Dosen Pengampu:
22231
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..............................................................................................................................i
DAFTAR GAMBAR................................................................................................................iv
DAFTAR TABEL....................................................................................................................vi
BAB 1. PENDAHULUAN........................................................................................................1
BAB 2. PEMBAHASAN...........................................................................................................3
2.1.2. Cara penyiapan dan aturan minum ramuan jamu asam urat.................................4
2.1.7. Penyiapan jamu untuk pelayanan kesehatan dan KIE di pelayanan saintifikasi
jamu 6
BAB 3. PENUTUP..................................................................................................................68
3.1. Kesimpulan...............................................................................................................68
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................69
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
Gambar 2.29 Fragmen simplisia herba meniran.......................................................................62
Gambar 2.30 Struktur senyawa filantin....................................................................................62
Gambar 2.31 Hasil uji KLT filantin..........................................................................................63
v
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Pengaruh cara pengeringan terhadap kandungan bahan aktif simplisia temulawak 23
Tabel 2. 2 Kadar flavonoid total tempuyung............................................................................34
Tabel 2. 3 Pengaruh cara pengeringan terhadap karakteristik mutu simplisia tempuyung......34
Tabel 2.4 Perbandingan Dataran pada Kayu Secang................................................................43
Tabel 2. 5 Hasil keseluruhan pengukuran dan perhitungan total seluruh rancangan perlakuan
proses pengeringan....................................................................................................................44
vi
BAB 1. PENDAHULUAN
2.1.2. Cara penyiapan dan aturan minum ramuan jamu asam urat
Untuk memudahkan dalam penyiapan, ramuan jamu dikemas dalam kantung plastic
satu hari pemakaian. Ramuan disiapkan seperti pembuatan infusa. Berikut langkah-langkah
penyiapan ramuan jamu asam urat.
1. Rebus air satu liter (setara dengan 5 gelas) dalam panic stainless/kendil bertutup
hingga mendidih.
2. Masukkan 1 kemasan ramuan jamu ke dalam panci/kendil, kemudian rebus
menggunakan api kecil selama 15 menit.
3. Angkat dan diamkan panci/kendil hingga dingin, lalu saring menggunakan
saringan yang berbahan non logam.
4. Hasil penyaringan diminum 3 kali sehari pada hari yang sama yaitu setiap pagi,
siang dan malam hari 1 gelas setelah makan.
Ramuan ini disiapkan dengan menggunakan alat yang terbuat dari tanah liat, stainless
atau enamel untuk merebus jamu. Hindari menggunakan bahan dari besi atau alumunium
(Kementerian Kesehatan RI., 2019).
2.1.3. Peringatan penggunaan
Penggunaan jamu asam urat perlu memperhatikan kondisi sebagai berikut.
1. Ramuan jamu asam urat tidak boleh diminum ketika mengalami keadaan yang
sangat nyeri. Ramuan jamu asam urat dapat diberikan jika kondisi sudah stabil
yaitu pasien merasakan nyeri ringan (asam urat masih lebih dari normal). Jika
kadar asam urat lebih dari 10 mg% sebaiknya konsumsi jamu asam urat
dikombinasi dengan pengobatan medis yang terlebih dahulu dikonsultasikan
dengan dokter.
2. Ramuan jamu asam urat tidak dianjurkan untuk dikonsumsi oleh ibu hamil dan
menyusui.
3. Selama minum jamu asam urat ini kemungkinan ada efek yang tidak diinginkan
yang timbul seperti mual, rasa pahit atau banyak buang air kecil.
4. Jika suda lebih dari satu bulan kadar asam urat tidak mengalami penurunan atau
timbul keluhan nyeri yang sangat, maka segeralah berkonsultasi dengan dokter
(Kementerian Kesehatan RI., 2019).
5
2.1.7. Penyiapan jamu untuk pelayanan kesehatan dan KIE di pelayanan saintifikasi jamu
a. Alur pendaftaran pasien RRJ hortus medicus
7
Pemeriksaan
konsultasi dan Proses peracikan
penentuan diagnoso resep jamu
oleh dokter melalui
layanan video call
Jamu dikirimkan
kepada pasien melalui
jasa pengiriman
e. KIE
Mengecek kesesuaian resep dengan sediaan ramuan jamu kolesterol tinggi yang akan diberikan
Memastikan bahwa pasien yang datang sesuai dengan nama di resep atau pendamping pasien
Memberikan ramuan kepada pasien dan memberikan informasi tentang cara penyiapan serta c
pada daun dewasa lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan flavonoid pada daun sedang
dan daun muda (Melisnawati dkk., 2021). Daun kepel memiliki potensi sebagai penurun kadar
asam urat darah (Kusumawati, 2016). Secara tradisional buah kepel telah digunakan sebagai
bahan parfum alami, khususnya di kalangan keraton, dengan mengkonsumsi buahnya dapat
membuat bau keringat menjadi wangi, bau nafas menjadi harum, mengharumkan bau air seni,
bahkan dapat mencegah kehamilan (alat kontrasepsi), peluruh kencing dan mencegah radang
ginjal (Meilinawati, 2020). Kulit batang dari tumbuhan kepel memiliki aktivitas antiagregasi
platelet (Andrini, 2011).
2.2.4. Penanaman, panen, pasca panen, dan standarisasi daun kepel
a. Penanaman
Tanaman Kepel merupakan tanaman tahunan dan merupakan tanaman buah
musiman. Kepel umumnya diperbanyak secara generatif menggunakan biji. Biji yang
akan digunakan sebagai benih diambil dari buah matang dan disemaikan secepatnya.
Biji yang akan digunakan sebagai benih diperoleh dari buah yang benar-benar telah
masak. Uji kemasakan buah dapat dilakukan dengan menggores kulit buah yang
bersangkutan. Kalau bekas goresan berwana kuning atau coklat muda menandakan
bahwa buah sudah masak betul. Sebelum disemai benih diskarifikasi dengan cara
mengampelas di bagian struktur tumbuhnya (radikel) untuk mempercepat
perkecambahan. Walau begitu, perkecambahan biji kepel masih memerlukan waktu
beberapa bulan (Etty dkk., 2018).
Mula-mula biji dikecambahkan dalam kotak kayu berisi pasir bersih yang
sudah diayak halus, setebal 5 cm, dan ditutup pasir setebal 5 cm juga. Pesemaian ini
harus disiram setiap hari. Mula-mula semai kepel tumbuh lambat. Pada saat semai
berdaun 3-5 helai, semai dipindahtanamkan ke dalam pot (Etty dkk., 2018).
Ketika tingginya mencapai 0,5-1,0 m semai/ bibit dipindahtanamkan ke
bedengan pesemaian di lapangan. Tanah bedengan ini dicampur pupuk kandang dulu
dengan perbandingan 1 : 1. Lubang penanaman ini dibuat yang cukup dalam, yaitu 50
cm x 50 cm x 50 cm. Jarak tanam di kebun permanen ini 6 m karena kepel tidak lazim
ditanam sebagai tanaman utama namun ditanam bersama rambutan atau mangga.
Sesudah satu tahun berada di kebun, bibit itu diberi pupuk kandang. Pemupukan
dilakukan pada awal musim hujan. Dua minggu sesudah dipupuk-kandang, bibit diberi
pupuk kimia, campuran Urea 400 g, dobbel superfosfat 150 g, dan kalium sulfat 500 g.
Setiap tahun selanjutnya, pemupukan semacam itu diulang lagi pada awal musim
11
hujan. Fase juvenil kepel (vegetative phase, juvenile phase) berlangsung selama 6-9
tahun (Etty dkk., 2018).
Dengan pemupukan yang teratur seperti ini, tanaman yang kini disebut pohon
itu (karena batangnya jelas hanya satu, dan baru bercabang di bagian atas), akan
berbuah pertama kali pada umur enam tahun. Batangnya baru bergaris tengah 25 cm.
Tetapi kalau sudah belasan tahun, dan tingginya sudah 20 m, garis tengah batangnya
bisa sampai 40 cm. Buahnya dapat dipetik kira-kira empat bulan sejak berbunga (Etty
dkk., 2018). Tanaman Kepel relatif tahan terhadap hama maupun penyakit yang sering
menyerang tanaman budidaya. Namun pohonnya harus dijaga dari serangan kelelawar
dan binatang pengerat. Pemeliharaan kepel di lahan pada umumnya adalah
memperhatikan kecukupan air menambahkan kebutuhan hara dengan memberikan
pupuk setahun sekali (Etty dkk., 2018).
b. Panen
Buah kepel dianggap matang bila digores kulitnya terlihat bagian bawahnya
berwarna kuning atau coklat muda (jika berwarna hijau, buah masih belum matang).
Untuk menjaga kualitas, buah kepel dibungkus 1-2 bulan sebelum dipanen,
menggunakan anyaman bambu atau daun kelapa atau kantung plastik. Buah dikemas
dalam keranjang atau karung dan hendaknya diperlakukan dengan hati-hati. Buah
kepel dapat bertahan disimpan 2-3 minggu pada suhu ruang (Etty dkk., 2018).
Namun berbeda pada daun kepel, daun kepel tersedia sepanjang waktu dan
tidak dibatasi oleh musim (Andrini, 2011). Panen dapat dilakukan setiap 3 bulan. Cara
memanen daun kepel yaitu dengan memotong daun dari batangnya menggunakan
gunting atau pisau tajam. Kepel merupakan tanaman menahun sehingga bisa dipanen
berulang kali (Kemenkes RI, 2015).
c. Pasca panen
1. Sortasi basah
Bagian tanaman kepel yang digunakan sebagai bahan jamu adalah daun.
