Anda di halaman 1dari 18

TPP1624 Teknologi Pengolahan Hasil Perkebunan

Review Jurnal Tentang Penanganan Pascapanen Komoditas Kopi

PUTRI AYU IRA DISTRIANI


F1502222015

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PASCAPANEN


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2023
Judul : Evaluasi Pascapanen, Cacat Mutu dan Atribut Kimia (kafein dan
Asam klorogenat) Kopi Robusta Lampung Barat (studi kasus
gapoktan di Lampung Barat).
Penulis : Analianasari, Eko Win Kenali, Dayang Berliana, Meinilwita Yulia
Dan Shintawati
Jurnal : Analianasari, Kenali EW, Berliana D, Yulia M, Shintawati. 2021.
Evaluasi Pascapanen, Cacat Mutu dan Atribut Kimia (kafein dan
Asam klorogenat) Kopi Robusta Lampung Barat (studi kasus
gapoktan di Lampung Barat). Jurnal Teknologi dan Industri
Hasil
Pertanian. 27(1) : 42-52.

Review

Indonesia merupakan salah satu negara produsen kopi dunia, saat ini
Indonesia berada pada urutan urutan ke empat negara pengekspor kopi dunia
setelah brazil, Vietnam, kolombia dan negara yang memiliki kopi terbaik di dunia.
Indonesia sendiri memiliki total produksi yang dihasilkan yaitu 639,412 ton per
tahunnya yang Sebagian besar digunakan untuk ekspor sekitar 67% dan sisanya
33% digunakan untuk memenuhi kebutuhan kopi dalam negri. Produktifitas kopi
di Indonesia sendiri masih tergolong rendah, melalui informasi yang diambil dari
laman Kementrian Pertanian Direktorat Jendral Perkebunan produktivitas kopi di
Indonesia yakni sebesar 25-35% dari potensi bahan tanamnya. Secara umum areal
tanam dan produksi kopi di Indonesia selama beberapa tahun terakhir tidak
mengalami peningkatan melainkan mengalami penurunan, sedangkan permintaan
kopi baik dari luar negri maupun dari dalam negri selalu mengalami peningkatan
setiap tahunnya. Hal ini disebabkan, karena pertumbuhan produksi kopi tidak
sebanding dengan permintaan sehingga ratio stoke terus menurun.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan kualitas citarasa dan produksi
kopi terutama arabika yang hidup di dataran tinggi tergolong rendah diantaranya
karena pemeliharaan belum optimal, kesuburan tanah menurun, sumberdaya
manusia kurang, kelembagaan petani lemah, kopi sudah tua, varietas bercampur,
pengolahan pascapanen buah kopi belum seragam dan rantai pemasaran terlalu
panjang terutama pada penanganan pascapanen yang harus lebih diperhatikan
Kembali dengan menerapkan strategi intensifikasi melalui optimalisasi
penggunaan alat dan tenaga kerja yang kompeten serta penerapan GHP (Good
Heandling practices) pada setiap penanganan pascapanen mulai dari panen,
pengangkutan, sortasi biji kopi, pengupasan buah, fermentasi, pencucian,
pengeringan, pengupasan kulit tanduk, penyimpanan, perendangan kopi, dan
penggilingan. Umumnya terdapat 2 bagian pengolahan pascapanen yaitu
pengolahan primer ( primary processing) dan pengolahan sekunder (secondary
processing). Pengolahan primer meliputi semua perlakuan pengolahan pascapanen
sampai komoditas/produk sampai ketangan konsumen untuk di konsumsi secara
langsung (segar) atau untuk bahan untuk pengolahan berikutnya tapi dengan tetap
menjamin mutu dan keamanan komoditas. Pengolahan sekunder yaitu pengolahan
lanjutan dengan tujuan mengubah hasil tanam ke bentuk atau kondisi lain dengan
tujuan agar produk memiliki masa simpan yang lebih lama, mencegah perubahan
yang tidak diinginkan, dan dengan mutu yang sama walaupun untuk penggunaan
lain. Menurut mayrowani (2023) produk hasil perkebunan atau pertanian setelah
dipanen masih melakukan kegiatan metabolism, sehingga jika tidak ditangani
dengan segera akan mengakibatkan kerusakan secara fisik dan kimia. Sifat mudah
rusak (perisable) dari produk inilah menyebabkan tingginya susut pascapanen
serta terbatasnya masa simpan setelah pemanenan, sehingga serangan organisme
hama dan penyakit akan menurunkan standar mutu produk.

Secara umum pengolahan kopi dapat dibagi menjadi dua yaitu pengplahan
basah (wet processing) dan pengolahan kering (dry processing) secara garis besar
masyarakat di Indonesia melakukan pengolahan secara basah. ecara garis besar,
pengolahan basah dapat dogolongkan ke dalam dua metode, yaitu pengolahan
basah dengan cara gerbus (giling kulit tanduk) basah (wet hulling) dan gerbus
kering (dry hulling). pengolahan cara basah penuh merupakan metode pengolahan
kopi yang pada prosesnya tidak melakukan proses pengeringan. Metode
pengolahan kopi jenis ini biasanya digunakan oleh perusahaan yang langsung
mengolah biji kopi menjadi olahan selanjutnya, sedangkan pengolahan cara semi
basah atau disebut dengan gayo merupakan metode pengolahan kopi yang pada
prosesnya terdapat proses pengeringan sebelum tahap sortasi akhir. Proses
pengeringan yang dilakukan ini bertujuan agar biji kopi memiliki kadar air yang
sangat rendah sehingga umur simpannya dapat lebih panjang. Tahap proses
pengolahan kopi ini bertujuan untuk memisahkan biji kopi dari kulit kopi yang
semulanya berbentuk red cherry. Dilakukan juga pengeringan sehingga kadar air
biji kopi menjadi sebesar 10-13%. Hasil jadi biji kopi yang memiliki kadar air
lebih dari 13% akan menyebabkan biji kopi terserang kapang dan dapat
menurunkan mutu biji kopi dan produk kopi bubuknya menjadi berasa asam dan
aromanya pun apek. Pengolahan kopi dengan metode basah lebih cepat dan
menghasilkan mutu kopi yang lebih baik, tetapi metode ini memerlukan modal
yang lebih besar.
Kopi Lampung terutama yang berasal dari Lampung barat memiliki
keistimewaan dan ciri chas tersendiri terutama pada aroma dan rasa sehingga
sangat diminati oleh pasar internasional. Lampung Barat memiliki luasan lahan
produksi kopi yang luas yaitu 53,606 ha dengan kapasitas produksi yaitu 52,645
ton dan keseluruhan lahan ini dikelola oleh masyarakat. Keistimewaan kopi
Lampung Barat dengan ciri memiliki kekentalan yang pas, tingkat keasaman yang
rendah, karakter kopi yang bersih, minim ampas, dan aroma yang sangat diminati
setiap orang yaitu beraroma kayu dan coklat. Keistimewaan dan rasa kopi yang
sangat khas sangat bergantung pada penanganan pascapanen dan proses
pengolahan kopi yang baik. Karena proses pascapanen memberikan pengaruh dan
menentukan mutu biji kopi di tingkat petani. Oleh sebab itu sangat diperlukan
pengetahuan mengenai proses pengolahan pascapanen yang baik sehingga dapat
meningkatkan atau mempertahankan mutu kopi di tingkat petani.

