Anda di halaman 1dari 25

SIPENDIKUM 2018

KUALIFIKASI TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH


KORPORASI PASCA TERBITNYA PERMA RI NO. 13 TAHUN 2016

Kristian1
E-mail : yehezkiel.kristian90@gmail.com

Aji Mulyana2
E-mail : ajimulyana94@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualifikasi suatu tindak pidana
korupsi dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
korporasi pasca terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak
Pidana Oleh Korporasi. Penelitian ini menjadi sangat penting mengingat
makin maraknya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi
terlebih belum adanya kebijakan dalam regulasi yang mengakomodir
mengenai pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi yang
terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sekalipun telah ada Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata
Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi namun masih
terdapat beberapa kelemahan yang akan berdampak terhadap upaya
penegakan hukum tindak pidana korupsi. Ketidakjelasan formulasi
mengenai sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi memberikan konsekwensi terhadap upaya penyempurnaan
peraturan berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
korporasi. Penelitian ini hendak membahas mengenai kualifikasi suatu
tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi sehingga hasil penelitian
ini diharapkan menjadi bahan masukan bagi penyempurnaan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif
(yuridis normatif) dengan melakukan studi bahan kepustakaan guna
mengumpulkan data sekunder.

Kata Kunci : Kebijakan; Korupsi; Korporasi; Pidana.

1
Penulis Pertama adalah Dosen tetap Pascasarjana Program Magister Ilmu Hukum Universitas
Suryakancana.
2
Penulis Kedua adalah Pegawai tetap Universitas Suryakancana sebagai Staf LPPM.

23
SIPENDIKUM 2018

Pendahuluan
Tindak pidana korupsi di Indonesia hingga saat ini masih menjadi salah satu
penyebab terpuruknya sistem perekonomian di Indonesia yang terjadi secara sistemik dan
meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara atau perekonomian
negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.3
Oleh karena itu, tindak pidana korupsi sebagai salah satu penyebab tidak tercapainya tujuan
nasional bangsa Indonesia yakni menciptakan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara luas mendefinisikan tindak pidana korupsi
sebagai “missus of (public) power for private gain”.4 Menurut Centre for Crime Prevention
(CICP) tindak pidana korupsi mempunyai dimensi perbuatan yang luas meliputi hal-hal
berikut ini: tindak pidana suap (bribery), penggelapan (emblezzlement), penipuan (fraud),
pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion), penyalahgunaan kekuasaan (abuse of
power), pemanfaatan kedudukan seseorang dalam aktivitas bisnis untuk kepentingan
perorangan yang bersifat illegal (exploiting a conflict interest), perdagangan informasi oleh
orang dalam (insider trading), nepotisme, komisi illegal yang diterima oleh pejabat publik
(illegal commission) dan kontribusi uang secara illegal untuk partai politik.5
Sejarah menorehkan catatan panjang perjuangan bangsa Indonesia melawan tindak
pidana korupsi baik pada era orde lama, orde baru, maupun pada era reformasi, serta era
baru pemerintahan saat ini. Namun demikian, hingga saat ini tindak pidana korupsi justru
semasih merajalela bahkan dilakukan dengan cara-cara yang semakin canggih dan semakin
tersistematis. Salah satu cara atau modus operandi tindak pidana korupsi yang dilakukan
dewasa ini adalah dengan menggunakan korporasi sebagai sarana, subjek maupun objek
dari tindak pidana korupsi, dengan demikian, tindak pidana korupsi yang dilakukan dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana korporasi.
Lemahnya penanggulangan atas maraknya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
korporasi disebabkan karena belum terakomodirnya kualifikasi suatu tindak pidana korupsi
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, sehingga melengkapi ketidakjelasan kebijakan mengenai sistem
pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam perkembangan terbaru telah terbit Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara
Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi tertanggal 29 Desember 2016.

3
Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, (2008), Penelitian Hukum tentang Aspek Hukum
Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Jakarta, hlm. 1.
4
Kristian & Yopi Gunawan, (2015), Tindak Pidana Korupsi (Kajian Terhadap Harmonisasi Antara Hukum
Nasional dan The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)], PT. Refika Aditama, hlm.
22.
5
Kristian & Yopi Gunawan, (2015), Tindak Pidana Korupsi…, Ibid. hlm. 22.