Setelah di panen, daun dipisahkan dari bahan organik asing (seperti rumput)
dan bahan anorganik asing (seperti tanah) yang terbawa saat panen.
Selanjutnya tanaman dipisahkan daun dan tangkainya. Daun kepel kemudian
dicuci.
12
2. Pencucian
Pencucian dilakukan dengan air mengalir dari sumber air yang bersih dan
sehat. Setelah pencucian bahan segera ditiriskan atau diangin-anginkan.
3. Pengubahan bentuk
Daun kepel berukuran lebar sehingga perlu pengubahan bentuk melalui
perajangan menjadi bagian yang lebih kecil untuk mempercepat proses
pengeringan. Perajangan menggunakan pisau stainless untuk menghindari
tercampurnya logam berat dan reaksi kimia yang tidak diinginkan bahan
dengan komponen bahan perajang.
4. Pengeringan
Bahan yang sudah bersih dan kering dari sisa air pencucian, dikeringkan
ditempat yang beraerasi baik, dan jangan di bawah sinar matahari langsung.
Setelah bahan setengah kering dimasukkan ke dalam oven dengan suhu
tidak lebih dari 40°C.
Pengeringan dihentikan setelah bahan mencapai kadar air kurang dari 10%,
secara fisik ditandai bahan mudah dipatahkan dengan tangan dan berbunyi
nyaring.
5. Sortasi kering
Sortasi kering dilakukan terhadap daun kepel pasca pengeringan, untuk
mencegah tercampurnya simplisia daun kepel dengan simplisia lain yang tidak
diinginkan. Organoleptis simplisia: daun kepel warna coklat kehijauan, bau
lemah, tidak berasa.
6. Pengemasan dan penyimpanan
Untuk pemilihan bahan pengemasan, karena bahan bertekstur keras, harus
dipilih bahan pengemas yang tidak mudah rusak, misalnya kantong kertas
tebal (kantong semen), atau kresek plastik.
Simplisia daun kepel disimpan dalam wadah tertutup rapat, pada suhu
kamar, di tempat kering, sejuk, sirkulasi udara lancar dan terhindar dari
cahaya.
Tempatkan bahan dalam rak-rak kayu dan tidak langsung di lantai.
Susun bahan berdasarkan konsep FIFO (first in first out), artinya bahan
yang pertama masuk ke penyimpanan harus keluar pertama kali juga
(Kemenkes RI, 2015).
13
d. Standarisasi
Menurut farmakope herbal, daun kepel adalah daun Stelechocarpus burahol
(Blume.) Hook. f. & Thomson, suku Annonaceae, mengandung fenol total tidak
kurang dari 1,22% dihitung sebagai asam galat. Kemudian pemerian berupa helaian
daun tunggal, keras, tebal dan kaku serta rapuh, berbentuk lonjong atau bulat
memanjang, pangkal runcing, tepi rata, ujung runcing, pertulangan daun menyirip,
cabang-cabang tulang daun sampai ke tepi, ibu tulang daun tampak jelas menonjol ke
permukaan bawah; warna hijau kecokelatan, tidak berbau; tidak berasa. Senyawa
identitas yang ada pada daun kepel adalah azaleatin. Untuk susut pengeringan tidak
lebih dari 10%, abu total tidak lebih dari 11,3%, abu tidak larut asam tidak lebih dari
0,1%, sari larut air tidak kurang dari 2,2% dan sari larut etanol tidak kurang dari
11,2% (Kemenkes, 2017).
2.2.5. Penelitian tentang daun kepel
Berdasarkan kemenkes 2015, daun kepel dimasukkan ke dalam oven dengan suhu
tidak lebih dari 40°C dan hanya membutuhkan waktu beberapa jam untuk pengeringan
sehingga bahan mencapai kadar air kurang dari 10% dan secara fisik ditandai bahan mudah
dipatahkan dengan tangan dan berbunyi nyaring. Sedangkan menurut Diniatik (2015), untuk
pengeringan daun kepel agar bahan mencapai kadar air kurang dari 10% dan secara fisik
ditandai bahan mudah dipatahkan dengan tangan dan berbunyi nyaring yakni dengan cara
daun kepel dikeringkan di bawah sinar matahari yang ditutupi kain hitam selama 7 hari
disertai daun kepel dibolak-balik selama pengeringan agar pemanasannya merata.
2.2.6. Kontrol kualitas daun kepel
Simplisia daun kepel (Stelechocarpi Buraholis Folium) adalah daun Stelechocarpus
burahol (Blume.) Hook. f. & Thoomson yang berasal dari suku Annonaceae. Simplisia daun
kepel dapat berupa helaian daun tunggal, keras, tebal, dan kaku serta rapuh, berbentuk lonjong
atau bulat memanjang, pangkal runcing, tepi rata, ujung runcing, pertulangan daun menyirip,
cabang-cabang tulang daun sampai ke tepi, ibu tulang daun tampak jelas menonjol ke
permukaan bawah, warna hijau kecoklatan, tidak berbau, dan tidak berasa. Kontrol kualitas
simplisia daun kepel berupa:
r
14
a. Parameter spesifik
Mikroskopis
Secara mikroskopis daun kepel dapat dikenali dengan fragmen
pengenal berupa epidermis bawah dengan stomata, epidermis atas dengan
stomata, sklerenkim, sklereida, dan parenkim dengan idioblas berupa sel harsa.
Senyawa identitas
Senyawa identitas daun kepel yaitu azaleatin
rutin 0,1% dalam etanol p. Volume penotolan 10 µL untuk larutan uji dan 2 µL
untuk larutan pembanding yang kemudian dideteksi dengan sitroborat LP yang
kemudian dipanaskan pada suhu 100oC selama 5-10 menit dan noda
ditampakkan dengan penampak noda UV366.
asam urat, serta nilai SGOT dan SGPT, nilai ureum dan kreatin tidak mengalami
kenaikan dan tidak ditemukan efek samping yang serius pada orang tersebut.
Penelitian lain yang dilakukan menggunakan tikus mengatakan bahwa ekstrak etanol
dari daun kepel berpotensi menurunkan kadar asam urat dibandingkan 3 ekstrak
lainnya (Sunarni dkk., 2015).
b. Dosis
Daun kepel dikonsumsi dengan cara mengambil 7 lembar daun kepel dan 3
gelas air. Air dan daun kepel kemudian direbus hingga tersisa satu setengah gelas. Air
rebusan diminum 2 kali sehari, sebanyak tiga perempat gelas (BPOM RI, 2011).
c. Kontraindikasi
Daun kepel dikontraindikasikan pada ibu hamil dan menyusui (BPOM RI,
2011)
d. Perhatian
Hati-hati pada penderita yang hipersensitifitas terhadap tanaman kepel (BPOM
RI, 2011).
e. Efek samping
Belum ditemukan efek samping yang tidak diinginkan (BPOM RI, 2011).
f. Uji toksisitas
Uji toksisitas yang dilakukan pada tikus dan ayam dengan pemberian dosis 50-
400 mg/kg ekstrak etanol daun kepel menunjukkan bahwa ekstrak memberikan efek
antihiperurisemia yang potensial dan efeknya sama dengan allopurinol. Pemberian
ekstrak etanol daun kepel dengan dosis tersebut dapat menurunkan kada asam urat
dalam darah (Winarno dkk., 2014; Triyono dkk., 2021). Penelitian yang dilakukan
oleh Harlina dkk., (2012) menggunakan mencit dan diberi suspensi kepel dengan dosis
serbuk 2,6 mg/g BB/hari (0,5 ml suspensi/hari) dan 13 mg/g BB/hari (0,1 ml suspensi
kepel/hari). Pemberian sediaan dengan cara intragastrik selama 14 hari. Hasil yang
diperoleh dari penelitian yaitu mencit yang diberi sediaan suspensi kepel dapat
menginduksi terjadinya degenerasi hidropis, kematian sel, dan extramedullary
hematopoiesis pada hatinya.
hipourisemia yang diperoleh melalui penghambatan enzim xantin oksidase. Selain itu, daun
kepel juga bersifat sebagai antioksidan (Hatmi, 2015).
a. Interaksi daun kepel dengan obat
Berdasarkan penelitian eksperimental secara in vivo oleh Rezkiawan (2012),
didapatkan selisih kadar asam urat darah kelompok tanpa perlakuan : 0,32 ± 0,38
mg/di, kelompok allopurinol : 0,76 ± 0,32 mg/d1, ekstrak S. burahol dosis 50
mglkgBB dan allopurinol 10 mglkgBB : 0,66 ± 0,38 mg/d1 ,ekstrak S. burahol dosis
100 mg/kgBB dan allopurinol dosis 10 mg/kgBB : 0.46 ± 0.46 mg/di. Berdasarkan
penelitian ini didapatkan bahwa allopurinol 10 mg/kgBB dan allopurinol 10 mg/kgBB
+ ekstrak S. burahol 50 mg/kgBB memiliki efek penurunan kadar asam urat darah
lebih baik daripada allopurinol 10 mg/kgBB + ekstrak S. burahol 100 mg/kgBB.
