Anda di halaman 1dari 9

Menjelaskan dan Menyimpulkan Unsur lntrinsik Cerpen

Kali ini, kalian akan berlatih menganalisis unsur intrinsik cerpen secara lebih terperinci. Agar
kalian lebih paham, berikut penjelasan mengenai unsur-unsur intrinsik tersebut.
1. Tokoh dan Penokohan
Tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu cerpen yang oleh pembaca
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu. Adapun, penokohan
memiliki pengertian yang lebih luas. Penokohan meliputi siapa tokoh cerita, bagaimana
perwatakan, dan bagaimana memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.
Watak tokoh dapat dilukiskan melalui dua cara, yakni teknik analitik dan dramatik.
a. Teknik analitik adalah pengarang melukiskan tokoh cerita dengan memberikan deskripsi,
uraian, atau penjelasan secara langsung.
b. Teknik dramatik adalah penggambaran watak tokoh secara tidak langsung. Pengarang
dapat menggambarkan watak tokoh melalui:
1) percakapan antartokoh;
2) pikiran-pikiran tokoh;
3) tanggapan tokoh lain; dan
4) tindakan tokoh.
2. Alur/Plot
Alur sering disebut dengan jalan cerita. Alur adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun
tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau
menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.
Berdasarkan kriteria urutan waktu, plot atau alur dapat dibedakan menjadi dua kategori, yakni
plot atau alur lurus/maju/progresif dan alur mudur/sorot-balik/flash-back.
a. Alur maju (lurus/ progresif) jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis,
peristiwa-peristiwa yang pertama diikuti oleh peristiwa-peristiwa yang kemudian. Secara
runtut cerita dimulai dari tahap awal (penggambaran situasi, pengenalan, pemunculan
konflik), tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian).
b. Alur mundur (sorot balik/flash-back) jika . Peristiwa-peristiwa yang dikisahkan tidak
bersifat kronologis cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan mungkin dari tahap
tengah atau bahkan akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan.
3. Latar (Setting)
Latar atau setting disebut juga landas tumpu menyaran pada pengertian tempat, hubungan
waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
a. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah
karya fiksi. Untuk dapat mendeskripsikan suatu tempat secara meyakinkan pengarang
perlu menguasai situasi geografis lokasi yang bersangkutan lengkap dengan karakteristik
dan sifat khasnya.
b. Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah waktu dalam karya naratif dapat
bermakna ganda. Di satu pihak menyaran pada waktu penceritaan, waktu penulisan
cerita, dan di pihak lain menunjuk pada waktu dan urutan waktu yang terjadi dalam
cerita.
c. Latar sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat
yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup
berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup,
adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, bersikap, dan lain-Iain.
4. Sudut Pandang
Sudut pandang (point of view) adalah cara sebuah cerita dikisahkan. Sudut pandang
merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang untuk menyajikan tokoh,
tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi
kepada pembaca.
Secara umum ada dua cara pandang pengarang membangun cerita, yakni sudut
pandang orang pertama dan sudut pandang orang ketiga.
a. Sudut pandang orang pertama: “aku” (akuan)
Sudut pandang orang pertama dapat dibedakan ke dalam dua golongan, yakni 'aku
sebagai tokoh utama' dan 'aku sebagai tokoh sampingan/tambahan'.
b. Sudut pandang orang ketiga: “dia” (diaan)
Sudut pandang orang ketiga dapat dibedakan ke dalam dua golongan, yakni ‘dia
mahatahui’, ‘dia terbatas’, dan ‘dia sebagai pengamat’.
Melalui sudut pandang ‘dia mahatahu’, cerita dikisahkan dari sudut ‘dia’, namun
