Oleh:
dr. Mochamad Putro Argo
Pembimbing I
Dr. dr. IW. Arsana Wiyasa, Sp.OG(K)
Pembimbing II
Dr. dr. Rahajeng, Sp.OG(K)
1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................1
2.2.1 Hiperandrogen...............................................................................17
2.2.2 Insulin............................................................................................18
SOPK..........................................................................................26
2.4.1 Aklimatisasi....................................................................................54
2
BAB III KERANGKA TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN..................................43
3.3 Hipotesis..................................................................................................48
4.7.1 Alat.................................................................................................53
4.7.2 Bahan............................................................................................53
4.7.3 Prosedur........................................................................................53
4.8.1 Alat.................................................................................................54
4.8.2 Bahan............................................................................................54
4.8.3 Prosedur........................................................................................54
4.9.1 Alat.................................................................................................54
4.9.2 Bahan............................................................................................54
3
4.9.3 Prosedur........................................................................................55
4.10.1 Alat...............................................................................................55
4.10.2 Bahan..........................................................................................55
4.10.3 Prosedur......................................................................................55
4.11.1 Alat...............................................................................................55
4.11.2 Bahan..........................................................................................55
4.11.3 Prosedur......................................................................................55
4.12.1 Alat...............................................................................................55
4.12.2 Bahan..........................................................................................55
4.12.3 Prosedur......................................................................................55
Hewan Coba.........................................................................................56
4.13.1 Alat...............................................................................................56
4.13.2 Bahan..........................................................................................57
4.13.3 Prosedur......................................................................................57
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................59
4
DAFTAR GAMBAR
Androgen .............................................................................................21
Gambar 6 Pensinyalan Insulin dari sel Teka Ovarium dan mekanisme Terhadap
5
BAB 1
PENDAHULUAN
ovarium polikistik. Sindrom ini juga berkaitan dengan kelainan hormonal yang
(Mustari et al,.2018).
116 juta wanita (3,4%) mengalami SOPK di seluruh dunia. Prevalensi SOPK
pada tahun 2016 sebanyak 6−21% pada wanita usia reproduksi di seluruh dunia.
Prevalensi SOPK pada wanita usia reproduksi sebanyak 4,5%. Terdapat tiga
kriteria diagnosis SOPK, yaitu Kriteria National Institutes of Health (NIH), kriteria
pada tahun 2003. Diagnosis SOPK ditegakkan dengan kriteria Rotterdam apabila
ditemukan dua dari tiga kriteria berikut, yaitu disfungsi ovarium, manifestasi
Kriteria ini mengharuskan wanita untuk menunjukkan dua dari tiga fitur
SOPK berikut untuk diagnosis: kelebihan androgen klinis dan / atau biokimiawi,
oligoovulasi atau anovulasi, dan morfologi ovarium polikistik (PCOM) pada USG.
Bagaimanapun, SOPK dikaitkan dengan rentang yang lebih luas dari ciri-ciri
6
kesehatan yang buruk karena wanita dengan SOPK dapat menunjukkan fitur
reproduksi, endokrin, metabolik, dan psikologis dari kondisi ini. Fitur hormonal
SOPK memiliki risiko komplikasi kehamilan yang lebih tinggi secara signifikan,
Selain itu, risiko jangka panjang dari perkembangan terkait SOPK pada
keturunan wanita dengan SOPK adalah bidang yang semakin menarik karena
data yang terbatas saat ini menunjukkan bahwa SOPK ibu dikaitkan dengan
mereka. SOPK juga memiliki dampak metabolik yang signifikan karena dikaitkan
steatosis hati, dan dislipidemia, yang meningkatkan risiko diabetes tipe 2 dan
insulin dari pankreas oleh karena tingginya glukosa darah dan kegagalan leptin
dalam meregulasi insulin. Kadar insulin yang tinggi tersebut akan memicu
androgen bebas. Dengan demikian kedua jalur diatas akan menstimulasi theca
sel dari ovarium sehingga terjadi peningkatan produksi androgen dari ovarium
(Hall, 2015).
7
ketidakseimbangan sekresi luteinizing hormone (LH) dan follicle stimulating
meneliti apakah tingginya kadar insulin pada kondisi resistensi insulin dapat
SOPK.
Vitamin D adalah vitamin larut lemak yang memiliki struktur molekul steroid
oleh tubuh dengan bantuan pajanan sinar matahari (Querfeld, 2013). Saat ini
memodulasi sistem imun dan mengatur beberapa sistem endokrin. Hal ini
8
pada SOPK. Efek vitamin D dimediasi melalui jalur genetik dan seluler. Vitamin D
TaqI, BsmI, FokI, ApaI dan Cdx2) pada kadar LH dan SHBG, kadar testosteron,
produksi PTH, yang diatur melalui kadar kalsium serum dan vitamin D, dan
kelainan menstruasi yang terkait dengan SOPK; Namun, telah disarankan bahwa
kecukupan vitamin D lebih penting daripada asupan kalsium yang tinggi untuk
menemukan bahwa pada wanita dengan SOPK, asupan kalsium yang lebih
lebih tinggi, menunjukkan bahwa asupan kalsium yang rendah juga dapat
et al,.2012).
Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara 25OHD dan fungsi
dikaitkan dengan penurunan kemungkinan resistensi insulin, dan ada bukti untuk
9
Kekurangan vitamin D sangat umum terjadi pada wanita dengan SOPK dan
dikaitkan dengan banyak gejala, termasuk resistensi insulin, faktor risiko CVD,
SOPK. Studi observasi telah menunjukkan tingkat 25OHD yang lebih rendah
faktor risiko CVD. Dua studi intervensi kecil yang tidak terkontrol telah
bermanfaat untuk kehamilan. Studi ini menunjukkan bahwa mungkin ada tempat
untuk suplementasi Vitamin D dalam pengelolaan SOPK. Namun, ini adalah area
yang membutuhkan penyelidikan lebih lanjut. Uji coba terkontrol acak yang besar
10
1.3. Tujuan Penelitian
Tikus SOPK.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
adanya penyakit primer pada kelenjar hipofisis atau adrenal yang mendasari
(Cunningham, et al., 2017). Penyakit ini sangat umum terjadi pada wanita dalam
digambarkan dengan adanya anovulasi kronik, siklus hadi yang ireguler, dan
Etiologi SOPK masih belum diketahui dengan pasti dan tidak ada gen
Gangguan hormonal ini dapat berupa resistensi insulin, adanya deposit lemak
al., 2017).
12
Hormone (FSH) pada tingkat pituitari yang menyebabkan hipersekresi
demikian, kedua jalur diatas akan menstimulasi sel teka dari ovarium sehingga
(Escobar-Morreale, 2018).
adalah peningkatan kadar LH serum dan FSH yang rendah atau normal dan
resistensi insulin diduga ikut berperan dalam timbulnya SOPK (Goodarzi, et al.,
2019).
ovarium, sementara itu kekurangan relatif dari FSH menjaga stimulasi yang
cukup dari aktivitas aromatisasi pada sel granulosa, dengan cara demikian
13
pasien dan perkembangan hirsutisme serta jerawat. Peningkatan serum
konversi terjadi terutama di sel stromal dari jaringan adiposit, produksi estrogen
level estradiol yang cepat. Stimulasi estrogen yang tidak dapat dicegah dari
et al., 2018).
14
Gambar 1. Polycystics Ovarian Syndrome and Hyperandrogenism (Cunningham, et al., 2017)
2.2.1 Hiperandrogen
pengaruh pada bagian sentral dan perifer organ target. Secara sentral,
15
peningkatan kadar androgen dalam darah (hiperandrogenemia) akan
gonadotropin baik pada tingkat hipothalamus maupun pada hipofisis. Dalam hal
ini, LH lebih jelas dipengaruhi daripada FSH. Sedangkan secara perifer, terjadi
pengaruh yang lebih menarik dan penting pada tingkat ovarium dan folikel. Disini
2014).
2.2.2 Insulin
2.2.2.1Struktur Insulin
residu asam amino). Rantai A dan B dihubungkan oleh jembatan disulfida. Selain
membentuk dimer dan heksam. Zn hexamer terdiri dari tiga dimmer insulin yang
terkait dengan pola simetris tiga kali lipat (Cruz et al., 2018).
yang merupakan prekursor utama dan gen yang sama terletak pada kromosom
11 yang dekat dengan insulin seperti growth factor-2 (IGF-2). Dalam satu menit
16
diangkut oleh mikrovesikel ke aparatus Golgi. Proinsulin dilepaskan dalam
vesikel. Konversi proinsulin menjadi insulin berlanjut dalam butiran yang matang
glukosa adalah penentu utama. Berbagai agen saraf, endokrin, dan farmakologis
juga dapat memberikan efek stimulasi. Glukosa diambil oleh sel beta melalui
membran sel ß pada potensi negatif di mana saluran Ca2+ yang terjaga
Secara struktural, saluran KATP pankreas terdiri dari dua subunit yang
tidak terkait, yaitu reseptor sulfonilurea (isoform SUR1) dan subunit saluran
kalium (Kir6.2) yang membentuk jalur penghantaran ion pusat. Saluran KATP
yang matang ada sebagai oktamer dari sub unit Kir6.2 dan SUR1 dalam
stoikiometri 4:4. Subunit spesifik situs spesifik untuk saluran KATP pankreas,
17
sulfonylurea lainnya. Sulfonilurea, dan obat non-sulfonilurea bertindak sebagai
insulin yang terletak pada otot lurik, otot jantung, dan adiposa. GLUT4 bertindak
dengan adanya persinyalan insulin pada reseptor insulin (IRS) (Olson, 2012).
Gambar 2. Mekanisme GLUT4 dalam mengambil glukosa. Tampak insulin dibutuhkan dalam uptake glukosa.
Tidak adanya GLUT4 menyebabkan ambilan glukosa kedalam sel menjadi terhambat (Olson,
2012).
(serabut tipe 1) disebabkan oleh gaya hidup yang tidak aktif dimana pada
fisik yang rendah dan menyebabkan sensitivitas sel otot terhadap insulin
berkurang dan pada penelitian yang sama menunjukan aktivitas fisik rutin baik
18
ekspresi dari GLUT4 pada otot skeletal diikuti dengan penurunan serat otot tipe 1
Gambar 3. Patomekanisme resistensi insulin. Pada resistensi insulin, terjadi kegagalan persinyalan GLUT4
yang paling sering disebabkan rendahnya aktivitas fisik karena terjadi desensitisasi dari
pembentukan GLUT4 oleh retikulum endoplasma otot skeletal (Gaster et al, 2001).
insulin perifer dan penurunan rerata pembersihan insulin yang disebabkan oleh
luar aktivasi dari reseptor kinase, yang disebut sebagai penurunan tyrosine
19
autophosphorylation dari reseptor insulin. Serine residue phosphorylation yang
berlebihan pada reseptor insulin menurunkan transmisi signal, dan hal ini telah
phosphorylation pada saat yang bersamaan dari enzim P450c17 pada kelenjar
adrenal dan ovarium, yang mana dapat meningkatkan aktifitas 17,20-lyse dan
menurunkan sirkulasi androgen pada kadar yang normal (Shaaban et al., 2019).