Adanya interaksi obat yang bersifat antagonistik pada pemberian allopurinol dan
ekstrak S. burahol sehingga dapat menurunkan efek farmakologi obat tersebut.
b. Interaksi daun kepel dengan makanan
Belum ditemukan interaksi daun kepel dengan makanan
berkisar antara 10-20 ton tiap hektar, pada umur 9-24 bulan. Rimpang yang baru
dibongkar cepat-cepat dibersihkan dari akar dan tanah yang melekat (Ri dkk., 2011).
c. Pasca panen
1. Sortasi dan pencucian
Sebelum pencucian harus dilakukan sortasi terlebih dahulu untuk memisahkan
rimpang yang sehat dan rimpang yang busuk atau juga bahan organik lain yang
terikut selama proses panen. Pembersihan rimpang dilakukan dengan
membasuh rimpang dengan air bersih secara bertahap. Paling tidak ada 3 tahap
pencucian rimpang, pertama adalah perendaman untuk membuat tanah yang
melekat menjadi lunak, tahap kedua adalah pencucian awal untuk
membersihkan tanah, dan terakhir adalah pencucian akhir untuk menjamin
rimpang bersih dari kotoran pencemar. Setelah pencucian maka dilakukan
penirisan di rak peniris untuk mengeringkan air sisa pencucian.
2. Pengubahan bentuk
Setelah rimpang dicuci dan ditiriskan, maka sebelum diubah bentuknya atau
dirajang/diiris, maka dikupas kulitnya dan dibersihkan dari akar yang masih
melekat. Pengirisan rimpang temulawak sebaiknya dengan menggunakan pisau
yang bukan terbuat dari besi atau baja (bersifat inert). Pemotongan bisa
dilakukan secara manual atau menggunakan mesin perajang/pemotong. Tebal
tiap irisan 5-6 mm pada waktu segar. Usaha untuk memperbaiki warna
temulawak kering dapat dilakukan dengan tindakan "blancing" yakni
pendidihan irisan temulawak segar dalam air selama beberapa detik.
Maksudnya adalah untuk mematikan enzim dan menghilangkan udara. Dengan
rusaknya enzim, proses biokimia selanjutnya dapat dicegah. Demikian pula
pati yang dikandungnya akan mengalami gelatinasi dan pada proses
pengeringan akan merupakan masa yang homogen keras. Hal ini
memungkinkan perlindungan terhadap perubahan kimia dan fitokimia. Warna
yang diperoleh adalah coklat kuning menyala.
3. Pengeringan
Setelah rimpang diiris atau dipotong, maka langsung dijemur di bawah sinar
matahari atau dikeringkan dalam ruang pengering. Setelah kering tebal irisan
menjadi 4-5 mm. Penjemuran atau pengeringan irisan dilakukan dengan
meletakkan irisan tidak saling bertumpukan. Untuk alas penjemuran dipakai
21
anyaman bambu atau kain hitam, di lantai penjemur atau tikar atau di rak
pengering. Pengeringan dengan alat pengering dilakukan dengan suhu awal
40°C agar diperoleh warna yang baik dan bertahap dinaikkan sampai suhu
mencapai 50°C. Lama pengeringan lebih kurang 7 jam. Rendemen kering
rimpang induk 15%, sedangkan rendemen dari rimpang cabang 10% dihitung
dari rimpang segar yang sudah dibersihkan.
4. Pengemasan
Setelah kering, simplisia harus segera dikemas dalam wadah berkapasitas 20
kg, agar tidak cepat menjadi lembab kembali dan masing-masing wadah diberi
label. Syarat temulawak kering untuk ekspor sebagai berikut:
Warna : kuning jingga sampai coklat kuning jingga
Aroma : khas wangi aromatis
Rasa : mirip rempah-rempah dan agak pahit
Kelembaban : maksimal 12%
Abu : 3-7%
Pasir kasar : 1%
Kadar minyak atsiri : minimum 5% (Ri dkk., 2011)
5. Penyimpanan
Kondisi gudang harus dijaga agar tidak lembab dan suhu tidak melebihi 30ºC
dan gudang harus memiliki ventilasi baik dan lancar, tidak bocor, terhindar
dari kontaminasi bahan lain yang menurunkan kualitas bahan yang
bersangkutan, memiliki penerangan yang cukup (hindari dari sinar matahari
langsung), serta bersih dan terbebas dari hama gudang (Roxb, tanpa tahun).
d. Standarisasi
Menurut farmakope herbal, rimpang temulawak adalah rimpang Curcuma
xanthorrhiza Roxb., suku Zingiberaceae, mengandung minyak atsiri tidak kurang dari
1,20% v/b dan/atau kurkumin tidak kurang dari 2,30%. Kemudian pemerian berupa
irisan rimpang, keping tipis, bentuk bulat atau agak jorong, ringan, keras, mudah
patah, permukaan luar berkerut, warna cokelat kuning hingga cokelat, bidang irisan
melengkung tidak beraturan, tidak rata, sering dengan tonjolan melingkar pada batas
antara korteks dengan silinder pusat, korteks sempit, bekas patahan berdebu; warna
kuning jingga hingga cokelat jingga terang: bau khas aromatik; rasa tajam dan pahit.
Senyawa identitas yang ada pada rimpang temulawak adalah xantorizol. Untuk susut
22
pengeringan tidak lebih dari 10%, abu total tidak lebih dari 4,8%, abu tidak larut asam
tidak lebih dari 0,7%, sari larut air tidak kurang dari 9,1% dan sari larut etanol tidak
kurang dari 3,6% (Kemenkes, 2017).
2.3.5. Penelitian tentang rimpang temulawak
Perlakuan pengeringan pada penelitian ini dilakukan dengan dua cara, yaitu
pengeringan menggunakan sinar lampu listrik 30 watt dengan suhu 30°C dan pengeringan
oven pada suhu 60°C. Pengeringan dengan sinar lampu listrik diaplikasikan sebagai alternatif
pengganti sinar matahari karena sinar lampu memiliki intensitas dan suhu relatif lebih stabil
dibandingkan cahaya matahari. Secara tradisional masyarakat melakukan pengeringan bahan
alam dengan sinar matahari selama rentang waktu 3-5 hari. Berpijak dari hal tersebut, maka
dalam penelitian ini dilakukan variasi lama pengeringan, yaitu 1 hari, 3 hari, dan 5 hari untuk
masing-masing metode pengeringan, bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama pengeringan
terhadap kandungan kurkuminoid temulawak.
Pengeringan dengan menggunakan oven lebih cepat dibandingkan dengan
pengeringan sinar lampu. Pengeringan dengan oven telah menunjukkan angka kadar air yang
stabil dalam kurun waktu hanya 1 hari, sedangkan sinar lampu membutuhkan waktu 5 hari.
Dilihat secara makroskopik, sampel hasil pengeringan kedua metode tersebut menghasilkan
warna yang berbeda. Sampel pengeringan oven menghasilkan warna kuning orange yang
lebih cerah. Dilihat dari faktor bau, juga terlihat adanya perbedaan. Secara keseluruhan
sampel pengeringan oven mempunyai bau khas temulawak lebih menyengat daripada
pengeringan lampu (Cahyono dkk., 2011).
Menurut penelitian Endrasari dkk., (2012) Cara pengeringan yang biasa dilakukan
oleh petani adalah dengan menjemur irisan rimpang temulawak di atas widig (anyaman
bambu bermata jarang) dengan 3 perlakuan yaitu dijemur dibawah sinar matahari langsung,
dijemur dibawah sinar matahari langsung dan dibalik 1x sehari, serta dijemur dibawah sinar
matahari langsung dengan ditutup kain hitam. Suhu rata-rata pagi hari adalah 25 ⁰C, siang
hari 34 ⁰C dan sore hari 28 ⁰C.
23
Dari ketiga cara pengeringan, yang memberikan hasil tampilan fisik simplisia yang
terbaik adalah cara pengeringan dengan ditutup kain hitam yaitu warna kedua sisi irisan
rimpang temulawak merah oranye. Cara pengeringan berpengaruh terhadap kandungan bahan
aktif simplisia temulawak. Hasil pengkajian menjelaskan bahwa kandungan minyak atsiri
paling tinggi (5,31%) bila pengeringan simplisia temulawak dengan cara dijemur dengan
matahari tanpa dibalik, namun kandungan kurkuminnya paling rendah (1,35%). Kandungan
kurkumin paling tinggi bila penjemuran simplisia temulawak ditutup kain hitam (1,69%),
namun kandungan minyak atsirinya paling rendah (4,40%). Sedangkan cara pengeringan
dengan cara penjemuran dengan matahari dan dibalik 1 x sehari memiliki kandungan
xanthorrizol paling tinggi (0,16%).
Tabel 2.1 Pengaruh cara pengeringan terhadap kandungan bahan aktif simplisia temulawak
melengkung tidak beraturan, tidak rata, sering dengan tonjolan melingkar pada batas antara
korteks dengan silinder pusat, korteks sempit, bekas patahan berdebu; warna kuning jingga
hingga cokelat jingga terang; bau khas aromatik; rasa tajam dan pahit. Kontrol kualitas
simplisia rimpang temulawak dapat berupa:
a. Parameter spesifik
Mikroskopis
Secara mikroskopis rimpang temulawak dapat dikenali dengan fragmen
pengenal adalah amilum, parenkim korteks, sklerenkim, berkas pengangkut
dengan penebalan tipe tangga, jaringan gabus.
Senyawa identitas
Rimpang temulawak memiliki senyawa identitas xantorizol
b. Dosis
Dosis yang boleh diberikan untuk rimpang temulawak yaitu 1 x 30 g
rimpang/hari (Kepmenkes, 2017) atau 2x1 kapsul (500mg ekstrak)/hari (Permenkes,
2016).
c. Kontraindikasi
Rimpang temulawak dikontraindikasikan pada pasien obstruksi saluran
empedu (Permenkes, 2016).
d. Perhatian
Penggunaan rimpang temulawak harus hat-hati pada penderita gastristis,
nefrolithiasis, batu ginjal, dan obat pengencer darah (Kepmenkes, 2017).
e. Efek samping
Temulawak hingga saat ini masih belum ditemukan efek samping yang berarti
(Permenkes, 2016). Menurut Kepmenkes (2017) efek samping rimpang temulawak
adalah iritasi lambung.
f. Uji toksisitas
Pada penelitian lain yang menggunakan metode randomized pretest-posttest
control group design dengan sampel tikus jantang galur wistar. Ekstrak rimpang yang
diberikan pada tikus menggunakan dosis 50 mg/kgBB, 100 mg/kgBB dan 200
mg/kgBB. Dari ketiga dosis yang diberikan, memberikan hasil bahwa ekstrak etanol
rimpang temulawak dapat menurunkan kadar asam urat dengan dosis 200 mg/kgBB.
