menggambarkan sesuatu dengan
membandingkan suatu karya atau tindakan dengan kata lain yang memiliki arti
yang sama). 
Banun Kikir tidak pernah membeli minyak tanah untuk mengisi bahan bakar
dapur keluarganya seumur hidupnya. (Majas allusio adalah idiom yang
menggunakan peribahasa, kata-kata yang maknanya diketahui masyarakat).
Perempuan itu memasak nasi dengan memasukkan daun kelapa kering ke dalam
oven, dan ketika api sudah menyala, dia segera mendorong kayu bakar yang
selalu tersedia di bawah lumbung.
Cabe, bawang merah, seledri, kunyit, lengkuas...(Idiom terjemahan, yaitu cara
bicara afirmatif yang menyebutkan beberapa benda, benda atau keadaan secara
berurutan tanpa kata penghubung).
Ini diajarkan oleh almarhum suami Banun, yang meninggalkannya ketika anak-
anak mereka tidak bisa membuang ingus. (Kabin Alusia)
Jadi setelah serangan tanaman, penyiangan dan ....(puncak pidato).
Cabai, seledri, bawang merah, lengkuas... (May assident)
Hampir setengah dari sawah... (mungkin berlebihan)
Apakah tidak ada bos yang selalu siap memberikan pinjaman sementara petani
masih mau menyemai?
Sifat hiu sudah tersebar luas.
Si Banun Kikir... (idiom anthomonasian, yaitu idiom yang menyebut seseorang
karena sifat atau sifat yang luar biasa) 

g. Amanat
Amanat merupakan pesan berharga dalam teks cerpen. Pesan selalu terkait
dengan topik. Pesan cerpen “Banun” adalah jangan pernah menilai orang dari
caranya sendiri tanpa pernah tahu apa maksud dan tujuan orang tersebut. Jadilah
orang yang selalu bekerja keras untuk menyelesaikan semua pekerjaan 

2. Unsur Ekstrinsik Prosa (Cerpen)


a. Biografi Damhuri Muhammad
Damhuri Muhammad lahir pada tanggal 1 Juli 1974 di Taram, Payakumbuh, Sumatra Barat.
Dia sangat mengenal budaya Minang karena dia dibesarkan dengan budaya Minang. Di dalam
cerpen Banun Damhuri Muhammad menggambarkan tokoh Banun sebagai orang yang suka
bekerja keras dan hemat. Latar belakang Damhuri Muhammad banyak memengaruhi hasil
karyanya. Sebagai orang Minang yang terkenal dengan kerja kerasanya dalam mencapai sebuah
cita-cita. Hal ini memberikan inspirasi bagi Damhuri dalam menciptakan tokoh Banun yang yang
tidak memperdulikan omongan orang lain tentang dirinya demi masa depan dia dan keluarganya.
Keterkaitan Pengarang dengan latar belakang daerahnya.
1. Masakan : Lemang
2. Perjodohan : Perjodohan Rimah dengan Rustam yang gagal, Perjodohan Rimah
dengan lelaki lain.
3. Merantau : Rustam yang sekolah di luar negeri.
4. Pintar dagang : Penjual Minyak dan gas elpiji.
5. Etos Kerja tinggi : Banun yang bekerja keras sebagai petani yang tidak membeli
bahan makanan tetapi menanamnya sendiri.
Setelah membaca cerpen di atas secara perlahan dan hati-hati dapat kita tangkap bahwa
dalam cerpen Banun menuai kritik sosial dan pendidikan. Pendidikan dalam cerpen Banun
menjelaskan arti kata tani yang berasal dari kata "tahani" yang bermakna menahan diri untuk
membeli sesuatu jika masih bisa kita hasilkan sendiri. Untuk kritik sosialnya Damhuri
Muhammad meyindir secara halus pasca sarjana pertanian atau insinyur pertanian yang sebagian
hanya banyak memahami teori pertanian namun tidak ada praktek di lapangan. Ia melukiskan
bagaimana seorang insinyur pertanian tak bisa berbuat banyak, tidak mempunyai lahan sekaligus
menyindir para lulusan pertanian yang sebenarnya tidak mempunyai niat sama sekali untuk
mengembangkan kemampuan dan keilmuan mereka dalam bidang pertanian.

