Anda di halaman 1dari 41

Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam semangat 1945 sebagai perwujudan keikhlasan, yaitu

sebagai berikut :
a. Semangat menentang dominasi asing dalam segala bentuknya, terutama penjajahan dari suatu
bangsa terhadap bangsa lain. Masa depan bangsa ada di tangan pemuda. Ungkapan ini memiliki
semangat konstruktif bagi pembangunan dan perubahan. Pemuda tidak selalu identik dengan
kekerasan dan anarkisme tetapi daya pikir revolusionernya yang menjadi kekuatan utama. Sebab,
dalam mengubah tatanan lama budaya bangsa dibutuhkan pola pikir terbaru, muda, dan segar.
b.  Semangat pengorbanan seperti pengorbanan harta, benda, dan jiwa raga. Kita tidak akan ragu
menyebut nama-nama seperti Abu Bakar ash shiddiq, Umar bin  Khaththab, Utsman bin Affan
atau Abdurrahman bin Auf. Mereka adalah contoh pahlawan yang telah berjuang serta berkorban
untuk kejayaan Islam. Umar bin Khaththab menyumbangkan separuh harta yang dia miliki untuk
membiayai pasukan dalam peperangan. Abu bakar Ash shidiq menginfaqkan seluruh harta yang
dimilikinya untuk keperluan perang. Serta Abdurrahman bin Auf meninggalkan seluruh harta
yang ia miliki di kota mekah dan lebih memilih untuk berhijrah ke kota madinah. Itu semua
mereka lakukan karena kecintaan yang begitu besar kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Cinta
kepada Allah SWT dan Rasul telah mengalahkan cinta mereka kepada dunia dan seisinya,
sehingga dengan mudahnya mereka dapat melepaskan harta mereka untuk perjuangan di jalan
Allah SWT. Pemuda Islam adalah mereka yang berjuang dengan ikhlas hanya demi Allah SWT.
Pemuda Islam adalah mereka yang rela melepaskan segala hasrat pribadi dan menggantinya
dengan hasrat tunggal yaitu tercapainya kejayaan bangsa dan mengembalikan izzah islam.
Pemuda Islam adalah mereka yang mampu mengorbankan harta dan jiwa mereka untuk ditukar
dengan surga dan seisinya. Dan pemuda Islam adalah orang-orang yang menjadikan Allah SWT
sebagai tujuan, Muhammad saw sebagai teladan, Al Qur’an sebagai pedoman, dan  hidup serta
mati dijalan Allah sebagai cita-cita tertingginya.
c.  Semangat tahan derita dan tahan uji.
d. Semangat kepahlawanan. Sejarah perjuangan Nabi Muhammad saw dalam menegakkan Islam
selalu menghadapi rintangan dan tantangan yang berat. Semua itu dihadapinya dengan penuh
keteguhan iman. Bahkan di saat menjelang ajal, Nabi masih sempat berwasiat kepada umatnya
agar selalu tetap menjaga shalat dan ibadahnya. Dalam kepemimpinannya sebagai kepala negara,
beliau menyatukan antara ucapan dan perbuatan. Nabi mencontohkan dahulu, setelah itu
mengajak umat melakukan hal serupa.
Nabi memilih kehidupan yang wajar, apa adanya, bahkan segalanya diserahkan untuk Islam.
Muhammad saw merasa takut kepada Allah swt bila dirinya berhidup mewah, sementara
ummatnya hidup dalam kemelaratan. Bahkan Rasulullah terkenal dengan doa agar dalam
kematiannya tergolong dalam kelompok orang-orang miskin. Allah mengabulkan, Nabi
meninggalkan Al-Qur’an dan al-Hadits sebagai pegangan hidup keluarga dan umatnya.
Dalam menegakkan ketauhidan Islam, Rasulullah tegas. Kaum Quraisy suatu saat menawarkan
kompromi kepada Rasulullah dalam urusan beribadah yakni pada suatu waktu Rasulullah
menyembah berhala Quraisy, di waktu lain kaum Quraisy menyembah Allah. Rasulullah
menolak dengan menyampaikan firman Allah swt, “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.”
(QS. Al Kafirun: 6) Namun sesama manusia harus saling menghormati, selama antar pihak tidak
saling mengganggu dan saling memusuhi. Ketika Nabi menyiarkan dakwah Islam banyak yang
tidak mengakui ajaranNya, meski begitu Nabi tetap menghormati mereka sebatas sesama
manusia. Dalam setiap pengambilan keputusan, Muhammad selalu bermusyawarah untuk
menentukan kata mufakat dengan berpijak pada petunjuk Al-Qur’an. Apalagi untuk urusan-
urusan keduniawian, yang bisa jadi ada orang-orang tertentu yang lebih memiliki keahlian. Ia
selalu berpenampilan sederhana, mau mendengar pendapat umat serta menampung aspirasi
mereka. Hubungan Nabi dengan sahabat-sahabatnya begitu manusiawi, penuh kasih dan saling
pengertian.
e. Semangat persatuan dan kesatuan. Semangat persatuan dalam bernegara merupakan pengikat
suatu negara untuk dapat berdiri tegak selama-lamanya. Negara kesatuan republik Indonesia
yang diproklamirkan 17 agustus 1945 tidak akan bertahan apabila diantara rakyat Indonesia tidak
bersatu. Untuk tetap tegaknya persatuan dan kesatuan maka Pancasila dan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dijadikan landasan dan arah perjuangannya.
f. Percaya pada diri sendiri. Orang-orang menjadi begitu luar biasa ketika mereka mulai berpikir
bahwa mereka bisa melakukan sesuatu. Saat mereka percaya pada diri mereka sendiri, mereka
memiliki rahasia kesuksesan yang pertama.

Selain itu jiwa dan nilai-nilai semangat 1945 dapat pula diuraikan dalam nilai-nilai dasar dan
nilai-nilai operasional. Nilai-nilai dasar meliputi semua nilai yang terdapat dalam setiap sila dari
Pancasila dan semua nilai yang terdapat dalam proklamasi kemerdekaan. Adapun nilai-nilai
operasional adalah nilai-nilai yang
6
merupakan landasan yang kokoh dan daya dorong mental spiritual yang kuat dalam setiap tahap
perjuangan bangsa.

Nilai-nilai operasional tersebut, antara lain :


a. Ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
b. Jiwa dan semangat merdeka
c. Nasionalisme
d. Patriotisme
e.  Rasa harga diri sebagai bangsa yang merdeka
f.  Pantang mundur dan tidak kenal menyerah
g.  Persatuan dan kesatuan
h.  Anti penjajah dan penjajahan
i.  Percaya kepada hari depan yang gemilang dari bangsanya
j. Idealisme kejuangan yang tinggi
k. Berani, rela, dan ikhlas, berkorban untuk tanah air, bangsa, dan negara

Sebagai ideologi, nasionalisme dapat memainkan tiga fungsi, yaitu mengikat semua kelas,
menyatukan mentalitas mereka, dan membangun atau memperkokoh pengaruh terhadap
kebijakan yang ada di dalam kursi utama ideologi nasional. Nasionalisme lebih
mengistimewakan hak kolektif yang didasarkan pada ras, kebudayaan, atau identitas bersama
lainnya. Nasionalisme juga sangat mengutamakan sesuatu yang tidak bergantung pada pilihan
pribadi. Tumbuhnya paham nasionalisme di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari situasi sosial
politik pertama pada masa Indonesia masih dijajah oleh negara kolonial. Pada masa itu semangat
menentang kolonialisme Belanda mulai bermunculan dikalangan suku atau pribumi. Sehingga
cita-cita bersama untuk merebut kemerdekaan menjadi semangat membara dikalangan tokoh-
tokoh pergerakan nasional. Untuk itu para tokoh pergerakan nasional mulai menerapkan ideologi
nasionalisme yang sesuai dengan kondisi masyarakat di Indonesia. Demi terwujudnya semboyan
bangsa Indonesia yaitu NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
7
Nasionalisme adalah paham yang meletakkan kesetiaan tertinggi pemuda yang harus diberikan
kepada negara dan bangsanya, dengan maksud bahwa pemuda sebagai warga negara memiliki
suatu sikap atau perbuatan untuk mencurahkan segala tenaga dan pikirannya demi kemajuan,
kehormatan dan tegaknya kedaulatan negara dan bangsa. Nasionalisme yang sejati itu bukan
semata-mata copy atas tiruan dari Nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan
manusia dan kemanusiaan.

Dari pengertian-pengertian nasionalisme di atas, dapat disimpulkan bahwa nasionalisme adalah


cara yang tepat digunakan untuk menyatukan beberapa perbedaan, karena nasionalisme lebih
mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan individu. Jika nasionalisme dapat
tertanam pada setiap individu warga Indonesia, maka negara yang bersifat pluralistis ini, artinya
negara yang didalamnya terdapat banyak keragaman dan perbedaan, akan menjadi negara yang
damai tanpa ada konflik etnik dan konflik kefanatikan terhadap daerahnya masing-masing.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang pluralistis artinya kondisi geografis dan sosial
budaya nusantara lebih banyak mewarnai corak kehidupan bangsa indonesia. Pada prinsipnya,
setiap ada masyarakat yang pluralistis harus diterapkan juga konsep pluralisme yaitu konsep
yang timbul setelah adanya konsep toleransi. Jadi ketika setiap individu mengaplikasikan konsep
toleransi terhadap individu lainnya maka lahirlah konsep pluralisme. Dalam konsep pluralisme
itulah bangsa Indonesia yang beranekaragam mulai dari suku, agama, ras, dan golongan dapat
menjadi bangsa yang satu dan utuh.

Lahirnya gagasan mengenai pluralisme sesungguhnya didasarkan pada sejumlah faktor. Dua
diantaranya dari faktor perbedaan agama yaitu pertama, adanya keyakinan masing-masing
pemeluk agama bahwa konsep ketuhanan yang paling benar dan agama masing-masing umat
yang menjadi jalan keselamatan. Masing-masing pemeluk agama juga meyakini bahwa
merekalah umat pilihan. Menurut
8
kaum pluralis, keyakinan-keyakinan inilah yang sering memicu terjadinya kerenggangan,
perpecahan bahkan konflik antar pemeluk agama. Karena itu, menurut kaum pluralistis
diperlukan gagasan pluralisme sehingga suatu kelompok tidak lagi fanatik terhadap agama dan
tidak berpotensi memicu konflik. Kedua, faktor kepentingan ideologis dari kapitalisme untuk
melanggengkan dominasinya di dunia. Selain isu-isu demokrasi, hak asasi manusia, dan
kebebasan serta perdamaian dunia, pluralisme adalah sebuah gagasan yang terus disuarakan
kapitalisme global yang digalang Amerika Serikat untuk menghalangi kebangkitan suatu agama.

Dari paparan-paparan di atas dapat disimpulkan bahwa fanatik terhadap suatu hal, baik itu
fanatik terhadap agama atau fanatik terhadap suku daerahnya sendiri akan memicu munculnya
konflik yang berkesinambungan. Konflik yang disebabkan karena hal tersebut akan menggugah
keturunan atau sesama saudara yang satu daerah menjadi ikut campur dalam persoalan yang
sebenarnya bukan persoalan umum. Sehingga muncul pembelaan-pembelaan yang akan
memperburuk suasana dalam proses bersatunya negara Indonesia.