24
SIPENDIKUM 2018

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang


Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi disebutkan dengan jelas
bahwa korporasi sebagai suatu entitas atau subjek hukum yang keberadaannya memberikan
kontribusi yang besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
nasional dalam kenyataannya korporasi ada kalanya melakukan berbagai tindak pidana
(corporate crime) yang membawa dampak kerugian terhadap negara dan masyarakat;
korporasi juga dapat menjadi tempat untuk menyembunyikan harta kekayaan hasil tindak
pidana yang tidak tersentuh proses hukum dalam pertanggungjawaban pidana (criminal
liability) dan banyak undang-undang di Indonesia menempatkan korporasi sebagai subjek
tindak pidana yang dapat dimintai pertanggungjawaban (salah satunya Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), namun perkara dengan subjek
hukum korporasi yang diajukan dalam proses pidana masih sangat terbatas, salah satu
penyebabnya adalah prosedur dan tata cara pemeriksaan korporasi sebagai pelaku tindak
pidana masih belum jelas, oleh karena itu dipandang perlu adanya pedoman bagi aparat
penegak hukum dalam penanganan perkara pidana yang dilakukan oleh korporasi.6
Ketentuan peraturan sebagaimana tersebut di atas, tidak memberi pengaruh yang
signifikan terhadap upaya penanggulangan kasus korupsi yang dilakukan oleh korporasi,
seperti halnya kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi dapat ditemukan
dalam kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh PT. Giri Jaladhi Wana. 7 Kasus
tindak pidana korupsi ini terjadi pada tahun 2009 yang dilakukan oleh korporasi yang
bernama PT. Giri Jaladhi Wana, sebuah korporasi yang bergerak di bidang perdagangan,
industri, agrobisnis, pengadaan barang dan jasa, transportasi, pembangunan, dan design
interior. Dalam kasus ini, pada mulanya direktur utama dari korporasi tersebut telah
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebesar Rp.
7.600.000.000 (tujuh milyar enam ratus juta rupiah) dan dijatuhi pidana dengan pidana
penjara selama 6 tahun serta serta membayar uang pengganti Rp. 6.300.000.000 (enam
milyar tiga ratus juta rupiah) berdasarkan putusan Mahkamah Agung No. 936
K/Pid.Sus/2009. Karena uang pengganti yang dibayarkan hanya sebesar Rp. 6.300.000.000
(enam milyar tiga ratus juta rupiah) sedangkan kerugian negara sebesar Rp. 7.600.000.000
(tujuh milyar enam ratus juta rupiah) maka telah terjadi selisih (kerugian negara yang
belum dipulihkan) senilai Rp. 1.300.000.000 (satu milyar tiga ratus juta rupiah) yang harus
dibayarkan oleh atau didakwakan kepada PT. Giri Jaladhi Wana (sebagai korporasi).

6
Pertimbangan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara
Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi.
7
Lihat selengkapnya dalam putusan Pengadilan Negeri Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm, Putusan
Pengadilan Tinggi Nomor 04/PID.SUS/2011/PT.BJM dan Putusan Mahkamah Agung No. 936
K/Pid.Sus/2009.

25
SIPENDIKUM 2018

Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016


Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi juga disebutkan
bahwa maksud dan tujuan pembentukan tata cara penanganan perkara tindak pidana oleh
Korporasi adalah untuk menjadi pedoman bagi penegak hukum dalam penanganan perkara
pidana dengan pelaku Korporasi dan/atau Pengurus, mengisi kekosongan hukum khususnya
hukum acara pidana dalam penanganan perkara pidana dengan pelaku Korporasi dan/atau
Pengurus; dan mendorong efektivitas dan optimalisasi penanganan perkara pidana dengan
pelaku Korporasi dan/atau Pengurus.
Meskipun demikian, menurut hemat peneliti, keberadaan dan kebijakan formulasi
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara
Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, masih mengandung banyak kelemahan
baik dalam tataran teoritis maupun dalam tataran praktis sehingga akan mempengaruhi
aplikasi dan eksekusinya dalam praktik berhukum di Indonesia.
Kelemahan kebijakan formulasi Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh
Korporasi ini diantaranya dapat ditemukan dalam kualifikasi tindak pidana korupsi sebagai
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi (kapan dan dalam hal bagaimana suatu
tindak pidana dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi).
Ketentuan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi menyatakan
bahwa: “Tindak pidana oleh Korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orang
berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi di dalam maupun di luar
Lingkungan Korporasi” (kursif oleh peneliti). Adapun yang dimaksud dengan “lingkungan
korporasi” menurut Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2016 adalah lingkup korporasi atau lingkup usaha korporasi atau lingkup kerja yang
termasuk dan/atau mendukung kegiatan usaha korporasi baik langsung maupun tidak
langsung (Pasal 1 Angka 13).
Ruang lingkup tindak pidana yang dilakukan oleh suatu korporasi menurut Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara
Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi dirumuskan jauh lebih luas
dibandingkan dengan cakupan tindak pidana korporasi dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (sebagai undang-undang pokok yang mengatur
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi).
Hal tersebut dikarenakan dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya disebutkan :

26
SIPENDIKUM 2018

“Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan
hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun
bersama-sama. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu
korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi
dan/atau pengurusnya”. (kursif oleh peneliti).

