Anda di halaman 1dari 4

Komisi Fatwa dan Tugasnya

Komisi fatwa MUI adalah sebuah komisi yang bertugas untuk pembentukan fatwa-
fatwa MUI. Pada masa awal pembentukan MUI pada tahun 1975 komisi fatwa berjumlah 7
orang dari wakil ulama dan ormas Islam, jumlah ini terus berubah setiap pergantian kurun
waktu kepengurusan komisi fatwa 5 tahun sekali, yang pada tahun 2005-2010 beranggotakan
sebanyak 41 orang.

Tugas komisi fatwa adalah merunding dan mengeluarkan fatwa mengenai persoalan-
persoalan hukum Islam yang dihadapi masyarakat. Persidanganpersidangan komisi fatwa
diadakan menurut keperluan atau bila MUI telah dimintai pendapatnya oleh umum atau oleh
pemerintah mengenai persoalanpersoalan tertentu dalam hukum Islam. Untuk mengeluarkan
fatwa biasanya diperlukan sekali sidang, dan bisa saja dalam sekali persidangan bisa dan bisa
saja dalam sekali persidangan bisa menghasilkan beberapa fatwa.1

Selain itu, tugas komisi fatwa juga mengagendakan sidang komisi untuk
merundingkan dan mengeluarkan fatwa mengenai persoalan-persoalan hukum Islam yang
dihadapi masyarakat. Pembahasan persoalan hukum Islam yang merupakan desakan
masyarakat, maka MUI memberikan fatwa, dan merespon persoalan hukum Islam yang
dianggap membutuhkan legitimasi hukum Islam.

Sidang Komisi Fatwa harus dihadiri anggota komisi fatwa yang telah diangkat
pimpinan pusat MUI dan pimpinan MUI Provinsi dan memanggil para ahli apabila
diperlukan. Sidang komisi fatwa harus diselenggarakan apabila ada permintaan atau adanya
kebutuhan yang oleh MUI dianggap dan perlu dikeluarkan Fatwa. Kebutuhan yang dianggap
perlu dikeluarkan fatwa dapat saja datang dari masyarakat, pemerintah, lembaga sosial, atau
respon MUI terhadap suatu masalah tertentu. Dalam proses mengeluarkan fatwa dapat
dilakukan satu kali sidang atau dapat berkali-kali, tergantung tingkat kuantitas permasalahan
yang ada di masyarakat.

Fatwa-fatwa yang dihasilkan biasanya berupa pernyataan, diumumkan baik oleh


komisi fatwa sendiri atau oleh MUI. Bantuk lahiriyah fatwa selalu sama, dimulai dengan
katerangan bahwa komisi telah mengadakan sidang pada waktu tertentu berkenaan dengan
adanya pertanyaan yang telah diajukan oleh orangorang atau badan-badan tertentu, dan
dilanjutkan dengan dalil-dalil yang digunakan sebagai dasar pembuatan fatwa yang
1
Muhammad Atho Muzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Study tentang Pemikiran Hukum Islam di
Indonesia (Jakarta: INIS, 1993), h. 79-80
dimaksud. Cara lain menyebarluaskan fatwa juga bisa dengan membicarakannya dalam
konferensikonferensi tahunan ulama yang diselenggarakan oleh MUI dan biasanya banyak
dari para ulama yang menghadiri konferensi ini.2

Komisi Fatwa mempunyai graris besar program kerja sebagai landasan operasional
kegiatan. Komisi Fatwa menggalakkan kegiatan ilmiah para ulama untuk mendiskusikan
masalah umat yang disesuaikan dengan perkembangan masyarakat, tuntutan kebutuhan, dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Komisi Fatwa mengadakan pertemuan berkala
dan sistematis untuk menetapkan fatwa secara kolektif. Kajian hukum Islam yang bermanfaat
dalam jangka panjang di bidang muamalah menjadi program lanjutan Komisi Fatwa.