Di negara Indonesia banyak undang-undang dan konstitusi negara yang mengatur tentang
pluralisme dan multikulturalisme, diantaranya yaitu UUD 1945 pasal 18B ayat 2 tentang
pemerintah daerah yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang”. Kemudian di dalam UU Republik Indonesia nomor 32 tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah yang berbunyi “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di
tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan
mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Selain itu, dalam UUD 1945 pasal 32 tentang
pemerintahan daerah juga dijelaskan bahwa “Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-
puncak kebudayaan di daerah”. Maka dapat disimpulkan bahwa negara Indonesia adalah
9
negara hukum yang selalu melindungi semua warga Indonesia tanpa memandang suku, ras,
agama dan perbedaan-perbedaan lain.
Secara konstitusional negara Indonesia dibangun untuk mewujudkan dan mengembangkan
bangsa yang religius, humanis, bersatu dalam kebhinekaan, demokratis, dan berkeadilan sosial
belum dapat sepenuhnya tercapai. Konsekuensinya adalah keharusan melanjutkan proses
membentuk kehidupan sosial budaya yang maju, kreatif, memiliki sikap toleransi akan
masyarakat yang pluralis, juga tatanan sosial politik yang demokratis, dan struktur sosial
ekonomi masyarakat yang adil serta bersifat kerakyatan. Dengan demikian dapat dilihat bahwa
semboyan satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa juga ‘Bhinneka Tunggal Ika’ masih jauh
dari kenyataan sejarah. Semboyan tersebut masih merupakan mitos yang perlu didekatkan
dengan realitas sejarah. Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kokoh, beranekaragam
budaya, etnik, suku, ras, dan agama yang semuanya itu akan menjadikan Indonesia menjadi
sebuah bangsa yang mampu menerima segala kemajemukkan menjadi sesuatu yang bermanfaat
bagi negara, dan akhirnya ancaman perpecahan bangsa akan dapat dihindari.

2.2 Penyebab Melemahnya Semangat Nasionalisme dalam Keberagaman Masyarakat


Indonesia

Sebuah ideologi keberagaman atau pluralis harus menekankan pengakuan dan penghargaan pada
kesederajatan perbedaan kebudayaan antar suku. Salah satu penyebab melemahnya semangat
nasionalisme dalam keberagaman masyarakat Indonesia di era globalisasi ini adalah sebagai
berikut, globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat
membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari
ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme
bangsa akan hilang. Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa
cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri membanjiri Indonesia.
Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya
rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap
10
bangsa Indonesia. Masyarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri
sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh
masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat. Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam
antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal
tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu
kehidupan nasional bangsa. Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidak
pedulian antar perilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan
peduli dengan kehidupan bangsa.
Pengaruh-pengaruh di atas memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap nasionalisme.
Akan tetapi secara keseluruhan dapat menimbulkan rasa nasionalisme terhadap bangsa menjadi
berkurang atau hilang. Sebab globalisasi mampu membuka cakrawala masyarakat secara global.
Yang perlu dicermati bahwasanya arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat
terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh
globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai
bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam kehidupan
sehari- hari anak muda sekarang. Dari cara berpakaian banyak remaja- remaja kita yang
berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat. Tidak banyak remaja yang mau
melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian
bangsa.

Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat
diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi pemuda internet sudah menjadi santapan mereka sehari-
hari. Jika digunakan secara semestinya tentu kita memperoleh manfaat yang berguna. Tetapi jika
tidak, kita akan mendapat kerugian. Dan sekarang ini, banyak pelajar dan mahasiswa yang
menggunakan tidak semestinya. Selanjutnya, dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah
lakunya tidak kenal sopan santun dan cenderung cuek tidak ada rasa peduli
11
terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka
bertindak sesuka hati mereka. Contoh riilnya adanya geng motor anak muda yang melakukan
tindakan kekerasan yang menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat.

Apabila pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan begitu saja, mau apa jadinya generasi muda
tersebut. Moral generasi bangsa menjadi rusak, timbul tindakan anarkis antara golongan muda.
Hubungannya dengan nilai nasionalisme akan berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap
budaya bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi muda adalah
penerus masa depan bangsa. Apa akibatnya jika penerus bangsa tidak memiliki rasa
nasionalisme.
Dalam masyarakat yang sangat terkotak-kotak, identitas etnik memberikan garis yang tegas
untuk menentukan siapa yang akan diikut sertakan dan siapa yang akan ditolak sertakan. Karena
garis-garis penentuan tersebut tampak tidak dapat diubah, maka status sebagai anggota dan
bukan anggota dengan serta merta tampak bersifat permanen. Dalam politik etnik, keanggotaan
dapat mempengaruhi pendistribusian barang. Material dan nonmaterial yang penting, termasuk
gengsi dari berbagai kelompok etnik dan identitas negara yang lebih merupakan milik satu dari
pada kelompok yang lainnnya. Lagi pula, di dalam masyarakat yang terkotak-kotak, terdapat
kecenderungan untuk menyatukan penyertaan dalam pemerintah dengan penyertaan dalam
masyarakat dan penolak sertaan dalam pemerintah dengan penolaksertaan dalam masyarakat.

Dapat disimpulkan bahwa pluralistis di Indonesia tampak dalam manifestasi kebudayaan bangsa
Indonesia yang tidak satu. Sebagai contoh budaya Indonesia dapat dengan mudah dipecah ke
dalam budaya Jawa, Sunda, Batak, Minangkabau, atau pun Toraja. Konsep pluralistis di
Indonesia juga termanifestasi dalam masalah agama, lokasi domestik, tingkat ekonomi, ataupun
perbedaan-perbedaan sikap politik. Sikap politik, secara khusus, paling mudah menampakkan
diri ke dalam bentuk partai-partai politik yang bervariasi dan hidup berkembang di bumi
11
Indonesia. Menyatakan bahwa masyarakat Indonesia sebagai masyarakat majemuk dapat dilihat
dari hal yang mencolok dalam kemajemukan masyarakat Indonesia yaitu penekanan pada
pentingnya kesuku bangsaan yang terwujud dalam bentuk komunitas-komunitas suku bangsa,
dan digunakannya kesukubangsaan sebagai acuan utama bagi jati diri bangsa. Masyarakat
majemuk ini memiliki kesulitan tersendiri dalam melakukan integrasi nasional.

Masalah lain yang mengacu adanya konflik dalam masyarakat yang pluralis di Indonesia yaitu
pemahaman kritis sara dalam pluralitas bangsa. Sara merupakan akronim dari suku, agama, ras,
dan antar golongan adalah sebuah fenomena kemasyarakatan yang tumbuh dan berkembang
dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, sara adalah gejala inherent (menyerta
dan bersamaan) dengan kondisi masyarakat indonesia yang bersifat pluralistis. Sekarang
pemahaman realitas Sara hendaknya harus dirakit kembali. Ideologi dari prespektif terhadap sara
perlu penataan ulang dari dimensi pikir bahwa sara sebagai sumber pemecahan sosial. Oleh
karena itu diperlukan pemikiran yang serius dan penuh kehati-hatian. Sebab, realitas sara
memang rentang dengan konflik yang kadang penuh dengan kerawanan untuk saling
bertubrukan.

Dengan demikian, kesalah pahaman dalam pengertian sara sebenarnya harus dapat dipecahkan.
Agar tidak menjadi penyebab perpecahan yang berkelanjutan antar suku bangsa di Indonesia.

2.3 Menumbuhkan Kesadaran Arti Pentingnya Semangat Nasionalisme dalam


Keberagaman Masyarakat Indonesia

Semangat nasionalisme pemuda pada saat ini adalah sangat lemah. Salah satu penyebabnya
adalah pengaruh negatif globalisasi. Karena pengaruh negatif globalisasi lebih banyak dari pada
pengaruh positifnya. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk mengantisipasi pengaruh negatif
globalisasi terhadap semangat nasionalisme bangsa Indonesia di era reformasi saat ini,
diantaranya adalah
12
 sebagai berikut :
1. Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam
negeri.
2. Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
3. Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
4. Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar-
benarnya dan seadil- adilnya.
5. Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya
bangsa.
6. Memupuk  kesetaraan dan kemandirian untuk mengejar ketinggalan. Martabat bangsa
Indonesia adalah ingin setara atau sejajar dengan bangsa-bangsa lain, oleh karena itu langkah
untuk mengejar kemajuan dan kemandirian adalah suatu tekad dan semangat yang tidak boleh
terputus sekalipun menghadapi berbagai kendala. Persaingan antar bangsa akan semakin terlihat
pada persaingan kualitas sumber daya manusianya, sehingga diharapkan kondisi ini akan lebih
meningkatkan semangat nasionalisme yang kuat dalam jiwa bangsa Indonesia.
Di samping hal-hal normatif dan mendasar yang masih menuntut aktualisasi dan representasi
tersebut, terdapat juga komitmen dan tekad baru yang kini tampak sebagai “trend” dan fenomena
cemerlang untuk memelihara dan meningkatkan semangat nasionalisme bangsa Indonesia,
diantaranya adalah :
1. Keunggulan kompetitif Sumber Daya Manusia (SDM) yang mampu bersaing di dunia
internasional.
2. Pluralitas yang menghasilkan sinergisme untuk memiliki kemampuan dan skill yang bisa
diajak bekerja sama untuk menghasilkan prestasi yang cemerlang diberbagai aspek
pembangunan guna meningkatkan semangat nasionalisme yang
kuat, yang tercermin pada sikap-sikap dan sifat-sifat saling memberi dan saling
menerima segala macam perbedaan yang pada muaranya akan dapat melahirkan rasa bangga
nasionalisme yang luas.
3. Semangat tidak kenal menyerah dan tahan uji guna mencapai cita-cita.

13
4. Semangat demokrasi menjadi pilihan bersama dalam membina semangat nasionalisme untuk
membangkitkan tekad dan semangat baru bagi bangsa Indonesia guna menata kembali kondisi
bangsa yang kian terpuruk.

Melihat kondisi perpolitikan nasional dewasa ini, sudah sewajarnya pemuda menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari solusi atas permasalahan dan persoalan yang terjadi. Sudah saatnya
generasi muda Indonesia bersatu padu menjadi aktor-aktor pencerdasan politik bagi masyarakat
Indonesia sehingga politik tidak hanya berdampak negatif, namun lebih jauh dari itu, politik pada
hakikatnya dapat menjadi sarana untuk mewujudkan berbagai harapan melalui partisipasi aktif
seluruh rakyat Indonesia dalam merealisasikan Indonesia yang lebih baik, Indonesia maju, dan
Indonesia unggul.

Pemacu semangat tersebut harus diawali oleh gerakan keteladanan kaum muda dalam
menyalurkan hak-hak politiknya. Dengan menjadi partisipan aktif dalam berbagai momentum
politik diharapkan dapat menjadi stimulus awal membangun politik yang beradab di negeri ini.
Efektivitas gerakan keteladanan pemuda pun lebih jauh dapat dilakukan dengan turut serta
membangun dan mengembangkan hak-hak politiknya termasuk bergabung dalam organisasi
sosial maupun politik yang menjadi pilar utama demokrasi. Melalui organisasi sosial dan politik
pemuda dapat mewujudkan harapan perbaikan bangsa dengan memberikan solusi secara
langsung serta bergerak terjun ke masyarakat menjadi aktor perubahan. Sarana ini sangat ampuh
menjadi media upgrading pemuda dalam membangun kapasitas politiknya dengan tetap mampu
memberikan manfaat kepada masyarakat.

Gerakan keteladanan lainnya dapat dilakukan dengan berbagai hal yang bermuara pada kepastian
bahwa proses politik di negeri ini berjalan dengan baik dalam nuansa negara yang demokratis.
Hal tersebut antara lain, Pertama, mengawal transisi kepemimpinan baik daerah maupun nasional
ke arah yang substantif yaitu terwujudnya pemilu maupun pemilukada yang bersih dan terhindar
dari berbagai kecurangan seperti “kampanye hitam” dan “politik uang”. Pengawalan ini
14
hendaknya berlanjut saat tampuk kepemimpinan diperoleh terutama berkaitan dengan kebijakan
pemerintah serta terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berpihak kepada rakyat. Kedua,
menjadi garuda terdepan dalam gerakan politik santun, penjaga moral, dan etika politik dalam
setiap proses demokrasi sehingga terhindar dari praktik politik kotor, menghalalkan segala cara,
dan menggunakan kekerasan atau premanisme politik. Ketiga, tidak terjebak dalam pragmatisme
politik maupun ekonomi, menghormati hak, dan kewajiban orang lain serta menghargai
keberagaman di masyarakat. Keempat, melakukan inovasi sosial budaya melalui berbagai
aktivitas kemasyarakatan sehingga menumbuhkan semangat kewirausahaan dan daya
keunggulan serta keberdayaan masyarakat.