Penurunan kadar asam urat terjadi secara signifikan dibandingkan dua dosis lainnya.
Hal ini disebabkan karena kandungan flavonoid yang terkandung didalamnya lebih
banyak. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa penggunaan ekstrak rimpang
temulawak dosis 200 mg/kgBB lebih optimal dalam mengatasi hiperurisemia
(Megawati dan Yuliana, 2019).
Dosis 6-10 ml/kgBB temulawak diketahui memberikan efek penurunan kadar
kolesterol total dan trigliserida pada kelinci, namun pemberian kurkuminoit
temulawak dengan dosis 10-20 mg/kgBB dapat meningkatkan HDL kolesterol dalam
darah, terutama dosis 20 mg/kgBB. Pada dosis 100-300 mg/kgBB kurkumin
temulawak diketahui menghambat agregasi trombosit. Untuk nilai LD50 dari ekstrak
etanol temulawak diperoleh lebih dari 5000 mg/kgBB, yang berarti bahwa ramuan
tersebut digolongkan sebagai bahan yang memiliki sifat practically non toxic karena
nilainya lebih dari 15000 mg/kgBB (Winarno dkk., 2014).
28
5. Pengeringan
Pengeringan bertujuan untuk menjaga kualitas bahan agar tidak mudah rusak
dan tahan disimpan dalam jangka waktu lama serta memiliki nilai ekonomi lebih
tinggi. Pengeringan dapat menggunakan cahaya matahari yang ditutupi kain hitam
(proses pelayuan) agar menghasilkan warna yang lebih tajam. Setelah mengalami
pelayuan, daun diangkat kemudian dikering anginkan dalam ruangan. Suhu
pengeringan yang ideal adalah maksimal 50°C dengan ketebalan tumpukan 3-4 cm.
Pengeringan dapat juga dilakukan dengan alat pengering bertenaga sinar matahari
(solar dryer) atau menggunakan mesin pengeringan rak (tray dryer). Hasil yang baik
dari proses pengeringan adalah simplisia daun yang mengandung kadar air maksimal
5% dan ketika diremas akan hancur, ini menandakan daun telah kering optimal.
6. Penyortiran Akhir
Tujuan penyortiran akhir adalah untuk memisahkan benda-benda asing seperti
bagian tanaman yang tidak diinginkan dan kotoran lainnya yang masih tertinggal pada
simplisia daun (pasir, batu kerikil, dan bahan asing lainnya). Simplisia daun yang baik
memiliki kandungan benda asing tidak lebih dari 2%. Warna dan aroma tidak berbeda
jauh dari aslinya, tidak mengandung bahan yang beracun dan berbahaya serta tidak
tercemar oleh jamur.
7. Pengemasan dan Pelabelan
Daun yang sudah kering dan sudah diseleksi kualitasnya harus segera dikemas
agar tidak terjadi penyerapan kembali uap air. Pengemasan 40 Pedoman Teknologi
Penanganan Pascapanen Tanaman Obat harus dilakukan secara hati-hati agar tidak
hancur dan menggunakan bahan kemasan yang baik, bersih, kering, mampu
melindungi produk dari kerusakan mekanis, tidak mengandung zat kimia yang
menyebabkan perubahan kandungan kimia, warna, rasa, bau, tidak bersifat racun
(toksin) dan kadar air produk, ukuran dan bentuknya menarik. Kemasan harus tertutup
rapat supaya aman selama penyimpanan maupun pengangkutan.
Selanjutnya kemasan diberi label yang ditempelkan atau diikatkan pada
kemasan, dengan mencantumkan: nama produk, bagian tanaman produk yang
digunakan, tanggal pengemasan, nomor/kode produksi, nama/alamat penghasil, berat
bersih, metode penyimpanan. Selanjutnya simplisia diangkut ke konsumen atau segera
disimpan untuk proses pengolahan selanjutnya.
32
8. Penyimpanan
Penyimpanan simplisia daun dilakukan sebelum dijual atau sebelum diolah
lebih lanjut. Gudang penyimpanan harus bersih, suhu kamar tidak melebihi 30°C,
terpisah dari bahan lain yang dapat menyebabkan produk simplisia terkontaminasi dan
harus bebas dari hama gudang, kutu, rayap dan tikus. Simplisia yang dikemas
disimpan dengan cara ditumpuk di atas rak dengan ketinggian minimal 10 cm dan
diberi alas.
Penyimpanan dalam gudang harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak
menyulitkan pemasukan dan pengeluaran produk yang disimpan, sehingga prinsip
"pertama masuk pertama keluar" sangat dianjurkan, oleh karena itu perlu dilakukan
pencatatan tanggal penyimpanan simplisia. Jika penanganan produk dilakukan dengan
baik dan benar, produk dapat disimpan maksimal 1 tahun.
Dalam jangka waktu tertentu perlu dilakukan pemeriksaan gudang secara rutin,
meliputi pengecekan dan pengujian mutu seluruh simplisia yang ada di dalam gudang
agar dapat diketahui lebih dini simplisia yang masih bermutu dan yang telah rusak.
9. Standarisasi daun tempuyung
Menurut Farmakope Herbal, daun tempuyung adalah daun Sonchus arvensis
L., suku Asteraceae, mengandung flavonoid total tidak kurang dari 0,06% dihitung
sebagai luteolin.
Pengeringan merupakan proses menghilangkan kadar air suatu bahan dengan cara
menguapkan sebagian besar kandungan air sampai batas yang diinginkan. Efek dari
pengeringan adalah terjadi penurunan berat simplisia yang diakibatkan dari pengurangan
kadar air selama proses pemanasan.
Tabel 2. 2 Kadar flavonoid total tempuyung
Hasil penggunaan sinar matahari dalam kombinasi dengan oven kabinet ataupun oven
room memberikan kadar flavonoid total sedikit lebih tinggi dibanding dengan flatbed dryer.
Flavonoid termasuk ke dalam golongan senyawa fenol. Peningkatan konsentrasi flavonoid
berbanding lurus dengan penurunan suhu dan intensitas radiasi. Hal itulah yang menyebabkan
kadar total flavonoid metode pengeringan P4 lebih tinggi dibandingkan metode pengeringan
yang lainnya.
Pengeringan dengan menggunakan flatbed dryer memiliki kelemahan yaitu energi
panas dari udara pengering ke lapisan atas dan bawah tidak sama besarannya sehingga
beresiko terhadap tidak seragamnya tingkat kekeringan bahan. Temperatur pada lapisan
bawah yang lebih tinggi daripada lapisan atas diduga menyebabkan flavonoid yang
terkandung dalam daun tempuyung mengalami oksidasi. Semakin tinggi temperatur
pengeringan menyebabkan penurunan kadar air dan kadar flavonoid pada daun tempuyung
Berdasarkan penelitian oleh Manoi (2015) hasil pengeringan menunjukkan, kadar air
simplisia tempuyung dari ketiga cara pengeringan dapat memenuhi standar mutu yaitu
berkisar antara 6,67-8,80%. Sedangkan rendemen simplisia tertinggi adalah sebesar 17,40%
hasil dari pengeringan menggunakan alat dan terkecil 10,60% dengan pengeringan matahari.
Untuk kadar abu dari ketiga cara pengeringan tidak berbeda jumlahnya berkisar antara 13,12-
14,93%.
Tabel 2. 3 Pengaruh cara pengeringan terhadap karakteristik mutu simplisia tempuyung
Hasil pengamatan menunjukkan kadar sari air lebih besar dibandingkan kadar sari
alkohol, masing-masing berkisar antara 26,73-28,16 % dan 6,77-9,01%. Dengan demikian
35
untuk mengekstrak tempuyung dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut air ataupun
campuran antara air dengan etanol. Hasil penapisan fitokimia secara kualitatif diperoleh,
simplisia tempuyung mengandung senyawa golongan flavonoid, alkaloid, tannin, saponin,
triterfenoid, steroid dan glikosida.
2.4.6. Kontrol kualitas daun tempuyung
Pemerian dari daun tempuyung menurut (Courtney, 2017) diantaranya berupa
lembaran daun dengan bentuk melipat dan menggulung, berwarna hijau kecoklatan, tidak
berbau, memiliki rasa agak pahit, berbentuk lonjong atau lanset, berlekuk, pangkal daun
menyempit, tepi bergerigi tidak teratur, ujung tumpul, kedua permukaan berambut dengan
bagian atas agak kasar, ibu tulang tampak jelas dan dibagian pangkal daun berwarna putih
kemerahan. Kontrol kualitas daun tempuyung dapat berupa:
a. Parameter spesifik
Mikroskopis
Fragmen pengenal daun tempuyung (Sonchus arvensis L.) berdasarkan
Farmakope Herbal Indonesia Edisi II (2017) diantaranya epidermis bawah
dengan stomata, epidermis atas, mesofil dengan epidermis dan palisade serta
rambut penutup. Berikut merupakan gambar mikroskopis yang menjadi
fragmen pengenal untuk simplisia daun tempuyung.