Karya Karya Damhuri Muhammad


a. Cerita pendek
1) -Manusia kelelawar
2) -Banun
3) -Batu di Pinggang Mak Ru
4) -Pesta Penghabisa
5) -Kandang Kambing Nurjawilah
6) -Anak Anak Rimba
7) -Ros dan Mantan Mantannya
8) -Tubuh Ayah Bewarna Tanah
9) -Kesumba
10) -Nelayan yang Malas Melepas Jala
11) -Prahara Meja Makan
12) -Lembar Sastra dalam Rimba Raya Cerita
13) -Lelaki Ragi dan Perempuan Santan
14) -Rumah Amplop
15) -Luka Kecil di Jari Kelingking
16) -Tembiluk
17) -Orang orang Larenjang
18) -Anak anak Masa Lalu

b. Puisi
1) Jejak Sentuhan Tanpa Sidik Jari ( 2015)
2) Janji Tukang Jahit (2015)
3) Residu Rindu (2015)
4) Yang Mengail di Remang Senja Penghabisan

c. Novel
1) Juru Masak Sehimpun (2009)
2) Lidah Sembilu (2006)
3) Darah Daging (2010)
4) Mengantar Ke Gerbang (2014)
5) Takhayul Milenial (2020)

b. Psikologi pengarang:
Pengarang melihat dan merasakan kehidupan di minang kabau dimana daerah minang
daerah yang mana masyarakatnya memiliki keinginan hidup sukses dimasa yang akan datang.
Dengan berbagai macam cara akan di usahakan. Pengarang paham betul orang minang adalah
orang yang suka bekerja keras agar tercapai cita - cita mereka. Jangan sampai si Anak nantinya
hidup sama seperti orang tuanya.

Bukti:
Jadi dengan bersusah payah tokoh banun dengan segala cara ia telah berhasil menyekolah kan
anak nya
“Empat orang anak Banun telah disarjanakan dengan kucuran peluhnya selama menjadi orang
tani.

c. Psikologis pembaca
Setelah membaca cerpen banun maka si Pembaca akan merasakan perjuagan orang tua
yang ingin anak nya berhasil dan itu akan menjadi motivasi dan pembelajaran yang sangat bagus
di dapatkan oleh pembaca sehingga menimbulkan rasa cinta dan hormat pada orang tua. Yang
tiada merasa lelah sampai tua untuk memperjuangkan anak – anak nya dengan segala macam
tudingan yang di terima sepanjang hidupnya.
Bukti.
Itulah bukti bagaimana orang tua sampai tua tiada merasa capek dan menerima segalam macam
hinaan dari orang lain.
Bila ada yang bertanya, siapa makhluk paling kikir di kampung itu, tidak akan ada yang
menyanggah bahwa perempuan ringkih yang punggungnya telah melengkung serupa sabut
kelapa itulah jawabannya. Semula ia hanya dipanggil Banun. Namun, lantaran sifat kikirnya dari
tahun ke tahun semakin mengakar, pada sebuah pergunjingan yang penuh dengan kedengkian,
seseorang menambahkan kata ”kikir” di belakang nama ringkas itu, hingga ia ternobat sebagai
Banun Kikir. Konon, hingga riwayat ini disiarkan, belum ada yang sanggup menumbangkan
rekor kekikiran Banun.
d. Keadaan Lingkungan Pengarang
Sebagai orang minang pengarang lahir di payakumbuh, di derah nya adalah orang yang
sangat kuat berjuang dalam kehidupan. disana adalah orang yang tidak suka duduk tenang atau
santai saja tapi disana orang hidup dengan segala macam ide dan kreasi dalam ekonomi yang
bisa mendatangkan uang. Apa saja mereka bisa jual dari hasil pertanian dan peternakan yang
kadang juga di olah kembali baru produk jadi di jual.
Bukti.
Itulah contoh yang di ceritakan di dalam cerpen itu sangat cocok dengan penghidupan di sumbar
apapun akan di tanam yang akan menghasilakan agar tanah nya tidak mengganggur.
“Sejak itulah Banun menyingkapkan rahasia hidupnya pada anak-anaknya, termasuk pada
Rimah, anak bungsunya itu. Ia menjelaskan kata ”tani” sebagai penyempitan dari ”tahani”, yang
bila diterjemahkan ke dalam bahasa orang kini berarti: ”menahan diri”. Menahan diri untuk tidak
membeli segala sesuatu yang dapat diperoleh dengan cara bercocok tanam. Sebutlah misalnya,
sayur-mayur, cabai, bawang, seledri, kunyit, lengkuas, jahe. Di sepanjang riwayatnya dalam
menyelenggarakan hidup, orang tani hanya akan membeli garam. Minyak goreng sekalipun,
sedapat-dapatnya dibikin sendiri. Begitu ajaran mendiang suami Banun, yang meninggalkan
perempuan itu ketika anak-anaknya belum bisa mengelap ingus sendiri. Semakin banyak yang
dapat ”ditahani” Banun, semakin kokoh ia berdiri sebagai orang tani.