Permasalahan panen dan pascapanen kopi arabika dan robusta di Indonesia


terutama di daerah Lampung tengah yaitu pemetikan buah yang belum matang,
fermentasi yang tidak sempurna, dan terlalu lama penjemuran di atas permukaan
tanah, dan proses pengeringan yang berkaitan dengan tingkat kadar air kopi.
Kualitas dalam memproduksi kopi umumnya ditentukan oleh proses pengolahan
kopi, kebanyakan petani lebih memilih proses pengolahan secara kering dengan
biaya pengolahan yang lebih rendah dibandingkan dengan proses pengolahan
secara basah, padahal proses pengolahan kopi secara basah akan menghasilkan
kualitas kopi yang lebih baik dibandingkan dengan hasil produksi kopi dengan
proses pengolahan dengan pengeringan. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Mayrowani (2013) Sebagian besar cara pengolahan kopi secara basah dilakukan
oleh perkebunan besar, sehingga menghasilkan mutu fisik kopi yang baik, tetapi
pada proses fermentasi terdapat resiko kerusakan pada cita rasa kopi. Proses
fermentai kopi masih sangat sulit untuk diterapkan oleh petani kopi karena
membutuhkan biaya produksi yang lebih tinggi dan umumnya teknologi
pascapanen yang digunakan oleh petani masih tradisional. Oleh karena itu sangat
diperlukan informasi penanganan pascapanen kopi terutama pada proses panen,
pengeringan, fermentasi, dan penyimpanan untuk meningkatkan jumlah produksi
dan mutu kopi.

Metode penelitian dilakukan dengan survey dan wawancara dan


dilengkapi dengan analisis laboratorium. Sample merupakan produsen sekaligus
gapoktan kopi yang membina petani kopi di Lampung Barat selama 35 tahun.
Sample yang diteliti di laboratorium yaitu olahan kopi yang sering dilakukan oleh
responden dari proses pengolahan pascapanen. Analisis mutu kopi dilakukan
dengan mengacu pada SNI 01-2907-2020 tentang mutu biji kopi beras dengan
parameter permutuan yaitu jenis cacat biji kopi beras, tingkatan mutu biji kopi
beras, dan kandungan kafein dan klorogenat kopi bubuk hasil dari proses
perendangan menggunakan alat mesin semi mekanis dengan kapasitas 30 kg dan
alat mekanis WE X Siji Mini Roaster dengan kapasitas 150 gr. Terdapat 3 tahap
yaitu evaluasi tahapan proses pengolahan biji kopi melalui 3 metode yang selalu
dilakukan oleh responden yaitu natural, honey, dan full wash. Selanjutnya yaitu
pengujian mutu pada masing masing biji kopi yang dihasilkan oleh setiap metode
dengan parameter yang telah ditetapkan. Terakhir yaitu analisis kandungan
senyawa kimia berupa asam klorogenat dan kafein. Kadar asam klorogenat dan
kafein dianalisis dengan menggunakan alat HPLC (high performance liquid
chromatography) dengan mengkondisikan kolom HPLC sesuai dengan jenis
senyawa yang akan dianalisis.

Sample responden yang dipilih yaitu gapoktan (gabungan kelompok tani)


Triguna yang sejak tahun 1984 telah focus pada budidaya tanaman kopi
khususnya robusta. Sejak tahun 2014 sampai 2017 gapoktan triguna menjalin
kemitraan dengan PT Nestle, banyak keuntungan yang diperoleh petani triguna
selama keja sama terjalin mulai dari keterampilan pengolahan budidaya kopi
robusta skala berkelanjutan, penanganan proses pascapanen yang sesuai dengan
standar perusahaan, dan proses pemasaran yang baik. Namun 2018 hubungan
kemitraan antara petani dan PT Nestle berakhir, walaupun proses kerja sama
berakhir tetapi petani memperoleh keuntungan yaitu peningkatan produktivitas
dan kualitas bahan baku biji kopi karena petani sudah memiliki keterampilan
dalam menghasilkan biji kopi berkualitas dengan proses penanganan yang sesuai
dengan standar perusahaan meliputi melakukan proses pascapanen buah kopi
secara selektif, yaitu memilih buah matang sempurna dengan ciri berwarna merah,
kulit buah yang lunak, berlendir, dan kandungan gula tinggi sehingga memiliki
rasa manis, dan pengolahan dilakukan secara kering dan basah. Jenis pengolahan
disesuaikan dengan permintaan pasar.

Terdapat 3 jenis pengolahan natural, honey, dan full wash. Natural


dilakukan dengan pengeringan menggunakan sinar matahari secara langsung
selama 25 sampai 30 hari tergantung kondisi cuaca saat pengeringan, intensitas
pembalikan juga harus diperhatikan untuk memperoleh biji kopi yang kering
sempurna dengan ketebalan maksimal 2 cm. biji kopi yang telah kering optimum
yang ditandai dengan kadar air biji kopi yaitu 12% diangkat dari proses
pengeringan dengan kondisi kulit buah berwarna merah kehitaman. Metode full
wash merupakan teknik pengoilahan basah terhadap buah kopi yang telah masak
optimum. Pengolahan basah memerlukan keterampilan yang baik dalam
pengolahannya karena pengolahan yang tidak tepat pada proses ini dapat
menyebabkan kerusakan pada cita rasa kopi menjadi fermented atau stinky. Proses
ini disebut juga proses fermentasi karena buah kopi yang telah dilakukan
pengupasan kulit direndam di dalam bak bak yang telah disediakan yang berisi air
bersih selama 2 kali 24 jam. Setelah perendaman biji kopi dibilas Kembali dengan
menggunakan air untuk menghilangkan lendir yang tersisa kemudian biji kopi
yang telah bersih dikeringkan dengan menggunakan cahaya matahri selama 10
hari atau menggunakan mesin dome solar dryer selama 5-6 hari hingga kadar air
biji 12%. Terakhir biji di sortasi dengan menggunakan huller untuk memisahkan
biji dengan kulit tanduk.

Tahapan honey hampir sama dengan proses natural dan full wash hanya
saja metode honey ini menggunakan mesin pulper dengan bantuan sedikit air
untuk membantu memisahkan kulit buah sampai pada bagian lapisan mucilage
sehingga proses ini sangat berpengaruh pada cita rasa kopi yang disebabkan oleh
lapisan mucilage ini menyimpan kandungan gula dan acidity yang semakin
terkonsentrasi Ketika kopi mengalami proses pengeringan. Sehingga semakin
terkonsentrasi dengan baik maka kandungan gula yang ada di dalamnya akan
menembus ke dalam biji kopi tersebut. Maka dari itu, rasa yang biasa ditemukan
di dalam proses honey ini adalah sweetness yang sangat tinggi dengan balanced
acidity. Pada proses honey yang membedakannya dengan kedua proses
sebelumnya yaitu proses fermentasi dilakukan pada proses penjemuran dimana
sisa-sisa lendir yang ada pada biji kopi mengalami reaksi fermentasi secara
alamiah melalui penjemuran selama 9 hari sehingga dapat menghasilkan cita rasa
kopi yang sesuai dengan selera pasar. Tahap akhir proses honey yaitu pemisahan
biji kopi hasil pengeringan dengan kulit tanduk dengan menggunakan huler
sehingga menghasilkan biji kopi hijau (green bean). Tahap akhir dari ketiga
proses yang dilakukan yaitu pengelompokan ukuran biji untuk mendapatkan
keseragaman mutu pada prosrs penyangraian dengan melakukan pengelompokan
berdasarkan ukuran besar, sedang, dan kecil menggunakan pengayakan bertingkat.

