Anda di halaman 1dari 10

Tahap – Tahap Dying

1. Pengantar
Dalam pelayanan pastoral care, kita akan banyak melayani orang-orang yang sakit terminal atau
yang penyakitnya sudah tidak bisa disembuhkan lagi walaupun bukan penyakit terminal. Kita perlu
mempersiapkan mereka untuk menghadapi saat-saat penting dalam hidupnya terutama saat kematian.
Mereka yang sakit terminal atau yang mendapatkan kabar buruk tentang penyakitnya, akan mengalami
tahap-tahap psikologis dan spiritual tertentu yang perlu kita pahami. Sebagai pelayan pastoral care, kita
harus paham tahap-tahap mekanisme internal dan spiritual tersebut sehingga kita bisa menempatkan
diri dengan tepat dan membantu pasien kita dengan efektif dan tepat guna. Sebenarnya, semua dokter,
perawat, dan pelayan kesehatan lainnya seharusnya juga paham akan tahap-tahap berikut ini sehingga
mereka bisa membantu pasien dan menenmpatkan diri dengan tepat ketika berhadapan dengan pasien.
Di sinilah pentingnya kita belajar tahap-tahap Dying dari Elizabeth Kübler Ross yang kemudian dikenal
dengan nama The Kübler-Ross Change Curve.
Elizabeth Kübler Ross adalah orang Swiss – Amerika yang lahir di Zürich (Swiss) 8 Juli 1926. Setelah
menyelesaikan pendidikan sebagai dokter di University of Zurich pada tahun 1957 lalu pindah ke New
York untuk melanjutkan pendidikan spesialisasinya sebagai seorang psikiater. Setelah menyelesaikan
spesialisasinya pada tahun 1963, ia kemudian pindah ke Chicago pada tahun 1965 dan menjadi
instruktur di the University of Chicago's Pritzker School of Medicine. Ia perintis studi dalam bidang Near-
death studies (Studi mengenai orang yang hampir meninggal). Dari studinya itu, ia banyak menerbitkan
buku-buku tentang near-Death itu. Kübler-Ross adalah orang pertama yang mengubah cara kita melihat
orang yang akan meninggal. Ia adalah perintis palliative care, hospice care, dan riset mengenai near-
death. Ia meninggal pada tanggal 24 Agustus 2004 di Scottsdale, Arizona, USA.
Dari antara 24 buku-buku yang ia tulis, buku yang paling terkenal ialah On Death and Dying: What
the Dying have to teach Doctors, Nurses, Clergy and their own Families (Edisi pertama tahun 1969) yang
merupakan hasil dialognya dengan pasien yang berada dalam tahap terminal (terminally ill patients)
yakni pasien yang secara medis akan meninggal dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sebenarnya buku
ini bukanlah hasil dari suatu penelitian tetapi adalah tulisan populer yang merupakan pemaparan hasil
observasi dan refleksi dari dialognya dengan para pasien yang sedang dalam proses meninggal 1. Inti
pokok dari buku itu justru terletak pada anak kalimat dari judul itu, yakni: apa yang bisa diajarkan oleh
pasien yang dalam proses meninggal kepada para dokter, perawat, imam, dan keluarga mereka sendiri.
Menurut Kübler-Ross, kematian itu merupakan tahap penting dalam hidup manusia sehingga
perlu dipersiapkan untuk menghadapi kematiannya dengan bermartabat dan kedamaian. Dalam orasi
ilmiahnya di Pada tahun-tahun selanjutnya, Kübler-Ross memfokuskan perhatiannya pada pengalaman-
pengalaman mistis sehubungan dengan dying dan death dan kemudian ia menseriusi masalah-masalah
near-death experiences (pengalaman pribadi yang berhubungan dengan kematian atau hampir
meninggal)2. Salah satu bukunya yang terkenal mengenai near-death experiences ialah On Life After
Death (1991) dan The Tunnel and The Light (1999). Makna penting yang bisa kita pelajari dari buku On
Death and Dying adalah pentingnya mendengarkan apa yang menjadi kebutuhan orang yang akan
meninggal baik secara emosional ataupun spiritual.

1
Allan Kellehear, “Introduction” dalam Elisabeth Kübler-Ross, On Death and Dying: What the dying have to teach doctors, nurses, clergy
and their own families, Routledge, New York, 2009, halaman x. Bahan dasar tulisan bagian ini berasal dari buku ini.
2
Allan Kellehear, “Introduction” dalam Elisabeth Kübler-Ross, On Death and Dying: What the dying have to teach doctors, nurses, clergy
and their own families, halaman x
1
Kübler-Ross menjadi tokoh penting yang menginisiasi hospice dan palliative care. Ia sangat
percaya bahwa adanya hospice dan palliative care akan mencegah orang untuk melakukan euthanasia
ataupun bunuh diri. Dalam banyak kasus, ketika orang mau bunuh diri atau minta euthanasia
sebenarnya yang diminta bukan untukm ati tetapi meminta perhatian untuk dicintai dan mencintai
sehingga ia melihat bahwa hidupnya berarti bagi orang lain. Ketika orang yang sakit terminal atau yang
sakitnya tak tersembuhkan lagi dia masuk dalam hospice atau palliative care, maka dia akan merasakan
pemenuhan kebutuhan itu.
Menurut Kübler-Ross, orang yang berproses akan meninggal (dying) akan melalui tahap-tahap
sebagai berikut: denial, anger, bargaining, depression dan acceptance.