Dalam realitas Indonesia masa kini dan ke depan, Yayasan Planet Inovasi (atau disingkat Planet
Inovasi atau PIN) memandang gerakan keteladanan sosial budaya politik ekonomi hankam
merupakan modal sangat penting dalam konteks “Menginspirasi Indonesia Baru” bagi seluruh
warga bangsa.

Menurut Madjid, bahwa ada beberapa hal yang dapat mempersatukan Indonesia dan membangun
semangat nasionalisme yaitu melalui Pancasila, bahasa Indonesia, prestasi olahraga, seni,
bencana alam, prestasi internasional, dan gangguan dari luar. Penjelasannya yaitu pertama,
Pancasila sama sekali bukan sekedar semboyan untuk dikumandangkan. Pancasila bukan dasar
falsafah negara yang sekedar dikeramatkan dalam dokumen pembukaan UUD, melainkan
Pancasila harus diamalkan. Tanpa diamalkan, apapun dasar falsafah yang dipakai, apapun
konsepsi yang dibuat tidak akan berguna dan tidak ada artinya.

Kedua, yaitu Bahasa Indonesia karena bahasa merupakan alat komunikasi yang menyatakan
segala sesuatu yang tersirat dalam diri kita. Bahasa sebagai suatu sistem ketetapan hubungan
pengertian memungkinkan manusia melakukan hubungan di antara sesamanya dalam kehidupan
bermasyarakat. Dari sekian banyak fungsi yang telah disebutkan, ada satu fungsi yang menjadi
sangat dominan, yaitu bahasa sebagai alat pemersatu bangsa. Karena pada kenyataannya,
15
hampir semua penduduk di Indonesia mengerti bahasa Indonesia. Dan bahasa ini juga sudah
diikrarkan menjadi bahasa nasional ketika sumpah pemuda dikumandangkan tahun 1928.
Meskipun pada kenyataanya bahasa Indonesia berasal dari bahasa minoritas yaitu bahasa
Melayu, namun kekuatannya dalam mempersatukan bangsa Indonesia sudah tak bisa diremehkan
lagi. Sebagai buktinya, semangat para pejuang pada saat mengupayakan kemerdekaan Negara
Indonesia. Mereka dengan lantang menyuarakan semboyan “Merdeka atau Mati!”. Semboyan ini
secara serta merta membangkitkan semangat rakyat untuk terus berjuang demi kesatuan bangsa.

Ketiga, yaitu olahraga tidak dapat dipungkiri lagi bahwa olahragalah bagian dari kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pada masa orde baru WNI keturunan dibatasi kiprahnya di ruang
publik seperti di kantor-kantor pemerintah dan universitas. Namun hal tersebut tidak berlaku di
dunia olahraga, dunia olahraga tidak mengenal dikriminasi. Sebagai contoh atlet bulutangkis
Indonesia yang berhasil mengharumkan nama bangsa di dunia internasional adalah keturunan
Tionghoa. Seperti Susi Susanti, Alan Budikusuma, Chandra Wijaya, Christian Hdinata, Ivana
Lie, Hariyanto Arbi, Hendrawan, dan lain-lain. Meskipun mereka adalah keturunan tionghoa,
namun mereka tetap bersemangat mengharumkan bangsa indonesia. Contoh lain adalah saat
timnas berlaga di laga internasional. Semua suporter dari berbagai daerah bersatu untuk
mendukung timnas.
Keempat, yaitu seni dapat dibuktikan pada tahun tujuh puluhan grup musik Koes Plus
mengeluarkan rangkaian album yang masing-masing berisi lagu tentang Nusantara. Ada tujuh
seri lagu tersebut ditambah dengan satu lagu yang berjudul ”Nuswontoro” yang berbahasa Jawa.
Seluruh lagu itu mengumandangkan keindahan, kekayaan, dan kejayaan Indonesia. Tidak hanya
Koes Plus, grup musik
The Rollies dari Bandung juga menyanyikan lagu tentang keindonesiaan. Sehingga dapat
disimpulkan secara tidak langsung, generasi muda masa itu memahami bagaimana keagungan
negara Indonesia tersebut karena tema lagunya adalah lagu-lagu yang berbau nasionalisme.
Melalui lagu-lagu tersebut secara
16
tidak sadar sosialisasi nasionalisme di Indonesia tertanam pada benak para penikmat musik di
negara Indonesia. Wujudnya dapat dilihat di masyarakat, ketika ada sedikit persoalan yang
menyangkut soal suku, ras, agama, dan antargolongan, langsung mendapat kecaman dari
masyarakat yang lain.

Kelima, yaitu bencana alam yang sebenarnya ada satu hikmah penting yang dapat dipetik dari
berbagai peristiwa bencana yang melanda negeri kita. Hikmah tersebut adalah bahwa
sesungguhnya semua masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke adalah bersaudara.
Meskipun berbeda suku, agama, ras, etnis, profesi, dan berbagai perbedaan lainnya, tetapi
sesungguhnya warga Indonesia adalah satu sebagaimana semboyannya yaitu “Bhineka Tungga
Ika”. Sebagai contoh ketika bencana tsunami melanda Aceh dan Nias pada tahun 2004, seluruh
rakyat Indonesia, bahkan masyarakat dunia internasional bersatu padu untuk membantu rakyat
yang tertimpa musibah. Demikian juga ketika banjir bandang menerjang Wasior Papua, gempa
bumi, dan tsunami yang meluluhlantakkan Mentawai Sumbar dan letusan gunung merapi yang
mengguyur masyarakat di sekitar wilayah Jogja dan Jateng, seluruh elemen masyarakat
Indonesia menunjukkan rasa empati, simpati, kepedulian, dan solidaritasnya.

Keenam, yaitu prestasi yang diraih ditingkat Internasional karena bisa dibilang prestasi Indonesia
di tingkat internasional sangatlah sedikit. Kebanyakan masyarakat indonesia tidak bangga
menyebut dirinya sebagai orang indonesia ketika ditanyai oleh orang lain. Banyak orang lebih
suka menyebut asal daerahnya. Tidak seperti orang Amerika yang dengan bangga menyebut
dirinya orang Amerika. Hal tersebut tentunya menjadi sesuatu yang menjadikan jurang
perbedaan antara masyarakat semakin dalam.

Ketujuh, yaitu gangguan dari luar ketika Indonesia sedang mengalami gangguan yang berasal
dari luar seperti konflik ambalat dan ligitan, seluruh rakyat Indonesia merasa marah dan merasa
ada milik Indonesia yang dicuri. Warga Indonesia semua merasakan hal yang sama, tak peduli
darimana asalnya karena mamang
17
pada dasarnya warga Indonesia adalah satu meskipun berbeda-beda. Andaikan saja pulau
ambalat atau kebudayaan-kebudayaan Indonesia tidak diusik oleh pihak luar, maka perhatian
sebagai warga negara Indonesia tidak akan sebesar itu pada masalah tersebut. Begitulah
Indonesia perhatian warga Indonesia baru dicurahkan setelah ada gangguan.

Beberapa paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa banyak sekali realitas kehidupan
sekarang yang sebenarnya merupakan salah satu cara untuk meningkatkan semangat
nasionalisme bangsa Indonesia diantaranya yaitu, pertama, pengamalan pancasila ibaratnya
menjadi pondasi untuk menyatukan keberagaman masyarakat di Indonesia. Kedua, kekuatan
bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa tidak bisa dianggap sebagai hal yang remeh.
Ketiga, dalam hal olahraga warga negara Indonesia tak lagi mementingkan kepentingan
kelompok daerahnya, tetapi yang ada hanyalah bersama memberikan semangat kepada tim
kebanggaannya tanpa memperdulikan dari mana suporter lain berasal dan semua bercampur baur
menjadi satu. Keempat, seni berperan penting untuk medorong persatuan di Indonesia. Kelima,
sebenarnya keinginan untuk mendapatkan musibah bencana alam itu tidak ada, tetapi hikmah
lain yang dapat dipetik dari bencana alam sendiri yaitu dapat menggugah rasa persatuan dari
warga negara Indonesia. Keenam, jika prestasi Indonesia baik di tingkat internasional, pasti
seluruh masyarakat akan bangga menyebut dirinya orang Indonesia dan sekaligus dapat
menggugah kembali semangat nasionalisme untuk para penerus bangsa. Ketujuh, gangguan dari
luar juga sebenarnya tidak diharapkan tetapi karena adanya gangguan dari luar masyarakat
menjadi lebih menyatu sebab merasa sebagai warga negara Indonesia, mereka harus berusaha
untuk terus bahu membahu menjaga keutuhan bangsa Indonesia.
18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Nasionalisme adalah cara yang tepat digunakan untuk menyatukan beberapa


perbedaan. Karena nasionalisme lebih mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan
individu. Jika paham nasionalisme telah tertanam pada setiap individu warga Indonesia maka
negara Indonesia akan menjadi negara yang damai tanpa ada konflik etnik dan juga tidak ada
kefanatikan terhadap suatu agama. Selain menghambat adanya konflik rasa nasionalisme juga
akan menambah rasa cinta individu warga Indonesia kepada tanah air tercinta.

2. Pluralistis dalam negara Indonesia adalah kondisi geografis dan sosial budaya nusantara lebih
banyak mewarnai corak kehidupan bangsa indonesia artinya dalam suatu negara terdapat banyak
suku, ras, agama, dan kebudayaan yang berbeda. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu paham yaitu
paham pluralisme dimana paham tersebut memiliki prinsip bahwa keanekaragaman itu tidak
menghalangi untuk bisa hidup berdampingan secara damai dalam satu masyarakat secara
bersamaan. Selain itu jika paham pluralisme diterapkan maka setiap individu warga negara
Indonesia dapat untuk bertoleransi dalam ras, agama, kebudayaan, dan bangsa.

3. Penyebab melemahnya semangat nasionalisme bagi para penduduk negara Indonesia salah
satunya adalah banyaknya perbedaan, baik itu perbedaan kebudayaan, agama, atau adat.
Sehingga kesalah pahaman antara SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) harus
dihadapi dengan hati-hati, karena konfliknya sangat rentan untuk menimbulkan konflik yang
berkesinambungan.
19
4. Kesalah pahaman SARA harus diluruskan dengan menumbuhkan kesadaran paham
nasionalisme, agar para individu warga Indonesia dapat mencintai kekayaan negara Indonesia
yang kaya akan perbedaan. Mencintai negara atau mempunyai rasa nasionalisme bisa dibuktikan
dengan menghargai perbedaan yang ada di Indonesia itu sebagai salah satu bentuk kekayaan
hasanah budaya Indonesia.