20
Resistensi insulin dan hiperinsulinemia terkompensasi adalah ciri umum
pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik dan memainkan peran penting
dalam patofisiologi. Lebih dari 35% wanita dengan sindrom ovarium polikistik
menunjukkan gangguan toleransi glukosa dan lebih dari 10% memenuhi kriteria
Gambar 5. Hubungan resistensi insulin pada SOPK dengan peningkatan androgen (Decherney, et al., 2013).
pada sel teka atau interstisial pada stroma ovarium. Pada konsentrasi tinggi,
insulin juga mengikat reseptor IGF-1 (dan kemungkinan reseptor hybrid) yang
secara strutktural mirip dan menggunakan mekanisme signaling yang mirip. Akan
terhadap transport glukosa. Dimana antibodi reseptor anti insulin secara efektif
21
menghambat steroideogenesisyang dipicu insulin pada sel granulosa manusia
yang dikultur, sebuah reseptor antibodi anti IGF tidak memiliki efek. D-chiro-
dalam stimulasi insulin pada sintesis androgen sel teka dan bahwa mekanisme
bagian penting dari patofisiologi SOPK. Akan tetapi penting untuk diketahui
bahwa 25-50% wanita dengan SOPK tidak menunjukan resistensi insulin. Lebih
dari itu, diantara seluruh wanita dengan resistensi insulin, prevalensi SOPK
secara relati lebih rendah (kurang lebih 15%). Sehingga resistensi insulin dan
ovarium yang diperluas memiliki sensitivitas yang meningkat terhadap insulin dan
LH, dan disregulasi intrinsik enzim steroidogenik (Decherney, et al., 2013). SOPK
adalah kelainan poligenik yang melibatkan interaksi sejumlah varian genomik dan
pengaruh dari faktor lingkungan. Gen kandidat termasuk seluruh molekul yang
22
Gambar 6. Persinyalan insulin dari sel teka ovarium dan mekanisme terhadap resistensi insulin selektif
(Rojas et al, 2014).
Gambaran panah padat menunjukan mekanisme yang diketahui dengan baik. Gamabaran panah
putus-putus menunjukan informasi yang tidak lengkap atau mekanisme hipotetikal. (A) Insulin
dapat bertindak dalam sinergitas dengan LH untuk meningkatkan konsentrasi intraseluler dari
cAMP, mempotensiasi aktivasi PKA dan fosforilasi yang ada dari StAR, memicu terjadinya
steroidogenesis. (B) Hipotetikal teori serine-kinase dapat menggabungkan hiperinsulinemia-
hiperandrogenemia pada SOPK, sehingga menghambat aktivitas Akt, menghambat efek
metabolik dari insulin, sambil mengaktifkan enzim steroidogenik. Lebih lanjut, aktivitas mitogenik
dapat dibiarkan intak dan fungsional secara penuh, menyebabkan terjadinya proliferasi tekal. (C)
Pembentukan inositolfosfoglikan tampak memicu INSR-memungkinkan mekanisme independen
dari persinyalan molekuler dimana jalur metabolik dan mitogenik pada persinyalan insulin. Oleh
karena itu, inositolfosfoglikan dapat menstimulasi aktivitas steroidogenik tidak bergantung pada
gangguan metabolik dan persinyalan dari resistensi insulin sistemik.
SOPK
DHEAS, modifikasi aktivitas lipolisis dan memicu pelepasan asam lemak bebas
perubahan struktural dan fungsional dalam hepatosit dan miosit skeletal, dengan
akumulasi metabolit dari reesterifikasi rantai panjang asam lemak, termasuk asil-
KoA dan diasilgliserol. Pada SOPK, androgen juga dapat tampak dalam
23
memodifikasi arsitektur metabolik dan secara fungsional, terjadi pengurangan
jumlah serabut otot tipe I dan peningkatan serabut otot tipe II, dimana glikolisis
androgen dari VAT dan interferensi diinduksi persinyalan androgen insulin. Pada
hanya terbatas pada jaringan ovarium, tetapi juga didalam adiposit (Reid et al.,
2017).
pada SOPK. Ireguleralitas dan anovulasi tampak lebih prevalen dan menjadi
berat pada wanita dengan SOPK dibandingkan dengan pasien non obesitas, dan
kondisi ini. Lebih lanjut, wanita obesitas memiliki kesulitan dalam menjadikan
tinggi lipid dan rendah serat terkait dengan hiperandrogenemia, melalui ambilan
24
ovarium. Hiperandrogenisme klinis secara primer menyebabkan terjadinya
dan tengah dari fase folikular dimana kadar estron meningkat disebabkan
sekresi dari FSH disebabkan oleh gangguan sekresi pulsatil dari GnRH pada
kadar pituitari, tingginya kadar estrogen perifer pada kadar pituitari, dan
2.3 Vitamin D
Vitamin D adalah grup vitamin yang larut dalam lemak. Berdasarkan Union
of Pure and Applied Chemist (IUPAC) vitamin D dikenal juga dengan nama
kalsiferol. Vitamin D berperan dalam pembentukan struktur tulang dan gigi yang
25
baik. Sumber vitamin D bisa diperoleh dari jeruk, strawberi, tomat, brokoli, dan
Terdapat dua bentuk aktif vitamin D, yaitu Vitamin D2 dan vitamin D3.
dan banyak diperoleh pada ragi dan tanaman (Schoenmakers and Jones, 2017).