2. Tahap – tahap Dying3

a. Tahap 1: Denial and Isolation (Penolakan dan Isolasi)


Menurut Kübler-Ross, kebanyakan pasien yang diberitahu – baik langsung maupun tidak
langsung – mengenai penyakitnya yang terminal akan bereaksi pertama-tama akan mengalami
shock dan lalu setelah selesai itu akan terjadi penolakan. Penolakan itu bisa dalam pelbagai
macam bentuk, misalnya dengan mengatakan, “Ah itu pasti bukan aku ini pasti salah
diagnosa.” Ada orang yang ketika diberi tahu bahwa dia punya penyakit terminal lalu minta
klarifikasi apakah hasil diagnosa ini benar, jangan-jangan ini milik orang lain yang namanya
mirip dengan dirinya. Ada juga yang dalam fase penolakan ini justru berbuat seolah-olah tidak
sakit, memakai pakaian yang cerah. Juga ada yang mengatakan bahwa dirinya sudah
mendapatkan mujijat sehingga sudah sembuh. Singkat kata, segala macam dibuat untuk
meyakinkan dirinya dan orang lain bahwa dia tidak sakit.
Ketika kebenaran diagnosa itu sudah terkonfirmasi, maka dia minta keluar dari rumah
sakit itu dan periksa ke dokter lain untuk mendapat kepastian tentang penyakitnya. Dia minta
diperiksa dari dokter satu ke dokter lainnya dengan harapan bahwa diagnosa yang pertama tadi
salah. Walaupun demikian, dia tetap membina hubungan dengan dokter yang awal supaya ia
bisa minta bantuan kapanpun dan dimanapun.
Penolakan itu bisa bersifat partial (sebagian) dan tidak keseluruhan. Hal itu terjadi baik
pada fase ini (fase awal) maupun juga pada fase – fase lainnya. Ia mengatakan, “Kita tidak bisa
senantiasa melihat matahari sepanjang hari, kita tidak bisa senantiasa menghadapi kematian
sepanjang waktu.” Dengan mengatakan yang seperti ini, pasien sebenarnya sedang berfikir bagi
kematian dirinya sendiri tetapi kemudian pikiran macam itu dibuang jauh-jauh untuk
menenteramkan hati.
Cara seperti ini adalah cara yang sehat dalam menghadapi sistuasi yang tidak nyaman dan
menyakitkan. Tahap penolakan ini berfungsi sebagai penyangga untuk menghadapi kabar buruk
yang sama sekali tidak diharapkan dan sanggat menyakitkan sehingga dengan demikian pasien
bisa lebih tenang.
Berhadapan dengan situasi semacam ini, seorang pasien memerlukan orang lain supaya
bisa berdialog dan mengungkapkan segala macam kecemasannya. Perlu diperhatikan bahwa
pasien bisa sangat selectif dalam memilih siapa yang akan diajak berbicara. Tidak semua
keluarganya akan diajak berbicara. Oleh karen itu petugas pastoral care sejak awal harus
mengusahakan agar relasinya dengan pasien itu bisa dipercayai, aman, dan nyaman sehingga
pasien bisa berkomunikasi dengan petugas pastoral care itu. Dalam tahap ini petugas pastoral
care bisa mengajak berdialog tentang apa yang sedang dialaminya. Dialog tidak boleh memaksa
dan membiarkan pasien untuk berbicara mengenai keadaannya. Dialog harus dijalankan di
3
Elizabeth Kübler-Ross, On Death and Dying: What the Dying have to teach Doctors, Nurses, Clergy and their own
Families, Routledge, London, 2009. Bagian Tahap-Tahap Dying diambil dari buku ini.
2
tempat yang nyaman dan aman, tidak bisa didengar atau diketahui oleh pihak lain. Seorang
petugas pastoral care tidak boleh berprasangka buruk ataupun mengadili. Dalam tahap ini,
petugas pastoral care harus lebih banyak mendengarkan daripada berkata-kata. Dialog harus
dihentikan manakala pasien tidak kuat lagi menghadapi kenyataan penyakitnya dan kembali
kepada tahap penolakannya.
Penolakan semacam ini biasanya tidak akan berlama-lama dan kemudian akan diganti
dengan penerimaan parsial (sebagian). Penerimaan parsial itu terjadi ketika dia sadar bahwa
kematian dirinya akan segera terjadi akan tetapi ketika dia menyadari itu lalu dibuang jauh-jauh
karena merasa belum siap. Penerimaan parsial ini juga menjadi mekanisme pertahanan diri
ketika dia harus menghadapi keadaan yang tak terpikirkan sebelumnya, sulit, dan menyakitkan.
Walaupun demikian, ada sebagian kecil pasien yang berlama-lama dalam tahap
penolakan ini, bahkan ada yang sampai meninggal tetap dalam tahap ini karena dia punya
keyakinan besar bahwa dia akan segera sembuh. Ada orang yang berusaha untuk menutupi
penolakannya dengan berpenampilan yang ceria, memakai baju yang cerah, make up yang
cerah dan sebagainya. Dengan penampilan seperti itu, dia ingin meyakinkan dirinya dan orang
lain bahwa dirinya tidak apa-apa dan semuanya akan baik-baik saja.
Sebenarnya dialog mengenai penderitaan dan kematian ini akan lebih baik kalau
dilakukan jauh hari sebelum benar-benar berpenyakit terminal. Ketika orang masih cukup sehat
dan kuat, dialog mengenai kematian ini nampak masih jauh, sehingga pasien akan lebih mudah
untuk mengerti dan menerimanya.

b. Tahap 2: Anger (Marah)