pengarang, narator, dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh ‘dia’
tersebut. Narator mengetahui segalanya, ia bersifat mahatahu. la (narator) mengetahui
berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang
melatarbelakangi. Ia bebas bergerak dan menceritakan apa saja dalam lingkup waktu dan
tempat cerita. Adapun sudut pandang ‘dia sebagai pengamat’ seperti halnya sudut pandang
‘dia mahatahu’, pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan
dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja.
5. Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa atau bagaimana seorang pengarang
mengungkapkan sesuatu yang dikemukakan. Gaya bahasa ditandai oleh ciri-ciri formal
kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan
kohesi, dan lain-lain. Salah satu bentuk gaya bahasa yang digunakan dalam cerpen adalah
penggunaan majas.
6. Tema
Tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Dalam konteks lain, tema sering
didefinisikan sebagai gagasan utama yang menjadi pokok permasalahan dalam sebuah cerita.
Tema dalam suatu karya sastra letaknya tersembunyi dan harus dicari sendiri oleh
pembacanya.
7. Amanat
Amanat ialah pemecahan yang diberikan oleh pengarang bagi persoalan di dalam karya
sastra. Amanat biasa disebut makna. Makna dibedakan menjadi makna niatan dan makna
muatan. Makna niatan ialah makna yang diniatkan oleh pengarang bagi karya sastra yang
ditulisnya. Makna muatan ia|ah makna yang termuat dalam karya sastra tersebut. Amanat
sering disebutjuga sebagai pesan cerita.
Sekarang, bacalah cerpen berikut dengan cermat.
Banun
Karya Damhuri Muhammad
Bila ada yang bertanya, siapa makhluk paling kikir di kampong itu, tidak akan ada yang
menyanggah bahwa perempuan ringkih yang punggungnya telah melengkung serupa sabut
kelapa itulah jawabannya. Semula ia hanya dipanggil Banun. Namun, lantaran sifat kikirnya
dari tahun ke tahun semakin mengakar, pada sebuah pergunjingan yang penuh dengan
kedengkian, seseorang menambahkan kata “kikir” di belakang nama ringkas itu, hingga ia
ternobat sebagai Banun Kikir. Konon, hingga riwayat ini disiarkan, belum ada yang sanggup
menumbangkan rekor kekikiran Banun.
Ada banyak Banun di perkampungan lereng bukit, yang sejak dulu tanahnya subur
hingga tersohor sebagai daerah penghasil padi kwalitet nomor satu ini. Pertama, Banun dukun
patah tulang yang dangau, usangnya kerap didatangi laki-laki pekerja keras bila pinggang
atau pangkal lengannya terkilir akibat terlalu bergairah mengayun cangkul. Disebut-sebut,
kemampuan turun-temurun Banun ini tak hanya ampuh mengobati patah tulang orang-orang
tani, tapi juga bisa mempertautkan kembali lutut kuda yang retak, akibat bendi yang
dihelanya terguling lantaran sarat muatan. Kedua, Banun dukun beranak yang kehandalannya
lebih dipercayai ketimbang bidan desa yang belum apa-apa sudah angkat tangan, lalu
menyarankan pasien buntingnya bersalin di rumah sakit Kabupaten. Sedemikian
mumpuninya kemampuan Banun kedua ini, bidan desa merasa lebih banyak menimba ilmu
pengalaman dari dukun itu ketimbang dari buku-buku semasa di akademi. Ketiga, Banun
tukang lemang yang hanya akan tampak sibuk pada hari Selasa dan Sabtu, hari berburu yang
nyaris tak sekalipun dilewatkan oleh para penggila buru babi di berbagai pelosok. Di hutan
mana para pemburu melepas anjing, di sana pasti lapak lemang-tapai milik Banun berada.
Berburu seolah tidak afdol tanpa lemang-tapai bikinan Banun, yang hingga kini belum
terungkap rahasianya.
Tapi, hanya ada satu Banun Kikir yang karena riwayat kekikirannya itu begitu
menakjubkan, tanpa mengurangi rasa hormat pada Banun-Banun yang lain, sepatutnyalah ia
menjadi lakon dalam cerita ini.
***
Di sepanjang usianya, Banun Kikir tak pernah membeli minyak tanah untuk mengasapi dapur