Kandungan kimia yang ada pada tempuyung adalah ion-ion mineral antara lain
kalium, magnesium, flavonoid, kumarin, inositol, dan asam fenolat (Cendrianti dkk.,
2014). Flavonoid pada tempuyung yang diketahui memberikan aktivitas
antihiperurisemia adalah apigenin, luteolin, apigenin-7-O-glukosida, quercetin, rutin,
kaemferol, dan taraxasterol (Amal dkk., 2022).
b. Dosis
Dosis daun tempuyung 3 x 1 kapsul (25 mg ekstrak)/hari (Permenkes,
2016)atau 2 x 15 daun/hari (Kepmenkes, 2017).
c. Kontraindikasi
Gangguan hati, ginjal berat, dan kehamilan (Permenkes, 2016).
d. Perhatian
Belum diketahui (Permenkes, 2016).
e. Efek samping
Belum diketahui (Permenkes, 2016).
f. Uji toksisitas
Penelitian yang dilakukan oleh Amal dkk., (2022) pada daun tempuyung
bertujuan untuk mengetahui toksisitas akut pada ekstrak etanol menggunakan mencit
betina yang telah diinduksi hiperurisemia. Uji toksisitas akut menggunakan metode
fixed dose yang dilakukan secara oral pada 5 mencit betina, dimana dosis yang
diberikan pada mencit dengan pengujian utama yaitu 5 mg/kgBB, 50 mg/kgBB, 300
mg/kgBB, 2000 mg/kgBB, dan 5000 mg/kgBB (uji batas). Pengamatan mencit
dilakukan selama 14 hari, dimana hingga hari ke-14 mencit pada pengujian dosis
utama masih bertahan hidup. Perhitungan nilai LD50 semu dilakukan pada mencit
yang diberikan dosis 5000 mg/kgBB. Nilai LD50 semu yaitu lebih besar dari 2000
mg/kgBB atau dapat diklasifikasikan sedikit toksik. Secara klinis, mencit
menunjukkan adanya gejala toksisitas yang ditunjukkan perubahan perilaku dan tidak
menunjukkan perubahan yang bermakna pada organnya.
Penelitian eksperimental menggunakan metode POCT (Point of Care Testing)
dilakukan menggunakan alat UA sure pada mencit galur Balb/c dengan ekstrak etanol
daun tempuyung dan dosis sebesar 500 mg/kgBB. Hasil yang diperoleh diketahui
bahwa daun tempuyung dapat menurunkan kadar asam urat dalam darah dan
memberikan efek antihiperurisemia yang tinggi dengan persen penurunannya sebesar
52% ± 0,2. Oleh sebab itu dapat diketahui bahwa daun tempuyung memiliki manfaat
38
yang signifikan dalam penurunan kadar asam urat dan berpotensi sebagai obat
antihiperurisemia (Amal dkk., 2021).
Penelitian subkronik pada tikus putih menggunakan rebusan daun tempuyung
pada dosis 2,6 mg/kgBB diketahui relatif aman dan tidak menyebabkan gangguan
fungsi ginjal dan hati (Winarno dkk., 2014).
2.4.8. Interaksi daun tempuyung dengan obat dan makanan
Daun tempuyung mengandung senyawa luteolin sebagai senyawa identitas. Luteolin
merupakan salah satu jenis flavonoid yang telah dikonfirmasi efektif dalam mengobati
penyakit inflamasi, terutama asam urat, dengan sedikit efek samping melalui modulasi
ekspresi sinyal pro-inflamasi dengan jelas (Wang dkk., 2016). Berdasarkan Formularium
Ramuan Obat Tradisional Indonesia, belum ditemukan adanya interaksi penggunaan
tempuyung, baik pada makanan maupun dengan obat.
yang masih tersisa dipisahkan, kemudian simplisia dikemas dalam karung plastik dan
siap digunakan atau disimpan di tempat yang kering.
6. Pengemasan dan pelabelan
Simplisia kayu dan kulit batang yang sudah kering dan sudah diseleksi
kualitasnya segera dikemas agar uap air tidak terserap kembali. Pengemasan
menggunakan bahan kemasan yang baik, bersih, kering, mampu melindungi produk
dari kerusakan mekanis, tidak mengandung zat kimia yang menyebabkan perubahan
bahan isi, warna, rasa, bau, tidak bersifat racun (toksin) dan kadar air produk. Ukuran
dan bentuk kemasan harus menarik dan tertutup rapat supaya aman selama
penyimpanan maupun pengangkutan, kemudian kemasan diberi label yang
ditempelkan atau diikatkan pada kemasan, dengan mencantumkan : nama produk,
bagian tanaman produk yang digunakan, tanggal pengemasan, nomor/kode produksi,
nama/alamat penghasil, berat bersih, metode penyimpanan. Selanjutnya simplisia
diangkut ke konsumen atau segera disimpan untuk proses pengolahan selanjutnya.
7. Penyimpanan
Penyimpanan simplisia akar dan kulit kayu dilakukan sebelum dijual atau
sebelum diolah lebih lanjut. Tempat penyimpanan harus bersih, suhu kamar tidak lebih
dari 30°C, terpisah dari bahan lain agar tidak terkontaminasi dan bebas dari hama
gudang, kutu, rayap dan tikus. Simplisia yang dikemas disimpan dengan cara
ditumpuk di atas rak dengan ketinggian minimal 10 cm dan diberi alas agar tidak
langsung mengenai lantai. Jika penanganan dilakukan secara baik dan benar, produk
dapat disimpan selama 1 tahun. Pada waktu tertentu, dilakukan pemeriksaan gudang
secara rutin dan pengecekan terhadap mutu seluruh simplisia yang ada di dalam
gudang agar dapat diketahui lebih dini simplisia yang masih bermutu dan yang tidak
bermutu lagi.
8. Standarisasi
Kayu secang adalah serutan atau potongan-potongan kayu Caesalpinia sappan
L., suku Fabaceae, mengandung minyak atsiri tidak kurang dari 0,16% v/b.
42
Gambar 2.17 Perbedaan warna inti kayu secang pada: (a) Desa Ko’Mara Kabupaten
Takalar dan (b) Desa Lonjo’boko Kabupaten Gowa
Gambar 2.18 Bentuk potongan kayu secang yang digunakan untuk analisis kandungan
brazilin optimum: (a) gelondongan, (b) serutan, dan (c) stick
44
Gambar 2.19 Hasil uji kadar brazilin kayu secang (mg/g) berdasarkan pengaruh jenis
dataran dan bentuk potongan
Rendahnya kadar brazilin pada bentuk potongan serutan diduga disebabkan besarnya
luas permukaan bahan yang kontak dengan udara, sehingga memudahkan brazilin teroksidasi.
Penyerutan kayu secang yang dilakukan langsung di lokasi pemanenan, dapat memicu
percepatan kehilangan senyawa brazilin. Sedangkan dengan jenis potongan stick dan
gelondongan, luas permukaan bahan yang akan teroksidasi lebih sedikit, sehingga kandungan
brazilinnya pun cukup tinggi. Kadar brazilin yang lebih kecil pada jenis potongan
gelondongan dibandingkan dengan potongan stick diduga juga disebabkan karena waktu
pemotongan gelondongan, dilakukan terlebih dahulu. Hal ini akan menyebabkan total
senyawa brazilin yang teroksidasi kemungkinan akan jauh lebih besar.
Dataran tinggi dengan potongan stick dipilih sebagai model perlakuan yang akan
diterapkan untuk rancangan perlakuan proses pengeringan, hal ini dikarenanakan hasil uji
potongan terbaik untuk kadar brazilin diperoleh pada potongan stick.
Tabel 2. 5 Hasil keseluruhan pengukuran dan perhitungan total seluruh rancangan perlakuan
proses pengeringan
kayu, keras, padat permukaan hasil, serutan kasar, tampak serat - serat yang memanjang,
bekas serutan tidak beraturan, warna merah, merah jingga, atau kuning, tidak berbau, mula-
mula tidak berasa lama-lama kelat. Kontrol kualitas kayu secang dapat berupa:
a. Parameter spesifik
Mikroskopis
Secara mikroskopis kayu secang dapat dikenali dengan fragmen
pengenal berupa unsur-unsur xilem dengan noktah, sklerenkim, sklerenkim
dengan kristal kalsium oksalat bentuk prisma dan berkas pengangkut
bernoktah.
Senyawa identitas
Kayu secang memiliki senyawa identitas brazilein
d. Perhatian
Ekstrak air kayu secang memiliki aktivitas antikoagulasi, sehingga penggunaan
bersama dengan obat antikoagulasi sebaiknya dihindari (B2P2TOOT, 2017). Menurut
BPOM RI, (2011) belum ditemukan data yang signifikan yang berkaitan dengan
kehamilan, namun lebih baik menghindari penggunaan kayu secang pada masa
kehamilan dan menyusui.
e. Efek samping
Belum ditemukan efek samping (BPOM RI, 2011).
f. Uji toksisitas
Nilai LD50 dari ekstrak etanol kayu secang diperoleh sebesar 44800 mg/kgBB,
yang berarti bahwa ramuan tersebut digolongkan sebagai bahan yang memiliki sifat
practically non toxic karena nilainya lebih dari 15000 mg/kgBB (Winarno dkk., 2014).