Dalam tahap sebelumnya, pasien akan mengatakan, “Bukan….. ini pasti bukan saya tetapi
orang lain. Saya sehat-sehat saja.” Tetapi pada akhirnya ia terpaksa mengakui bahwa dirinya
sakit, “Ya, itu memang saya. Saya memang sakit.” Ketika penolakanitu tidak berhasil, maka
pasien akan berubah dalam tahap yang ke dua ialah tahap kemarahan. Dalam tahap ini, pasien
akan mengalami kemarahan, gusar, benci, dan bahkan ngamuk. Dia akan bertanya, “Mengapa
saya sakit? Mengapa kok ini terjadi pada saya dan bukan pada orang lain? Bukankah aku orang
baik-baik saja, rajin berbuat kebaikan dan taat beribadah? dan sebagainya.”
Dalam tahap ini, dia akan melihat masa lalunya dan sekarang memandangnya seolah-olah
semua kebaikan dan ketaatan pada Allah sebagai sesuatu yang sia-sia karena ternyata dia
sekarang sakit parah. Kalau Allah itu baik dan adil seharusnya dia tidak sakit parah.
Berbeda dengan tahap sebelumnya (penolakan) dimana keluarga atau pelayan kesehatan
lainnya bisa lebih mudah berdialog dan masuk ke dalam relasi dengan pasien, pada tahap ini
keluarga dan orang lain akan sulit berdialog dan mengatasi gejolak yang ada dala diri pasien.
Masalahnya bahwa kemarahan itu tertuju kepada semua orang dan semua arah secara acak.
Semua orang akan dipandang sebagai bersalah: dokter dianggap tidak kompeten menangani
penyakitnya dan menempatkan dia di rumah sakit terlalu lama, perawat salah dalam
merawatnya, keluarga yang membezoeknya dianggap tertalu ribut dan tidak memberi
ketenangan, keluarga juha terlambat membawanya ke dokter dan sebagainya. Senyatanya,
orang dimarah bukan karena salah tetapi karena si pasien tidak mampu lagi untuk menghadapi
penyakitnya yang semakin parah.
Kemarahan ini terjadi ketika pasien merasa bahwa perjuangannya selama ini untuk
berprestasi atau mengejar cita-cita pada akhirnya akan menjadi sia-sia: rumah yang sudah mulai
dibangun tetapi tidak dapat menyelesaikannya dan akan diselesaikan oleh orang lain, sudah
berpayah payah menabung dengan harapan bisa dipakai untuk piknik dan bersenang senang
ternyata sekarang dia sakit dan tidak bisa perli liburan, semua impiannya menjadi sia-sia padahal
dia sudah mengusahakannya dengan sangat keras. Lebih menyengsarakan lagi karena melihat

3
kenyataan bahwa dirinya berdiri tegak pun sudah tidak bisa lagi. Semua digerogoti oleh penyakit
yang ganas. Orang dalam situasi seperti ini akan semakin sedih dan marah terhadap keadaan ini.
Ketika melihat orang menari di TV dengan tarian yang lincah, bukannya dia menjdi senang, dia
justru makin marah karena membandingkan dengan dirinya yang bahkan bergerak pun sudah
sulit.
Dalam kemarahannya dia berusah agar orang tidak melupakan dia. Dia banyak menuntut ini
dan itu, menuntut agar selalu diperhatikan karena penyakitnya itu, bersuara keras, “Aku masih
hidup, jangan lupakan aku. Apakah kamu dengan suara saya? Saya belum mati!”
Pasien yang diberi perhatian, diberi waktu, didengarkan, dimengerti, dan tidak dilupakan
akan segera sadar dan akan menurunkan kemarahannya. Ia sadar bahwa dia masih menjadi
manusia yang berharga, yang diperhatikan oleh orang lain atau keluarganya. Ia akan lbih mudah
bekerjasama dengan pelayan kesehatan dan orang lain.
Sangat mungkin bahwa pasien dalam tahap kemarahan ini akan menolak kunjungan kita,
tetapi jangan putus asa karena mereka sebenarnya membutuhkan kita. Lain kali dicoba lagi
untuk mengunjungi lagi dan berdialog, akan tetapi kalau dia tetap tidak mau maka jangan
dipaksa.
Kesalahan terbesar dalam tahap ini dari pelayan kesehatan atau palayan pastoral care ialah
mencari penyebab kemarahan pasien pada dirinya dan memasukannya dalam pribadi sehingga ia
terbakar ikut marah. Kalau pasien marah dan pelayan kesehatan atau pelayan pastoral care
membalasnya dengan kemarahan, maka akan semakin menjadi-jadi kemarannya itu. Ia akan
semakin sulit ditemui dan diajak bicara. Kita biarkan kemarahan itu terjadi karena dia marah
bukan karena kita salah tetapi karena dia sumpek dalam menghadapi penyakitnya.
Ketika orang lain dimarahi oleh pasien, maka harus dimengerti karena kemarahan itu tidak
selalu karena kita salah dan sebaiknya ada toleransi. Dimaklumi saja kemarahan pasien itu dan
tidak perlu defensif sebab pasien marah karena dia tidak kuat menghadapi situasi dan
keadannya.
Kemarahan bisa juga dialamatkan kepada pasien itu sendiri, karena merasa gagal dan tidak
merawat kesehatannya dengan baik, misalnya ia marah oleh karena sebelumnya tidak
memperhatikan pola makannya, kurang memperhatikan olah raga, tidak berhenti merokok, dan
sebagainya.
Orang yang ketika sehat bersifat keras, perfeksionis, dan sukses secara ekonomis
kemungkinan besar akan lebih parah dalam tahap kemarahan ini karena biasanya dia bisa
mengatur segalanya dan sekarang ia merasakan ketidak berdayaan berhadapan dengan
penyakitnya ini.
Dalam tahap kemarahan ini, orang bisa bertingkah yang aneh-aneh yang tidak biasa dia
lakukan. Tingkah laku ini bisa menjadi sesuatu yang tidak bisa diterima sebagai pada umumnya.
Pasien akan mencari perhatian yang lebih, baik dari para pelayan kesehatan ataupun dari yang
lainnya.
Bisa terjadi kemarahan itu berlatang belakang maslah psikologis yang dialami pada masa
lalunya. Seorang pasien bisa berlama-lama dalam tahap kematahan oleh karena sebagai seorang
anai dulu pernah menjadi anak yang tidak diterima di dalam keluarganya. Ia menjadi asing dalam
keluarganya. Ketika orang ini sakit maka dia akan menuntut perhatian yang lebih dan gampang
marah-marah karena merasa ditinggalkan sendirian. Ketika pelayan pastoral care tidak
mengetahui latar belakang ini sehingga pasien justru disingkirkan karena mempunyai tingkah
laku yang aneh dan tidak bisa dikendalikan. Orang-orang seperti ini perlu dimengerti dan bukan
diadili karena tingkah lakunya yang di luar standard. Perlu dibantu untuk mengeluarkan
kesesakannya dan menumpahkan apapun yang ada dalam hatinya supaya dia menjadi lega. Kalau
ini terjadi, maka akan sangat mengurangi atau bahkan menjadikan dia tidak marah lagi.