Gambar 7. Struktur kimia vitamin D2 dan vitamin D3 (Jakobsen and Jäpelt, 2012).
vitamin D3. Bila kulit terpajan sinar matahari atau sumber penyinaran artifisial
26
D3 dibawa ke hati dan dimetabolisme menjadi 25(OH)D oleh mitokondria hati
umpan balik, yakni peningkatan konsumsi diet dan produksi endogen vitamin D3.
2009).
27
ternyata terdapat beberapa organ lain yang dapat melakukan perubahan tersebut
dengan protein pengikat vitamin D dibawa ke berbagai target organ, lalu bentuk
bebas diambil oleh sel serta dibawa ke protein reseptor inti khusus. Reseptor
vitamin D respon elemen (VDRE) pada promotor region yang selanjutnya terlibat
dalam proses Ikatan RNA pollymerase ke start site transkripsi atau membantu
mengurai chromatin pada site gen melalui rekruitmen histone acetyl transferases
28
Gambar 10. Jalur vitamin D reseptor (Lips, 2006)
sekresi hormon untuk menjaga homeostasis mineral tulang dalam batas normal
• Insulin
29
Fibroblast Growth Factor-23 (FGF23) terutama dihasilkan di tulang
proliferasi.
• Kanker
ekspresi inhibitor siklus sel p21 dan p27 serta ekspresi molekul adhesi
30
Peranan vitamin D dan metabolit aktifnya 1,25(OH)2D3 dalam memodulasi
1. Adanya VDR pada makrofag, sel monosit, sel limfosit T dan B yang
teraktivasi.
infeksi, penyakit autoimun dan toleransi pada transplantasi organ. Hal ini
dari makrofag monosit, antigen presenting cell (APC), sel dendritik (DC), dan
makrofag matang. C/EBPβ adalah faktor transkripsi yang penting bagi makrofag
yang berfungsi sebagai antibakteria, antivirus, dan antitumor, dan penting juga
dalam sintesis IL-12, sebuah sitokin yang memediasi potensi fungsi Th1.
31
Secara umum, mekanisme yang mendasari kemampuan 1,25(OH)2D3
dalam aksi imunitas merupakan reaksi feedback dari parakrin untuk mengurangi
fungsi
Gambar 11. Peranan Vitamin D terhadap sistem Imunitas (Harvey and Cantorna, 2013).
memiliki tingkat 25OHD lebih rendah dibandingkan dengan wanita kontrol yang
dengan SOPK memiliki tingkat 25OHD lebih rendah dibandingkan dengan wanita
wanita dengan SOPK, kadar 25OHD telah dikaitkan secara positif dengan SHBG
32
dan secara negatif terkait dengan derajat hirsutisme, indeks androgen bebas
Selain itu, kadar SHBG lebih rendah pada wanita SOPK dengan tingkat vitamin D
yang sangat defisiensi, tetapi ini tidak lagi signifikan setelah menyesuaikan untuk
BMI dan WHR. Hasil serupa ditemukan dalam penelitian oleh Wehr et al. di
mana hubungan antara SHBG dan status vitamin D tidak lagi signifikan setelah
mengontrol BMI, menunjukkan obesitas sebagai penentu umum untuk SHBG dan
25OHD. Hahn et al. juga mengamati peningkatan tergantung BMI pada FAI dan
skor hirsutisme dan penurunan SHBG, sekali lagi menunjukkan bahwa hubungan
perubahan dalam kadar testosteron, SHBG dan FAI. Satu studi kecil yang tidak
dalam kisaran normal ( 30-40 ng / ml) juga melaporkan perbaikan klinis akne
vulgaris pada ketiga wanita yang muncul. Tidak ada perbaikan klinis lain pada
D pada hirsutisme dan kadar androgen pada wanita dengan SOPK (Wehr et al,.
2011).
33
Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa defisiensi vitamin D
pada SOPK (Gambar 12). Efek vitamin D dimediasi melalui jalur genetik dan
seluler. Vitamin D mengatur transkripsi gen melalui reseptor vitamin D inti (VDR)
dan ovarium. Patogenesis SOPK telah dikaitkan dengan efek VDR (polimorfisme
TaqI, BsmI, FokI, ApaI dan Cdx2) pada kadar LH dan SHBG, kadar testosteron,
produksi PTH, yang diatur melalui kadar kalsium serum dan vitamin D, dan
kelainan menstruasi yang terkait dengan SOPK; Namun, telah disarankan bahwa
kecukupan vitamin D lebih penting daripada asupan kalsium yang tinggi untuk
menemukan bahwa pada wanita dengan SOPK, asupan kalsium yang lebih
lebih tinggi, menunjukkan bahwa asupan kalsium yang rendah juga dapat
34
testosteron dapat dijelaskan dengan augmentasi aktivitas aromatase oleh vitamin
lingkungan mikro hiperluteinisasi dari folikel SOPK. Akibat efek ini, kekurangan
insulin tidak diketahui, beberapa mekanisme seluler dan molekuler telah diajukan
mengarah pada regulasi transkripsi gen spesifik atau menekan kadar PTH
terkait dengan adanya resistensi insulin, tetapi terkait dengan adanya obesitas.