3.2 Saran

1. Indonesia adalah negara yang memiliki banyak suku, ras, agama, bahasa, budaya, dan
kelompok yang beragam. Untuk itu Indonesia mempunyai upaya-upaya untuk memajukan
bangsa agar bisa menjadikan bangsa yang maju dan kreatif salah satunya yaitu dengan
menumbuhkan paham nasionalisme dikalangan individu warga negara Indonesia. Dengan adanya
berbagai macam kebudayaan yang beragam dan dengan adanya rasa nasionalisme diharapkan
toleransi antar kelompok makin kuat. Sehingga dapat membentuk kemajuan kebudayaan untuk
bangsa bukan kemunduran yang disebabkan kebudayaan bangsa.
2. Menurut Hardi (1988: 23) warga negara Indonesia juga harus melakukan upaya-upaya untuk
mewujudkan kehidupan Indonesia yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian, dapat
dilakukan dengan cara menyadari akan realitas kehidupan di Indonesia yaitu sebagai berikut:
a. Manusia tumbuh dan besar pada hubungan sosial di dalam sebuah tatanan tertentu, dimana
sistem nilai dan makna diterapkan dalam berbagai simbol-simbol budaya dan ungkapan-
ungkapan bangsa.
b.  Keanekaragaman Budaya menunjukkan adanya visi dan sistem makan yang berbeda,
sehingga budaya satu memerlukan budaya lain. Dengan mempelajari kebudayaan lain, maka
akan memperluas cakrawala pemahaman akan makna multikulturalisme.
c.  Setiap kebudayaan secara Internal adalah majemuk, sehingga dialog berkelanjutan sangat
diperlukan demi terciptanya persatuan.
d.  Paradigma hubungan pemahaman timbal balik sangat dibutuhkan, untuk
20
mengatasi ekses-ekses negatif dari suatu problem disintegrasi bangsa. Paradigma hubungan
timbal balik dalam masyarakat multikultural mensyaratkan tiga kompetensi normatif, yaitu
kompetensi kebudayaan, kemasyarakatan, dan kepribadian.
e.  Integrasi sosial yang menjamin bahwa koordinasi tindakan politis tetap terpelihara melalui
sarana-sarana hubungan antar pribadi dan antar komponen politik yang diatur secara resmi tanpa
menghilangkan identitas masing-masing unsur kebudayaan.
f.  Sosialisasi yang menjamin bahwa konsepsi politik yang disepakati harus mampu memberi
ruang tindak bagi generasi mendatang dan penyelarasan konteks kehidupan individu dan
kehidupan kolektif tetap terjaga.

Dari paparan Hardi (1988: 23) maka dapat disimpulkan bahwa dengan menyadari realitas yang
ada di Indonesia, maka akan tumbuh rasa nasionalisme individu yang dapat melekat pada
individu para warga negara Indonesia, agar warga negara Indonesia yang beraneka ragam ini
memiliki sikap sebagai berikut :
     a. Mengakui eksistensi kebudayaan daerah lain.
     b. Memberi hak untuk hidup berdampingan saling menghormati kepada                        budaya
daerah lain.
     c. Menghindari kekerasan dan memelihara tempat-tempat bersejarah                  budaya daerah
lain.
     d. Tidak memaksakan kehendak kepada warga daerah lain.

Dengan demikian warga Indonesia tidak akan ada lagi kesalah fahaman SARA dan Indonesia
akan menjadi negara yang damai dengan banyak perbedaan di dalamnya karena sikap toleransi
sudah sangat melekat pada individu warga negara Indonesia. Sehingga negara Indonesia akan
memiliki sebuah julukan yaitu “unity of variety” artinya kesatuan dalam keberagaman. Selain itu
semboyan negera Indonesia yaitu NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) akan dapat
terwujud dengan mudah.
Abstrak
Pemuda merupakan generasi yang mempunyai semangat religius dan sebagai pilar bagi
kebangkitan bangsa Indonesia. Namun, jika melihat kondisi pemuda Indonesia sendiri yang
banyak terlibat dalam aksi kekerasan dan pelanggaran hukum, tidak akan mungkin kebangkitan
bangsa akan terwujud. Perlu adanya solusi bijak dalam menumbuhkan semangat nasionalisme
religius itu. Untuk itu, makalah ini akan menjelaskan solusi dalam upaya menumbuhkan
semangat nasionalisme religius pemuda Indonesia berdasarkan teori dakwah yang dibangun
oleh Mustafa Masyhur

Kata kunci: Teori Dakwah Mustafa Masyhur, Islam, Nasionalisme Religius, Pemuda Indonesia.

A.    PENDAHULUAN
Pemuda merupakan harapan bangsa dan sebagai pilar kebangkitan Indonesia.
Sebagaimana yang ditegaskan al-Banna,1[1] pada diri pemuda terdapat empat hal (iman, ikhlas,
semangat dan amal) dan apabila keempat hal tersebut dioptimalkan, maka bisa menjadi sumber
kebangkitan bangsa.2[2] Bahkan, Soekarno juga mengatakan:
“Beri aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh
pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.”3[3]
Padahal faktanya, pemuda Indonesia tidak seperti yang diungkapkan al-Banna. Bahkan,
jika melihat pernyataan Sarwini yang dikutip melalui Ditjen Lapas Depkumham, pemuda
Indonesia banyak yang terlibat pada kejahatan dan pelanggaran hukum.4[4] Begitu juga yang
disampaikan R. Nasir, dkk., jika di Amerika Serikat, setiap lima menit remaja ditangkap karena
melakukan tindak pidana kekerasan dan setiap dua jam seorang anak ditembak dan dibunuh,
seperti itu juga yang terjadi di Indonesia.5[5]
Oleh karena itu, perlu adanya langkah khusus untuk mengatasi persoalan tersebut atau
solusi menumbuhkan semangat nasionalisme religius pemuda Indonesia agar menjadi pilar

5
kebangkitan bangsa. Makalah ini akan membahas solusi tersebut berdasarkan perspektif Mustafa
Masyhur.

B.     PEMBAHASAN
Pada bagian pembahasan ini akan dijelaskan dua hal, yaitu teori dakwah Mustafa
Masyhur, dan solusi menumbuhkan nasionalisme pemuda Indonesia bersadarkan teori tersebut.

1.        Teori Dakwah Mustafa Masyhur


Melihat sejarah Islam pada masa Rasulullah, menurut Masyhur kondisi saat ini hampir
sama dengan Islam periode Makkah. Persamaan itu dilihat dari keterasingan dakwah di
masyarakat, tekanan atau penganiayaan orang kafir kepada orang beriman, 6[6] jumlah muslimin
yang minoritas menghadapi penguasa yang makar. Untuk itu, perlu adanya tahap-tahap dakwah
dalam membentuk, membina dan menanamkan dasar keimanan yang kokoh. Tentu saja
memerlukan kekuatan iman, kesabaran dan kerapian, teliti dan cermat, dan kerja keras yang
kontinu dari pengemban dakwah tersebut. Mashhu>r mengutip pendapat al-Banna, dalam hal
membentuk umat, mendidik bangsa, dan mewujudkan cita-cita memerlukan umat yang aktif
dalam mewujudkan cita-cita itu.7[7]
Seharusnya setiap dakwah memiliki tiga tahap sebagai berikut: Pertama, tahap
penerangan kepada setiap lapisan masyarakat. Kedua, tahap pembinaan dan pembentukan kader
dakwah dari orang-orang yang terpilih. Ketiga, tahap pelaksanaan dalam mencapai tujuan yang
diinginkan. Ketiga hal tersebut harus disesuaikan satu sama lain dan tidak berjalan terpisah,
karena kekuatan dakwah tergantung padanya. Apabila salah satunya hilang, maka dakwah akan
kehilangan kekuatan.8[8]
a.        Tahap Pengenalan Dakwah
Pengenalan dakwah merupakan hal yang paling dasar dan paling awal dalam tahapan
dakwah. Oleh sebab itu kesalahan dalam memahami dan menjalankan tahap ini akan berdampak
fatal pada pemahaman dan pengamalan tahap berikutnya. Hal yang paling utama sebelum
menyampaikan dakwah, kader dakwah harus memahami kembali Islam secara benar dan

8
menjauhkan dari bentuk penyimpangan terhadapnya. Kader dakwah harus memahami Quran
secara benar, hadis-hadis, dan sejarah Rasulullah hingga orang-orang saleh lainnya. Inilah yang
disebut kemurnian dakwah, dakwah yang sampaikan harus berdasarkan kebenaran Islam.9[9]
Selain dari kemurnian dakwah, perlu adanya totalitas dan muruah bagi pengemban
dakwah. Sebagaimana dalam konsep “Islamic Identity”al-Banna, salah satunya mengatakan
bahwa Islam merupakan agama yang komprehensif, yaitu agama yang inklusif dan sudah
mengatur semua aspek kehidupan.10[10] Selain dari itu, al-Banna juga pernah menegaskan:

‫إذا ك ان اإلس الم ش يئا غ ري السياس ة وغ ري االجتم اع وغ ري االقتص اد وغ ري الثقاف ة فم ا ه و‬


]11[ .‫ أهلذا أيها اإلخوان نزل القرآن نظاما كامال حمكما مفصال‬...‫إذن؟‬
11

Artinya:
Apabila Islam itu sesuatu bukan politik, sosial, ekonomi, dan budaya, lalu apa?...
Ketahuilah wahai saudara-saudara bahwa Alquran itu diturunkan dengan tertib, lengkap,
sempurna, lagi terperinci.
Islam bukan hanya mengatur masalah keyakinan, tetapi akhlak, tingkah laku, perasaan,
pendidikan, sosial, politik, ekonomi, militer dan peradilan.12[12] Untuk itu, kebenaran Islam
harus disampaikan secara totalitas dan tidak sepotong-sepotong serta ikhlas karena Allah.
Kemudian pengemban dakwah harus juga menjadi contoh, model dan teladan di masyarakat.
Kehidupannya harus sesuai dengan pola kehidupan Rasulullah dan selalu komitmen dengan
ajaran Islam.13[13]
Pendakwah harus mempunyai banyak bacaan, mengikuti bermacam peristiwa, kondisi
dan situasi, mengetahui aliran pemikiran dan ideologi yang ada. Dia mengetahui dan
mengamalkan metode dakwah yang baik serta mengetahui kondisi objek dakwah. Dai harus
menanamkan terlebih dahulu pemahaman akidah, kewajiban dan sunah yang harus dikerjakan

10

11

12

13
objek dakwah. Kemudian yang paling pokok, dai tidak membedakan objek dakwah dalam minat
dan kesungguhannya.14[14]

b.        Tahap Pembentukan dan Pembinaan


Sebelum memasuki tahap ini, ada hal yang perlu dilihat psikologi dan emosi objek
dakwah tersebut. Realitasnya, hanya orang-orang tertentu yang mampu mengemban amanah ini,
mereka memahami seluruh aspek di atas, mampu melaksanakannya, dan rela mengorbankan diri,
harta serta kedudukan yang diembannya. Adapun kesungguhan, kerja keras dan usaha tidak akan
lahir kecuali dakwah merasuki pikirannya, hatinya, dan darah dagingnya. Setelahnya, barulah
dibentuk dan dibina, kesadaran rohani yang muncul setelah tahap penerangan harus terus dibina
dan dipelihara, serta angan sampai lingkungan tempat ia tinggal menjadikan kesadaran itu
musnah.15[15]

c.         Tahap Pelaksanaan


Setelah dua tahap di atas diterapkan, barulah melaksanakan tujuan yang hendak dicapai.
Tahap demi tahap yang dilakukan hanya merupakan bahan mentah dan yang memberikan
hidayah itu Allah. Akan ada beberapa cobaan dan ujian untuk membersihkan dan membedakan
yang beriman dan kafir, yang benar dan dusta. Masyhur mengutip perkataan al-Banna, betapa
banyak orang yang pandai berkata dan sedikit yang bisa mengamalkan dan melaksanakan.16[16]

2.     Solusi Mustafa Masyhur dalam Menumbuhkan Semangat Nasionalisme Religius Pemuda
Indonesia
Teori dakwah Mustafa Masyhur berusaha menumbuhkan semangat nasionalisme religius
pemuda Melalui pendekatan Islam. Filosofisnya, jika kepahaman agama pemuda sudah kuat dan
benar, maka akan mudah mengajaknya mencapai tujuan yang diimpikan. Ditambah lagi dengan
Islam memang sudah mengatur juga masalah nasionalisme religius. Hampir sama dengan
pendapat Jonathan Fox, bahwa peran agama dalam membangkitkan semangat nasionalisme di
dunia ini sangat besar, meskipun peran agama bukanlah satu-satunya faktor kebangkitan