4
c. Tahap 3: Bargaining (Tawar menawar)
Tahap ini biasanya kurang bisa dimengerti oleh orang lain karena bisa terjadi hanya dalam
waktu yang singkat. Yang mudah diamati ialah tahap penolakan dan kemarahan sedangkan tahap
ini tidakmudah dimengerti orang lain kecuali kalau kita bisa masuk dalam relasi yang leih dekat
dengan pasien.
Dalam tahap ini, seolah olah pasien mulai berfikir secara baru. Kalau dalam tahap
kemarahan dia marah kepada Tuhan dan meminta supaya dibebaskan dari penyakitnya, maka
sekarang dia berubah pikiran. Mungkin Tuhan akan mendengarkan permohonannya apabila dia
meminta dengan cara yang lebih baik dan lebih manis. Hal ini, mirip dengan apa yang dilakukan
oleh seorang anak yang meminta sesuatu dari orang tuanya dan orang tuanya tidak
memberikannya maka dia akan marah. Ketika si anak masuk ke dalam kamar dan kemudian dia
menyusun strategi baru agar permintaanya dikabulkan yakni meminta dengan cara yang baru.
Dia akan rajin menyapu, membersihkan piring yang kotor, mengepel lantai dan sebagainya
dengan harapan bahwa tingkah lakunya yang baik ini akan meluluhkan hati ibunya dan akan
memberikan apa yang dia minta.
Pasien memakai manuver yang sama. Dari pengalaman yang sudah lewat dia menyadari
bahwa dengan sikabnya yang menolak dan marah-marah justru Tuhan tidak memberikan
kesembuhan dari penyakitnya. Orang dalam tahap ini lalu melakukan tawar menawar dengan
Tuhan dengan pengharapan imbalan terjadinya kesembuhan atau sekurang-kurangnya
perpanjangan hidupnya karena dia tidak siap untuk mati sekarang.
Tawar menawar ini menjadi usaha terakhirnya untuk menunda kematian dengan alasan
tertentu dengan disertai suatu imbalan (kompensasi) bahwa di akan melakukan suatu perbuatan
yang baik. Tawar menawar ini biasanya bernada ‘hanya sekali ini saja’ sebagai usaha untuk
menunda kematian akan tetapi kalau ternyata berhasil yang ‘sekali ini saja’ maka dia akan
mencoba lago untuk yang ke dua kalinya.
Biasanya tawar menawar ini dilakukan dengan Tuhan dan tidak terbuka kepada orang lain
secara jelas. Akan tetapi kalau pelayan pastoral care sudah punya relasi yang baik dengan pasien
maka dia akan menceritakannya ini kepada pelayan pastoral care. Ada cukup banyak kasus dalam
tawar menawar ini, kalau pasien sembuh maka dia berjanji untuk mengabdikan dirinya bagi Allah
atau bagi Gereja atau melakukan suatu perbuatan amal yang besar sebagai kompensasi
anugerah perpanjang umur yang Tuhan berikan. Bisa juga dia berjanji untuk mendonorkan
tubuhnya untuk dipakai sebagai sarana pendidikan dan pengembangan ilmu kedokteran agar
orang lain tidak mati terkena penyakit seperti dia.
Janji untuk hidup baik ini secara psikologis muncul dari suatu kesadaran bahwa selama ini
hidupnya tidak baik dan hal inilah yang menyebabkan dia sakit. Oleh karena itu, kalau dia
sembuh atau diberi kesempatan hidup lebih lama maka dia berjanji untuk memperbaiki
hidupnya. Dalam hal ini, pelayan pastoral harus segera menangkap inti permasalahan pasien
seperti ini. Misalnya seorang yang berjanji untuk hidup lebih baik dan berdamai dengan orang
tuanya, maka pelayan pastoral care harus menangkap bahwa selama ini kiranya ada relasi yang
tidak harmonis antara pasien dan orangtuanya. Oleh karena itu, pelayan pastoral care harus
mengusahakan rekonsiliasi dengan orang tuanya. Pasien yang berjanji untuk hidup lebih baik
dengan rajin ke gereja, misalnya, maka pelayan pastoral care harus segara menangkap inti
permasalahannya bahwa pasien selama ini ada perasaan bersalah karena sering absen dari
gereja. Pelayan pastoral care harus mengusahakan agar pasien tidak merasa bersalah dengan
mengusahakan agar pasien menerima sakramen pengampunan. Singkat kata, pelayan pastoral
care harus mengusahakan agar perasaan bersalah itu – yang sering kali sebenarnya tidak rasional