Berdasrkan uji fisik mengacu pada SNI biji kopi gapoktan triguna
merupakan kopi regular. Berdasarkan hasil pengamatan sample pengolahan
natural dengan 5 kriteria cacat yaitu biji muda, biji pecah, biji berlubang satu, dan
biji berlubang lebih dari satu, dan terdapat benda asing yang bukan mereupakan
biji utama kopi. Biji kopi yang berasal dari pengolahan honey mempunyai 4
kriteria yaitu cacat, biji pecah, biji berlubang lebih dari satu, dan biji coklat dan
biji hijau. Sedangkan pada metode full wash hanya terdapat 3 kriteria cacat yaitu
biji pecah, biji berlubang lebih dari satu, dan biji berlubang satu. Banyak faktor
yang dapat menyebabkan cacat pada biji dan setiap parameter cacat dipengaruhu
oleh faktor kerusakan yang berbeda. Buji pecah dapat disebabkan oleh proses
pengupasan kulit yang tidak sempurna dikarenakan kadar air pada biji belum
mencapai optimum untuk dilakukan proses pengupasan. Biji muda yang ada pada
proses honey dan natural dapat disebabkan oleh kurang telitinya pekerja saat
pemanenan sehingga masih ada saja biji kopi yang berwarna hijau termasuk ke
dalam proses pengolahan. Biji pecah dapat disebabkan oleh ketidakseragaman
ukuran biji sehingga pada saat pengupasan kulit tanduk terjadi gesekan di huller
yang menyebabkan biji pecah. Sedangkan untuk biji yang berlubang disebabkan
oleh hama penggerek buah kopi (hypothenemus hamppei). Proses pengeringan
yang salah dapat menyebabkan biji berwarna cokelat yang disebabkan oleh buah
kopi yang terlalu matang saat proses pengeringan atau terjadinya proses
fermentasi yang berlebihan. Kontaminasi benda asing juga harus diperhatikan
untuk standar mutu kopi sehingga kopi dapat diterima di pasaran.

Berdasarkan hasil pengamatan mutu yang dihasilkan dari metode


pengolahan natural, honey, dan full wash dengan bahan dari buah kopi petik
merah menghasilkan tingkatan mutu 1 sampai 2 sesuai dengan SNI 01-2907-2020.
Hal ini membuktikan bahwa teknik pengolahan pascapanen gapoktan triguna
dapat menghasilkan kualitas biji kopi yang premium dan dapat di tingkatkan
menjadi kopi specialty (fine) jika diteruskan dengan analisi uji cita rasa dan
ketelusuran. Dari hasil ketiga proses pengolahan yang dilakukan pengolahan
dengan metode honey menghasilkan biji dengan tingkatan mutu terbaik yaitu pada
tingkatan mutu 1 hal ini dikarenakan metode honey dapat meminimalkan
kerusakan cacat mutu kopi. Sedangkan pada proses naturan dan full wash banyak
ditemukan biji kopi yang rusak sehingga standar mutunya rendah. Banyaknya biji
rusak pada kedua proses ini dikarenakan proses pengupasan kulit dengan huller.
Rendahnya mutu biji berkaitan dengan cita rasa biji yang dihasilkan semakin
banyak kadar biji pecah yang disangrai bersamaan dengan biji utuih dengan
kondisi penyangraian yang semakin tinggi akan menghasilkan cita rasa kopi yang
rendah. Hal ini dapat di antisipasi dengan melakukan sortasi buah secara manual
dan lebih selektif lagi dan memperbaiki cara petik yang lebih teliti lagi. Peringkat
mutu biji kopi 1 dan 2 menggambarkan bahwa biji kopi yang dihasilkan
berkualitas baik dan menjadi salah satu modal yang dapat digunakan untuk
Menyusun strategi untuk memperluas pemasaran pada beberapa jenis pemasaran.
Cita rasa dan aroma sangat menjadi tolak ukur standar mutu di manapun karena
konsumen sangat menikmati aroma dan rasa eksklusif yang ada pada kopi.

Kafein adalah senyawa alkaloid metilxantine (basa purin) yang berwujud


kristal berwarna putih dan bersifat psikoaktif. Kafein pada kopi diketahui
memiliki manfaat apabila dikonsumsi oleh manusia dan juga memiliki dampak
buruk bagi tubuh jika dikonsumsi pada saat kondisi tubuh tertentu serta dalam
kadar jumlah kafein yang cukup tinggi. Konsumsi kafein berguna untuk
meningkatkan kewaspadaan, menghilangkan kantuk dan menaikkan mood. Kafein
juga membantu kinerja fisik dengan meningkatkan daya tahan tubuh dan
meningkatkan kontraksi otot. Kandungan senyawa kafein dan klorogenat yang ada
pada biji kopi dari ketiga proses pengolahan yang telah dilakukan dengan proses
penyangraian yang berbeda yaitu semi mekanis dan mekanis. Kedua alat yang
digunakan menunjukkan bahwa kedua jenis alat menggunakan tabung silinder
yang terbuat dari stainless steel dengan jenis transfer panas yang berbeda, yaitu
konduksi pada mesin tipe a karena biji bersentuhan langsung dengan permukaan
tabung silinder dan konveksi pada alat tipe b dimana panas yang digunakan
menggunakan udara panas yang secara tidak langsung. Proses penyangaraian
dengan alat semi mekanis memberikan nilai kadar kafein yang masih tinggi pada
pengolahan natural. Kadar kafein dan asam klorogenat pada hasil data penelitian
dan alat jenis penyangrai yang berbeda menghasilkan kadar kafein dan asam
klorogenat yaitu berturut-turut 2,4-2,5% dan 3,3-3,8%. Kadar kafein dan kadar
asam klorogenat yang masih direntan tersebut disebabkan bahan biji kopi yang
memiliki standar mutu 1-2 yang merupakan jenis kopi premium. Perbedaan kadar
kafein dan kadar asam klorogenat juga dapat disebabkan oleh varietas kopi.
Karena dalam satu lahan pertanaman biji robusta di Lampung Barat ini terdiri dari
beberapa varietas biji robusta yang ditanam yaitu ciari, egawa, rope dora, rope
dale, tugu sari, tugu ijo, srintil, tugu kuning, dan rona. Untuk menjaga kadar
kafein dalam biji kopi disarankan menggunakan metode pengolahan natural
karena pengolahan dengan metode natural dapat menjaga kadar kafein dan asam
klorogenat, dan proses yang dilakukan juga relative sederhana sehingga
mempermudah petani.