keluarganya. Perempuan itu menanak nasi dengan cara menyorongkan seikat daun kelapa
kering ke dalam tungku, dan setelah api menyala, lekas disorongkannya pula beberapa keping
kayu bakar yang selalu tersedia di bawah lumbungnya. Saban petang, selepas bergelimang
lumpur sawah, daun-daun kelapa kering itu dipikulnya dari kebun yang sejak lama telah
digarapnya. Mungkin sudah tak terhitung berapa jumlah simpanan Banun selama ia menahan
diri untuk tidak membeli minyak tanah guna menyalakan tungku. Sebab, daun-daun kelapa
kering di kebunnya tiada bakal pernah berhenti berjatuhan.
“Hasil sawah yang tak seberapa itu hendak dibawa mati, Mak?” Tanya Rimah suatu
ketika. Kuping anak gadis Banun itu panas karena gunjing perihal Banun Kikir tiada kunjung
reda.
“Mak tak hanya kikir kepada orang lain, tapi juga kikir pada perut sendiri,” gerutu
Nami, anak kedua Banun.
“Tak usah hiraukan gunjingan orang! Kalau benar apa yang mereka tuduhkan, kalian
tak bakal mengenyam bangku sekolah dan seumur hakan jadi orang tani,” bentak Banun.
Sejak itulah Banun menyingkap rahasia hidupnya pada anak-anaknya, termasuk pada
Rimah, anak bungsunya itu. Ia menjelaskan kata “tani” sebagai penyempitan dari “tahani”,
yang bila diterjemahkan ke dalam Bahasa orang kini berarti: “menahan diri”. Menahan diri
untuk tidak membeli segala sesuatu yang dapat diperoleh dengan cara bercocok tanam.
Sebutlah, misa|nya, sayur-mayur, cabai, bawang, seledri, kunyit, lengkuas, dan jahe. Di
sepanjang riwayatnya dalam menyelenggarakan hidup, orang tani hanya membeli garam.
Minyak goreng sekalipun, sedapat-dapatnya dibikin sendiri. Begitu ajaran mendiang suami
Banun, yang meninggalkan perempuan itu ketika anak-anaknya belum bisa mengelap ingus
sendiri. Semakin banyak yang dapat “ditahani” Banun, semakin kokoh ia berdiri sebagai
orang tani.
Maka, selepas kesibukannya menanam, menyiangi, dan menuai padi di sawah milik
sendiri, dengan segenap tenaga yang tersisa, Banun menghijaukan pekarangan dengan
bermacam-ragam sayuran, cabai, seledri, bawang, |engkuas, jahe, kunyit, gardamunggu, jeruk
nipis, hingga semua kebutuhannya untuk memasak tersedia hanya beberapa jengkal dari
sudut dapurnya. Bila semua kebutuhan memasak harus dibeli Banun dengan penghasilannya
sebagai petani padi, tentu akan jauh dari memadai. Bagi Banun, segala sesuatu dapat tumbuh
dari atas tanahnya, lagi pula apa yang tak bisa tumbuh di tanah kampung itu akan
ditanamnya, agar bisa selalu terhindar dari keharusan membeli. Dengan begitu, penghasilan
dari panen padi kelak bakal terkumpul, guna membeli lahan sawah yang lebih luas lagi. Dan,
setelah bertahun-tahun menjadi orang tani, tengoklah keluarga Banun kini. Hampir separuh
lahan sawah yang terbentang di wilayah kampung tempat ia lahir dan dibesarkan, telah jatuh
ke tangannya. Orang-orang menyebutnya tuan tanah, yang seolah tidak pernah kehabisan
uang guna meladeni mereka yang terdesak keperluan biaya sekolah anak-anak. Tak jarang
pula untuk biaya keberangkatan anak-anak gadis mereka ke luar negeri, untuk menjadi TKW,
lalu menggadal, bahkan menjual lahan sawah. Empat orang anak Banun telah disarjanakan
dengan kucuran peluhnya selama menjadi orang tani.
***
Sesungguhnya Banun tidak lupa pada orang yang pertama kali menjulukinya Banun
Kikir hingga nama buruk itu melekat sampai umurnya hamper berkepala tujuh. Orang itu
tidak lain adalah Palar, laki-laki ahli waris tunggal kekayaan ibu-bapaknya. Namun, karena
tak terbiasa berkubang di lumpur sawah, Palar tak pemah sanggup menjalankan lelaku orang
tani. Untuk sekebat sayur kangkung pun, Zubaidah (istri Palar), harus belanja ke pasar.
Bahkan sebatang pohon singkong pun menjadi tumbuhan langka. Selama masih tersedia di
pasar, kenapa harus ditanam? Begitu kira-kira prinsip hidup Palar. Baginya, bercocok tanam