memahami mekanismenya.
insulin (insulin puasa dan HOMA-IR); Namun, dalam beberapa studi ini, asosiasi
tersebut menghilang saat BMI dikendalikan. Sebuah studi oleh Hahn et al. juga
tingkat 25OHD, tingkat 25OHD yang lebih rendah dikaitkan dengan resistensi
insulin dan obesitas. Telah dikemukakan bahwa obesitas mungkin memiliki peran
35
perancu dalam hubungan antara 25OHD dan resistensi insulin pada wanita
SOPK dengan defisiensi vitamin D parah lebih resisten terhadap insulin, terlepas
dari BMI dan WHR, dan penelitian lain menunjukkan bahwa sementara kadar
25OHD lebih rendah pada wanita obesitas dengan SOPK, pada wanita obesitas
dan non obesitas, 25OHD. tingkat berkorelasi negatif dengan BMI dan HOMA-IR.
multivariat dan menemukan tingkat 25OHD adalah prediktor yang signifikan dan
menunjukkan bahwa status vitamin D yang rendah mungkin tidak hanya dikaitkan
dengan obesitas, tetapi juga dengan resistensi insulin pada wanita dengan
SOPK.
secara acak perlu dilakukan, tetapi ada sangat sedikit studi intervensi yang
12). Tiga penelitian kecil yang tidak terkontrol telah menyelidiki efek suplementasi
vitamin D pada resistensi insulin pada wanita obesitas dengan SOPK. Studi
sekresi insulin.21 Nilai serum 25OHD rendah pada awal (15 · 2 ng / ml) dan
intervensi kecil yang tidak terkontrol lainnya pada wanita obesitas dengan SOPK
36
(HOMA-IR) 3 minggu setelah dosis tunggal vitamin D (300.000 IU). Dosis tunggal
secara signifikan meningkatkan kadar 25OHD dari 16,9 menjadi 37,1 ng / ml, dan
hanya dua wanita yang masih memiliki kadar lebih rendah dari 25 ng / ml.
Sebuah studi percontohan baru-baru ini pada 46 wanita dengan SOPK yang
puasa dan stimulasi glukosa, tetapi kadar insulin dan HOMA puasa dan
terstimulasi tidak berubah. Wanita dalam penelitian ini relatif kurus tanpa
resistensi insulin yang parah, dan tidak ada kelompok kontrol, sehingga data
hanya dapat dianggap sebagai data awal. Kadar vitamin D juga tinggi pada awal
dengan resistensi insulin yang lebih tinggi. Dua studi intervensi kecil yang tidak
menguntungkan pada resistensi insulin dan sekresi insulin pada wanita obesitas
dengan SOPK; Namun, studi percontohan lain yang tidak terkontrol menunjukkan
tidak ada efek yang terlihat pada wanita yang relatif kurus dengan SOPK tanpa
resistensi insulin yang parah. Penyelidikan lebih lanjut diperlukan dalam uji coba
terkontrol secara acak untuk lebih memahami efek suplementasi vitamin D pada
37
Gambar 12. Peran kekurangan vitamin D dalam patologi SOPK (Thomson R et al., 2012)
Rattus norvegicus merupakan tikus yang termasuk dalam famili muridae dan
subfamili murinae. Di Indonesia, tikus ini biasa disebut tikus riul ataupun tikus
got. Hewan ini memiliki bentuk kepala tirus di bagian anterior. Mulutnya berada di
bawah hidung dan dilingkupi dua bibir. Tikus ini juga memiliki kumis (misae) di
kanan dan kiri moncongnya, yang disebut sebagai vibrisa. Kumis ini merupakan
organ yang sesitif sentuhan. Mata tikus ini kecil dan berwarna hitam, dengan
kurang dari 5 kg. Menjadi mamalia kecil memiliki keunggulan tersendiri yaitu lebih
mudah menyembunyikan diri dari predator. Tikus ini dapat memiliki berat 140
hingga 500 g, dengan rata-rata 400 g dan berat pejantan lebih dibanding betina.
Mamalia ini dewasa pada usia 2-3 bulan dengan usia hidup rata-rata 5-12 bulan
(Armitage, 2011).
38
Rattus norvegicus merupakan mamalia yang tergolong aktif, dengan
pergerakan yang cepat, serta kadar metabolisme yang tinggi. Tikus ini memiliki
bentuk badan silindris, dan lebih besar di bagian belakang. Warna badan putih,
dengan warna ekor coklat kemerahan. Panjang ekor 160-210 mm, lebar daun
telinga 18-24 mm, telapak kaki belakang 40-47 mm, dengan panjang total 310-
musiman, dan dapat berkembang biak hingga 7 kali per tahun. Jumlah keturunan
2-14 ekor, dengan periode kehamilan 22-24 hari. Umur kematangan seksual
adalah 3-4 bulan. Seekor tikus betina siklus estrusnya terjadi dalam 4 hari sekali
(Suyanto, 2006).