Kopi robusta sedang atau setengah tua merupakan kopi yang memiliki kandungan
metabolit sekunder yang tinggi dikarenakan kopi arabika sedang mengalami
pembentukan metabolit sekunder yang pesat dengan kondisi biji kopi yang cukup baik,
terlihat dari bentuk bagian kopi yang sempurna, yang utuh dan relating ukurannya cukup
besar sehingga dapat terjadi pembentukan metabolit yang optimum. Sedangkan pada biji
kopi arabika muda memiliki kadar kafein rendah dikarenakan pembentukan bagian biji
kopi belum sempurna dan untuk buah kopi yang tua ketika kopi masak akan menglami
proses penurunan senyawa, metabolit karena proses biokimiawi di dalam biji mulai
melambat, sehingga proses pembentukan metabolit tidak optimum.

Judul : Modifikasi Pengolahan Kopi Arabika Menggunakan Metode Honey


proses
Penulis : Hazfri Dalimunthe, Dina Mardhatilah, Maria Ulfah
Jurnal : Dalimunthe H, Mardhatilah D, Ulfah M. 2021. Modifikasi Pengolahan
Kopi Arabika Menggunakan Metode Honey Proses. Jurnal Teknik
Pertanian Lampung. 10 (3): 317-326

Review

Proses pengolahan kopi dengan metode madu dilakukan dengan


pengupasan kulit buah kopi terlebih dahulu dengan tujuan untuk mempercepat
proses pengeringan, namun dengan tetap mempertahankan kandungan dan
kualitas mutu lapisan mucilage yang ada di kopi. Mempertahankan kandungan
mucilage yang ada di kopi bertujuan agar selama proses pengeringan asam-asam
organic yang dihasilkan kopi dari proses fermentasi yang telah dilakukan dapat
diserap oleh biji kopi sehingga dapat menghasilkan rasa fruity khas buah-buahan
yang kompleksitas rasa yang tinggi menyerupai kopi yang di proses natural.
Selama proses fermentasi berlangsung terjadi proses perombakan pada pektin dan
glukosa menjadi asam laktat, asam asetat, kaproat, dan asam format sehingga
menambah cita rasa pada seduhannya proses ini dibantu oleh beberapa strain
bakteri asam laktat. Tidak hanya proses fermentasi yang sangat berpengaruh
terhadap cita rasa kopi dengan proses pengolahan madu tetapi tingkat kematangan
buah kopi juga memegang peranan npenting terhadap cita rasa kopi yang
ihasilkan, kompleksitas senyawa yang terdapat didalam buah kopi berbanding
lurus dengan tingkat kematangan buah kopi.

Metode pengolahan kopi dengan proses madu, diawali dengan buah kopi
yang di petik dari perkebunan disortasi berdasarkan berat jenisnya dengan cara
perambangan di dalam air, kemudian di ambil buah kopi yang tenggelam
kemudian dipisahkan tingkat kematangannya melalui warna kulit buah kopi.
Kemudian biji kopi yang telah dipilih dikupas kulitnya kemudian divariasikan
intensitas pencuciannya yaitu pencucian 1 kali dan pencucian 2 kali. Kemudian
biji kopi dijemur menggunakan meja pengeringan dengan bantuan cahaya
matahari selama 10 hari hingga kadar air biji kopi mencapai 12%. Setelah kadar
air yang optimum biji kopi di resting kurang lebih satu bulan barulah setelah itu
biji kopi dikupas kulit tanduknya dengan menggunakan huller sehingga
menghasilkan biji kopi beras (green bean). Setelah diperoleh ghreen bean biji kopi
kemudian disangrai dengan menggunakan mesin mekanis dan setelah itu
dilakukan pengecilan ukuran menggunakan grider. Bubuk kopi yang diperoleh
kemudian dilakukan pengujian analisis kimia dan uji organoleptik. Paerameter
pengamatan analisis kimia bijhi kopi yaitu meliputi kadar air, kadar abu,
penentuan nilai brix, pengukuran PH, dan uji organoleptik.

Hasil penelitian menunjukkan kadar air biji kopi bubuk sangat dipengaruhi
oleh tingkat kematangan buah dan intensitas pencucian. Pengujian kadar air pada
biji kopi dan kopi bubuk dimaksudkan untuk mengetahui kualitas dan mutu kopi
bubuk yang dihasilkan sehingga dapat membantu petani agar dapat memperluas
pemasaran mereka. Kadar air terbaik ditemukan pada sample buah kopi tanpa
pencucian dan buah matang sempurna, hal ini disebabkan karena buah matang
mengandung kadar air yang optimum dan memiliki mucilage yang lebih tebal
serta kandungan gula pada buah matang optimum yang tinggi. Gula bersifat
hidroskopis atau mudah menyerap air dari linkungan sekitar sehingga perlakuan
tanpa pencucian atau black honey menghasilkan kadar air tertinggi dari pada
perlakuan yang lainnya. Sedangkan buah yang telah lewat matang memiliki kadar
air 50% lebih rendah disbanding buah yang matang optimum oleh karena itu
kadar air buah yang kelewat matang lebih rendah dari pada buah yang matang
optimum. Dari hasil pengamatan setiap sample kopi bubuk pada pengamatan ini
telah memenuhi syarat mutu kopi bubuk SNI 01-3542-2004 dengan kadar air
maksimum 7%.

Hasil pengujian kadar abu pada setiap perlakuan menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata terhadap kadar abu. Meningkatnya kandungan mineral pada
sample yang memiliki kandungan kalsium dan magnesium maka akan semakin
tinggi juga kadar abu yang ada pada produk. Tinggi rendahnya kadar abu yang
ada di dalam bubuk kopi mempengaruhu standar mutu dari bubuk kopi tersebut,
semakin rendah kadar abunya makan akan semakin baik bubuk kopi tersebut.
Setiap sampel produk hasil penelitian ini memenuhi syarat mutu kopi bubuk SNI
01-3542-2004 yaitu kadar abu maksimal kopi bubuk sebesar 5%. Kadar gula total
pada sample tampa pencucian (black honey) sangat berbeda nyata dengan kadar
gula yang ada pada sample dengan pencucician satu kali (yellow honey) dan
pencucian dua kali (red honey). Hal ini disebabkan oleh banyaknya mucilage yang
tetap menempel dan terfermentasi bersama biji kopi pada saat penjemuran
sehingga perlakuan tanpa pencucian (black honey) memiliki kadar gula total yang
lebih tinggi dibandingkan dua perlakuan lainnya. Mucilage akan meningkat
dengan cepat selama proses pematangan buah menyebabkan buah kopi yang
matang akan terasa manis. Hasil pemecahan sukrosa dan komponen gula yang
terkandung pada daging buah kopi (mucilage) akan menghasilkan beberapa
senyawa asam diantaranya asam laktat, butirat, dan propionate dan adapula
senyawa alcohol seperti etanol.