e. Nilai budaya
Kebiasaaan orang minang jika terlahir dari keluarga berada sering anak nya menjadi
manja dan tidak bisa hidup mandiri karna mereka beristilah “sawah laweh baluik banyak”. Jadi
mereka sering tidak perlu berjuang dengan keras dalam hidupnya. Jadi dari cerpen tersebut kita
bisa melihat dan merasakan sebuah kesalahfahaman dalam mendidik anak bagi mereka yang
berada di kelas menegah keatas.
Bukti
Itulah salah satu budaya yang kurang baik berada di tengah masyarakat kita umumnya.
“Sesungguhnya Banun tidak lupa pada orang yang pertama kali menjulukinya Banun Kikir
hingga nama buruk itu melekat sampai umurnya hampir berkepala tujuh. Orang itu tidak lain
adalah Palar, laki-laki ahli waris tunggal kekayaan ibu-bapaknya. Namun, karena tak terbiasa
berkubang lumpur sawah, Palar tak pernah sanggup menjalankan lelaku orang tani. Untuk
sekebat sayur Kangkung pun,
Zubaidah (istri Palar), harus berbelanja ke pasar. Pekarangan rumahnya gersang. Kolamnya
kering.

f. Nilai sosial
Dalam Cerpen Banun menceritakan seorang perempuan ringkih dengan usia sudah
berkepala tujuh bernama Banun, karena terkenal kikir di desanya maka ia dijukuki Banun Kikir.
Di sepanjang usianya ia tidak pernah membeli bahan-bahan untuk kebutuhan sehari-hari jika bisa
ia tanam sendiri, misalnya sayur mayur. Dengan sifat kikir yang orang-orang juluki padanya,
nyatanya sekarang ia menjadi petani sukses sekaligus menjadi juragan tanah. Ia bisa membantu
orang-orang di desa yang kehabisan uang, juga Keempat anak Banun sudah disarjanakan dengan
kucuran peluhnya.
Oleh sebab itu jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan atas apa yang kita lihat dengan mata
saja, walau entah apa maksud dan tujuan orang melakukan nya.
Bukti:
Jangan terlalu cepat memberi komentar negatif pada orang lain siapa tau nanti ia lebih baik dari
kita, bahkan mungkin yang akan membantu kita di masa yang akan datang.
Bila ada yang bertanya, siapa makhluk paling kikir di kampung itu, tidak akan ada yang
menyanggah bahwa perempuan ringkih yang punggungnya telah melengkung serupa sabut
kelapa itulah jawabannya. Semula ia hanya dipanggil Banun. Namun, lantaran sifat kikirnya dari
tahun ke tahun semakin mengakar, pada sebuah pergunjingan yang penuh dengan kedengkian,
seseorang menambahkan kata ”kikir” di belakang nama ringkas itu, hingga ia ternobat sebagai
Banun Kikir. Konon, hingga riwayat ini disiarkan, belum ada yang sanggup menumbangkan
rekor kekikiran Banun.

g. Nilai agama.
Dalam cerpen tersebut di ceritakan juga bahwa bagaimana pun kita hidup didunia hanya
sementara saja karna akan menuju pada kematian.
oleh sebab itu hiduplah sewajarnya saja. Dimana disana di sampaikan bahwa kita hendaknya
jagan terlalu kikir dan ingat sayangi juga diri sendiri.
Bukti:
Dalam cerpen sianak mengingatkan banun akan sikapnya yang tidak saying dengan badan
sendiri.
”Hasil sawah yang tak seberapa itu hendak dibawa mati, Mak?” tanya Rimah suatu ketika.
Kuping anak gadis Banun itu panas karena gunjing perihal Banun Kikir tiada kunjung reda.
”Mak tak hanya kikir pada orang lain, tapi juga kikir pada perut sendiri,” gerutu Nami, anak
kedua Banun.

Anda mungkin juga menyukai