14

15

16
tersebut. Tercatat, mulai dari tahun 1945-1980, pengaruh agama dan non-agama terhadap
semangat itu hampir seimbang. Akan tetapi, mulai dari tahun 1980-2001, peran agama
melampaui non-agama dan bahkan pengaruh tersebut terus meningkat.17[17]
Seperti yang terjadi di Indonesia, menurut Amry Vandenbosch, agama sangat
mendominasi dalam pemicu tumbuhnya semangat nasionalisme. Tegasnya, meskipun Indonesia
terbagi atas sejumlah besar pulau-pulau yang terpisah dan masyarakat yang sangat memegang
adat dan etnologinya masing-masing, dengan kekuatan agama, semuanya dapat disatukan. Selain
dari itu, agama juga mendominasi dalam semangat nasionalis partai. Sebagaimana halnya partai
nasionalis pertama di Indonesia yang didirikan oleh Budi Utomo, pada akhirnya dikalahkan juga
oleh partai baru, Sarekat Islam. Unsur religius mungkin di dalam pergerakan atau partai hanya
sebagai daya tarik ke masyarakat, tetapi faktanya, partai baru dengan dasar Islam berkembang
sangat pesat.18[18]
Mengutip pendapat Roger Friendland, diharapkan nasionalisme religius membentuk
komunitas berbasis agama, dipahami sebagai sarana ciptaan Tuhan, baik sebagai model
pemerintahan dan sebagai unit bangsa. Nasionalisme religius menciptakan teritorial bangsa yang
bersih dan pada praktik politiknya, mengubah ruang ibadah menjadi ruang publik yang
dipolitisasikan pada sebuah bangsa.19[19] Adapun langkah konkrit dalam menumbuhkan
semangat nasionalisme religius pemuda berdasarkan teori dakwah Mashhu>r adalah sebagai
berikut:

a.        Pengenalan Dakwah


Pengenalan dakwah bukan berarti memperkenalkan tata cara berdakwah pada pemuda,
tetapi memperkenalkan ajaran Islam yang komprehensif kepadanya. Dikarenakan mayoritas
pemuda Indonesia berada di sekolah, pesantren dan kampus, maka terlebih dahulu
memperkenalkan Islam di tempat tersebut. Jika ingin melihat pengalaman negara yang mulai
berhasil menerapkan itu bisa dilihat di Malaysia. Di malaysia, masyarakat dan pemerintahnya
telah makin sadar bahwa modal akhlak akan mampu membawa kemajuan bangsa. Hal tersebut

17

18

19
terlihat pada sekolah-sekolahnya sangat memperhatikan pengajaran akhlak pada bidang studi
Agama Islam.20[20]
Indonesia tampaknya harus mencontoh Malaysia sebagai negara yang menerapkan hal
tersebut. Meskipun fokus utamanya bukan akhlak, tetapi pada setiap sekolah dan kampus di
Indonesia harus mendapatkan pemahaman agama yang benar dan kuat meliputi seluruh
aspeknya, karena agama diyakini mampu memberikan perubahan positif itu. Dalam penelitian
yang dilakukan oleh Munamah membuktikan bahwa aktivitas keagamaan (salat dan zikir) secara
kontinu mampu menanggulangi kenakalan remaja di sekolah.21[21]
Hanya saja seorang pengemban dakwah, baik guru, dosen, dan aktivis lainnya, harus
memahami kemurnian Islam terlebih dahulu sebelum menyampaikan ke murid, mahasiswa, atau
lainnya. Bagaimana mungkin mendatangkan pemahaman yang benar pada objek yang
didakwahi, sedangkan ia sendiri masih masih belum memahami dan mempraktikkan secara
benar, terutama sekali menanamkan semangat nasionalisme religius. Dalam artian lain bahwa
pengemban dakwah tidak menyesatkan umat dengan kebodohannya.
Di sisi yang lain, dakwah tidak akan sukses apabila tidak menyingkirkan dahulu
tantangan bagi pendidikan di Indonesia sendiri. Untuk itu, tidak heran dalam teori pengenalan
dakwah ini, pengemban dakwah harus mengetahui situasi dan kondisi yang dihadapi dengan
banyak survei dan membaca. Hery Noer Aly dan Munzier S. menyebutkan enam tantangan
tersebut, yang meliputi: 1). Kebudayaan Islam berhadapan dengan budaya Barat yang didukung
oleh media masa (cetak maupun elektronik). 2). Tantangan yang bersifat internel, yaitu adanya
upaya penghalangan dari beberapa pihak dalam produktivitas pemikiran keislaman. 3). Adanya
pengaruh negatif budaya luar yang dibawa oleh pelajar Muslim khususnya Indonesia yang
belajar di negeri Asing. 4). Sistem kebudayaan Islam yang masih terpaku dengan metode
tradisional dan tidak mau menerima ide-ide modern. 5). Kurikulum universitas yang masih
mengabaikan kebudayaan Islam dan anggapan bahwa tugas pembekalan keagamaan itu tugasnya
universitas Islam. 6). Tidak adanya pendidikan yang memfokuskan untuk anak-anak putri,
padahal mereka akan menjadi ibu rumah tangga dan juga akan bertanggungjawab dengan
pendidikan anaknya kelak.22[22]

20

21

22
Meskipun demikian, harus ada usaha dan kerja keras untuk mengatasinya. Misalnya
metode pengajaran harus ditingkatkan, artinya baik guru maupun tenaga pendidik lainnya harus
mengetahui benar kondisi muridnya. Inilah yang disebut dengan ilmu psikologi pendidikan. Saat
murid sedang tegang, harus mampu membawa mencairkan suasana dengan candaan misalnya,
karena Rasulullah juga pernah bercanda. Tentu harus mengerti betul tata cara bercanda yang
dimaksud di sini.23[23]
Selain dari tugas pengajar baik di sekolah maupun di kampus, ada juga hal lain yang
dapat memberikan pengaruh positif pada pemuda, yaitu teman atau sahabatnya sendiri. Dirasa
pengaruh itu akan berdampak lebih besar, karena waktu bersama teman lebih banyak
dibandingkan dengan guru/ dosen, tetapi harus tahu juga kiatnya. Ahmad Atian menyebutkan
lima hal yang harus diterapkan oleh seorang teman ke temannya yang lain, yang meliputi: 1).
Dakwah prestasi, yaitu dakwah yang berusaha mewujudkan berbagai prestasi gemilang dalam
kehidupan teman (dai) sehingga dapat memberikan simpatik tersendiri ke temannya yang lain.
2). Perjuangan, yaitu dai harus berjuang keras untuk menyelamatkan rekannya dari keterpurukan.
3). Dakwah kaya, yaitu selain dari memberikan simpatik dengan prestasi, adakalanya kekeyaan
juga menjadi pemikat bagi teman yang lain, lebih-lebih terhadap teman yang lagi kesusahan dari
segi ekonomi. 4). Ketokohan sosial, yaitu dai harus menjadi tokoh yang menjadi panutan. 5).
Kepemimpinan sejati, hampir sama dengan dakwah melalui suatu sistem, yaitu sang dai harus
menjadi pemimpin di organisasi tertentu sehingga akan lebih mudah mengorganisir temannya. 24
[24]
Pengemban dakwah harus juga memanfaatkan dari sejumlah kegiatan yang berpengaruh
bagi pemuda. Dengan itu, pengemban dakwah bisa juga berdakwah melalui pendekatan itu.
Taufiq al-Wa‘i telah menjelaskan tempat-tempat yang berpengaruh bagi generasi muda yang
harus dimanfaatkan oleh pengemban dakwah, yaitu: pada kegiatan olah raga, seni dan kreasi,
lagu dan nasyid, acara hiburan, lukisan dan dekorasi, kegiatan ekstra (seperti rihlah), kegiatan
jurnalistik dan media, dan kegiatan keagamaan.25[25]
Meskipun demikian, pengemban dakwah jangan menbedakan objek dakwah. Kebenaran
Islam harus diketahui oleh semua orang tanpa memilih dan memilah objek dakwah. Pengemban

23

24

25
dakwah harus belajar juga dari sejarah Rasulullah yang pernah ditegur karena memilih objek
dakwah seperti yang tertera dalam surat ‘Abasa.26[26] Kemudian, pendakwah jangan
menjelaskan terlebih dahulu masalah yang bersifat pro dan kontra dalam ibadah. Cukup awal-
awal memberikan pemahaman akidah, kewajiban dan sunah yang paling mudah dan paling
mungkin diterapkan. Tidak akan berarti ketika ikhtilafiyah (perbedaan) dalam konsep Islam
dijelaskan apabila susah diterapkan. Akan lebih baik terlebih dahulu memberikan pemahaman
yang simpel, tetapi mudah diamalkan secara kontinu.

b/c. Tahap Pembentukan dan Pembinaan serta Pelaksanaan


Secara lambat laun, objek dakwah akan tersisihkan sendiri mana yang menerima
dakwah dan tidak. Perjalanan waktu telah menyisihkan hal itu. Diantaranya akan ada yang
beralasan karena tidak punya waktu, terhalang dengan kegiatan les dan belajar, orang tua yang
melarang, dan hal-hal lain. Untuk itu, jangan heran jika dalam tahap ini hanya sedikit bisa
dibentuk (dikaderkan) dan dibina. Senada dengan Masyhur, Najih Ibrahim juga mengatakan
kendati dakwah telah disampaikan ke banyak orang, tetap saja hanya sedikit yang menerima dan
dari golongan yang menerima tersebut hanya sedikit juga yang mengamalkan secara sungguh-
sungguh. Bahkan, saking sedikitnya mereka bisa dihitung dengan jari dan namanya gampang
dihafal. Kalau ditanya pun ke mereka tentang peran, tugas, tanggung jawab, sumbangsihnya
terhadap agama Islam, maka mereka akan menjawab “kami hanya pendengar.”27[27]
Dari jumlah yang sedikit tersebut, barulah akan dibentuk dan bina, serta pada akhirnya
bersama-sama menuju semangat nasionalisme religius. Seiring perjalanan waktu, dengan terus
menambah pemahaman sesuai metode dan cara pada tahap pertama, semangat nasionalisme
religius akan muncul dengan sendirinya. Di tambah lagi wataniyat al-hanin (nasionalisme
kerinduan) memang sudah tertanam di dalam hati dan sebagai fitrah manusia. Selain dari itu,
Islam juga memerintahkan hal tersebut.28[28]

C.     KESIMPULAN

26

27

28
Teori dakwah Mustafa Masyhur merupakan teori dakwah yang komplit dan tetap relevan
dengan zaman kekinian. Dalam menumbuhkan semangat religius pemuda, teori menawarkan
tiga tahap, yaitu tahap pengenalan dakwah, tahap pembentukan dan pembinaan, dan tahap
penerapan. Pada akhirnya jika tahap-tahap ini diikuti, akan menyelamatkan pemuda Indonesia
dari pengaruh negatif sekaligus menjadikan pemuda yang memperjuangkan dan memajukan
bangsa Indonesia.
Kemajuan teknologi menjadikan dunia bagai sebuah desa yang besar (big village).
Globalisasi membuat seolah tiada lagi sekat-sekat kedaerahan. Kecepatan arus informasi,
perdagangan bebas (free trade area), asimilasi budaya, hingga semakin pendeknya waktu tempuh
antar negara (bahkan antar benua) membawa konsekuensi lahirnya sebuah era dimana semangat
kebangsaan semakin ketinggalan zaman.
Pemuda menjadi objek terdampak utama. Mereka yang lahir di era teknologi ini
dihadapkan pada sebuah kondisi dimana hampir tidak ada lagi ruang-ruang sosialisasi nyata.
Semuanya mulai tergantikan dengan pola komunikasi semu yang diwujudkan oleh seperangkat
gadget. Facebook, Twitter, Instagram, dan sederet social media lainnya telah sukses menggusur
pola hubungan tatap-muka. Whatsapp, BBM, Line, dan puluhan sarana online chatting sejenis
juga merubah wajah komunikasi verbal antar manusia. Seluruh sosialisasi manusia, khususnya
para pemuda, telah diambil alih oleh seperangkat teknologi dan sebuah sambungan internet.