5
– harus segera dihilangkan dengan cara-cara yang tepat sehingga pasien terbentu untuk
melangkah pada tahap berikutnya.
Tawar menawar ini dilakukan dengan suatu niat untuk melakukan perbuatan baik yang
belum pernah dia lakukan selama ini, misalnya ada seoang penyanyi konser yang terkenaL yang
terkena kanker rahangnya sehingga dia tidak bisa lagi menyanyi. Dia meminta supaya umurnya
diperpanjang sekali saja dan ia berjanji untuk melakkan pertunjukan yang terbaik yang selama ini
belum pernah dia lakukan. Seorang pasien yang sakit parah melakukan tawar menawar dengan
Tuhan agar dia diberi kesempatan untuk menghadiri hari pernikahan anak yang dia cintai dengan
nada bahwa ‘hanya sekali ini saja’. Pada hari pernikahan anaknya, dia keluar dari rumah sakit
dengan dandanan yang indah seolah-olah dia tidak sakit sema sekali. Ketika perkawinan anaknya
selesai, maka dia ingat bahwa anaknya yang lain juga ingin menikah dan dia melakkan tawar
menawar lagi supaya diberi kesempatan untuk menghadiri pernikahan anaknya yang ke dua. Ada
juga orang yang berjanji untuk mendonasikan separuh dari hartanya kepada panti asuhan atau
yayasan sosial kalau dia sembuh. Masih ada beberapa contoh lain yang senada dalam tahap
tawar kenawar ini.

d. Tahap 4: Depression (depresi)


Ketika seorang pasien terminal sudah tidak bisa lagi menolak penyakitnya, atau ketika dia
terpaksa harus mengalami beberapa kali operasi atau lama berada di rumah sakit, ketika dia
semakin merasakan bahwa diriya semakin lemah, tidak bisa tersenyum lagi, maka kemarahannya
akan berganti dengan perasaan kehilangan.
Perasaan kehilangan ini bisa dalam pelbagai macam bentuk, misalnya seorang perempuan
yang terpaksa diambil buah dadanya maka dia akan kehilangan rasa sebagai seorang perempuan;
seorang penyanyi yang terkena kanker mulut dia akan merasa kehilangan identitas dirinya
karena kehilangan kemampuan untuk menyanyi; seorang aktor yang semakin kurus dan jelek
wajahnya merasa kehilangan pesona dan modal utamanya sebagai aktor, dan masih banyak
bentuk kehilangan lainnya.
Perasaan kehilangan juga bisa mengena pada sesuatu yang lebih serius, misalnya pasien
terpaksa menjual rumahnya yang dibangunnya dengan susah payah untuk membiayai
pengobatannya; seorang pasien yang terlalu lama di rumah sakit terpaksa harus menguras
semua harta milik yang dikumpulkan sedikit demi sedikit akan merasa kehilangan semua miliknya
dan tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya. Bisa juga terjadi pasien kehilangan pekerjaan oleh
karena sudah terlalu lama absen dari pekerjaannya. Ketika pasien adalah seorang suami yang
sakit parah dan istri terpaksa harus mencari nafkah menggantikan suaminya, maka suami akan
kehilangan harga dirinya; seorang ibu yang sakit parah dia akan merasa kehilangan kesempatan
untuk mengasuh dan bermain-main dengan anaknya. Dan masih ada banyak hal lain lagi yang
akan dirasakan kehilangan.
Semua perasaan kehilangan ini akan menjadikan pasien menjadi depresi. Dalam hal ini,
sebelum itu semua terjadi, seorang pelayan pastoral care bisa mempersiapkan agar ketika rasa
kehilangan itu terjadi, maka pasien tidak akan terlalu terbebani.
Depresi yang dialami oleh pasien sebenarnya ada dua macam dan perlu penanganan yang
berbeda. Yang pertama adalah depresi sebagai reaksi dan yang ke dua depresi sebagai persiapan.
Depresi model yang bertama (depresi sebagai reaksi) adalah sebuah reaksi atas perasaan
bersalah atau rasa malu berlebihan sehubungan yang terjadi atas dirinya. Perasaan malu dan
bersalah itu sebenarnya kurang berdasar pada realita obyektif sehingga harus dibantu agar bisa
kembali menemukan jati dirinya. Seorang perempuan yang terpaksa harus menjalani
mastectomy (pengambilan buah dada) akan merasa bahwa dia kehilangan jati diri sebagai
perempuan karena tidak menarik lagi sebagai perempuan dan tidak bisa berfungsi sebagai