Sebagai konsekuensinya, menurut Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia


Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh
Korporasi, tindak pidana yang dilakukan orang (manusia alamiah) diluar lingkup korporasi
atau diluar lingkup usaha korporasi atau diluar lingkup kerja yang termasuk dan/atau
mendukung kegiatan usaha korporasi baik langsung maupun tidak langsung dapat
dikualifikasikan sebagai tindak pidana korporasi sehingga dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi yang bersangkutan.
Ketentuan tersebut, tentunya merupakan ketentuan yang dapat dan tidak masuk logika
hukum sehingga keberadaannya bertentangan dengan asas negara hukum Indonesia yang
menjamin kepastian hukum. Ketentuan ini juga bertentangan dengan asas lex certa dan
pertanggungjawaban pidana yang bersifat individual dalam hukum pidana. Bagaimana
mungkin, suatu tindak pidana yang dilakukan oleh orang (manusia alamiah) di luar lingkup
korporasi, di luar lingkup usaha korporasi, di luar lingkup kerja yang termasuk kegiatan
usaha korporasi, di luar lingkup kerja yang mendukung kegiatan usaha korporasi baik
langsung maupun tidak langsung dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana bagi
korporasinya? Ketentuan sebagaimana termuat dalam Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak
Pidana Oleh Korporasi tersebut juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (sebagai suatu Undang-Undang) sehingga
muncul masalah hukum, dapatkah Peraturan Mahkamah Agung mengubah atau
memperluas Norma yang terdapat dalam suatu Undang-Undang.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, penelitian ini hendak membahas
mengenai kualifikasi (kapan dan dalam hal bagaimana) suatu tindak pidana korupsi dapat
dikatakan sebagai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi menurut Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak
Pidana Oleh Korporasi.

Metode Penelitian

27
SIPENDIKUM 2018

Penulisan penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif (yuridis normatif)


dengan melakukan studi bahan kepustakaan guna mengumpulkan data sekunder. Penelitian
hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka (kepustakaan) yang
merupakan data sekunder, yang ada dalam keadaan siap terbit, bentuk dan isinya telah
disusun oleh peneliti-peneliti terdahulu dan dapat diperoleh tanpa terikat waktu dan
tempat.8
Setelah semua bahan hukum terkumpul maka terhadap bahan hukum tersebut akan
dilakukan interpretasi baik secara autentik, gramatikal, sistematis dan sejarah (historis).
Dengan melakukan penelusuran terhadap bahan-bahan pustaka tersebut diharapkan dapat
menemukan asas-asas yang terdapat dalam hukum positif dan juga pengertian-pengertian
dasar dari masalah yang diteliti sehingga dapat dijadikan dasar dalam menganalisis
permasalahan.
Sehubungan tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat normatif
maka peneliti menggunakan 4 (empat) spesifikasi penelitian ini yaitu undang-undang
(statute), konseptual (conceptual), sejarah (historical) serta filsafat hukum, teori-teori
hukum dan asas-asas hukum.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh
dari kepustakaan, karena data ini bersumber dari bahan-bahan pustaka. Jenis data ini
digunakan, karena penelitiannya adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum
kepustakaan, yakni penelitian dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka.
Bahan-bahan hukum tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bahan Hukum Primer.
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari
norma dasar atau kaidah dasar yaitu Pancasila, pembukaan Undang-Undang Dasar
1945, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak
dikodifikasi, konvensi, yurisprudensi dan traktat.9 Bahan hukum primer ini juga
mencakup peraturan perundang-undangan, konvensi-konvensi, putusan-putusan
hakim atau putusan pengadilan, yurisprudensi yang secara langsung maupun tidak
langsung mengatur tentang sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam
perkara tindak pidana korupsi.
2. Bahan Hukum Sekunder.
Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitan,
hasil karya dari kalangan hukum dan pendapat para sarjana hukum. 10 Bahan hukum
sekunder juga mencakup buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang

8
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, (2001), Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,
Rajagrafindo Persada, Cetakan ke-5, Jakarta, hlm. 37.
9
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, (2001), Penelitian … Ibid, hlm. 13.
10
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, (2001), Penelitian … Ibid, hlm. 13.