Definisi Pemuda

Kata Pemuda sesungguhnya memiliki banyak definisi. Pertama, pemuda adalah individu
yang bila dilihat secara fisik maupun psikis sedang mengalami fase perkembangan. Merekalah
sumberdaya manusia utama, calon generasi penerus menggantikan generasi sebelumnya. Secara
internasional, WHO menyebut sebagai ‘young people’ dengan batas usia 10-24 tahun, sedangkan
usia 10-19 tahun disebut ‘adolescenea’ atau remaja. International Youth Year yang
diselenggarakan tahun 1985, mendefinisikan penduduk berusia 15-24 tahun sebagai kelompok
pemuda. Sedangkan menurut UU Kepemudaan, pemuda adalah mereka yang berusia antara 18
hingga 35 tahun.
Definisi yang lain, pemuda adalah individu dengan karakter yang dinamis, optimis, penuh
semangat walau kadang bergejolak namun belum memiliki pengendalian emosi yang stabil.
Pemuda menghadapi masa perubahan sosial maupun kultural. Menilik dari sisi usia maka
pemuda merupakan masa perkembangan secara biologis dan psikologis. Oleh karenanya pemuda
cenderung memiliki aspirasi yang berbeda dengan aspirasi masyarakat secara umum. Dalam
makna yang positif aspirasi yang berbeda ini disebut dengan semangat pembaharu.
Dalam kosakata bahasa Indonesia, pemuda juga dikenal dengan sebutan generasi muda
dan kaum muda. Seringkali terminologi pemuda, generasi muda, atau kaum muda memiliki
definisi beragam. Definisi tentang pemuda diatas lebih pada definisi teknis berdasarkan kategori
usia sedangkan definisi lainnya lebih fleksibel. Dimana pemuda atau generasi muda adalah
mereka yang memiliki semangat pembaharu dan progresif.

Tantangan Pemuda

Kemajuan teknologi sebagaimana disampaikan diatas, membawa tantangan bagi generasi


muda Indonesia. Tantangan utamanya adalah bagaimana para pemuda ini menjawab
perkembangan teknologi, ikut serta didalamnya, mampu mengaplikasikan dan mendorong
Indonesia sejajar dengan negara-negara maju dalam pemanfaatannya, namun tidak hanyut
terseret arus teknologi yang kian deras. Pemuda Indonesia harus melek teknologi, tapi jangan
sampai menghilangkan semangat kebangsaannya.
Tantangan bagi generasi yang oleh Anis Matta menyebutnya sebagai generasi
Gelombang Ketiga Indonesia ini semakin bertambah dengan semakin cepat dan bebasnya
informasi yang diperoleh. Internet menyajikan berita dalam hitungan detik dan bisa dikonsumsi
oleh semua kalangan dimanapun dan kapanpun. Tentu saja ini positif untuk mendongkrak
kualitas hidup manusia Indonesia. Tapi disisi lain, kemudahan akses internet yang tersaji tanpa
filter membawa konsekuensi yang tidak ringan.
Pornografi menempati ranking teratas ancaman internet tanpa filter bagi pemuda. Dewasa
ini, paham-paham radikal yang tidak sejalan dengan ideologi bangsa Indonesia juga mulai
merangkak menjadi salah satu ancaman yang membahayakan. Dampak lainnya adalah, cinta
tanah air dan semangat kebangsaan semakin tergerus. Melihat betapa majunya negara lain disatu
sisi, dan membandingkan carut marutnya kondisi perpolitikan Indonesia disisi yang lain,
membuat nasionalisme semakin kerdil. Cinta Indonesia semakin usang.

Nasionalisme Religius

Nasionalisme Indonesia sesungguhnya berbeda dengan nasionalisme bangsa-bangsa


Eropa dan Amerika. Nasionalisme Indonesia dilandasi dengan semangat keberagaman dan
keber-agama-an. Semangat yang lahir dari Pancasila sebagai ideologi negara, dengan
menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, dan menjadi tonggak bagi sila-
sila selanjutnya.
Kelahiran Pancasila sebagai dasar bagi negara Indonesia merdeka tidak bisa dilepaskan
dari gagasan tentang konstruksi negara-bangsa (nation-state). Gagasan ini lahir melalui
serangkaian perdebatan dan diskusi panjang dengan sebagian kalangan yang lebih mengusulkan
Indonesia menjadi negara Islam. Gagasan tentang konsep negara-bangsa ini diadopsi dari negara-
negara Eropa yang telah terlebih dulu menggunakannya
Itulah sebabnya para pengusul Pancasila sebagai dasar negara dalam sidang-sidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), di antaranya Soekarno dan Hatta,
disebut sebagai kalangan nasionalis. Kalangan nasionalis menjadi mitra debat kalangan islamis.
Disebut kalangan islamis karena mereka menggagas konstruksi Indonesia merdeka sebagai
negara-Islam (Islamic-state) atau Islam sebagai dasar negara.
Walaupun sebagian besar kalangan nasionalis juga beragama Islam, mereka tidak disebut
sebagai kalangan islamis dalam konteks ini karena gagasan tentang konstruksi Indonesia
merdeka tidak berorientasi “hanya kepada Islam”.  Tetapi berbeda dari konsep negara-bangsa
yang diterapkan di Eropa yang menghilangkan peran agama, maka nasionalisme Indonesia yang
diwujudkan dalam butir-butir Pancasila tetap menekankan peran agama, walau tidak dibatasi
pada pengkhususan agama tertentu.
Latar belakang sejarah kelahiran konsepsi negara-bangsa di Eropa adalah penentangan
kaum reformis terhadap konsep penyatuan (integralistik) antara gereja (Katolik) dan negara.
Dengan kata lain, gagasan tentang negara-bangsa di Eropa muncul karena tuntutan pemisahan
antara agama dan negara. Penyatuan antara keduanya telah menyebabkan berbagai bentuk
penyelewengan kekuasaan. Kebijakan pemimpin agama sekaligus pemimpin negara (dalam hal
ini para Uskup) yang menolak segala bentuk pendapat dari para ilmuwan yang berbeda dari
tafsiran kitab suci, berujung pada pemberangusan seluruh perkembangan ilmu pengetahuan, dan
mengeksekusi para pengusungnya.
Pertentangan ilmu pengetahuan dan gereja ini menyeret Eropa kedalam masa kegelapan.
Kondisi yang mendorong para reformis untuk melakukan perubahan secara radikal dengan
memisahkan secara mutlak antara institusi negara disatu sisi, dan institusi agama disisi lain.
Mereka berpandangan bahwa negara dan agama berbeda secara diametral, tidak mungkin
disatukan, dan upaya-upaya penyatuannya hanya akan berujung pada kemunduran. Konsep
sekularisme inilah yang menjadi dasar negara-negara Eropa hingga saat ini.
Karakter negara-bangsa sebagai konstruksi Negara Republik Indonesia sesungguhnya
berbeda secara sangat signifikan dengan konsepsi negara-bangsa yang terbangun di Eropa
tersebut. Dengan konsepsi negara-bangsa berdasarkan Pancasila yang sila pertamanya adalah
Ketuhanan Yang Maha Esa, para pendukung gagasan negara-bangsa di Indonesia tidak hendak
memisahkan agama dan negara, sebagaimana terjadi di Eropa, melainkan hanya tidak
menjadikan agama tertentu sebagai dasar negara Indonesia merdeka.
Para tokoh pengusung Pancasila sebagai dasar negara Indonesia meyakini, agama tidak
mungkin dipisahkan dengan negara. Dengan melandasi pada pengamalan nilai-nilai keagamaan,
negara bisa menjalankan perannya dengan lebih baik, dimana agama tetap menjadi kontrol
terhadap negara.
Dalam konteks ini, nasionalisme Indonesia dengan dasar Pancasila adalah nasionalisme
religius, yakni nasionalisme yang tetap menjadikan agama sebagai dasar. Namun, agama yang
dimaksud di sini bukanlah satu agama tertentu, melainkan seluruh agama yang diakui oleh
negara. 

Phobia Islam

Karena konstruksi Indonesia adalah negara-bangsa berdasarkan Pancasila, maka seluruh


regulasi dan kebijakan memang tidak mengatasnamakan agama tertentu. Namun, itu bukan
berarti nilai-nilai agama tidak boleh masuk ke dalam regulasi-regulasi yang ada. Sebagai negara
yang religius, regulasi-regulasi yang dibuat juga seharusnya selalu mempertimbangkan moralitas
agama-agama yang diakui oleh negara.
Ini bisa menjadi jembatan penghubung antara para pengusung nasionalisme dan para
pejuang Islamic-state (negara Islam). Agama Islam sebagai agama mayoritas yang dianut oleh
masyarakat Indonesia, harus diperhatikan secara serius, tanpa bermaksud mereduksi peran agama
lain yang juga diakui di negara Indonesia. Kebijakan negara harus berpijak pada nilai-nilai
agama, dengan tetap terus memperhatikan rasa keber-agama-an masyarakatnya.
Dengan demikian, agama akan tetap berfungsi kontributif dalam memberikan rasa, bukan
warna, kepada setiap pembuatan produk kebijakan politik kenegaraan. Ini sangat penting karena
rasa bisa sama dalam warna yang berbeda. Artinya, sebuah aturan bisa dibuat sangat Islami,
tanpa perlu memberikan label Islam. Sebuah undang-undang bisa sesuai syariah Islam, tanpa
harus menamakannya Undang-Undang Syariah.
Sebaliknya, jangan pula terjadi, atas nama nasionalisme maka peran-peran agama, atau
tuntutan-tuntutan kearahnya, kemudian direduksi sedemikian rupa atau kalau perlu dihilangkan
sama sekali. Segala sesuatu yang berbau agama (dalam hal ini Islam) dianggap menjadi sebuah
ancaman serius terhadap keberlangsungan negara. Islam dibatasi hanya pada ruang-ruang
individu, dengan terus membatasi peran-perannya dalam bermasyarakat dan bernegara.
Islam seolah telah berubah menjadi momok yang menakutkan. Terlebih dengan semakin
ramainya pemberitaan terkait aksi-aksi teror yang mengatas-namakan Islam, memunculkan
phobia yang dalam terhadap Islam. Dampaknya, muncul ketakutan yang berlebihan terhadap
segala sesuatu yang berbau Islam. Parahnya lagi, jika itu terjadi di negara yang berpenduduk
mayoritas beragama Islam seperti Indonesia.
Melabelkan terorisme dengan Islam, justru semakin mendorong tumbuhnya radikalisme
pada sebagian kelompok atau gerakan Islam. Walau memang selalu dibantah bahwa teroris tidak
sama dengan Islam, namun realitas yang dibaca oleh kelompok-kelompok Islam tersebut adalah
Islam-lah yang selalu menjadi kambing hitam dari semua masalah terorisme.
Persepsi Islam sebagai agama yang damai tergantikan dengan wajah Islam yang keras,
radikal, teror, dan menakutkan. Segala upaya untuk menumbuhkan semangat keberislaman
ditanggapi sebagai upaya untuk menghidupkan teror. Setiap gerakan yang menyeru kepada
Islam, dianggap akan menyuburkan perilaku teror. Ditambah, parahnya, seluruh simbol-simbol
Islam diarahkan pada sesuatu yang harus diwaspadai. Bahkan, nama-nama yang (agak) Islami
pun turut dicurigai, sebagaimana yang terjadi pada automatic gate bandara Soekarno-Hatta baru-
baru ini.
Radikalisme sebagian gerakan Islam (walau seringnya digeneralisir menjadi radikalisme
Islam) tumbuh subur karena adanya perlakuan diskriminatif negara Barat terhadap Islam. Standar
ganda yang diterapkan Amerika, misalnya, dengan selalu mengaitkan kepada aksi terorisme
terhadap semua kejahatan yang pelakunya –kebetulan– beragama  Islam, sedangkan sikap yang
berbeda ditunjukkan pada kejadian yang pelakunya tidak beragama Islam, menjadi akar dari
perilaku radikal tersebut.
Sikap diskriminatif terhadap Islam inilah yang seolah menjadi pupuk yang menyuburkan
perilaku radikal dikalangan umat Islam. Ketidak-pahaman Barat terhadap Islam dalam taraf
tertentu bisa dimaklumi menjadi sumber ketakutan. Belum lagi tesis dari Samuel Huntington
tentang clash of civilitation yang menempatkan Islam sebagai ‘musuh’ Barat berikutnya setelah
runtuhnya Komunisme.
Pada akhirnya, seluruh ketidak-adilan negara-negara Barat beserta sikapnya yang seolah
terus memusuhi Islam, memancing reaksi yang berlebihan juga dikalangan kelompok ekstrimis
Islam. Seluruh simbol-simbol Barat dianggap menjadi simbol permusuhan terhadap Islam.
Perang terhadap Barat diwujudkan dalam skala kecil dengan melakukan penyerangan terhadap
seluruh kepentingan Barat, termasuk kepada pemerintahan yang mendukung sikap Barat. Dalam
skala yang lebih luas, Amerika Serikat sebagai pemimpin negara-negara Barat menjadi target
yang harus dihancurkan.
Pertentangan seperti ini terus saja meluas dan seolah tidak mendapatkan titik temu.
Semakin keras Amerika memerangi terorisme (yang dalam hal ini dianggap memerangi Islam),
maka semakin keras pula perlawanan yang ditunjukkan oleh gerakan-gerakan ekstrimis Islam.
Parahnya lagi, peperangan ini kemudian menyeret dan membagi negara-negara kepada blok
baru: mendukung Barat, atau mendukung Islam.