2.4.1 Aklimatisasi
Komposisi pakan yang baik bagi tikus adalah serat rendah (5%), protein
20%, dan lemak 5-10%. Pakan ini dapat berupa dalam sediaan pelet
39
Faktor ini juga merupakan hal penting dalam aklimatisasi dan harus
suhu 18-26C
sehingga perubahan siang dan malam merupakan hal yang sensitif bagi
4. Sanitasi.
Sanitasi terhadap kotoran dan air seni tikus perlu dilakukan. Sanitasi
Seperti yang telah disebutkan diatas, tikus betina Rattus norvegicus memiliki
siklus estrus tiap 4 hari sekali. Siklus estrus pada tikus terjadi secara terus
menerus (kontinyu). Lamanya siklus ini tidak selalu tepat, namun dapat
1. Proestrus
40
Fase proestrus ditandai dengan adanya peningkatan hormon FSH, yang
Fase ini pada tikus berlangsung selama 12 jam. Pada fase ini folikel dan
2. Estrus
Fase estrus merupakan fase dimana tikus betina siap secara seksual
3. Metestrus
berlangsung selama 1 hari, dan jika terjadi fertilisasi akan terjadi lonjakan
4. Diestrus
Fase ini berlangsung selama 2-3 hari. Jika fertilisasi tidak terjadi, fase ini
5. Anestrus
Fase anestrus ini juga dapat dianggap fase istirahat bagi siklus seksual
41
pineal. Melatonin mengatur frekuensi dan amplitudo pulsasi GnRH dari
Selama siklus estrus yang terdiri dari fase-fase diatas, terjadi perubahan
pada organ reproduksi tikus betina. Salah satunya yaitu terjadi penebalan
endometrium terkait dengan implantasi sel telur yang telah mengalami fertilisasi.
Pembesaran dan peregangan uterus yang signifikan terjadi pada fase proestrus
lumen dari kuboid menjadi kolumnar pada fase estrus. Pada fase metestrus
dominan terjadi pada fase diestrus. Penebalan jaringan ini akan diserap kembali
Gambar 13. Gambaran histologis dari masing-masing fase siklus estrus (Lesmana, 2017)
42
peningkatan angka keguguran. Selain itu, dikaitkan dengan berbagai penyakit
dapat berkontribusi pada perkembangan resistensi insulin (IR) yang diamati pada
metabolisme lipid dan akumulasi serta pada fungsi ovarium, namun hasil uji coba
mendasari potensial pada IR otot rangka dijelaskan dalam model hewan PCOS.
(Song, 2018)
dapat mengubah autofagi hati dan ovarium pada PCOS. (Gao, 2016)
43
BAB III
Defisiensi
Vitamin D
44
Anovulatori
infertil
SOPK
Keterangan :
kadar kalsium serum dan vitamin D, dan peningkatan PTH secara independen
besar bertanggung jawab atas kelainan menstruasi yang terkait dengan SOPK;
asupan kalsium yang tinggi untuk mempertahankan nilai PTH yang diinginkan.
asupan kalsium yang lebih rendah secara independen terkait dengan konsentrasi
testosteron serum yang lebih tinggi, menunjukkan bahwa asupan kalsium yang
rendah juga dapat berkontribusi pada disregulasi hormonal yang terjadi pada
45
aromatase dan dengan mempertahankan homoeostasis kalsium ekstraseluler.
Tikus yang kekurangan vitamin D telah mengurangi tingkat kesuburan dan tikus
lingkungan mikro hiperluteinisasi dari folikel SOPK. Akibat efek ini, kekurangan
sekresi steroid kelenjar adrenal dan penurunan sex hormone binding globulin
(SHBG).
estradiol. Kadar hormon androgen yang tinggi akan menyebabkan semakin tinggi
pada hipofisis sehingga produksi FSH akan berkurang dan produksi LH akan
menyebabkan atresia folikel yang diikuti dengan terjadinya folikel antral arrest.
Hal tersebut akan menyebakan terjadinya peningkatan jumlah folikel antral yang
46
tidak berkembang. Selain itu peningkatan hormone LH dan penurunan hormone
FSH juga berpengaruh terhadap terjadinya peningkatan jumlah folikel antral pada
Diabetes Mellitus
tipe 2
Genetik
Obesitas
Defisiensi Vit D
Keterangan :
kadar kalsium serum dan vitamin D, dan peningkatan PTH secara independen
insulin perifer dan penurunan rerata pembersihan insulin yang disebabkan oleh
48
hiperandrogenemia. Perbaikan hiperinsuliemia secara dramatik akan
menurunkan sirkulasi androgen pada kadar yang normal (Shaaban et al., 2019).
estradiol. Kadar hormon androgen yang tinggi akan menyebabkan semakin tinggi
pada hipofisis sehingga produksi FSH akan berkurang dan produksi LH akan
menyebabkan atresia folikel yang diikuti dengan terjadinya folikel antral arrest.
Hal tersebut akan menyebakan terjadinya peningkatan jumlah folikel antral yang
FSH juga berpengaruh terhadap terjadinya peningkatan jumlah folikel antral pada
3.3 Hipotesis
Hipotesis umum
Vitamin D [1,25(OH)2D3] mampu mencegah hiperandrogenemia dan
resistensi insulin pada model Tikus SOPK
Hipotesis Khusus
1. Vitamin D [1,25(OH)2D3] mencegah hiperandrogenemia, pada model Tikus
SOPK ?
SOPK ?
49
BAB IV
METODE PENELITIAN
insulin dan hormon testosteron pada tikus putih betina galur wistar (Rattus
2021.
50
Populasi target yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih
norvegicus) sebanyak 20 ekor, dengan usia 2 bulan, dan berat badan 200-250
n = jumlah kelompok
berikut :
n = 4, maka didapatkan :
(4-1)(r-1) ≥ 15
3r-1 ≥ 15
3r ≥ 15 + 1
r≥5
subjek minimal yang digunakan adalah 5 ekor tikus untuk setiap kelompok
b. Umur 2 bulan
51
Kriteria Eksklusi adalah tikus putih yang pernah digunakan penelitian
sebelumnya.