28
SIPENDIKUM 2018

dibahas, berbagai artikel dan jurnal, laporan-laporan penelitian, dokumen-dokumen


yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dan lain sebagainya.
3. Bahan Hukum Tertier.
Bahan hukum tertier merupakan bahan hukum penunjang yang memberikan
petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum
yang dimaksud diantaranya: Kamus Umum Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Kamus Hukum, internet, ensiklopedia dan lain sebagainya.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara library research (kepustakaan) yakni
dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum berdasarkan topik permasalahan yang telah
dirumuskan dan dikaji menurut pengklasifikasian permasalahan menurut sumber dan
hierarkinya secara komprehensif.
Metode analisis data yang digunakan adalah kualitatif, artinya data yang diperoleh
yang mengarah pada kajian yang bersifat teoritis dalam bentuk asas-asas, doktrin-doktrin
hukum dan isi kaidah hukum terlebih dahulu diuraikan secara sistematis, kemudian
dilakukan analisis secara kualitatif.

Hasil dan Pembahasan


Pengertian korporasi penting untuk diformulasikan dalam undan-gundang pidana
khusus yang tersebar di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang secara
khusus mengenal korporasi sebagai salah satu subjek hukum pidana, oleh karena dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), korporasi tidak dikenal sebagai subjek
hukum pidana.11
Alasan mengapa penulis katakan penting oleh karena hukum pidana merupakan satu
sistem, dimana Ketentuan Umum Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
berlaku untuk Ketentuan Khusus, baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), sendiri maupun yang tersebar di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP). Karena dalam Ketentuan Umum Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), korporasi tidak dikenal sebagai salah satu subjek hukum pidana maka ketentuan
khusus yang mengenal korporasi sebagai salah satu subjek hukum harus mengaturnya
dalam ketentuan umumnya sebagai akibat dari penyimpangan tersebut. 12
Pengertian korporasi menurut Loebby Loqman sebagaimana sudah dijelaskan dalam
kerangka teori, ada yang bersifat sempit dan ada yang bersifat luas. Korporasi dalam arti
sempit adalah suatu kumpulan dagang yang sudah berbadan hukum. Korporasi dalam arti
luas adalah korporasi tidak harus berbadan hukum, setiap kumpulan manusia baik itu dalam
hubungan suatu usaha dagang ataupun usaha lainnya dapat dipertanggungjawabkan. 13

11
Yusi Amdani, (2017), Formulasi Hukum Pidana Terkait Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi Dalam
Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Hukum Samudra Keadilan, Volume, 12, Nomor 2, hlm. 191.
12
Yusi Amdani, (2017), Formulasi Hukum Pidana Terkait … Ibid, hlm. 191.
13
Yusi Amdani, (2017), Formulasi Hukum Pidana Terkait … Ibid, hlm. 191-192.

29
SIPENDIKUM 2018

Dasar hukum yang digunakan oleh penegak hukum terkait dengan dugaan tindak
pidana korupsi adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Dalam kaitannya dengan pembahasan penelitian ini yakni berkaitan dengan tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengakui korporasi sebagai subjek hukum
pidana sehingga terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi dapat
dimintakan pertanggungjawaban secara pidana.
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana dan sistem pertanggungjawaban pidana
korporasi diatur dalam beberapa ketentuan sebagai berikut:
Pasal 1 Angka 1:
Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

Pasal 1 Angka 3:
Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.

Pasal 18 :
(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:
a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang
tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi
dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan
harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)
tahun;
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau
sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah
kepada terpidana.
(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa
dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

30
SIPENDIKUM 2018

(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar
uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan
pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana
pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana
tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Pasal 20:
(1) Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka
tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau
pengurusnya.
(2) Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan
hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun
bersama-sama.
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi
tersebut diwakili oleh pengurus.
(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat
diwakili oleh orang lain.
(5) Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di
pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke
sidang pengadilan.
(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk
menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di
tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
(7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan
ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).

Dengan demikian, mencermati berbagai ketentuan sebagaimana termuat dalam


Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setiap pihak yang
dapat diketegorikan sebagai korporasi (kumpulan orang dan/atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum) dinilai dapat
melakukan tindak pidana dan mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana.
Berbicara tentang hal ini Menurut Barda Nawawi Arief, dalam aturan khusus hukum
pidana yang tersebar di luar KHUP, yang mengenal korporasi sebagai subjek hukum
pidana, tidak ada keseragaman dalam pengaturannya, artinya ada yang merumuskan dan
ada yang tidak merumuskan.14

14
Barda Nawawi Arief, (2002), Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,
Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm, 75.