Melawan Radikalisme dengan Nasionalisme Religius

Arus informasi yang cepat membawa juga pertentangan ini keranah dalam negeri
Indonesia. Seiring derasnya informasi yang masuk, membawa paham-paham radikal ini tumbuh
subur di Indonesia. Pemerintah Indonesia dianggap oleh sebagian aktivis gerakan Islam yang
mendukung aksi radikal tersebut merupakan perwakilan dari pemerintah Barat yang anti Islam.
Upaya pemerintah untuk menanggulangi gerakan terorisme dengan dibentuknya BNPT
(Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), tidak kemudian menyelesaikan masalah, tetapi
malah menjadi penyulut tambahan api radikalisme. BNPT dianggap menjadi senjata baru
pemerintah untuk memberangus gerakan Islam.
Sikap Pemerintah Indonesia yang dinilai malah mengikuti langkah Barat dengan
melakukan standar ganda terhadap Islam menjadi musuh gerakan radikal di negeri ini. Sebutlah
misalnya standar ganda yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia ketika ada sebuah bom yang
meledak, atau ketika ada kasus penembakan terhadap aparat kepolisisn. Ketika dilakukan oleh
‘oknum’ yang beragama Islam, dengan serta merta dikaitkan dengan gerakan terorisme. Sedang
jika pelakunya bukan beragama Islam, hanya dianggap sebuah gerakan separatisme.
Perilaku represif yang juga ditunjukkan secara berlebihan oleh BNPT semakin
menguatkan kesan bahwa lembaga ini dibentuk hanya untuk memerangi aktifis Islam. ‘Drama’
penangkapan pelaku terorisme yang sangat berlebihan, hingga pengejaran dan penggerebekan
sampai kedalam masjid dan pesantren, tidak kemudian membunuh paham radikalisme yang telah
berkembang, tetapi justru membuat paham ini semakin menjadi-jadi.
Pola pendekatan penanggulangan terorisme sudah semestinya diubah menjadi pendekatan
yang lebih humanis. Penyelesaian harus dilakukan mulai akar masalahnya. Radikalisme (Islam)
tidak mungkin bisa dihentikan dengan pola radikalisme yang justru dilakukan oleh negara.
Semakin represif negara menindak gerakan Islam, maka akan semakin kuat juga aktifis gerakan
ini melawan.
Pendekatan yang lebih tepat, menurut hemat penulis, adalah dengan mengembalikan
semangat nasionalisme religius di negeri ini. Bukannya memberangus gerakan Islam, tetapi
malah harusnya merangkul gerakan ini untuk turut bersama membangun negeri. Mengembalikan
proporsi agama dalam negara sebagaimana yang diamanatkan oleh Pancasila, dengan melibatkan
seluas mungkin peran-peran tokoh agama dalam penyusunan kebijakan.
Memberikan kesempatan peran kontributif secara proporsional terhadap pemimpin-
pemimpin gerakan Islam (bersama pimpinan-pimpinan agama yang lain) akan meminimalisir
aksi-aksi radikalistik yang dilakukan oleh aktifisnya. Tapi tentu saja hal ini harus dilakukan
dengan sungguh-sungguh, dan tidak hanya formalistik semata.
Langkah berikutnya adalah mendukung penuh upaya-upaya penyebaran Islam yang
moderat, yang rahmatan lil ‘alamin. Memberikan pemahaman yang utuh terhadap Islam
sesungguhnya adalah langkah yang paling efektif untuk melakukan deradikalisasi. Jangan
sampai muncul ungkapan tirani minoritas terhadap mayoritas. Islam tidak lagi dijadikan sub-
ordinat, mendorong umat Islam menjadi tuan di negeri sendiri.

Nasionalisme Religius dikalangan pemuda


Perlu disadari, bahwa paham radikalisme tumbuh berkembang paling subur adalah
dikalangan pemuda. Semangat pembaharu yang dimiliki para pemuda menjadikan mereka adalah
cadangan keras (iron stock) sekaligus agen perubah (agen of change) yang sangat efektif untuk
membangun negeri.
Para pemuda Indonesia secara umum terbagi menjadi 3 golongan besar. Pertama, mereka
yang sangat aktif dalam gerakan keislaman. Umumnya golongan ini anti terhadap nasionalisme,
dan menganggap nasionalisme tidak sejalan dengan Islam. Pada golongan inilah radikalisme
tumbuh dengan subur. Selama ini, golongan inilah yang menjadi objek operasi dari proyek
penanggulangan terorisme yang dilakukan oleh BNPT, dan golongan inilah yang paling keras
melawan sehingga radikalisme semakin subur.
Golongan yang kedua adalah mereka yang semangat nasionalismenya tinggi, namun
sangat anti dengan gerakan Islam. Mereka berpandangan bahwa gerakan Islam justru
mengancam keutuhan NKRI. Negara harus dibangun dengan prinsip-prinsip sekularisme
sebagaimana yang diterapkan di Barat. Aksi-aksi dari golongan ini nyatanya justru sering
berhadapan secara diametral dengan golongan yang pertama.
Golongan ketiga, yang masih merupakan golongan terbesar saat ini, adalah mereka yang
tidak terlalu consern terhadap gerakan Islam, tetapi juga bersikap masa bodoh terhadap
perkembangan negeri. Mereka larut dengan globalisasi, sibuk dengan dunianya sendiri, bahkan
cenderung bersifat anti sosial. Sosialisasi mereka hanya dilakukan di dunia maya. Sedangkan
dunia nyatanya hanya dihabiskan pada model ‘buta cinta’ (buku, pesta, dan cinta).
Pemerintah Indonesia seharusnya mengupayakan dengan serius lahirnya golongan yang
keempat, yaitu golongan pemuda yang nasionalis, namun tetap religius dan mampu
mengembangkan teknologi. Generasi ini merupakan generasi terbaik untuk membangun negeri
ini. Semangat nasionalisme pemuda, jika diimbangi dengan religiusitas yang kuat, akan
melahirkan sebuah generasi dengan kekuatan perubah yang besar.
Pertanyaan paling penting adalah, bagaimana menumbuhkan semangat nasionalisme
religius ini ditengah gempuran globalisasi yang demikian hebat?
Langkah awal yang harus ditempuh adalah menumbuhkan semangat keberislaman para
pemuda. Pemahaman yang utuh terhadap Islam, sejatinya akan melahirkan rasa cinta tanah air.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sa’id Hawwa didalam buku Al-Islam, bahwa “Islam adalah
sistem yang syamil (menyeluruh), mencakup semua aspek kehidupan. Ia adalah negara dan tanah
air, pemerintah dan umat, moral dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan
undang-undang, ilmu pengetahuan dan hukum, materi dan kekayaan alam, penghasilan dan
kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran.
Sebagaimana juga aqidah yang murni dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak lebih.”
Nasionalisme yang lahir sebagai buah dari pemahaman Islam yang utuh, akan menjadi
nasionalisme religius yang kokoh, tidak mudah tergerus oleh globalisasi, dan mempunyai
imunitas yang mumpuni terhadap paham-paham radikalisme. Ia adalah sebuah kekuatan yang
besar, yang mampu mendorong bangsa beberapa tingkat lebih maju.
Dengan memfokuskan diri pada pembangunan nasionalisme religius dikalangan pemuda,
pemerintah sesungguhnya telah menyelesaikan beberapa PR sekaligus. Pemuda sebagai tulang
punggung bangsa menjadi lebih optimal dan berdaya, paham radikalisme yang merusak bisa
diminimalisir bahkan dihilangkan, semangat nasionalisme bangsa bisa semakin ditumbuhkan,
dan ideologi Pancasila bisa ditegakkan.
Saatnya membangun bangsa. Bukan saatnya lagi ada pertarungan sesama anak bangsa,
apalagi pertarungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Saatnya Indonesia mampu berbicara
lebih banyak dipentas dunia. Saatnya membangun bangsa, dengan menumbuhkan semangat
nasionalisme religius dikalangan pemuda.

Selamat ulang tahun ke-70,


negeriku. Selamat ulang tahun,
Indonesiaku.
Wallahu a’lam bish-showab.

Pemuda adalah individu yang bila dilihat secara fisik sedang mengalami perkembangan dan secara psikis
sedang mengalami perkembangan emosional, sehingga pemuda merupakan sumber daya manusia
pembangunan baik saat ini maupun masa datang.
arti PEMUDA Dalam pandangan ISLAM 

PEMUDA..?? saya mengajak anda sekalian pembaca terlebih dahulu untuk merenungi, apa 
yang terlintas di benak pembaca sekalian tentang pemuda?

Islam adalah agama yang sangat memeperhatikan dan memuliakan para pemuda.
Begitupun al-Qur'an sendiri juga banyak menceritakan gambaran-gambaran mengenai
pemuda, Begitu juga ada banyak hadist yang menceritakan tentang pemuda, sebagaimana
salah satu hadist ini, Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda dalam hadits
Abdullah bin Mas’ud -radhiallahu ‘anhu-, “Tidak akan beranjak kaki anak Adam pada Hari
Kiamat dari sisi Rabbnya sampai dia ditanya tentang 5 (perkara) : Tentang umurnya dimana
dia habiskan, tentang masa mudanya dimana dia usangkan, tentang hartanya dari mana dia
mendapatkannya dan kemana dia keluarkan dan tentang apa yang telah dia amalkan dari
ilmunya”. (HR. At-Tirmizi) Hadits di atas jelas menunjukkan bahwa masa muda merupakah
salah satu nikmat terbesar yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah,
sekaligus menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan usia muda dan para pemuda.
Sepanjang sejarah manusia, pemuda adalah pelopor, karena banyak di temukan berbagai
perubahan yang terjadi di setiap bangsa, pemuda adalah penggeraknya. Di balik setiap
transformasi sosial, motor utamanya tak lain adalah pemuda. Ibarat sang surya, maka
pemuda bagaikan sinar matahari yang berada pada tengah hari dengan terik panas yang
menyengat. Berbagai bakat, potensi, kecenderungan, baik mengarah kepada kebaikan
maupun kepada kejahatan memiliki dorongan yang sama kuatnya ketika pada masa muda.
Itulah sebabnya, kegagalan dan keberhasilan seseorang, kematangan kepribadian manusia
pada masa tua ditentukan oleh masa mudanya.