1. Vitamin D
2. Testosterone Propionate
2. Insulin
3. Asupan makanan
5. Siklus haid
Brawijaya. Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus
putih betina galur Wistar 8 minggu. Tikus model PCO dengan pemberian
SOPK diperoleh.
b. Insulin
52
dimasukkan ke dalam tabung eppendrof lalu segera dilakukan
c. Testosteron
Aklimatisasi (7 hari)
Kontrol (-) P1
(D-) (T-) (D+) (T-)
Kontrol (+) P2
(D-) (T+) (D+) (T+)
Pengambilan Sampel
Tikus SOPK
High Dose Vit D
Terminasi (5 ekor)
Darah
ELISA
53
Pengumpulan Data
Analisa Statistik
ELISA
Keterangan:
P1 : Tikus diberikan Vitamin D 500 IU/ minggu pada minggu ke-1 dan
dan diberikan Vitamin D 500 IU/ minggu pada minggu ke-1 dan
4.7.1 Alat
5) Timbangan
54
6) Baskom
7) Pengaduk
8) Gelas Ukur
9) Penggiling pakan
10) Nampan
4.7.2 Bahan
1) Sekam
4.7.3 Prosedur
kandang maupun pakan. Seluruh tikus diberikan pakan sekali dalam sehari yang
normal 30 gram.
4.8.1 Alat
1) Cotton buds
2) Cover glass
3) Mikroskop
4.8.2 Bahan
1) Giemsa
2) Methanol
3) NaCl fisiologis
4.8.3 Prosedur
55
buds yang telah dicelupkan NaCl fisiologis ke lubang vagina dan diputar untuk
pemberian giemsa lalu ditutup dengan cover glass, kemudian diamati dibawah
4.9.1 Alat
1. Spuit 3 ml
4.9.2 Bahan
2. Propilen Glicol
3. Kapas alcohol
4.9.3 Prosedur
4.10.1 Alat
1. Mikropipet
2. Feeding tube
4.10.2 Bahan
1. Vitamin D ( Kolekalsiferol )
4.10.3 Prosedur
4.11.1 Alat
56
1. Stoples
4.11.2 Bahan
1) Kapas Alkohol
2) Kapas
3) Klorofom 5ml/ekor
4.11.3 Prosedur
jam setelah perlakuan terakhir dan sebelumnya tikus telah dipuasakan 10 jam
kurang lebih 5 ml untuk tiap ekor, dituang ke kapas dan dimasukkan dalam
stoples pembiusan. Kurang lebih 1 menit tikus sudah tidak bernafas yang
4.12.1 Alat
1) Spektofotometer
2) Incubator
3) Microtube serum
4) Alat sentrifugasi
5) Pipet
7) Tabung darah
8) Spuit 5 ml
9) Stoples
4.12.2 Bahan
1) Ketamin 2 ml
2) Kapas Alkohol
3) Kapas
57
4) Klorofom 5ml/ekor
4.12.3 Prosedur
sebanyak 3 ml
4.13 Pengukuran Kadar Insulin dan Testosteron dalam Darah Hewan Coba
4.13.1 Alat
1) Spektofotometer
2) Incubator
3) Microtube serum
4) Alat sentrifugasi
5) Pipet
6) Tabung darah
7) Spuit 5 ml
4.13.2 Bahan
1) Darah tikus
2) ELISA Kit
4.13.3 Prosedur
dalam tabung reaksi dan ditunggu selama 30menit - 3 jam hingga keluar
suhu ruang selama tiga puluh menit dengan Hettich Zentrifugen. Proses
58
Data kadar Insulin dan kadar testosteron masing-masing kelompok dikumpulkan
statistik, data yang ada diuji normalitasnya terlebih dahulu dengan metode
Sapphiro-Wilk dan uji homogenitas ragam dengan metode Levene Apabila dari
akan dilanjutkan dengan uji statistik Two Way ANOVA dan dilanjutkan post-hoc
test dengan uji LSD (Least Significance Difference). Uji statistik dilakukan pada
derajat kepercayaan 95% dengan α=0,05. Hasil uji statistik dinyatakan bermakna
DAFTAR PUSTAKA
Bandeira, F., Griz, L., Dreyer, P., Eufrazino, C., Bandeira, C., Freese, E., 2006.
Vitamin D deficiency: A global perspective. Arq. Bras. Endocrinol.
Metabol.
Ben-Haroush, A., Yogev, Y., Fisch. B. (2004). Insulin resistance and metformin in
polycysticovary syndrome. European Journal of Obstetrics & Gynecology
and ReproductiveBiology. 115:125–133.
Benjamin, GC. and Robert, KS. (2013). Genetic Disorders of Insulin Action: Far
More than Diabetes. New York. Current Obesity Reports. 2:293-300.
Christakos, S., Ajibade, D. V., Dhawan, P., Fechner, A.J., Mady, L.J., 2012.
59
Vitamin D: Metabolism. Rheum. Dis. Clin. North Am.
Cruz, K., de Oliveira, A., Morais, J., Severo, J., Mendes, P., de Sousa Melo, S.,
de Sousa, G. and Marreiro, D. (2018). Zinc and Insulin Resistance:
Biochemical and Molecular Aspects. Biological Trace Element Research,
186(2), pp.407-412.