6
perempuan secara utuh. Pelayan pastoral care bisa memberikan pandangan dan nasehatnya
bahwa menjadi perempuanitu jauh lebih luas dari pada hanya satu fungsiitu. Pelayan pastoral
care bisa bekerjasama dengan suami si ibu tersebut agar bisa meyakinkan dan mengembalikan
kepercayaan diri serta jati dirinya sebagai perempuan walaupun dia kehilangan buah dada.
Pelayan Pastoral care bisa berperan sangat besar dalam situasi seperti ini dalam menata kembali
diri si pasien dengan menunjukkan sisi positif kejadian dan dirinya dan jangan terlalu terfokus
pada sisi negatifnya. Pasien dibantu untuk bisa mengalami kegembiraan walaupun mengalami
musibah tersebut. Depresi akan segera hilang apabila pasien bisa dibantu untuk menata kembali
jati diri dan percaya dirinya.
Depresi yang ke dua adalah depresi sebagai persiapan terjadinya kehilangan. Di sini, depresi
bukan terjadi akibat kehilangan yang terjadi di masa lalu akan tetapi kehilangan yang kiranya
bakal terjadi dalam waktu yang dekat sehingga perlu bantuan agar hal itu tidak terjadi atau perlu
bantuan untuk bisa menghadapinya dengan baik. Pasien mungkin sudah mulai mengalami
kehilangan kemampuan untuk berbicara, menggerakkan badan, atau berjalan dan sebagainya.
Tetapi yang lebih menyedihkan bahwa sebentar lagi dia akan kehilangan orang-orang yang
dicintainya, suami atau istrinya, anak-anaknya, sahabat dan kenalannya. Walaupun mungkin
kehilangan itu belum terjadi sekarang akan tetapi dia sudah melihat dengan jelas bahwa
sebentar lagi dia akan kehilangan semuanya itu.
Pasien yang mengalami depresi model ke dua ini, dia merasa bahwa tidak lama lagi dia akan
kehilangan segalanya terutama kehilangan orang-orang yang dicintainya. Oleh karena itu
sebaiknya dia dibiarkan untuk mengekpresikan kesedihannya itu agar bisa sampai pada tahap
penerimaannya. Tidak banyak gunanya untuk menasehati pasien untuk tidak bersedih atas
situasinya ini karena ini justru menghalangi persiapan yang baik bagi kematiannya. Kalau
kesedihannya dimengerti dan ditemani dalam menghadapi kenyataannya ini maka dia akan lebih
mudah sampai pada tahap penerimaan.
Berbeda dengan depresi pada model yang pertama dimana pasien perlu untuk sharing,
bercerita, dan membagikan pengalaman dan kesedihannya, maka pada depresi model yang ke
dua ini, pasien justru lebih banyak diam dan tidak perlu banyak bicara. Komunikasi lebih non
verbal dengan mengelus-elus rambutnya atau memijiti dan bahkan hanya menemani dalam
kesunyiannya.
Pasien dalam tahap ini, ia lebih berfokus pada pasa depan dari pada masa lalunya yang
sudah tidak menarik lagi baginya. Pasien dalamtahap ini biasanya akan minta doa dari orang di
sekelilingnya dan terbuka untuk membicarakan hal-hal yang lebih rohaniah. Di sinilah pelayan
pastoral care bisa membantunya dengan berbicara hal-hal yang spiritual keagamaan. Pasien
tidak usah dinasehati untuk bergembira justru inilah saatnya hening dan membicarakan masa
depan dengan hal-hal yang spiritual.

e. Tahap 5: Acceptance (Penerimaan)


Jika pasien mempunyai waktu yang cukup panjang dalam arti tidak tiba-tiba mati dan
dibantu oleh orang yang ada di sekitarnya, maka dia akan sampai pada tahap penerimaan
dimana dia tidak lagi marah-marah atau depresi dalam menghadapi penyakitnya. Ia mampu
melewati tahap-tahap itu dengan baik dan sekarang dia mampu merenungkan dengan tenang
bahwa dirinya segera akan berakhir dengan pengharapan tertentu. Pada umumnya pasien akan
capek dan makin lemah. Ia akan lebih mudah ngantuk dan tertidur dengan interval yang lebih
pendek.
Tertidur itu bukanlah usaha untuk menghalau kegalauan, mengurangi rasa sakit,
kegelisahan, ataupun nyeri yang dialami tetapi merupakan kebutuhan untuk tidur seperti anak
yang baru lahir. Ini juga bukan pertanda bahwa pasien sudah menyerah tanpa pengharapan atau

7
mengundurkan diri atau menganggap perjuangannya sia-sia belaka tetapi hal ini menandakan
permulaan penerimaan atas keadaan.
Penerimaan ini jangan dipandang sebagai tahap yang membahagiakan oleh karena sudah
menerima keadaan, tetai ini adalah situasi di mana pasien merasakan perasaan hampa. Tahap ini
seolah-olah ingin mengatakan bahwa penderitaan itu sudah teratasi, perjuangan sudah selesai,
tetapi memerlukan istirahat sejenak sebelum memulai perjalanan yang panjang. Pada tahap ini,
biasanya keluarga pasien lebih memerlukan bantuan, pengertian, dan dukungan dalam
menghadapi situasi ini. Di sini pelayan pastoral care harus juga memberikan perhatiannya kepada
keluarga pasien.
Pasien dalam tahap ini akan merasakan kedamaian dan penerimaan. Perhatiannya pada hal-
hal yang ada disekitarnya juga berkurang. Ia sudah tidak tertarik lagi pada hal-hal yang dahulu
merupakan kesukaannya. Ia ingin dibiarkan sendirian atau sekurang-kurangnya jangan banyak
diganggu oleh kabar dan masalah dari luar yang tidak lagi menarik bagi dirinya.
Pada tahap ini, pasien juga tidak terlalu suka untuk dikunjungi. Kalaupun dikunjungi, dia
tidak akan banyak bicara. Dia minta supaya jumlah pengunjung di batasi saja. Ini juga waktunya
untuk mematikan TV supaya tidak mengganggu pasien. Komunikasinya lebih non verbal dari
pada verbal, misalnya untuk mempersilahkan duduk hanya dengan tangannya tanpa
mengucapkan kata-kata. Para pelayan pastoral care sebaiknya menghormati keadaan seperti itu
sehingga tidak memaksakan untuk banyak berbicara. Lebih baik dalam kesunyian bersama-sama
mendengarkan suara burung dari luar. Kehadiran keluarga dan pelayan pastoral care pada saat
ini menjadi semacam garansi bahwa mereka akan menemani pasien sampai akhir hayatnya.
Keluarga dan pelayan pastoral care harus paham bahwa pasien dalam tahap ini memang lebih
baik tidak banyak berbicara dan pasien harus diyakinkan bahwa dia tidak akan ditinggalkan
dalam kesendirian, akan terus ditemani sampai akhir. Hal ini sangat berarti dan sangat
menghibur bagi si pasien.
Ada beberapa pasien yang sampai akhirnya tetap berjuang dan dengan pengharapan bahwa
dia akan sembuh. Pasien seperti ini tidak akan sampai kepada tahap penerimaan. Semakin pasien
menyangkal keadaannya maka semakin sulit juga dia akan sampai pada tahap penerimaan dan
semakin sulit juga baginya untuk bisa mati dengan tenang. Bisa terjadi bahwa keluarga dan
pelayan kesehatannya memang mendorong dia untuk berjuang sampai akhir seperti itu, akan
tetapi sebenarnya lebih baik untuk bisa menerima keadaan dan dengan demikian bisa bersiap-
siap untuk meninggal dengan tenang.
Ada dua situasi di mana pasien cepat sampai kepada tahap penerimaan. Yang pertama
biasanya akan terjadi pada pasien yang sudah tua, yang merasa bahwa hidupnya sudah cukup
berarti, sudah mendidik dan membesarkan anak dengan berhasil. Ia puas akan hidup yang sudah
dijalaninya sehingga dia merasa sudah siap utuk meninggal. Pasien semacam ini, dengan sedikit
bantuan dari para pelayan pastoral care, ia akan sampai pada tahap penerimaan.
Situasi yang ke dua akan terjadi pada pasien yang kurang beruntung sebab dia tidak bisa
melihat bahwa hidupnya cukup berarti bagi diri dan orang lain. Ketika ia melihat kembali
perjalanan hidupnya, ada ketidakpuasan akan apa yang terjadi dalam hidupnya. Kalau ada
kesempatan, ia ingin memperbaiki hidupnya dan tidak hanya seperti yang selama ini terjadi pada
dirinya. Pasien semacam ini memerlukan banyak bantuan dari pelayan pastoral care dan
keluarganya. Biasanya perlu waktu yang panjang untuk sampai pada tahap penerimaan sehingga
bisa meninggal tanpa ketakutan dan putus asa.