untuk kebutuhan makan sehari-hari, hanya akan membuat pekerjaan di sawah jadi
terbengkalai. Lagi pula, bukankah ada tauke yang selalu berkenan memberi pinjaman, selama
orang tani masih mau menyemai benih? Namun, tauke-tauke yang selalu bermurah hati itu,
bahkan sebelum sawah digarap, akan mematok harga jual padi seenak perutnya, dan para
petani tidak berkutik dibuatnya. Perangai lintah darat itu sudah merajalela, bahkan sejak
Banun belum mahir menyemai benih. Palar salah satu korbannya. Dua pertiga lahan sawah
yang diwarisinya telah berpindah tangan pada seorang tauke, lantaran dari musim ke musim
hasil panennya merosot. Palar juga terpaksa melego beberapa petak sawah guna membiayai
kuliah Rustam, anak laki-laki satu-satunya, yang kelak bakal menyandang gelar insinyur
pertanian. Dalam belitan hutang yang entah kapan bakal terlunasi, Palar mendatangi rumah
Banun, hendak meminang Rimah untuk Rustam.
“Karena kita sama-sama orang tani, bagaimana kalau Rimah kita nikahkan dengan
Rustam?” bujuk Palar masa itu.
“Pinanganmu terlambat. Rimah sudahpunya calon suami,” balas Banun dengan sorot
mata sinis.
“Keluargamu beruntung bila menerima Rustam. Ia akan menjadi satu satunya insinyur
pertanian di kampung ini dan hendak menerapkan cara bertani zaman kini, hingga orang-
orang tani tidak lagi terpuruk dalam kesusahan,” ungkap Palar sebelum meninggalkan rumah
Banun.
“Maafkan saya, Palar.”
Rupanya penolakan Banun telah menyinggung perasaan Palar. Lelaki itu merasa
terhina. Mentang-mentang sudah kaya, Banun mentah-mentah menolak pinangannya. Dan,
yang Iebih menyakitkan, ini bukan penolakan yang pertama.Tiga bulan setelah suami Banun
meninggal, Palar menyampaikan niatnya hendak mempersunting janda kembang itu. Tapi,
Banun bertekad akan membesarkan anak-anaknya tanpa suami baru. Itu sebabnya Palar
menggunakan segala siasat dan muslihat agar Banun termaklumatkan sebagai perempuan
paling kikir di kampung itu. Palar hendak membuat Banun menanggung malu, bila perlu
sampai ajal datang menjemputnya.
***
Meski kini sudah zaman gas elpiji, Banun masih mengasapi dapur dengan daun
kelapa kering dan kayu bakar, hingga ia masih menyandang julukan si Banun Kikir. “Nasi tak
terasa sebagai nasi bila dimasak dengan elpiji,” kilah Banun saat menolak tawaran Rimah
yang hendak membelikannya kompor gas. Rimah sudah hidup berkecukupan dengan
suaminya yang bekerja sebagai guru di Ibu Kota Kabupaten. Begitu pula dengan Nami, anak
kedua Banun yang lain. Sejak menikah, mereka tinggal di rumah masing-masing. Setiap
Jumat, Banun datang berkunjung, menjenguk cucu, secara bergiliran.
“Kalau Mak menerima pinangan Rustam, tentu julukan buruk itu tak pernah ada,”
sesal Rimah suatu hari.
“Masa itu kenapa Mak mengatakan bahwa aku sudah punya calon suami, padahal
belum bukan?”
“Bukankah calon menantu Mak calon insinyur?”
"Tak usah kau ungkit-ungkit lagi cerita lama. Mungkin Rustam bukan jodohmu!” sela
Banun.
“Tapi, seandainya kami berjodoh, Mak tak akan dinamai Banun Kikir!”
Sesaat Banun diam. Tanya-tanya nyinyir Rimah mengingatkan ia pada Palar yang
begitu bangga punya anak bertitel insinyur pertanian, yang katanya dapat melipatgandakan
hasi| panen dengan mengajarkan teori-teori pertanian. Tapi, bagaimana mungkin Rustam
akan memberi contoh cara bertani modern, sementara sawahnya sudah ludes terjual? Kalau
memang benar Palar orang tani yang sesungguhnya, ia tidak akan gampang menjual lahan
sawah, meski untuk mencetak insinyur pertanian yang dibanggakannya itu. Apalah guna
insinyur pertanian bila tidak mengamalkan laku orang tani? Banun menolak pinangan itu
bukan karena Palar sedang terbelit hutang, tidak pula karena ia sudah jadi tuan tanah, tapi
karena perangai buruk Palar yang dianggapnya sebagai penghinaan pada jalan hidup orang
tani.
Sumber: htpp://cerpenkompas.wordpress.com

