Anda di halaman 1dari 2

Tata Cara Penerapan Fafwa MUI dan DSN-MUI

MUI mempunyai tata cara dalam menerapkan fatwa. Adapun tata caranya adalah sebagai
berikut:

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1, fatwa MUI mengacu pada:

1. Al-Qur’an
2. Al-Sunnah
3. Al-Ijma’
4. Al-Qiyas.

Kemudian dalam pasal 2 dijelaskan bahwa:

1. Pembahasan sesuatu masalah untuk difatwakan harus memperhatikan:


a. Dasar-dasar fatwa tersebut dalam fatwa 1
b. Pendapat imam-imam mazhab dan fuqaha yang terdahulu dengan mengadakan
penelitian terhadap dalil-dalil dan wajah istidlal-nya.
2. Cara pembahasan di atas adalah sebagai upaya menemukan pendapat mana yang lebih
kuat dalilnya dan lebih maslahat bagi umat untuk difatwakan.
3. Apabila masalah yang difatwakan tidak terdapat dalam ketetapan Pasal 2 ayat (1) dan
belum terpenuhi yang dimaksud oleh pasa 2 ayat (2), mak dilakukan ijtihad jama’i.

Dalam pasal 3 lebih lanjut disebutkan mengenai pihak yang berwenang mengeluarkan fatwa
ialah:

1. Majelis Ulama Indonesia mengenai:


a. Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut umat Islam
Indonesia secara keseluruhan.
b. Masalah-masalah keagamaan di suatu daerah yang diduga dapat meluas ke daerah
lain.
2. Majelis Ulama Daerah tingkat I mengenai masalah-masalah keagamaan yang bersifat
lokal/kasus-kasus di daerah, dengan terlebih dahulu mengadakan konsultasi dengan
Mejelis Ulama Indonesia/Komisi Fatwa.

Dalam pasal 4 dijelaskan mengenai peserta yang dilibatkan dalam proses lahirnya sebuah fatwa,
alasan dikeluarkan fatwa, tata tertib, dan bentuk keputusan fatwa. Dalam pasal 4 ini disebutkan:

1. Rapat Komisi Fatwa dihadiri oleh anggota-anggota Komisi Fatwa berdasarkan ketetapan
Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia/ Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia
Tingkat I, dengan kemudian mengundang tenaga ahli sebagai peserta rapat apabila
dipandang perlu.
2. Rapat Komisi Fatwa diadakan jika:
a. Ada permintaan atau pertanyaan yang oleh Majelis Ulama Indonesia dianggap perlu
difatwakan.
b. Permintaan atau pertanyaan tersebut berasal dari permintaan Lembaga Sosial
Kemasyarakatan atau Mejelis Ulama Indonesia sendiri.
3. Mengenai tata tertib rapat Komisi Fatwa berupa fatwa mengenai suatu masalah yang
disampaikan oleh Ketua Komisi Fatwa kepada Dewan Pimpinan Mejelis
Indonesia/Dewan Pimpinan Manjelis Ulama Indonesia Tingkat I.
4. Dewan Pimpinan Mejelis Indonesia/Dewan Pimpinan Manjelis Ulama Indonesia Tingkat I
mentanfidzkan fatwa dalam bentuk surat keputusan penetapan fatwa.

Menurut K.H. Ma’ruf Amin (Ketua DSN-MUI), bahwa secara ringkas system dan prosedur
penetapan fatwa di lingkungan DSN-MUI adalah sebagai berikut:

1. Sebelum fatwa ditetapkan, dilakukan peninjauan terlebih dahulu pendapat para imam
mazhab tentang masalah yang akan difatwakan tersebut secara seksama berikut dalil-
dalilnya.
2. Masalah yang telah jelas hukumnya (al-ahkam al-qathiyyah) akan disampaikan
sebagaimana adanya.
3. Dalam masalah yang terjadi perbedaan pendapat (al-khilafiyyat) di kalangan mazahab,
maka: (1) penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu di antara
pendapat-pendapat mazhab melalui al-jam’u wa at-taufiq; dan (2) jika usaha penemuan
titik temu tidak berhasil dilakukan, penetapan fatwa dilakukan pada hasil tarjih melalui
metode muqaranah al-mazahib dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh
muqaran.
4. Dalam masalah yang tidak ditemukan pendapat hukumnya di kalangan mazhab,
pentepan fatwa didasarkan pada hasil ijtihad jama’i (kolektif) melalui metode bayani
ta’lili (qiyasi, ishtihsani, ilhaqi), istihslahi, dan sad al-zari’ah.
5. Penetapan fatwa senantiasa memperhatikan kemaslahatan umum (mashalihul ummah)
dan maqashid al-syari’ah.

Secara umum, fatwa-fatwa yang ditetapkan oleh DSN-MUI bersifat moderat (tawassuth), artinya
tidak terlalu rigid dalam teks nash (tasyaddud), tapi juga tidak keluar dari mafhum al-nash, dan
hanya mempertimbangkan kemaslahatan umum (tasahul). DSN-MUI berpegangan bahwa
anggapan adanya mashlahah yang ternyata melanggar prinsip syari’ah haruslah ditolak. Karena
mashlalahah yang seperti itu termasuk mashlahah yagn belum pasti (mashlahah mauhumah),
sedangkan yang dikandung oleh syariah termasuk mashlahah yang pasti (mashlahah qathiyyah),
sehingga tidak ada alasan untuk mendalihkan mendahulukan kebutuhan nasabah dengan
melanggar prinsip syariah.

Anda mungkin juga menyukai