Pengukuran nilai PH bertujuan untuk mengetahui tinggi rendahnya nilai


PH yang ada pada bubuk kopi yang dihasilkan dan di seduh. Semakin rendah nilai
PH makan semakin tinggi tingkat keasaman kopi tersebut. Perlakuan dan tingkat
kematangan berpengaruh terhadap nilai PH kopi namun tidak diikuti dengan
interaksi. Perlakuan tanpa pencucian memberikan pengaruh yang sangat nyata
terhdapa PH pada bubuk kopi sedangkan perlakuan pencucian satu kali dan
pencucian dua kali tidak memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap PH
bubuk kopi. Hal ini disebabkan karena intensitas pencucian yang berbeda akan
mempengaruhu jumlah mucilage yang ada pada biji kopi. Pada proses fermentasi
terjadi penguraian karbohidrat olek aktivitas enzim karbohidratase dan enzim
pektinase menjadi gula reduksi seperti glukosa dan fruktosa. Selain itu pada
proses fermentasi terjadi penguraian senyawa karbohidrat menjadi asam-asam
organik seperti asam laktat dan asam asetat, yang ditandai dengan penurunan pH.
Tingkat kematangan buah juga mempengaruhi tingkat PH pada produk akhir
bubuk kopi yang dihasilkan, buah kopi yang masih mentah memiliki PH 4
sedangkan buah kopi yang kelewat matang memiliki PH 6 yang menggambarkan
bahwa semakin matang buah kopi maka akan semakin tinggi PH yang dihasilkan.
Senyawa fenolik dan asam organic pada bubuk kopi akan mengalami penurunan
yang yang menyebabkan rasa sepet dan masam berkurang, dan nilai PH akan
bertambah hingga buah kopi matang.

Pengujian organoleptic pengolahan madu dilakukan dengan penilaian dari


1 sampai 8 dari rentan sangat tidak suka sampai excellent, dengan parameter yang
diamati yaitu aroma, tingkat kekentalan kopi, rasa asam, dan flavor. Aroma kopi
tertinggi atau yang paling strong yaitu pada perlakuan 1 kal;I pencucian (red
Honey) dimana perlakuan ini menghasilkan tingkat keasaman yang tidak terlalu
rendah sehingga aroma yang dihasilkan sangat disukai oleh pasaran dibandingkan
dengan dua perlakuan lainnya yang memiliki aroma yang lebih asam. Buah kopi
yang matang optimum juga memberikan hasil uji organoleptik terhadap aroma
yang tinggi sehgingga buah yang matang optimum lebih disukai aromanya
disbanding buah yang dipetik hijau. Hal ini kemungkinan disebabkan karena
proses pematangan biasanya meningkatkan zat-zat atsiri yang mana merupakan
senyawa golongan volatile yang dapat memberikan pengaruh terhadap aroma dan
rasa bubuk kopi. Pengujian terhadap tingkat kekentalan kopi yang dirasakan saat
dikonsumsi, perlakuan tanpa pencucian (black honey) menghasilkan tingkat
kekentalan yang paling tinggi diantara dua perlakuan lainnya. Dari tingginya
tingkat kekentalan kopi yang dihasilkan pada proses tanpa pencucian
menunjukkan bahwa jumlah mucilage juga berpengaruh terhadap tingkat
kekentalan kopi sehingga semakin banyak mucilage yang ikut dijemur Bersama
dengan biji maka semakin tinggi tingkat kekentalannya. Tidak hanya kandungan
mucilage yang berpengaruh terhadap kekentalan kopi tetapi komposisi kimia dari
kopi sendiri juga memberikan pengaruh terhadap kekentalan kopi seperti lemak
dan kerbohidrat yang terkandung di dalam kopi. seiring pematangan buah kopi
maka semakin kompleks senyawa kimia termasuk karbohidrat dan minyak yang
ada didalamnya. Hal inilah yang membuat kekentalan buah kopi yang lewat
matang lebih disukai. Oleh karena itu nilai kekentalan tertinggi yaitu pada sample
lewat matang dibandingkan buah matang optimum dan buah hijau. Sedangkan
nilai kekentalan yang terendah nilai kesukaannya yaitu pada buah mentah.

Rasa asam pada kopi atau biasa dikenal dengan istilah acidity, rasa asam
yang baik harusnya itu seperti rasa asam yang ada pada buah segar dan sebaliknya
rasa asam yang tidak enak itu disebabkan oleh acidity yang terlalu dominan acuan
pengamatan acidity biasanya mengacu pada kopi kenya untuk acidity yang tinggi
dan kopi sumatera untuk acidity yang rendah. Perlakuan tanpa pencucian (black
honey) menghasilkan acidity yang sangat disukai oleh para penikmat kopi dari
pada dua perlakuan lainnya. kandungan mucilage menunjukkan bahwa semakin
banyak persen mucilage yang ikut dijemur bersama dengan biji maka semakin
disukai dari segi acidity nya. Hal ini dikarenakan persen mucilage yang terbanyak
memiliki nilai kadar gula yang tertinggi, sehingga menutupi sebagian rasa asam
pada seduhan kopi. Tingkat sweetness ditingkatkan oleh asam asam, oleh karena
itu ntingginya kandungan gula dapat menyamarkan rasa asam pada kopi seduh.
Tingkat kematangan buah kopi juga berpengaruh terhadap acidity, karena semakin
matang buah kopi maka semakin tinggi juga acidity yang dihasilkan. Sehingga
buah yang mentah memiliki nilai kesukaan terendah terhadap acidity yang
menandakan bahwa buah yang dipetik pada saat matah. Acidity disini bukan
hanya sekedar tingggi rendahnya tingkat rasa asam, tetapi yang menjadi parameter
acuan yaitu asam yang memiliki rasa yang enak dan dapat diterima. hasil analisis
nilai pH, yang menunjukkan bahwa perlakuan kopi mentah memilik asam yang
lebih tinggi. Beberapa panelis lebih suka rasa asam yang tidak terlalu tinggi,
karena acidity yang terlalu tinggi atau terlalu dominan dapat menjadi tidak enak.
Oleh karena itu perlakuan kopi lewat matang dan matang optimal lebih disukai
dan berbeda nyata terhadap acdity-nya dibandingkan dengan perlakuan buah
mentah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya perbedaan antara perlakuan


persen mucilage terhadap kuat atau lemahnya flavor atau cita rasa pada kopi yang
dihasilkan. Tingkat kematangan kopi juga berpengaruh terhadap tingkat flavor
yang ada pada kopi, Buah kopi matang optimal memiliki nilai organoleptik
flavour tertinggi dan memiliki rasa manis yang stabil, diikuti buah lewat matang
dan flavor terendah ada pada buah mentah. buah lewat matang mengeluarkan rasa
stink, flat karena sudah kehilahangan rasa khas, dan sebagian rasa buah buah
busuk. erlakuan tanpa pencucian (black honey) menghasilkan flavor yang paling
disukai diantara perlakuan lainnya. Dengan mempertahankan kandungan
mucilage diperumukaan biji kopi dan ikut terjemur bersama dengan biji selama
proses pengeringan flavour yang terbentuk panling disukai oleh panelis. Hal ini
dikarenakan persen mucilage yang terbanyak memiliki protein, gula dan mineral
yang lebih tinggi menyebabkan proses fermentasi yang terjadi lebih maksimal,
sehingga menimbulkan rasa buah buahan matang yang lebih kompleks
dibandingkan perlakuan lainnya.