Komisi Fatwa juga melakukan sosialisasi hasil kajian para ulama secara umum dan
memberikan masukan para penyelenggaraan peroses peradilan di lingkungan Lembaga
Peradilan Agama secara khusus. Komisi Fatwa juga melayani pihak-pihak yang
membutuhkan nasehat hukum, baik individu, lembaga swasta dan pemerintah. Tugas terakhir
Komisi Fatwa adalah mengusahakan fatwa-fatwa yang dilahirkan diadopsi menjadi bagian
hukum positif. 3

Dasar Penetapan Fatwa MUI

Dalam menetapkan fatwa, Komisi Fatwa MUI mendasarkan pada al-Qur’an, hadis,
ijma’, dan qiyas yang merupakan sumber hukum yang disepakati mayoritas ulama. Secara
operasional, pedoman fatwa MUI memuat empat ketentuan dasar. Pertama, setiap keputusan
fatwa harus mempunyai dasar dalam al-Qur’an dan hadis mu’tabar dan tidak bertentangan
dengan kemaslahatan umat. Kedua, fatwa yang tidak ada dasar dalam al-Qur’an dan hadis,
hendaknya tidak bertentangan dengan ijma’, qiyas mu’tabar, dan dalil hukum yang lain,
seperti istihsan, maslahah mursalah, dan saddz-adz-dzari’ah. Dalam hal ini, ra’yu (penalaran)
menjadi porsinya.

Ketiga, sebelum memutuskan fatwa, harus ditelusuri pendapatan para imam madzhab
terdahulu, baik yang berkaitan dengan dalil hukum atau dalil pihak yang berbeda pendapat.
Dalam hal ini, jika material hukumnya berbeda, maka caranya adalah menganalogikan
hukum material yang diputuskan ulama madzhab dengan melihat kesamaan ‘illat. Jika tidak
bisa dilakukan, maka metodologi para imam madzhab diadopsi sebagai pisau analisis untuk
memecahkan persoalan. Keempat, fatwa MUI selalu mempertimbangkan pandangan ahli
2
Mukhsin Jamil, Membendung Despotisme Wacana Agama (Semarang: Walisongo Press, 2010), h.148.
3
M. Asrorun Ni’am Sholeh, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, h. 85-94
dalam masalah yang sedang dikaji. Masalah-masalah kontemporer, seperti hukum cloning,
aborsi, khitan perempuan, transplantasi organ tubuh, dan produk hukum halal adalah
masalah-masalah penting yang harus mendatangkan para pakar.

Secara metodologis, proses penetapan hukum di Komisi Fatwa MUI ada lima tahapan.
Pertama, sebelum mengeluarkan fatwa, terlebih dahulu meninjau pendapat para imam
madzhab dalam masalah yang dikaji secara serius berikut dalil-dalilnya. Kedua, masalah-
masalah yang jelas hukumnya (qath’iyyat) ditetapkan apa adanya. Hal ini adalah bukti dari
manifestasi pendekatan nash qath’i, qauli dan manhaji. Ketiga, dalam masalah yang
diperselisihkan ulama madzhab, diselesaikan dengan dua cara. Pertama, menemukan titik
temu dengan metode al-jam’u wa attau!q (menggabungkan dan menyesuaikan persamaan).
Kedua, menggunakan tarjih (memilih pendapat yang paling kuat argumentasinya) melalui
metode perbandingan madzhab dengan menggunakan kaidah ushul fiqh perbandingan.

Keempat, masalah yang tidak ditemukan hukumnya dalam madzhab ditetapkan


dengan ijtihad jama’i (kolektif) dengan metode bayani, ta’lili (qiyasi, istihsani, ilhaqi),
istishlahi, dan sad adz-dzari’ah. Kelima, fatwa harus selalu memperhatikan kemaslahatan
umum (mashalih ammah) dan tujuan syariat Islam (maqashid syar’iyyah).4

Forum yang digunakan MUI untuk menetapkan fatwa adalah Komisi Fatwa, Dewan
Syariah Nasional (DSN) yang berkaitan dengan lembaga keuangan syariah, Musyawarah
Nasional (Munas), dan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia. Tema-tema fatwa MUI
berkisar masalah keagamaan, produk halal, dan ekonomi syariah.5

DAFTAR PUSTAKA

Jamil, M. (2010). Membendung Despotisme Wacana Agama. Walisongo press, 148.

Muzhar, M. A. (19993). Fatwa-Fatwa Majelis Uama Indonesia. Pemikiran Hukum Islam di Indonesia,
79-80.

Sholeh, M. A. (n.d.). Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. 85-94.

Sholeh, M. A. (n.d.). Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. 122-1 29.

4
M. Asrorun Ni’am Sholeh, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, h. 122-129
5
Ibid., 84-114

Anda mungkin juga menyukai