Uji toksisitas subkronik dilakukan pada tikus putih jantan menggunakan ekstrak etanol
kayu secang dosis 400 mg/kgBB dan 1000 mg/kgBB. Pemberian ekstrak dilakukan
selama 90 hari dengan aturan penggunaannya 1 kali sehari. Selama 90 hari, tikus putih
yang diberi ekstrak etanol kayu secang tidak mengalami toksisitas yang diperoleh dari
bobot jantung dan paru-parunya tidak terdapat perbedaan yang nyata dengan
kelompok kontrol negatif dan kontrol sehat (Perdana dkk., 2020).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Ahrawati dkk., (2021) terhadap 10 orang
lansia yang diberi air rebusan secang selama 14 hari mengalami penurunan kadar asam
urat dalam darah dari 11,8 mg/dl menjadi 9,4 mg/dl, serta lansia mengatakan setelah
mengonsumsi air rebusan secang kaku pada tubuhnya berkurang, tidur menjadi lebih
baik, nyeri dibagian lutu dan kaki berkurang, dan dapat melakukan aktivitas sehari-
harinya dengan normal.
2.5.8. Interaksi kayu secang dengan obat dan makanan
Kayu secang memiliki senyawa identitas brazilein (Kemenkes RI, 2017). Kayu secang
juga mengandung flavonoid lain yaitu, protosappanin dan hematoxylin yang berperan
menghambat enzim xantin oksidase. Kandungan fitokimia tersebut dapat berperan pada
aktivitas hiperurisemianya (Nirmal, dkk., 2015).
a. Interaksi kayu secang dengan obat
Pada penelitian oleh Haryanti, dkk. (2019), ekstrak secang dan rimpang
lempuyang menunjukkan efek sitotoksik pada sel MCF-7 dengan nilai IC50 berturut-
49
turut 30 dan 155 µg/mL. Kombinasi ekstrak secang 15 µg/mL dan lempuyang 8, 12,
24, dan 60 µg/mL menghasilkan efek sinergis dengan nilai CI 0,57-0,85. Kombinasi
secang 15 µg/mL dengan lempuyang 8 dan 24 µg/mL menunjukkan penghambatan
siklus sel di fase G2/M. Kombinasi keduanya juga meningkatkan terjadinya induksi
apoptosis dibandingkan kontrol dan perlakuan tunggalnya. Kombinasi ekstrak etanolik
kayu secang dan rimpang lempuyang menghasilkan efek sitotoksik yang sinergis.
Sinergisme kombinasi terjadi melalui penghambatan siklus sel di fase G2/M dan
induksi apoptosis.
b. Interaksi kayu secang dengan makanan
Belum ditemukan interaksi antara kayu secang dengan makanan.
Berdasarkan hasil survei tahun 2003, kebutuhan rimpang kunyit berdasarkan jumlahnya yang
diserap oleh industri obat tradisional di Jawa Timur menduduki peringkat pertama dan di
Jawa Tengah termasuk lima besar bersama-sama dengan bahan baku obat lainnya (Rahardjo
dan Rostiana, 2005).
Rimpang mengandung minyak atsiri 2-5% (turmerone, zingiberene, phellandrene,
sesquiterpen alkohol, dan borneol), pati 45-55%, protein (8%), kurkumin (pewarna kuning)
10%, desmetoksikurkumin, bidesmetoksi kurkumin, tanin, resin, vitamin C, dan mineral
seperti besi, fosfor, dan kalsium. Sebagai rempah, kunyit digunakan sebagai bumbu berbagai
makanan dan minuman yang memberikan warna kuning yang menarik. Sebagai pewarna
digunakan pada industri kosmetika, makanan, farmasi, dan konveksi. Digunakan sebagai
bahan pencelup pakaian namun warnanya mudah hilang. Kunyit merupakan bahan baku
penting pada indutri pembuatan jamu (Evizal, 2013).
2.6.3. Khasiat dan manfaat rimpang kunyit
Tanaman kunyit memiliki efek farmakologi yaitu melancarkan darah dan vital energi,
menghilangkan sumbatan, peluruh haid (emenagog), anti radang (anti inflamasi),
mempermudah persalinan, peluruh kentut (kaminativa), anti bakteri, antiokasidan,
antihepatotoksik, penenang (sedatif), antidiare, penawar racun (antidota), memperlancar
pengeluaran empedu (kolagogum), adstringent (menciutkan selaput lendir). Secara farmasi
telah dibuat obat berbahan baku kunyit sebagai obat kanker, dan obat penambah nafsu makan
(stomakik). Menurut referensi lain kunyit memiliki kegunaan untuk mengobati: (1) demam
pilek, dengan hidung tersumbat, (2) rematik, (3) diare, disentri, (4) kadar lemak darah tinggi
(hyperlipidemia), (5) nyeri dada, asma, (6) rasa begah di perut (dispepsia) dan dada, (7) rasa
baal di bahu, (8) terlambat haid akibat darah tidak lancar, (9) haid tidak teratur, (10) sakit
perut selesai melahirkan, (11) radang hidung, radang telinga, radang gusi, (12) radang rahim,
keputihan, (13) radang usus buntu, (14) radang amandel (tonsilis), (15) penyakit kuning
(jaudice), hepatitis, (16) batu empedu (cholethiasis), (17) tekanan darah tinggi, (18) panas
dalam atau sariawan, mengembalikan stamina, (19) menghilangkan bau badan (Evizal, 2013).
2.6.4. Penanaman, panen, pasca panen, dan standarisasi rimpang kunyit
a. Penanaman
Kunyit dapat dibudidayakan di kebanyakan wilayah di tropika dan subtropika
yang mempunyai curah hujan yang cukup atau dapat menyediakan irigasi. Curah
hujan yang dibutuhkan 1000-2000 mm per tahun; jika di bawah 1000 mm diperlukan
irigasi. Tanaman ini dibudidayakan pada daerah dataran rendah sampai dataran tinggi
51
yaitu pada tinggi tempat 2000 m dari permukaan laut; suhu udara 19-30 °C. Di dataran
tinggi produksi rimpang lebih rendah namun kandungan minyak atsiri dan kurkumin
lebih tinggi. Kunyit tumbuh baik pada tanah berlempung, alluvial, yang ringan,
gembur dan subur, dan tidak tahan tergenang air. Tanah liat, berkerikil, dan berbatu
tidak sesuai untuk perkembangan rimpang.
Penanaman kunyit dua musim berturut-turut perlu dihindari; untuk itu dapat
dirotasikan dengan tanaman rumput-rumputan seperti padi, jagung, dan tebu atau
tanaman lain. Budidaya intensif berskala luas dilakukan secara monokultur, namun
umumnya masyarakat menanamnya secara tumpangsari seperti dengan jagung, tomat,
bawang, dan sayuran. Pertumbuhan kunyit tidak banyak terpengaruh oleh naungan
partial dan produksi rimpang tidak tertekan.
Kunyit ditanam pada bedengan datar dengan lebar 50-90 cm dan panjang
sesuai keadaan, tinggi 20-30 cm, lebar parit 30 cm. Ketika pengolahan lahan
sebaiknya diberikan pupuk kandang atau kompos sebanyak 20-25 ton per hektar.
Penanaman sistem bedengan lebih baik daripada sistem gunungan-alur. Jarak tanam
bervariasi antara 45-60 cm antar barisan dan 15-40 cm dalam barisan, dan kedalaman
tanam 7,5 cm. Populasi yang padat dapat meningkatkan produtivitas, namun
diperlukan lebih banyak bibit. Jika jarak tanam 40 x 60 cm dan bobot bibit 20 g maka
diperlukan bibit rimpang 8 kuintal.
b. Pemeliharaan
Setelah ditanam apabila ada irigasi maka penggenangan lewat parit diperlukan
ketika tidak ada hujan, setelah pertunasan selesai frekuensi penggenangan dapat
dilakukan setiap minggu. Pembumbunan sangat baik dilakukan, ketika umur 2 bulan
dan masa pengisian rimpang yang mulai terbentuk rimpang ketika umur 5 bulan.
Selain pupuk kandang, penambahan pupuk buatan perlu dilakukan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa aplikasi amonium sulfat 100 kg/ha pada kunyit tadah hujan
menaikkan hasil hampir 100% dibandingkan tidak dipupuk. Rekomendasi pemupukan
kunyit per hektar adalah 100 kg N, 35-40 kg P2O5, dan 60 kg K2O, dengan pupuk PK
semua diberikan pada saat tanam, dan urea diberikan pada 1 dan 3 bulan setelah
tanam. Pemberian mulsa seperti jerami atau Shorea robusta ternyata bermanfaat bagi
pertanaman kunyit.
52
c. Panen
Panen rimpang kunyit dapat dilakukan pada umur 7-12 bulan setelah tanam,
bergantung varietas dan keadaan lingkungan. Produksi yang tinggi dengan kualitas
yang terbaik dicapai pada umur panen 7-9 bulan. Ciri-ciri saat panen adalah daun-daun
menguning, mulai berguguran, dan diikuti dengan menguningnya batang sebagai tanda
tanaman memasuki periode senesens. Panen harus dilakukan secara hati-hati agar
rimpang tidak terpotong, patah, atau lecet. Rumpun dibongkar, dan rimpang diungkit
dengan garpu taman atau cangkul sehingga seluruh rimpang dapat diangkat. Daun
yang tersisa dipotong, akar dan rimpang dibersihkan dari tanah yang masih melekat,
akar-akar dipotong. Rimpang anak dipisahkan dari rimpang empu dan dicuci bersih
dengan air yang mengalir. Setelah ditiriskan, rimpang dapat dijemur sebentar sehingga
diperoleh rimpang segar yang bersih.
d. Pasca panen
Setelah dipanen dilakukan proses penyortiran basah dan pencucian, kemudian
dilakukan perajangan, pengeringan, penyortiran kering, dan pengemasan. Sortasi pada
bahan segar dilakukan untuk memisahkan rimpang dari kotoran berupa tanah, sisa
tanaman, dan gulma. Setelah selesai, timbang jumlah bahan hasil penyortiran dan
tempatkan dalam wadah plastik untuk pencucian. Pencucian dilakukan dengan air
bersih, jika perlu disemprot dengan air bertekanan tinggi. Amati air bilasannya dan
jika masih terlihat kotor lakukan pembilasan sekali atau dua kali lagi. Hindari
pencucian yang terlalu lama agar kualitas dan senyawa aktif yang terkandung didalam
tidak larut dalam air. Pemakaian air sungai harus dihindari karena dikhawatirkan telah
tercemar kotoran dan banyak mengandung bakteri/penyakit. Setelah pencucian selesai,
tiriskan dalam tray/wadah yang belubang-lubang agar sisa air cucian yang tertinggal
dapat dipisahkan, setelah itu tempatkan dalam wadah plastik/ember.