Judul : Efek Fermentasi Basah Menggunakan Kultur Saccharomyces


cerevisiae Terhadap Sifat Kimia dan Sensori Kopi Robusta
(Coffea
canephora)
Penulis : Dyah Putri Larassati. Maria Erna Kustyawati, Subeki, Dewi
Sartika. Suharyono AS.
Jurnal : Larassati DP, Kustyawati ME, Subeki, Sartika D, Suharyono AS.
2021. Efek Fermentasi Basah Menggunakan Kultur
Saccharomyces cerevisiae Terhadap Sifat Kimia dan Sensori
Kopi
Robusta (Coffea canephora).Jurnal Teknik Pertanian Lampung.
10
(4) : 449-458.

Review

Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki nilai


ekonomis yang cukup tinggi di antara tanaman perkebunan lainnya, dan berperan
penting sebagai sumber devisa negara. Selain itu, budidaya kopi merupakan
sumber penghasilan lebih dari satu setengah juta jiwa petani kopi di Indonesia.
Rendahnya mutu biji kopi di Indonesia yang dihasilkan dapat mempengaruhi
produksi biji kopi dikarenakan pasca panen yang tidak tepat, antara lain pada
proses fermentasi, sortasi, pengeringan, dan penyangraian. Spesifikasi alat dan
mesin yang digunakan juga dapat mempengaruhi setiap tahapan pengolahan biji
kopi dan produksi kopi. Rendahnya mutu kopi ditingkat petani menunjukkan
mutu 5 dan 6 dengan kadar air yang masih relatif tinggi yaitu sekitar 16%, hal ini
akan memicu pertumbuhan jamur, sehingga pada tingkat lanjut akan berpengaruh
terhadap citarasa yang akhirnya dapat menurunkan harga jual.

Kopi robusta memiliki kadar kafein yang lebih tinggi daripada kopi
arabika. Kopi robusta memiliki kadar kafein sekitar 1%–2% dan arabika sebesar
0,4%–2,4%. Kafein yang terdapat pada kopi robusta salah satu derivate xantin
yang memiliki kemampuan sebagai stimulant syaraf otak, stimulant otot, jantung,
relaxasi otot polos dan meningkatkan dieresis dengan tingkatan yang berbeda-
beda. Meminum minuman yang di dalamnya mengandung kafein memiliki efek
samping berupa palpitasi, insomnis, nyeri kepala, tremor, gelisah, muntah, dan
mual. Oleh sebab itu kandungan kafein dalam setiap produk harus selalu
dipastikan aman untuk dikonsumsi. Dekafeinasi merupakan stu satunya upaya
untuk menurunkan kadar kafein pada biji kopi. Fermentasi kopi dengan
pengolahan basah menjadi salah satu proses yang banyak dilakukan untuk
menurunkan kadar kafein yang ada pada kopi. Proses fermentasi akan
menurunkan kandungan kafein secara signifikan baik fermentasi basah maupun
fermentasi ragi. Kafein yang ada pada kopi akan diuraikan oleh bakteri-bakteri
dan enzim penguraikafein selama proses fermentasi. Fermentasi kopi membantu
mengaktifkan enzim-enzim yang mampu menyebabkan terjadinya proses
pencoklatan enzimatis sehingga biji kopi akan menghasilkan warna yang lebih
coklat sehingga memperbaiki citarasa kopi. Fermentasi kopi secara basah ditandai
dengan munculnya gelembung udara saat proses fermentasi walaupun suhu tidak
mengalami peningkatan

Terkait dengan berbagai kendala tersebut, terdapat peluang pengembangan


kopi dan perbaikan mutu kopi dengan teknologi pengolahan secara basah.
Pengolahan basah bermanfaat mengurai lapisan lender (mucilage) pada biji kopi
secara lebih cepat sehingga mudah dibersihkan, sekaligus menghilangkan
mikroorganisme yang ada pada permukaannya. Waktu perendaman yang tepat
menjadi hal terpenting dalam proses pengolahan basah (Yusianto dan Widyotomo,
2013). Proses pengolahan kopi secara basah dengan fermentasi bertujuan untuk
membantu melepaskan lapisan lendir yang masih melekat pada kulit tanduk.
Pektin dapat dihidrolisis oleh enzim pektinase yang terdapat di dalam buah dan
reaksinya dapat dipercepat dengan bantuan jasad renik (Saccharomyces
cerevisiae). Selama proses fermentasi dengan bantuan kegiatan jasad renik, terjadi
pemecahan komponen lapisan lendir tersebut, makan akan terlepas dari
permukaan lapisan kulit tanduk biji kopi. Proses tersebut tidak hanya sekedar
degradasi lapisan lendir yang tersisa di permukaan kulit tanduk, tetepi juga terjadi
peristiwa kimiawi yang sangat berguna dalam pembentukan karakter cita rasa,
yaitu pembentukan senyawa precursor citarasa, seperti asam organik, asam amino,
dan gula reduksi. Oleh karena itu, proses fermentasi merupakan tahapan yang
penting dalam pengolahan kopi secara basah, mengingat pengaruhnya yang positif
bagi peningkatan citarasa kopi. Proses fermentasi membutuhkan starter kultur
untuk menghasilkan produk yang baik. Salah satu starter kultur yang dapat
diterapkan pada proses fermentasi kopi adalah Saccharomyces cerevisiae yang
memiliki kemampuan fermentasi yang sering digunakan sebagai pembuatan
berbagai produk makanan dan sudah banyak digunakan sebagai probiotik. S.
cerevisiae memiliki kemampuan untuk menghidrolisa ikatan selulosa menjadi
glukosa dan secara tidak langsung dapat menurunkan kandungan serat kasar
melalui aktifitas sekunder khamir tersebut. Fermentasi kopi dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu jumlah inokulum bakteri, lama fermentasi, substrat
(medium), suhu, oksigen, air dan tingkat keasaman (pH). Tidak hanya beberapa
faktor diatas yang dapat menentukan kualitas kopi tapi lama inkubasi fermentasi
juga salah satu hal yang penting untuk diperhatikan. Sehingga kombinasi antara
aktifitas Saccharomyces cerevisiae dan lamanya waktu fermentasi diharapkan
mampu menghasilkan kopi dengan sifat kimia dan sensori kopi menjadi lebih
baik.