      

Pemuda juga ketika kita mendengar katanya bisa lansung banyak mengartikan  dari
sejarah-sejarah yang pernah ada akan kehebatan dari seorang pemuda, dari nilai umum
yang kita ketahui akan kehebatan-kehebatan yang dimiliki oleh seorang pemuda yaitu
energy  yang berlebih, semangat yang membara, kekuatan yang tiada habisnya, daya kreasi
yang tak pernah terhenti dan generasi untuk kepemimpinan masa depan, tapi itu semua
tetap kita kembalikan lagi kepada bagaimana pembentukan karakter pribadi dari pemuda
itu sendiri yang itu akan menjelaskan bagimana dia akan terbentuk seperti yang
diharapkan, bahkan salah seorang ulama mengatakan bahwa tampilnya kebaikan umat,
tergantung bagaimana kebaikan akhlak pemudanya. Hal ini membuktikan bahwa pemuda
adalah sebuah bagian penting dalam kehidupan masyarakat sebagai keberlansungan hidup
yang sejahtera.
1. 1.       Surah  Yunus ayat 83 ;

ِ ‫ض َوِإنَّهُ لَ ِمنَ ْال ُمس‬


َ‫ْرفِين‬ ٍ ‫ف ِّمن فِرْ عَوْ نَ َو َملَِئ ِه ْم َأن يَ ْفتِنَهُ ْم َوِإ َّن فِرْ عَوْ نَ لَ َع‬
ِ ْ‫ال فِي االٌّر‬ ٍ ْ‫فَ َمآ ءا َمنَ لِ ُمو َسى ِإالَّ ُذرِّ يَّةٌ ِّمن قَوْ ِم ِه َعلَى َخو‬

“Maka tidak ada yang beriman kepada Musa, melainkan pemuda-pemudadari kaumnya (Musa)
dalam keadaan takut bahwa Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya akan menyiksa mereka.
Sesungguhnya Fir’aun itu berbuat sewenang-wenang di muka bumi. Dan sesungguhnya dia
termasuk orang-orang yang melampaui batas.”

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ٌ‫ ُذ ِّريَّة‬pada ayat tersebut adalah para
pemuda yang memiliki keimanan dan keyakinan yang teguh terhadap agamanya meskipun
berada dibawah ancaman Fir’aun dan para pengikutnya.

Jadi yang dimaksud pemuda dalam Al Qur’an pada ayat ini adalah mereka yang memiliki
keimanan dan keyakinan yang kuat terhadap agamanya. Seorang pemuda tidak gentar dengan
ancaman, gangguan, dan rintangan yang menghadangnya. Keimanan dan keyakinan yang kokoh
adalah syarat utama seorang pemuda.

1. 2.       Surah Yusuf ayat 36;

 ُ‫ق َرْأ ِسي ُخبْزاً تَْأ ُك ُل الطَّ ْي ُر ِم ْنه‬


َ ْ‫ص ُر َخ ْمراً َوقَا َل اآل َخ ُر ِإنِّي َأ َرانِي َأحْ ِم ُل فَو‬
ِ ‫َو َد َخ َل َم َعهُ السِّجْ نَ فَتَيَانَ قَا َل َأ َح ُدهُ َما ِإنِّي َأ َرانِي َأ ْع‬
َ‫ك ِمنَ ْال ُمحْ ِسنِين‬ َ ‫نَبِّْئنَا بِتَْأ ِويلِ ِه ِإنَّا نَ َرا‬

“Dan bersama dengan dia (Yusuf) masuk pula ke dalam penjara dua orang pemuda*. Berkatalah
salah seorang diantara keduanya: “Sesungguhnya aku bermimpi, bahwa aku memeras anggur.”
Dan yang lainnya berkata: “Sesungguhnya aku bermimpi, bahwa aku membawa roti di atas
kepalaku, sebahagiannya dimakan burung.” Berikanlah kepada kami ta’birnya; sesungguhnya
kami memandang kamu termasuk orang-orang yang pandai (mena’birkan mimpi).”

*Menurut riwayat dua orang pemuda itu adalah pelayan-pelayan raja; seorang pelayan yang
mengurusi minuman raja dan yang seorang lagi tukang buat roti.

Ayat di atas menggambarkan bahwa salah satu ciri utama seorang pemuda adalah mereka yang
memiliki rasa ingin tahu terhadap sebuah informasi. Ketika menemukan atau mengalami sesuatu
yang baru, yang belum mereka ketahui, maka seorang pemuda bersegera untuk mencari dan
menemukan apa sebenarnya yang terjadi dan apa manfaat atau hikmah dibalik peristiwa atau
sesuatu yang ia temukan (alami).

Seorang pemuda hendaknya memiliki rasa ingin tahu (sense of curiosity) yang tinggi serta
semangat untuk bisa menemukan dan mengungkap informasi dibalik kejadian yang ia rasakan
(alami). Selanjutnya ia bisa menjadikannya sebagai sebuah pengalaman atau disiplin ilmu yang
bermanfaat untuk dirinya dan orang lain yang membutuhkannya.

1. 3.       Surah Al Kahfi ayat 10;


‫ك َرحْ َمةً َوهَيِّْئ لَنَا ِم ْن َأ ْم ِرنَا َر َشدًا‬ ِ ‫ِإ ْذ َأ َوى ْالفِ ْتيَةُ ِإلَى ْال َكه‬
َ ‫ْف فَقَالُوا َربَّنَا آتِنَا ِم ْن لَ ُد ْن‬

“(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka
berdo’a: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah
bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).”

Ayat ini menceritakan tentang kisah Ash-habul Kahfi (para pemuda penghuni gua). Mereka rela
meninggalkan kampung halamannya, meninggalkan keluarganya, serta teman-temannya demi
menyelamatkan keimanan dan aqidah kepada Tuhannya (Allah).

Seorang pemuda hendaknya memiliki konsistensi yang tinggi dalam memegang teguh prinsip-
prinsip yang telah diyakininya sesuai dengan ajaran agamanya. Pemuda bukanlah seseorang yang
dengan mudah tergiur oleh indahnya godaan dunia yang hanya akan melunturkan aqidah dan
keyakinannya terhadap ajaran agamanya.

Seorang pemuda harus memiliki standar moralitas, berwawasan, bersatu, optimis dan teguh
dalam pendirian serta konsisten dalam perkataan. Seperti tergambar pada kisah Ash-habul Kahfi
diatas.

1. 4.       Surah Al An biya ayat 60;

‫قَالُوا َس ِم ْعنَافَتًىيَ ْذ ُك ُرهُ ْميُقَالُلَهُِإب َْرا ِهي ُم‬

“Mereka berkata: “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang
bernama Ibrahim.“

Sosok pemuda seperti Ibrahim as. yang dengan keberaniannya menghancurkan tradisi
penyembahan kepada berhala, yang dengan hidayah Tuhannya dia mendahulukan kecintaan
kepada Rabb-nya daripada kecintaannya kepada ayahandanya.

Sifat berani menghadapi tantangan dan rintangan dalam melawan kebatilan adalah ciri utama
seorang pemuda yang tergambar dalam ayat ini. Seorang pemuda tidak takut dengan ancaman
dari penguasa atau teror dari masyarakat sekitarnya. Meskipun banyak orang yang
membencinya, para tetangga dan saudara mencibirnya, akan tetapi demi sebuah keyakinan dan
prinsip agamanya, ia rela melakukan tindakan yang mungkin dapat mengancam jiwanya.

Jadi pemuda identik dengan sebagai sosok individu yang berusia produktif dan mempunyai
karakter khas yang spesifik yaitu revolusioner, optimis, berpikiran maju, memiliki moralitas, dsb.
Kelebihan pemuda yang paling menonjol adalah mau menghadapi perubahan, baik berupa
perubahan sosial maupun kultural dengan menjadi pelopor perubahan itu sendiri.
Nabi kita Muhammad saw diangkat
menjadi Rasul tatkala berada dalam puncak usia produktif (40 tahun). Sosok pemuda bernama
Muhammad yang dengan kelembutannya menghancurkan kejahiliyahan, yang dengan kasih
sayangnya menghapuskan perbudakan, yang dengan kewibawaannya memimpin umatnya untuk
tunduk kepada hukum Ilahi, yang dengan rasa kecintaannya memberikan syafa’atnya kepada
umatnya di hari Kiamat kelak.

Pengikut-pengikut beliau pada generasi pertama kebanyakannya juga dari kalangan pemuda,
bahkan ada yang masih kecil. Mereka yang berada dalam pembinaan Rasulullah adalah; yang
paling muda (8 tahun) yaitu Ali bin Abi Thalib dan Az-Zubair bin Al-Awwam. Thalhah bin
Ubaidillah saat itu masih  berusia 11 tahun; Al Arqaam bin Abil Arqaam berusia 12 tahun,
Abdullah bin Mazh’un berusia 17 tahun, Ja’far bin Abi Thalib 18 tahun, Qudaamah bin Abi
Mazh’un berusia 19 tahun, Said bin Zaid dan Shuhaib Ar Rumi berusia dibawah 20 tahun,
‘Aamir bin Fahirah 23 tahun, Mush’ab bin ‘Umair dan Al Miqdad bin al Aswad berusia 24
tahun, Abdullah bin al Jahsy 25 tahun, Umar bin al Khathab 26 tahun, Abu Ubaidah Ibnu Jarrah
dan ‘Utbah bin Rabi’ah, ‘Amir bin Rabiah, Nu’aim bin Abdillah, ‘ Usman bin Mazh’un, Abu
Salamah, Abdurrahman bin Auf , kesemuanya sekitar 30 tahun.

Bahkan ratusan ribu lagi para pejuang Islam yang terdiri dari golongan pemuda. Mereka
memperjuangkan dakwah Islam, menjadi pembawa panji-panji Islam, serta merekalah yang akan
menjadi benteng pertahanan ataupun serangan bagi bala tentera Islam dimasa nabi ataupun
sesudah itu. Mereka  secara keseluruhannya  adalah dari kalangan pemuda, bahkan ada diantara
mereka adalah remaja.

Usamah bin Zaid dianggat oleh Nabi saw sebagai pemimpin pasukan kaum muslimin menyerbu
wilayah Syam (saat itu merupakan wilayah Rum) dalam usia 18 tahun. Padahal di antara
prajuritnya terdapat orang yang lebih tua daripada Usamah, seperti Abu Bakar, Umar bin
Khathab dan lain-lainnya.

Abdullah bin Umar pula telah memiliki semangat juang yang bergelora untuk berperang sejak
berumur 13 tahun. Ketika Rasulullah saw sedang mempersiapkan barisan pasukan pada perang
Badar, Ibnu Umar bersama al Barra’ datang kepada Baginda Nabi seraya meminta agar diterima
sebagai prajurit. Saat itu Rasulullah saw menolak kedua pemuda kecil itu. Tahun berikutnya,
pada perang Uhud, keduanya datang lagi, tapi yang diterima hanya Al barra’. Dan pada perang
Al Ahzab barulah Nabi menerima Ibnu Umar sebagai  anggota pasukan kaum muslimin (Shahih
Bukhari VII/266 dan 302).

Perubahan

Bergeraklah dan berubahlah. Agar kita dapat sama-sama menyumbang keberhasilan da’wah
umat ini.(L/P04/R2).

Anda mungkin juga menyukai