1. Analisislah unsurt intrinsik cerpen "Banun" karya Damhuri Muhammad tersebut.


a. Tokoh dan Penokohan
1) Tokoh Banun
Karakter:
Tangguh, keras kepala, hemat, dan pekerja keras

Cara pengarang menggambarkan tokoh Banun:


Tokoh Banun menggambarkan watak tangguh, keras kepala, hemat, dan pekerja
keras

Kutipan yang mendukung:


Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut “Maka, selepas kesibukannya menanam,
menyiangi dan menuai padi di sawah milik sendiri, dengan segenap tenaga yang
tersisa, Banun menghijaukan pekarangan...”
Dan “. Bagi Banun, segala sesuatu yang dapat tumbuh di atas tanahnya, lagi pula
apa yang tak bisa tumbuh di tanah kampung itu akan ditanamnya, agar ia selalu
terhindar dari keharusan membeli”

2) Tokoh Palar
Karakter:
Pemalas, pendendam, dan pemarah

Cara pengarang menggambarkan tokoh Banun:


Tokoh Palar menggambarkan watak pemalas, pendendam, dan pemarah

Kutipan yang mendukung:


Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut “Sesungguhnya Banun tidak lupa pada
orang yang pertama kali menjulukinya Banun Kikir hingga nama buruk itu
melekat sampai umurnya hampir berkepala tujuh. Orang itu tidak lain adalah
Palar, laki-laki ahli waris tunggal kekayaan ibu-bapaknya. Namun, karena tak
terbiasa berkubang lumpur sawah, Palar tak pernah sanggup menjalankan lelaku
orang tani.”

b. Alur/Plot
Alur cerpen tersebut adalah Alur cerpen Banun Menggunakan alur campuran karena
menceritakan asal-muasal Banun dijuluki Banun Kikir Penjelasan urutan peristiwa
cerpen: Pada paragraf ketiga, yaitu pada kutipan “Tapi, hanya ada satu Banun Kikir
yang karena riwayat kekikirannya begitu menakjubkan, tanpa mengurangi rasa hormat
pada Banun-banun yang lain, sepatutnyalah ia menjadi lakon dalam cerita ini.” Alur
ini menunjukan alur mundur karena menceritakan asal muasal Banun dijuluki Banun
Kikir. Dan kemudian pada paragraph kesembilan, yaitu pada kutipan “Sesungguhnya
Banun tidak lupa pada orang yang pertama kali menjulukinya Banun Kikir hingga
nama buruk itu melekat sampai umurnya hampir berkepala tujuh. Orang itu tidak lain
adalah Palar, laki-laki ahli waris tunggal kekayaan ibu-bapaknya. Namun karena tak
terbiasa berkubang lumpur sawah…” alur ni menunjukan alur
maju yang dimana Palar ingin Banun membantunya untuk melunasi hutang-
hutangnya.
c. Latar
Latar waktu :
Selasa, Sabtu, Petang, Jum'at

Kutipan yang mendukung:


1. Selasa = Banun tukang lemang yang hanya akan tampak sibuk pada hari Selasa dan
Sabtu, hari berburu yang nyaris tak sekali pun dilewatkan oleh para penggila buru
babi dari berbagai pelosok.
2. Sabtu = Banun tukang lemang yang hanya akan tampak sibuk pada hari Selasa dan
Sabtu, hari berburu yang nyaris tak sekali pun dilewatkan oleh para penggila buru
babi dari berbagai pelosok.
3. Petang = Sabang petang, selepas bergelimang lumpur sawah, daun-daun kelapa
kering itu dipikulnya dari kebun yang sejak lama telah digarapnya.
4. Jum’at = Setiap Jum’at, Banun datang berkunjung, menjenguk cucu, secara
bergiliran.