Metode bahan utama yang digunakan dalam penelitian yaitu kopi robusta,
Saccharomyces cerevisiae, gula, dan garam. Sampe kopi yang digunakan yaitu
125 g yang ditambah air sebanyak 187,5 ml, gula 3%, garam 3%, dan
Saccharomyces cerevisiae (0%, 1% dan 3%). Kemudian sample diaduk dan
ditutup dengan aluminium foil fermentasi dilakukan selama (12 jam, 24 jam, 36
jam dan 48 jam). Percobaan dilakukan sebanyak tiga kali ulangan, Adapun
parameter pengamatan yang dilakukan yaitu kadar air yang diukur dengan
menggunakan metode grafimetri dengan sample sebanyak 5 gr, kadar abu juga di
uji dengan menggunakan metode grafimetri dengan sampe sebanyak 5 gr , kadar
kafein yang dihitung dengan menggunakan sample 5 gr yang dimasukkan
kedalam erlemeyer kemudian ditambah 5 g MgO ditambah 200 ml aquabides lalu
hitung dengan persamaan yang ada, dan yang terakhir yaitu analisis asam
klorogenat. Sampel bubuk kopi disiapkan seberat 2 g dan ditambahkan 75 mL
metanol adan 75 mL aquabides. Kemudian larutan dipanaskan selama 1 jam suhu
mendidih dan didinginkan dalam suhu ruang. Dan dihitung dengan persamaan
yang ada.

Hasil Berdasarkan hasil uji lanjut untuk mengetahui menunjukkan, bahwa


hanya konsentrasi S. Cerevisiae yang mempengaruhi tingkat keasaman (pH),
sedangkan lama fermentasi dan konsentrasi S. cerevisiaebersama lama fermentasi
tidak mempengaruhi tingkat keasaman (pH). PH biji kopi sebelum dilakukan
pengolahan dengan cara fermentasi yaitu berkisar 6,32-7,94 berdasarkan hasil
analisi ragam memperlihatkan bahwa penampakan Saccharomyces cerevisae,
waktu fermentasi dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap pH biji
kopi yang dihasilkan. Sedangkan pada saat telah dilakukan pengolahan dengan
cara fermentasi PH biji mengalami penurunan berkisar antara 4,116-7,16. Hasil
analisis ragam memperlihatkan bahwa penambahan Saccharomyces cerevisae,
waktu fermentasi dan interaksi keduanya sangat berpengaruh nyata terhadap pH
biji kopi yang dihasilkan. Kemudian untuk hasil uji lanjut menggunakan
polinominal ortogal menunjukkan bahwa penambahan Saccharomyces cerevisiae
dan waktu fermentasi berpengaruh nyata terhadap kadar pH yang dihasilkan
namun interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata. Semakin lama waktu
fermentasi maka PH biji kopi yang dihasilkan cenderung semakin menurun secara
linier. Proses pengolahan dengan fermentasi semakin lama akan menghasilkan
asam-asam organic yang semakin meningkat pada biji kopi yang sedang
difermentasi. Khamir juga faktor penentu penurunan PH biji karena semakin
banyak jumlah khamir yang di hasilkan maka semakin tinggi aktivitas enzim
amilase, zymase, dan invertase dan selama proses fermentasi khamir akan
merombak gula menjadi etanol dan kemudian akan di rombak Kembali oleh
bakteri asetat menjadi asam- asam organik. bahwa khamir mempunyai keadaan
lingkungan tempat hidup yang spesifik. Kisaran suhu optimal untuk kebanyakan
khamir sama dengan kapang, yaitu pada 25-300 C. Khamir lebih menyukai
tumbuh pada keadaan asam, yaitu pada pH 4-5, dan tidak dapat tumbuh dengan
baik pada medium alkali, kecuali jika telah beradaptasi. Semakin tinggi persentase
inokulum Saccharomycess cerevisiae yang digunakan, maka pH biji kopi yang
dihasilkan semakin menurun secara linier. Semakin tinggi persentase inokulum,
maka semakin banyak Saccharomycess cerevisiae yang bekerja untuk mensintesis
gula menjadi asam-asam yang mampu menurunkan PH. proses pemecahan gula
akan menghasilkan asam laktat dan asam-asam lain yaitu etanol, asam butirat, dan
propionate. Asam-asam yang terbentuk ini akan menyebabkan pH menjadi asam.
Kadar air akhir kopi bubuk yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar
antara 5,26-7,60%. Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa penambahan
Saccharomycess cerevisiae sangat berpengaruh nyata terhadap kadar air kopi
bubuk sedangkan waktu fermentasi berpengaruh nyata. Interaksi antara
penambahan Saccharomycess cerevisiae dan waktu fermentasi tidak berpengaruh
sangat nyata. Hasil uji lanjut polinomial ortogonal menunjukan penambahan
Saccharomycess cerevisiae berpengaruh sangat nyata terhadap kadar air kopi
bubuk. Hal ini disebabkan semakin tinggi ersentase inokulum Saccharomyces
cerevisiae yang digunakan, maka kadar air kopi bubuk yang dihasilkan akan
menurun secara linier. Tingginya persentase inoculum akan menyebabkan
aktivitas mikroba semakin tinggi yang menyebabkan terjadinya kenaikan suhu.
Kenaikan suhu ini akan mengubah lendir dari biji kopi menjadi encer dan pori-
pori biji kopi terbuka dan terjadi proses penguapan. Proses fermentasi ini juga
akan mengubah lendir menjadi alkohol dari senyawa-senyawa gula yang bersifat
higroskopis di dalam lendir. Sehingga dapat mengakibatkan biji kopi yang telah
dikeringkan dan telah diolah menjadi kopi bubuk akan mengalami penurunan
kadar air karena jumlah inoculum yang semakin banyak. Proses fermentasi
dengan menggunakan Saccharomyces cerevisiae akan mengakibatkan kopi
menyerap banyak air, sehingga meningkatkan bobot biji kopi yang terfermentasi.
Aktivitas mikroba dalam fermentasi ini akan merombak makromolekul seperti
pati, lemak, protein menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga air mampu
berdifusi ke dalam sel yang terdapat pada biji kopi. Namun pada proses
berikutnya kpi juga akan mengalami proses penyusutan terutama pada saat proses
pengeringan dan pada saat proses penyangraian.

Abu merupakan jumlah mineral-mineral yang terdapat pada bahan, dimana


mineral-mineral yang terdapat pada kopi adalah pottasium, kalium, kalsium,
magnesium dan mineral non-logam yaitu fosfor dan sulfur. Kadar abu hasil
penelitian ini berkisar antara 3,609%-5,033%. Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa penambahan Saccharomyces cerevisiae tidak berpengaruh nyata terhadap
kadar abu kopi bubuk sedangkan waktu fermentasi sangat berpengaruh nyata.
Interaksi antara penambahan Saccharomyces cerevisiae dan waktu fermentasi
berpengaruh nyata terhadap kadar abu kopi bubuk. Hasil uji lanjut polinomial
ortogonal menunjukan waktu fermentasi sangat berpengaruh nyata terhadap kadar
abu kopi bubuk. Hal ini dikarenakan semakin banyak Saccharomyces cerevisiae
yang ditambahkan pada biji kopi maka kadar abu yang ada pada biji kopi bubuk
yang dihasilkan akan meningkat secara linier. Begitupun dengan waktu
fermentasi, Semakin lama fermentasi pada biji kopi maka selama proses
fermentasi terjadi perombakan komponen- komponen zat di dalam biji kopi akibat
selama proses fermentasi menghasilkan panas. Kopi sendiri memiliki beberapa
kandungan mineral yaitu potassium, kalium, kalsium, magnesium dan mineral
non-logam yaitu fosfor dan sulfur. S. cerevisiae tidak mempengaruhi kadar abu,
hal ini diduga karena S. Cerevisiae hanya menyumbangkan mineral dalam jumlah
yang sangat kecil sehingga tidak mempengaruhi kadar abu

