Anda di halaman 1dari 5

“TUGAS BAHASA INDONESIA”

NAMA: SYARIFAH FARRAH M


ABSEN: 23
SDN KARTINI II
Bertemu Peri Flamboisine
Oleh Eugnia rakhma

Ambia berlari mengitari kebun bunga. Sesekali tangan mungilnya


memetik bunga di sebelah kiri dan kanannya. Lalu ia membuangnya begitu
saja.

“Ambia, jangan!” teriak Aulia .


Bukannya meminta maaf, Ambia malah menjulurkan lidahnya, mengejek.
Sekali lagi, tangannya mmetik bunga mawar yang ada di dekatnya. Lalu,
mengacungkannya ke udara, sebelum akhirnya membuang ke rerumputan.
Mata Aulia melebar. Sambil terkikik geli, Ambia berlari meningalkan kebun
bunga.
Sampai di rumah, Ambia meneguk habis segelas besar air dingin. Ambia
memang suka jahil. Ambia memang sebal, gara-gara bunga itu, Aulia selalu
sibuk sendiri! Bahkan belakangan ini banyak tetangga yang meminta bibit
bunga dari saudar kembarnya itu.
Ambia kembali ke kebun bunga. Ia membawa sebuah buku di tangan.
“Kenapa, sih, Aulia selalu sibuk begitu? Menanam bunga, kan, gampang!”
gumamnya.
Tak lama kemudian Ambia asyik membaca buku petualangannya di
bawah pohon, Suara berdesing di dekat telinga mengganggu
konsentrasinya. Ambia mengibskan tangan. Namun, bukannya menjauh,
suara berdesing itu terdengar makin mendekat.
“Aaa...!” Ambia berteriak ngeri menatap dua bola mata besar di depan
wajahnya. Kepalanya terantuk pohon Ambia pun tak sadarkan diri.
Ambia merasa tubuhnya jadi ringan sekali. Ia melihat pemandangan di
kiri, kanan, dan di belakangnya dengan jelas. “Ada apa dengan mataku?”
batin Ambia tidak mengerti.
“Hei, mengapa kamu melamun?” tanya sebuah suara. “Ayo, angkut serbuk
sarinya!” perintah suara itu.
Ambia hampir saja berteriak. Di hadapannya ada seekor capung. Melihat
arah ke tangannya sendiri yang terjulur lurus. Tangan itu begitu kurus.
Seperti kawat kecil yang dilengkungkan. Perlahan, Ambia menatap
pantulan dirinya pada air sungai. Seketika, napasnya tercekat.
“TIDAAAK...!” Aku bukan capung! Aku ini manusia!” teriaknya.
Capung di hadapa Ambia menatap datar. “Tidak usah bercanda. Ini
waktunya bekerja. Ayo, cepat angkat serbuk sari itu!” perintahnya kepada
Ambia yang sudah berubah menjadi capung.
Tanpa menunggu lagi, capung itu meletakkan setumpuk serbuk sari di
tangan Ambia. Ia juga mendorong Ambia, mengajaknya untuk bergerak.
Sore itu sungguh melelahkan bagi Ambia. Ia terbang dari suatu bunga ke
bunga yang lain untuk menempelkan serbuk sari. Terkadang, angin
menerbangkannya, sehingga Ambia terpaksa mengulanginya lagi
menempelkan serbuk sari tersebut. Ambia juga harus terbang dengan
cepat, belok kiri dan kanan dengan sigap, agar tidak tabrakan dengan para
lebah yang juga melakukan penyerbukan.
Ketika senja tiba, capung paling besar memberi perintah berhenti
melakukan kegiatan. Perintah itu langsung dituruti capung-capung yang
lain. Saat sedang beristirahat, Ambia baru menyadari, para capung itu
memakai kalung bintang yang bersinar dalam kegelapan. Ambia memegang
lehernya. Ia pun memakai kalung yang sama. Sinarnya kebiruan. Indah
sekali!
“Itu kalung indah pemberian Flamboisine, sebagai tanda terima kasih
karena sudah tiga tahun berturut-turut taman bunga kita menjadi taman
terindah,” capung di sebelah Ambia menjelaskan.
Melihat Ambia hanya terdiam, capung itu melanjutkan, “Tentu saja, bukan
hanya karena kerja keras kita. Manusia juga banyak membantu dengan
berbagai cara. Misalnya, memberi pupuk, menyiram dengan teratur, sampai
mencabuti tanaman liar di sekeliling bunga.”
Ambia jadi ingat Aulia, saudara kembarnya yang rajin menyiram tanaman
bunga, memberi pupuk seminggu sekali, dan menghabiskan waktu
mencabuti tanaman liar meski panas matahari sangat menyengat.
Sedangkan dirinya malah sering membuang dan merusak bunga yang
mekar.
Ambia belum sempat mengatakn apa pun, ketika tiba-tiba tercium aroma
harum di udara. Seperti bunga melati dan bolu kukus yang baru saja
matang.
“Peri Flamboisine datang!” Bersamaan dengan seruan itu, Ambia menatap
takjub sosok peri yang muncul di hadapannya. Kulitnya berkilau dan
sepasang sayap bergemersik di punggungnya. Kepalanya dihiasi aneka
bunga warna-warni. Ambia mengenal jenis bunga itu. Aulia pernah
membuat satu rangkai penuh untuk ulang tahun kepala sekolah. “Ini
bunga flamboyan. Ratu para bunga,” ucap Aulia saat itu.
Suara merdu Peri Flamboisine menyadarkan Ambia dari lamunannya. Peri
itu berterima kasih atas kerja keras para capung sepanjang hari ini.
“Semoga bunga-bunga yang telah kaian bantu penyerbukannya, mekar
dengan indah. Itu juga menjadi tanda terimakasih untuk manusia yang ikut
merawat mereka,” Flamboisine tersenyum mengakhiri pesannya.
Sesaat mata peri bunga itu beradu pandang dengan mata Ambia. Senyum
hangatnya membuat Ambia merindukan Aulia.
Tiba-tiba saja, Ambia merasa sangat mengantuk.
***

“Hei, Ambia...bangun!”
Ambia merasakan guncangan pelan. Ketika membuka mata, Aulia
memandanginya khawatir.
“Kamu baik-baik saja? Aku mendengar teriakanmu tadi,” tanya Aulia.
Ambia mengabaikan pertanyaan Aulia. Ia menatap tangannya yang sudah
kembali seperti semula. Begitu pula kepala dan tubuhnya. Sambil bersorak
gembira, Ambia memeluk Aulia, membuat kembarannya itu heran.
Sejak saat iu, Ambia tidak pernah jhil lagi pada Aulia. Ia juga tidak lagi
memetik bunga sembarangan atau cuma duduk-duduk melihat kesibukan
Aulia. Sebaliknya, kini dengan penuh semangat Ambia rajin membantu
Aulia merawat kebun bunga mereka.

Anda mungkin juga menyukai