3. Hope (pengharapan)
Yang selalu ada dalam semua tahap dying adalah pengharapan (hope). Pengharapan selalu ada
mulai dari tahap awal (denial/penolakan) sampai dengan tahap penerimaan. Pengharapan ini biasanya

8
berhubungan dengan pengharapan adanya obat baru, atau teknologi baru, atau riset terbaru yang bisa
menyembuhkan penyakitnya. Bahkan di antara para pasien yang sudah menyerah ataupun menerima
pun selalu ada pengharapan seperti ini. Bisa dikatakan bahwa pengharapan ini adalah faktor yang sangat
penting dalam respon manusia terhadap penderitaan dan sakitnya. Pengharapan adalah karakter sentral
dalam psikologi dying.
Pengharapan inilah yang akan terus menerus menjadi daya juang bagi pasien ketika mengalami
penderitaan yang hebat. Pengharapan ini mempunyai arti yang sangat mendalam bagi pasien karena
tanpanya pasien akan mudah menyerah sebeum waktunya. Pengharapanlah yang tengah malam
membangunkan pasien seolah-olah ada kabar bahwa para ahli sudha berhasil membuat obat baru untuk
menyembuhkannya, atau ada mimpi bahwa para ahli tengah membuat percobaan obat yang baru
dimana pasien menyediakan diri sebagai subyek penelitan untuk percobaan sehingga memberikan nilai
altruisme yang tinggi pada hidup si pasien.
Pengharapan macam inilah juga yang menjadikan pasien mempunyai pengharapan yang besar
kepada dokternya. Mungkin dokter masih bisa berbuat sesuatu untuk menyembuhkannya, siapa tahu
ada mujijat, siapa tahu ada kejadian luar biasa yang tidak bisa diprediksi sebelumnya. Pengharapan ini
bisa munncul dengan jelas dalam kata-kata tetapi juga bisa implisit dari apa yang diucapkan. Apabila
pengharapan ini sudah tidak ada lagi, misalnya pasien mengetakan, “Dokter, sepertinya semua sudah
selesai.” Atau mengatakan yang sejenisnya, maka ini pertanda bahwa kematiannya sudah dekat. Dalam
situasi seperti ini, kita tidak perlu membangkitkan kembali pengharapannya akan sembuh.
Pengharapan ini dalam situasi tertentu ustru bisa menimbulkan konflik. Bisa terjadi suatu
konflik yang berat manakala pasien masih mempunyai pengharapan yang sangat besar akan tetapi para
pelayan kesehatan sudah tidak melihat kemungkinan kesembuhan dan bahkan situasinya menjadi
semakin memburuk. Sebaliknya juga bisa terjadi bawa pasien sudah sampai pada tahap penerimaan dan
sudah siap untuk meninggal akan tetapi keluarganya masih mampunyai harapan kesembuhan yang
tinggi.
Seorang pasien terminal bisa mengalami apa yang dikenal dengan istilah pseudo-terminal
Syndrome. Pasien yang sebenarnya sudah diberitahu oleh dokternya bahwa sudah tidak ada lagi obat
yang bermanfaat bagi dirinya dan bahkan sudah bersiap-siap untuk dibawa pulang karena sudah tidak
ada lagi manfaatnya dirawat di rumah sakit, namun ketika dia dirawat dengan dengan maksimal dengan
semua perawatan yang masih mungkin, lalu dia seolah-olah bangkit kembali dan kembali menjadi baik
kesehatannya. Pasien seolah-olah mengalami mukjizat dan kemudian membaik kesehatannya. Oleh
karen itu perlu bahwa para pelayan kesehatan dan orang yang ada di sekitarnya jangan mudah untuk
menyerah. Masih ada Tuhan yang seringkali tidak masuk perhitungan teknis manusiawi kedokteran. Kita
harus tetap terbuka kepada kemungkinan yang lain, maka lebih baik menyampaikan bahwa kita masih
ada harapan, “Sepengetahuan saya, saya sudah mengerjakan segala sesuatu yang mungkin untuk
menyembuhkanmu, tetapi saya akan tetap berusaha semaksimal mungkin supaya anda tetap merasa
tenang dan nyaman.” Kata-kata semacam ini memberikan penghiburan kepada pasien dan merasa
bahwa dirinya tidak akan ditinggalkan sendirian.
Pasien seperti ini juga baik diajak untuk membicarakan soal kematian secara perlahan-lahan.
Kematian adalah bagian dari hidup yang esensial sehingga wajar untuk dibicarakan. Untuk
membicarakan soal kematian, lebih baik bila tidak usah menunggu sampai pada detik terakhir, sebab
kita tidak pernah bisa tahu dengan persis, kapan hal itu akan terjadi. Ada beberapa pasien yang dalam
keadaan terminal sudah depresi, loyo, tidak mau berbicara lagi akan tetapi ketika diajak berbicara soal