Latar tempat:
Hutan, pekarangan, sawah, rumah Banun

Kutipan yang mendukung:


1. Hutan = Di hutan mana para pemburu melepas anjing, di sana pasti tegak lapak
lemang-tapai milik Banun.
2. Pekarangan = Maka, selepas kesibukannya menanam, menyiangi, dan menuai padi
di sawah milik sendiri, dengan segenap tenaga yang tersisa, Banun menghijaukan
pekarangan dengan bermacam-ragam sayuran, cabai, seledri, bawang, lengkuas,
jahe, kunyit, gardamunggu, jeruk nipis, hingga semua kebutuhannya untuk memasak
tersedia hanya beberapa jengkal dari sudut dapurnya.
3. Sawah = Maka, selepas kesibukannya menanam, menyiangi, dan menuai padi di
sawah milik sendiri, dengan segenap tenaga yang tersisa, Banun menghijaukan
pekarangan dengan bermacam-ragam sayuran, cabai, seledri, bawang, lengkuas, jahe,
kunyit, gardamunggu, jeruk nipis, hingga semua kebutuhannya untuk memasak
tersedia hanya beberapa jengkal dari sudut dapurnya.
4. Rumah Banun = Keluargamu beruntung bila menerima Rustam. Ia akan menjadi
satu-satunya insinyur pertanian di kampung ini, dan hendak menerapkan cara bertani
zaman kini, hingga orang-orang tani tidak lagi terpuruk dalam kesusahan,” ungkap
Palar sebelum meninggalkan rumah Banun.

Latar peristiwa:
Menegangkan

Kutipan yang mendukung:


Rupanya penolakan Banun telah menyinggung perasaan Palar. Lelaki itu merasa
terhina. Mentang-mentang sudah kaya, Banun mentah mentah menolak pinangannya.

d. Sudut Pandang :
Sudut pandang orang ketiga

Kutipan yang mendukung:


Sudut Pandang pada cerpen “Banun” tersebut menggunakan sudut pandang orang
ketiga yaitu penggunaan nama yang sering digunakan pengarang dalam menceritakan
tokoh utamanya yaitu Banun.

e. Gaya Bahasa
Penggunaan majas:
Majas praeterito, Majas Klimaks, Majas Hiperbola, Majas Interupsi, Majas Tropen,
Majas Alusio, Majas Asidenton, Majas Retorik, Majas Simbolik, Majas Antomonasia

Kutipan yang mendukung:


1. Bila ada yang bertanya, siapa makhluk paling kikir di kampung itu, tidak bakal ada
yang menyanggah bahwa perempuan rapuh yang punggungnya telah melengkung
serupa sabut kelapa itulah jawabannya. (majas praeterito yaitu majas majas penegasan
yang melukiskan sesuatu dengan menyembunyikan sesuatu & pembaca harus mengira
apa yang disembunyikan itu)

2. Dari tahun ke tahun (majas Klimaks yaitu majas penegasan dengan menyebutkan
beberapa hal berturut-turut dengan menggunakan urutan kata-kata yang terus lama
terus memuncak)

3. Sifat kikirnya dari tahun ke tahun terus mengakar. (majas hiperbola yaitu majas
yang melebih-lebihan, dimana sifat kikir tersebut sampai berakar)

4. Konon, sampai riwayat ini disiarkan, belum ada yang bisa menyumbangkan rekor
kekikiran Banun. (majas interupsi yaitu majas penegasan yang menggunakan kata-
kata ataupun belahan kalimat yang disisipkan diantara kalimat pokok guna lebih
membahas & menekankan belahan kalimat sebelumnya).