Mikroba merupakan mahluk hidup berukuran sangat kecil yang tak kasat
mata. Mikroorganisme yang ada di sekitar kita dapat berupa archaea, bakteri,
jamur ataupun khamir. Sama seperti mahluk hiduplainnya ada mikroorganisme
yang bermanfaat untuk bagi kehidupan manusia dan ada juga mikroorganisme
yang tidak bermanfaat untuk kehidupan manusia. Berdasarkan hasil analisi ragam
yang dilakukan menunjukkan bahwa penambahan Saccharomyces cerevisiae
berpengaruh nyata terhadap total mikroba biji kopi sedangkan waktu fermentasi
sangat berpengaruh nyata. Interaksi antara penambahan Saccharomyces
cerevisiae dan waktu fermentasi tidak berpengaruh sangat nyata. Hasil uji lanjut
polinomial ortogonal menunjukan waktu fermentasi berpengaruh nyata terhadap
total mikroba biji kopi. Lama waktu fermentasi juga berpengaruh terhadap jumlah
mikroba yang ada pada kopi, karena semakin lama waku fermentasi, total mikroba
yang dihasilkan pada biji kopi akan meningkat secara linier. Pertumbuhan total
mikroba ini karena adanya peningkayan mikroba yang semakin lama semakin
meningkat yang ditandai dengan munculnya gelembung- gelembung saat proses
fermentasi biji kopi. Selama terjadi proses fermentasi biji kopi, terdapat aktivitas
mikroorganisme terutama khamir yang merombak lapisan lendir menjadi senyawa
asam-asam organik yang berperan aktif dalam menentukan citarasa dari kopi yang
akan dihasilkan.

Aroma, Hasil uji organoleptik terhadap fragrance atau aroma bertujuan


untuk mengetahui tingkat respon panelis mengenai kesukaannya terhadap kopi
dari masing-masing perlakuan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
penambahan Saccharomyces cerevisiae dan waktu fermentasi sangat berpengaruh
nyata terhadap aroma kopi bubuk yang sudah diseduh. Interaksi antara
penambahan Saccharomyces cerevisiae dan waktu fermentasi sangat berpengaruh
nyata erhadap aroma kopi bubuk yang sudah diseduh. Hasil uji lanjut polinomial
ortogonal menunjukan penambahan Saccharomyces cerevisiae, waktu fermentasi
dan interaksi keduanya sangat berpengaruh nyata terhadap aroma kopi bubuk
yang sudah diseduh. semakin tinggi konsentrasi Saccharomyces cerevisiae tidak
menunjukan peningkatan nilai rerata yang signifikan. Pengujian aroma dilakukan
pada kopi bubuk yang sudah diseduh. Nilai rerata aroma yang semakin tinggi
dapat terjadi karena proses fermentasi akan membentuk senyawa volatile yang
terbentuk akibat adanya reaksi gula reduksi, asam organik, lipid dan asam amino
yang mampu menguraikan karbohidrat dan protein yang berlangsung selama
proses fermentasi. Rasa melalui interaksi penambahan Saccharomyces cerevisiae
dan waktu fermentasi tidak berpengaruh nyata terhadap rasa kopi bubuk yang
sudah diseduh. Hasil uji lanjut polinomial ortogonal menunjukan waktu
fermentasi sangat berpengaruh nyata terhadap rasa kopi bubuk yang sudah
diseduh. kandungan protein yang semakin rendah pada kopi maka rasa yang
ditimbulkan pada kopi semakin tidak pahit. Perombakan protein ini akan
menyebabkan rasa gurih pada kopi. Rasa gurih ini adalah rasa yang diinginkan
dalam proses fermentasi sehingga diharapkan menghasilkan rasa balance.

Saccharomyces cerevisiae memberikan pengaruh yang nyata terhadap


penerimaan keseluruhan kopi bubuk yang sudah dilakukan penyeduhan maupun
di waktu fermentasi. Melalui uji lanjut diperoleh data bahwa waktu fermentasi
berpengaruh nyata terhadap penerimaan keseluruhan kopi bubuk yang sudah
diseduh. Sehingga semakin banyak jumlah Saccharomyces cerevisiae yang
ditambahkan maka rerata penerimaan keseluruhan meningkat secara linier.
Penerimaan keseluruhan juga berbanding dengan nilai rerata rasa dimana terjadi
peningkatan secara linier namun tidak signifikan. Penilaian lainnya pada skor
penerimaan keseluruhan mungkin juga dipengaruhi aftertaste setelah mencoba
kopi bubuk yang sudah diseduh. Kesukaan kopi juga dipengaruhi oleh banyak hal
dimana pada panelis terlatih menilai kopi dengan berbagai parameter yaitu aroma
(bau aroma saat diseduh), flavour (rasa dilidah), body (kekentalan), acidity
(keasaman), aftertaste (rasa yang tertinggal dimulut), sweetness (rasa manis),
balance (aspek keseimbangan rasa), clean cup (kesan rasa umum), dan uniformity
(adanya keseragaman rasa dari tiap cangkir).

Berdasarkan hasil rekapitulasi, seluruh perlakuan kecuali S0T1, S0T2 dan


S0T3 memenuhi perlakuan kadar air dimana kurang dari 7% (b/b). Hasil kadar
abu secara keseluruhan memiliki kadar abu yang sesuai dengan SNI 01-3542-
2004 yaitu kurang dari 5% (b/b). Hasil yang sesuai dengan SNI diberi tanda
bintang untuk melihat hasil terbaik. Berdasarkan jumlah bintang maka S0T1,
S0T2 dan S0T3 memiliki jumlah bintang satu dan sisanya memiliki jumlah
bintang dua. Hasil terbaik blmbisa ditentukan sehingga hasil terbaik dilihat
dengan menggunakan hasil uji sensori. Setiap perlakuan yang memiliki nilai
tertinggi diberikan bintang dan direkapitulasi total bintang. Hasil rekapitulasi
menunjukan kopi bubuk dengan perlakuan S1T4 memiliki jumlah terbaik dan
menjadi perlakuan terbaik. Hasil pengujian menunjukan perlakuan kontrol
memiliki kadar kafein dan asam klorogenat terendah. roses fermentasi
menyebabkan kandungan kafein diubah menjadi senyawa ester berupa asam
klorogenat melalui proses esterifikasi. Proses esterifikasi ini yang mengubah
senyawa kompleks kafein menjadi asam klorogenat. Hal lain yang menyebabkan
terjadi peningkatan asam klorogenat adalah karena pengujian ini dilakukan
dengan kadar berat basah. Etanol pada proses fermentasi akan bereaksi dengan
asam klorogenat sehingga menghasilkan ester-ester asam klorogenat. Ester-ester
ini yang mungkin terhitung sebagai asam klorogenat.

Anda mungkin juga menyukai