kematian, mereka justru lebih bergairah dan bahkan m au makan lagi. Dalam hal ini, yang paling penting
bahwa kita akan memberikan waktu yang lebih dan selalu menemani pasien dan tidak akan
meninggalkannya. Ketika pasien mendapatkan jaminan ini, maka dia akan lebih terbuka berbicara
mengenai kematian.
Pelayan pastoral care harus berusaha memadukan pasien dan keluarganya agar mereka
bersama-sama satu suara dan satu frekuensi untuk bisa menerimakeadaan si sakit sehingga tidak
9
menimbulkan penderitaan yang tidak perlu. Ketika pasien dan keluarganya bisa sampai pada tahap
penerimaan yang sama, maka pasien akan bisa menghadapi kematiannya dengan keiklasan dan
penyerahan.
Beberapa catatan mengenai tahap-tahap dying ini: Perlu diingat bahwa tahap-tahap itu tidak
selalu terjadi secara berurutan seperti yang disebut di atas. Bisa terjadi bahwa karena sebab tertentu,
pasien bisa kembali ke tahap sebelumnya yang sebenarnya sudah dilewati. Misalnya saja: seorang
pasien penyakit kanker paru-paru terminal yang sudah sampai pada tahap penerimaan, tetapi lalu
dipersalahkan karena tidak berhenti merokok padahal sudah diperingatkan sejak dulu, maka dia bisa
kembali ke tahap kemarahan atau tahap depresi.
Antara pasien dan keluarganya bisa terjadi tahapnya berbeda-beda dan tidak selalu dalam
tahap yang sama. Bisa terjadi bahwa pasien sudah sampai pada tahap penerimaan tetapi keluarganya
masih dalam tahap kemarahan. Demikian pula sebaliknya: keluarga sudah sampai pada tahap
penerimaan tetapi pasien masih dalam tahap kemarahan. Di sini pelayan Pastoral Care harus
mencermati tahap masing-masing pihak.
Tidak semua pasien akan bisa sampai pada tahap penerimaan ketika meninggal dunia. Bisa
terjadi bahwa pasien meninggal dalam tahap kemarahan atau tahap yang lainnya. Di sinilah pentingnya
Pastocal Care untuk membantu pasien dan keluarganya agar sampai pada tahap penerimaan agar bisa
meninggal dengan tenang dan damai.
Bagi para pelayan pastoral care, mengetahui tahap-tahap ini menjadi sangat penting agar bisa
menempatkan diri secara benar sehingga bisa mendampingi dan mengarahkan pasnein dengan cara
yang tetap dan efektif. Misalnya: pada tahap kemarahan, kalau pelayan pastoral care berbicara
mengenai kemurahan Allah, kemungkinan besar akan ditolak agar tetapi ketika pada saaat penerimaan
maka akan mudah diterima. Para pelayan pastoral care harus mampu bereaksi dengan tepat sesuai
dengan tahap yang sedang terjadi dan menempatkan diri secara tepat supaya tidak memperkeruh
suasana: ketika pasien masih dalam tahap kemarahan dan pelayanan pastoral care bernyanyi-nyanyi
dengan gitar dan seruling maka justru akan contra productif. Pasien akan marah dan mengusirnya,
sebaliknya bagi pasien yang sudah dalam tahap penerimaan maka cara itu akan sangat bermanfaat.
Walaupun bisa terjadi tahapnya tidak selalu sama, akan tetapi tahap-tahap ini pun juga akan
terjadi pada keluarga dekat si pasien itu. Kita tidak akan bisa membantu pasien secara maksimal kalau
kita tidak menyertakan keluarganya sebab keluarga itu memainkan peran yang sangat penting bagi
pasien tersebut. Ini berarti bahwa pelayanan pastoral care bukan hanya bagi pasien saja tetapi juga bagi
keluarganya.
Bagi orang yang ada di sekitarnya: dokter, perawat, bidan, pengunjung dan yang lainnya,
mereka juga perlu mengetahui tahap-tahap ini juga perlu supaya bisa menempatkan diri dengan tepat
dan supaya tidak terjadi penyesalan. Ada kasus di mana angota keluarga meninggal tetapi belum sempat
terjadi rekonsiliasi di antara mereka dan mengakibatkan terjadi penyesalan seumur hidup. Hal yang
senada juga bisa juga terjadi dalam kasus kematian yang mendadak. Karena terjadi kematian mendadak
maka belum sempat terjadi rekonsiliasi antara keluarga dan yang sudah meninggal. Dalam hal seperti
ini, peran pelayan pastoral care bisa sangat penting sekali untuk mendamaikan mereka yang masih
hidup dengan dia yang sudah meninggal. Jelas bahwa kematian mendadak tidak selalu baik effeknya
terutama bagi orang yang ditinggalkan.

Yogyakarta, September 2022

CB. Kusmaryanto, SCJ


10

Anda mungkin juga menyukai