5. Banun dukun patah-tulang yang dangau usangnya kerap didatangi pria pekerja
keras. (majas tropen yaitu majas perbandingan yang melukiskan sesuatu dengan
membandingkan pekerjaan ataupun lakukanan dengan kata-kata lain yang
mengandung arti yang sejalan).

6. Disepanjang usianya, banun Kikir tak sempat membeli minyak tanah untuk
mengasapi dapur keluarganya. (Majas alusio yaitu majas yang mempergunakan
ungkapan paribahasa , kata-kata yang artinya diketahui umum).

7. Perempuan tersebut menanak nasi dengan cara cara menyorongkan seikat daun
kelapa kering ke dalam tungku, & setelah api menyala, lekas disorongkannya pula
beberapa keeping kayu bakar yang rutin tersedia di bawah lumbungnya.( majas
Klimaks).

8. Cabai, bawang, seledri, kunyit, lengkuas…. .(majas Asidenton yaitu majas


penegasan yang menyebutkan beberapa barang, hal ataupun keadaan dengan cara
berturut-turut tanpa menggunakan kata penghubung).

9. Begitu fatwa mendiang suami Banun, yang meninggalkan perempuan tersebut


ketika anak-anaknya belum bisa mengelap ingus sendiri.(majas Alusio).

10. Maka selepas kesibukannya menanam, menyiangi, & … .(majas klimaks).


11. Cabai, seledri, bawang, lengkuas…(majas asidenton).

12. Hampir separuh dari lahan sawah…(majas hiperbola).

13. Bukankah ada tauke yang rutin berkenan memberi pinjaman, selagi orang tani
tetap mau menyemai benih?(majas retorik yaitu majas penegasan dengan
menggunakan kalimat Tanya retorik yang sebenarnya tidak memerlukan
jawabansebab sudah diketahuinya).

14. Perangai lintah darat tersebut sudah merajalela.(majas simbolik yaitu majas
perbandingan yang melukiskan sebuah dengan memperbandingkan benda-benda lain
sebagia simbol).

15. Si Banun Kikir…(majas antomonasia yaitu majas perbandingan dengan


menyebutkan seseorang menurut ciriatau sifat menonjol yang dimilikinya).
Penggunaan Ungkapan/Peribahasa:
“Tani” “Tahani”
Kutipan yang mendukung:
Ia menjelaskan kata “tani” sebagai penyempitan dari “tahani”, yang bila
diterjemahkan ke dalam Bahasa orang kini berarti: “menahan diri”. Menahan diri
untuk tidak membeli segala sesuatu yang dapat diperoleh dengan cara bercocok
tanam.

f. Tema Cerita
Tema pada cerpen “Banun” adalah keberanian seseorang yang tidak memperdulikan
omongan orang lain tentang dirinya demi masa depan dia dan keluarganya. Tokoh
Banun terkenal dengan sifat kikirnya, namum sebenarnya Banun adalah seorang
pekerja keras yang dengan gigih berjuang untuk kehidupan dirinya dan anak-anaknya.
Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut “Tak usah hiraukan gunjingan orang! Kalau
benar apa yang mereka tuduhkan, kalian tak bakal mengenyam bangku sekolah,
seumur-umur akan jadi orang tani,” bentak Banun. Dan juga dapat kita lihat dari
kutipan berikut “Maka, selepas kesibukannya menanam, menyiangi, menuai padi di
sawah milik sendiri, dengan segenap teanga yang tersisa, Banun menghijaukan
pekarangan dengan bermacam-ragam sayuran, cabai, seledri, bawang, seledri, kunyit,
lengkuas, jahe”
g. Amanat Cerita
Jangan pernah menilai orang hanya dari kebiasaan yang orang itu biasa lakukan tanpa
pernah tahu apa maksud dan tujuan orang itu melakukannya. Jadilah orang yang
selalu bekerja keras dalam melakukan segala pekerjaan.

Nama/Kelas/Absen : Hanifa Aurel Ramadhani 22 9H

Anda mungkin juga menyukai