Jika perlu proses perajangan, lakukan dengan pisau stainless steel dan alasi
bahan yang akan dirajang dengan talenan. Perajangan rimpang dilakukan melintang
dengan ketebalan kira-kira 5 mm – 7 mm. Setelah perajangan, timbang hasilnya dan
taruh dalam wadah plastik/ember. Perajangan dapat dilakukan secara manual atau
dengan mesin pemotong.
Pengeringan dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan sinar matahari atau
alat pemanas/oven. pengeringan rimpang dilakukan selama 3 - 5 hari, atau setelah
kadar airnya dibawah 8%. pengeringan dengan sinar matahari dilakukan diatas tikar
53
atau rangka pengering, pastikan rimpang tidak saling menumpuk. Selama pengeringan
harus dibolak-balik kira-kira setiap 4 jam sekali agar pengeringan merata. Lindungi
rimpang tersebut dari air, udara yang lembab dan dari bahan-bahan disekitarnya yang
bisa mengkontaminasi. Pengeringan di dalam oven dilakukan pada suhu 50°C - 60°C.
Rimpang yang akan dikeringkan ditaruh di atas tray oven dan pastikan bahwa rimpang
tidak saling menumpuk. Setelah pengeringan, timbang jumlah rimpang yang
dihasilkan
Selanjutnya lakukan sortasi kering pada bahan yang telah dikeringkan dengan
cara memisahkan bahan-bahan dari benda-benda asing seperti kerikil, tanah atau
kotoran-kotoran lain. Timbang jumlah rimpang hasil penyortiran untuk menghitung
rendemennya.
Setelah bersih, rimpang yang kering dikumpulkan dalam wadah kantong
plastik atau karung yang bersih dan kedap udara (belum pernah dipakai sebelumnya).
Berikan label yang jelas pada wadah tersebut, yang menjelaskan nama bahan, bagian
dari tanaman bahan itu, nomor/kode produksi, nama/alamat penghasil, berat bersih dan
metode penyimpanannya.
Kondisi gudang harus dijaga agar tidak lembab dan suhu tidak melebihi 30°C
dan gudang harus memiliki ventilasi baik dan lancar, tidak bocor, terhindar dari
kontaminasi bahan lain yang menurunkan kualitas bahan yang bersangkutan, memiliki
penerangan yang cukup (hindari dari sinar matahari langsung), serta bersih dan
terbebas dari hama Gudang (Pinel, 2012).
e. Standarisasi
Menurut farmakope herbal untuk ekstrak kunyit adalah ekstrak yang dibuat
dari rimpang curcuma longa L., mengandung minyak atsiri tidak kurang dari 3,10%
v/b dan/atau kurkumin tidak kurang dari 11,17%. Kemudian pemerian ekstrak kental
berwarna kuning, bau khas, rasa agak pahit. Senyawa identitas yang ada pada kunyit
adalah kurkumin. Untuk kadar air tidak lebih dari 10%, kadar abu total tidak lebih dari
8,2%, kadar abu tidak larut asam tidak lebih dari 0,4% (Kemenkes, 2017).
2.6.5. Penelitian tentang rimpang kunyit
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Christina dkk.(2018) dapat diketahui
bahwa metode pengeringan (Oven / cahaya matahari) berpengaruh terhadap kadar air dan
rendemen namun tidak berpengaruh terhadap kurkumin dan kapasitas antioksidan. Jenis
pelarut berpengaruh terhadap kadar air dan kurkumin namun tidak berpengaruh terhadap
54
rendemen dan kapasitas antioksidan. Terdapat Interaksi pada kadar air terhadap metode
pengeringan dan jenis pelarut namun tidak terdapat pada rendemen, kurkumin dan kapasitas
antioksidan. Perlakuan yang menghasilkan kadar air, rendemen, kurkumin dan kapasitas
antioksidan tertinggi adalah perlakuan antara metode pengeringan oven dan jenis pelarut
etanol dengan kadar air sebesar 13,21 %, rendemen 11,87 %, kurkumin sebesar 1519,38
mgGAEAC/kg sedangkan kapasitas antioksidan sebesar 298,86 mgGAEAC/kg (Christina
dkk., 2019).
2.6.6. Kontrol kualitas rimpang kunyit
Pemerian dari simplisia kunyit diantaranya adalah irisan melintang rimpang, rapuh dan
ringan, bentuk bulat dan ada yang bulat panjang, terkadang terdapat percabangan,
melengkung tidak beraturan, permukaan luar kasar, terdapat ruas-ruas, permukaan dalam
dengan batas korteks dan silinder pusat yang jelas, bekas patahan agak rata, berdebu, warna
kuning jingga agak kemerahan, berbau khas, rasa agak pahit dan pedas, dan lama kelamaan
menimbulkan rasa tebal. Kontrol kualitas rimpang kunyit dapat berupa:
a. Parameter spesifik
Mikroskopis
Fragmen pengenal adalah amilum, parenkim korteks berisi bahan
berwarna kuning, berkas pengangkut dengan penebalan tipe tangga, rambut
penutup, periderm dan parenkim stele.
Senyawa identitas
Adapun identitas senyawa kimia pada rimpang kunyit adalah kurkumin.
Kurkumin merupakan salah satu zat utama yang ditemukan dalam rimpang
Curcuma longa (L) dan Curcuma spp. Kurkumin memiliki nama kimia [1,7-
bis(4-hydroxy-3-methoxyphenyl)-1,6-heptadiene-3,5-dione. Kurkumin juga
dikenal sebagai diferuloylmethane. Formula molekul kurkumin yaitu
C21H20O6, dengan berat molekul 368,38 dalton. Penggunaan terapeutiknya
telah diteliti dan diketahui memiliki potensi penggunaan sebagai antikanker,
anti-inflamasi, psoriasis, arthritis gout. Berikut merupakan struktur kurkumin.
(Lestari dan Indrayanto, 2014).
b. Dosis
Sediaan rimpang kunyit boleh dikonsumsi 3 kali sehari sebanyak 1-3 g serbuk
rimpang (Kepmenkes, 2017) atau 3-9 g perharinya dengan cara mengonsumsinya yaitu
2-3 kali sehari setelah makan. Untuk dosis tingtur yaitu 10-15 tetes (0,5-1 ml) 2-3 kali
per harinya (BPOM RI, 2011).
c. Kontraindikasi
Kontraindikasi yang mungkin terjadi pada pasien yaitu obstruksi saluran
empedu, hipersensitivitas terhadap komponen kunyit, gagal ginjal akut, penyakit batu
empedu, tukak lambung. Untuk pasien dengan batu empedu ketika mengonsumsi
sediaan rimpang kunyit harus berada dibawah pengawasan dokter. Selain itu, rimpang
kunyit disarankan digunakan pada masa kehamilan karena dapat menyebabkan efek
emenagogik dan abortif dari aktivitas stimulasi uterin (BPOM RI, 2011; Permenkes,
2016).
d. Perhatian
Pada pasien batu empedu perlu perhatian khusus, sebaiknya konsultaskan
kepada dokter ahli penyakit dalam dan penyakit hati atau tukak. Pasien yang sedang
hamil dan menyusui sebaiknya menghindari penggunaan rimpang kunyit, kecuali
berada dibawah pengawasan dokter. Namun hingga saat ini belum terdapat studi
mengenai data keamanannya mengenai rimpang kunyit (Permenkes, 2016; BPOM RI,
2011).
e. Efek samping
Efek samping yang mungkin timbul dari penggunaan rimpang kunyit yaitu
bersifat ringan seperti mulut kering, kembung, nyeri perut, sedangkan dosis tinggi
menimbulkan mual dan alergi kulit (Kepmenkes 2017). Selain itu, penggunaan
rimpang kunyit dengan dosis tinggi atau pemakaian jangka panjang dapat
menimbulkan iritasi membran mukosa lambung, serta disarankan tidak digunakan
pada penderita kholangitis akut atau ikterus (BPOM RI, 2011).
f. Uji toksisitas
Penelitian Jurenka dan Ascp, (2009) yang dilakukan terhadap tikus yang diberi
kurkumin dosis antara 50-200 mg/kg dapat mengurangi edema hingga 50%,
sedangkan pada dosis rendah 20-80 mg/kg, kurkumin daha mengurangi inflamasi pada
kaki dan peradangan. Dosis tinggi (2 g/kgBB) yang diberikan pada tikus tidak
menunjukkan toksisitas akut.
58
hati karena tanah di dalam polybag akan bercampur dengan akar. Tanah yang sudah
diisi dengan bibit harus dipadatkan agar pertumbuhan tanaman meniran kokoh.
b. Panen
Waktu yang dibutuhkan untuk memanen tanaman meniran hanya dalam waktu
2 sampai 3 bulan. Tanda yang menunjukkan bahwa tanaman siap dipanen adalah daun
yang sudah berwarna hijau tua hampir menguning, dan bagian buah agak keras jika
ditekan.
c. Pasca panen
Meniran yang sudah dipanen dikeringkan selama beberapa jam. Pengeringan
dapat dilakukan dengan pencahayaan matahari langsung atau menggunakan oven.