Cuningham, FG., Leveno, KJ., Bloom, SL., Hauth, JC., Gilstap, LC., and
Wenstrom, KD. (2017). Polycystic Ovarian Syndrome In: William
obstetrics. 25th eds. Philadelphia-london-toronto: prentice-hall
internasional Inc.
Decherney, AH., Nathan, L, Laufer, N, and Roman, AS. (2013). Current
Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology. 11ed. New York: Lange.
Dumitrescu, R., Mehedintu, C., Briceag, I., Purcarea, VL., Hudita, D. (2015). The
Polycystic Ovary Syndrome: An Update on Metabolic and Hormonal
Mechanisms. Journal of Medicine and Life. 8(2):142-145.
Escobar-Morreale, H. (2018). Polycystic ovary syndrome: definition, aetiology,
diagnosis and treatment. Nature Reviews Endocrinology, 14(5), pp.270-
284.
Franks, S. and Hardy, K. (2018). Androgen Action in the Ovary. Frontiers in
Endocrinology, 9.
Gallieni, M., Cozzolino, M., Fallabrino, G., Pasho, S., Olivi, L., Brancaccio, D.,
2009. Vitamin D: Physiology and pathophysiology. Int. J. Artif. Organs.
Gao, L.; Cao, J.T.; Liang, Y.; Zhao, Y.C.; Lin, X.H.; Li, X.C.; Tan, Y.J.; Li, J.Y.;
Zhou, C.L.; Xu, H.Y.; et al. Calcitriol attenuates cardiac remodeling and
dysfunction in a murine model of polycystic ovary syndrome. Endocrine
2016, 52, 363–373.
Gaster M., Staehr P., Beck-Nielsen H., Schroder HD., Handberg A. (2001).
GLUT4 is Reduced in Slow Muscle Fibers of Type 2 Diabetic Patients.
Diabetes. 50(6): 1324-1329
Goodarzi, M., Dumesic, D., Chazenbalk, G. and Azziz, R. (2019). Polycystic
ovary syndrome: etiology, pathogenesis and diagnosis. Nature Reviews
Endocrinology, 7(4), pp.219-231.
Hadjadj, L.; Várbíró, S.; Horváth, E.M.; Monori-Kiss, A.; Pál, É.; Karvaly, G.B.;
Heinzlmann, A.; Magyar, A.; Szabo, I.; Sziva, R.E.; et al. Insulin
resistance in an animal model of polycystic ovary disease is aggravated
by vitamin D deficiency: Vascular consequences. Diabetes Vasc. Dis.
Res. 2018, 15, 294–301.
Hahn, S., Haselhorst, U., Tan, S. et al. (2006) Low serum 25-hy- droxyvitamin D
concentrations are associated with insulin resistance and obesity in
women with polycystic ovary syndrome. Experimental and Clinical
Endocrinology and Diabetes, 114, 577– 583.
Hall, JE. (2015). Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology, 13th Edition.
California: Elsevier.
60
Irani, M.; Merhi, Z. Role of vitamin D in ovarian physiology and its implication in
reproduction: A systematic review. Fertil. Steril. 2014, 102, 460–468.
Jakobsen, J., Jäpelt, R.B., 2012. Vitamin d. In: Handbook of Analysis of Active
Compounds in Functional Foods.
Lesmana, R., 2017. Pedoman penggunaan tikus sebagai hewan coba
laboratorium. EGC, Jakarta.
Li, H.W.R., Brereton, R.E., Anderson, R.A. et al. (2011) Vitamin D deficiency is
common and associated with metabolic risk factors in patients with
polycystic ovary syndrome. Metabolism: Clinical and Experimental, 60,
1475–1481.
Palomba, S.; Santagni, S.; Falbo, A.; La Sala, G.B. Complications and
challenges associated with polycystic ovary syndrome: Current
perspectives. Int. J. Women’s Heal. 2015, 7, 745–763.
61
Reid, S., Kao, C., Pasch, L., Shinkai, K., Cedars, M. and Huddleston, H. (2017).
Ovarian morphology is associated with insulin resistance in women with
polycystic ovary syndrome: a cross sectional study. Fertility Research and
Practice, 3(1).
Rojas J, Chavez M, Olivar L, Rojas M, and Morillo L. (2014). Polycystic Ovary
Syndrome, Insulin Resistance, and Obesity: Navigating the
Pathophysiologic Labyrinth. International Journal of Reproductive
Medicine. p1–17
Schoenmakers, I., Jones, K.S., 2017. Pharmacology and Pharmacokinetics,
Fourth Edi. ed, Vitamin D: Fourth Edition. Elsevier Inc.
Selimoglu, H., Duran, C., Kiyici, S. et al. (2010) The effect of vitamin D
replacement therapy on insulin resistance and androgen levels in women
with polycystic ovary syndrome. Journal of Endocrinological Investigation,
33, 234–238.
Song, X.; Shen, Q.; Fan, L.; Yu, Q.; Jia, X.; Sun, Y.; Bai, W.; Kang, J.
Dehydroepiandrosterone-induced activation of mTORC1 and inhibition of
autophagy contribute to skeletal muscle insulin resistance in a mouse
model of polycystic ovary syndrome. Oncotarget 2018, 9, 11905–11921.
Thomson R,L., Simon S., Jonathan D,B., Vitamin D in the aetiology and
management of polycystic ovary syndrome. Clinical Endocrinology (2012)
77, 343–350
62
women a pilot study. Journal of Endocrinological Investigation, 34, 757–
763.
63