Setelah itu jika sudah kering, meniran dikemas ke dalam wadah yang kedap udara.
Pengemasan dengan cara tersebut dapat mencegah simplisa dari jamur yang
kemungkinan tumbuh.
d. Standarisasi
Menurut farmakope herbal edisi 3 esktrak tanaman herba meniran mengandung
flavonoid total tidak kurang dari 3,20% dihitung sebagai quersetin. Identitas ekstrak
kental, berwarna hitam, tidak berbau, rasa pahit. Senyawa identitas yaitu filantin
dengan kadar air tidak lebih dari 10%, kadar abu total tidak lebih dari 7,2%, kadar abu
tidak larut asam tidak lebih dari 1,2% (Kemenkes, 2017).
2.7.5. Penelitian tentang herba meniran
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rivai dkk.(2011) dapat diketahui bahwa
pengaruh cara pengeringan terhadap perolehan kadar ekstraktif, senyawa fenolat dan aktivitas
antioksidan dalam herba meniran (Phyllanthus niruri Linn.). Cara-cara pengeringan yang diuji
adalah pengeringan angin pada suhu kamar, pengeringan oven pada suhu 40°C, pengeringan
oven pada suhu 60°C dan sampel segar sebagai kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengeringan tumbuhan segar menyebabkan berkurangnya perolehan ekstraktif, kadar senyawa
fenolat dan aktivitas antioksidan. Cara-cara pengeringan memberikan pengaruh yang berbeda
nyata (P < 0,05). Di antara cara-cara pengeringan yang diuji, hasil yang terbaik diberikan oleh
pengeringan oven pada suhu 40°C (Rivai dkk., 2011).
2.7.6. Kontrol kualitas herba meniran
Berupa batang, daun, bunga dan buah, batang bentuk bulat, kasar, beruas-ruas, daun
majemuk, berpasangan 10-13 pasang dalam satu ibu tangkai daun, kecil, bentuk bulat telur
sampai bulat memanjang, pangkal runcing, tepi rata, ujung meruncing, bunga dan buah
62
terdapat pada ketiak daun atau terlepas, buah bentuk bulat dengan liang buah yang jelas;
warna hijau kekuningan sampai kuning kecokelatan; bau khas; rasa pahit. Kontrol kualitas
herba meniran dapat berupa:
a. Parameter spesifik
Mikroskopis
Fragmen Serbuk Simplisia Herba Meniran: Epidermis atas dengan
kristal kalsium oksalat bentuk roset, epidermis atas dengan kristal kalsium
oksalat bentuk prisma di palisade, epidermis bawah dengan stomata, kulit
buah, dan kulit biji tampak tangensial.
Senyawa identitas
Adapun identitas senyawa kimia pada herba meniran adalah filantin.
Berikut merupakan struktur kimia dari filantin.
e. Efek samping
Efek samping pada herba meniran menurut Kepmenkes, (2017) yaitu
penggunaan secara luas tidak menimbulkan efek samping yg berbahaya, sedangkan
menurut Permenkes (2016) herba meniran yang digunakan secara luas tidak
dilaporkan memiliki efek samping berbahaya. Efek samping lain yang mungkin timbul
karena mengonsumsi herba meniran yaitu hipoglikemia, hipotensi, serta
ketidakseimbangan elektrolit dan mineral (BPOM RI, 2010).
f. Uji toksisitas
Penelitian yang dilakukan oleh Murugaiyah dan Chan, (2006) menggunakan
ekstrak metanol menirann diberikan kepada tikus yang diinduksi hiperurisemia dengan
dosis pemberiannya yaitu 100, 200, 500 dan 1000 mg/kg dalam larutan air tween 20.
Penelitian dilakukan selama 7 hari. Setelah 7 hari diperoleh hasil bahwa terjadi
penurunan yang signifikan sebesar 57,08%; 59,44%; 77,47%; dan 83,91% pada asam
urat plasma tikus. Penuruna kadar asam urat plasma pada tikus menggunakan ekstrak
metanol meniran efek sama dengan ketika tikus diberikan obat konvensional seperti
allopurinol.
Penelitian lain menggunakan tikus yang diberi ekstrak etanol meniran dosis 50
mg/kgBB dan 250 mg/kgBB bertujuan untuk mengetahui fungsi hati tikus setelah
diberi perlakuan. Penelitian dilakukan selama 90 hari dengan memberikan ekstrak
etanol setiap satu kali sehari. Berdasarkan hasil SGOT dan SGPT, tikus yang
menerima dosis 50 mg/kgBB dan 250 mg/kgBB mengamali penurunan yang
signifikan pada nilai SGOTnya, sedangkan nilai SGPT tikus yang diberi dosis 250
mg/kgBB mengalami penurunan yang signfikan. Penurunan kedua nilai tersebut masih
berada dalam range yang normal sehingga tidak bermakna secara klinis. Oleh sebab
itu, pemberian ekstrak etanol meniral selama 90 hari dengan dosis 50 mg/kgBB dan
250 mg/kgBB tidak mempengaruhi fungsi hati (Sujono dkk., 2015).
2.7.8. Interaksi herba meniran dengan obat dan makanan
Herba meniran memiliki senyawa filantin sebagai senyawa identitas. Herba meniran
mengandung senyawa lignan, phyllanthin, hypophyllanthin, phyltetralin, quercetin dan rutin
yang secara in vitro mampu menurunkan kadar asam urat melalui penghambatan xanthine
oxidase (XO) (Susanti dkk., 2012).
66
tinggi dari pada kontrol positif dan formulasi tanpa sistem nano, di mana semakin
tinggi indeks dan rasio fagositasi menunjukkan aktivitas fagositasi makrofag semakin
meningkat.
b. Interaksi herba meniran dengan makanan
Belum ditemukan interaksi herba meniran dengan makanan
BAB 3. PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Ramuan jamu hiperurisemia terdiri dari daun kepel 9 gram, rimpang temulawak 9
gram, daun tempuyung 6 gram, kayu secang 15 gram, rimpang kunyit 9 gram, herba
meniran 9 gram.
2. Penanganan pasca panen untuk tanaman yang merupakan komposisi dari ramuan jamu
hiperurisemia terdiri dari penyortiran awal, pencucian, penimbangan bahan baku,
perajangan, pengeringan, penyortiran akhir, pengemasan, pelabelan serta
penyimpanan. Kegiatan tersebut dilakukan sebagai upaya untuk menjaga kualitas dari
ramuan jamu.
3. Apoteker saintifikasi jamu yang berada di Rumah Riset Jamu melakukan pelayanan
kefarmasian mulai dari peracikan resep yang diperoleh dari dokter saintifikasi jamu
hingga kegiatan KIE pada pasien.
6
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manap, A. S., A. C. Wei Tan, W. H. Leong, A. Y. Yin Chia, S. Vijayabalan, A. Arya,
E. H. Wong, F. Rizwan, U. Bindal, S. Koshy, dan P. Madhavan. 2019. Synergistic
effects of curcumin and piperine as potent acetylcholine and amyloidogenic inhibitors
with significant neuroprotective activity in sh-sy5y cells via computational molecular
modeling and in vitro assay. Frontiers in Aging Neuroscience. 11
Ahrawati, Sulaeman, dan J. Purnama. 2021. Pemberian secang terhadap penurunan kadar
asam urat pada lansia. Jurnal Inonasi Pengabdian Masyarakat. 01(1):24–29.
Aldizal, R., M. Rizkio, F. Perdana, F. Suci, V. Galuh, A. Putri, A. Rina, N. D. Cahyani, R.
Yanti, F. Khendri, F. M. Garut, dan J. J. No. 2019. Jurnal ilmiah farmako bahari
temulawak plant ( curcuma xanthorrhiza roxb ) as a traditional medicine review :
tanaman temulawak ( curcuma xanthorrhiza roxb ) sebagai obat tradisional. 51–65.
Amal, S., N. S. Gunarti, K. Lullael, K. P. Soebakti, D. G. Mahdalena, N. N. Fadhillah, dan H.
Hidayah. 2021. Uji aktivitas antihiperurisemia ekstrak etanol beberapa tumbuhan famili
asteraceae. Majalah Farmasetika. 6(Suppl 1):32–41.
Amal, S., N. S. Gunarti, D. S. Saragih, dan H. Hidayah. 2022. UJI toksisitas akut ekstrak
etanol daun tempuyung ( sonchus arvensis l . ) pada mencit betina dengan metode fixed
dose. Journal of Pharmacopolium. 5(2):190–198.
Andrini, D., K. Amonia, D. A. N. Fenol, P. Feses, M. Mus, dan A. A. Wardhani. 2011.
Potensi ekstrak daun kepel (stelechocarpus burahol) dalam menurunkan kadar amonia,
trimetilamin, dan fenol pada feses mencit (mus musculus).
Angio, M. H. dan E. R. Firdiana. 2021. Kepel (stelechocarpus burahol (blume) hook &
thompson), buah langka khas keraton yogyakrta: sebuah koleksi kebun raya purwodadi.
Warta Kebun Raya. 19(2):7–13.
B2P2TOOT. 2017. JAMU SAINTIFIK. Dalam Tawangmangu: Balai Besar Penelitian Dan
Pengembangan Tanaman Obat Dan Obat Tradisional
B2P2TOOT. 2017. Jamu Saintifik: Suatu Lompatan Ilmiah Pengembangan Jamu.
Tawangmangu: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
B2P2TOOT. 2019. Sebelas Ramuan Jamu Saintifik: Pemanfaatan Mandiri Oleh Masyarakat.
Tawangmangu: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
7