31
SIPENDIKUM 2018

Ketentuan khusus yang mengatur tentang kapan korporasi melakukan tindak pidana,
misalnya Undang-Undang Nomor 7 Darurat Tahun 1955. Hal ini diatur dalam Pasal 15 ayat
(2) yang bunyinya :
“Suatu tindak pidana ekonomi dilakukan juga oleh suatu, atas nama suatu badan
hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang, atau suatu yayasan, jika tindakan
dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain,
bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu
tidak peduli apakah orang-orang itu masing-masing tersendiri melakukan tindak
pidana ekonomi itu atau pada mereka bersama-sama ada anasir-anasir tindak pidana
tersebut”.

Sehubungan dengan perumusan tersebut di atas Barda Nawawi Arief, mengatakan :


Di dalam perumusan Pasal 15 ayat (2) Tindak Pidana Ekonomi memang ada perumusan
yang ”seolah-olah” menjelaskan kapan suatu badan hukum itu dikatakan telah melakukan
suatu tindak pidana. Perumusan tersebut berbunyi “suatu tindak pidana .... dilakukan juga
oleh atau atas nama suatu badan hukum... dan seterusnya”.
Dengan adanya kata-kata “dilakukan juga” jelas bahwa rumusan di atas hanya
merupakan suatu fiksi yang memperluas bentuk tindak pidana sebenarnya tidak dilakukan
oleh badan hukum tetapi “dianggap” telah dilakukan juga oleh badan hukum. Jadi
perumusan di atas tidaklah menjelaskan pengertian kapan badan hukum itu dikatakan
melakukan (sebagai pembuat) tindak pidana.15
Barda Nawawi Arief menyatakan apabila perumusan itu dimaksudkan untuk
menjelaskan hal tersebut, maka kiranya dapat digunakan perumusan sebagai berikut :
“suatu tindak pidana ...... dilakukan oleh badan hukum atau atas nama badan hukum,
apabila ..... (misalnya: dilakukan oleh pengurus, salah seorang anggota pengurus atau atas
nama pengurus/anggota pengurus)”. 16
Hal tersebut dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 15 Undang-Undang Tindak Pidana
Ekonomi (UU No 7 Drt/1955) yang antara lain berbunyi : “Ayat 2 menentukan dalam hal-
hal mana suatu tindak pidana ekonomi dianggap dilakukan oleh badan hukum.....dst”. 17
Setelah melihat rumusan Pasal 15 ayat (2) dan penjelasannya ternyata belum
memberikan ketegasan mengenai batasan atau ukuran yang dipakai untuk menentukan
suatu tindak pidana ekonomi itu dilakukan oleh badan hukum atau korporasi. Hanya saja
dikatakan batasan atau ukurannya disebutkan yaitu :
a. Berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lain; dan

15
Muladi, Barda Nawawi Arief, (1992), Teori-teori Dan Kebijakan Pidana, Edisi Revisi, Bandung: Alumni,
hlm. 134.
16
Muladi, Barda Nawawi Arief, (1992), Teori-teori … Ibid, hlm. 134-135.
17
Dwidja Priyatno, (2006), Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung: PT.Refika
Aditama, hlm. 21.

32
SIPENDIKUM 2018

b. Bertindak dalam lingkungan badan hukum.18


Perumusan sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief di atas, dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dapat
dilihat dalam Pasal 20 ayat (2) yang bunyinya sebagai berikut : “Tindak pidana korupsi
dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik
berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam
lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama”.19
Jadi suatu tindak pidana korupsi dipandang telah dilakukan oleh korporasi apabila
tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang :
a. Berdasarkan Hubungan Kerja Maupun Hubungan Lain;
b. Bertindak Dalam Lingkungan Korporasi;
c. Baik Sendiri Maupun Bersama-Sama.
Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (7) Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut di atas, apabila terbukti secara sah
dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi, suatu korporasi dapat dijatuhi pidana
pokok berupa pidana denda dan pidana tambahan berupa perampasan barang, pembayaran
uang pengganti, penutupan seluruh atau sebagian perusahaan, pencabutan seluruh atau
sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu,
penyitaan harta benda milik korporasi, pengumuman putusan hakim dan lain sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas dan untuk memudahkan pemahaman tentang tinjauan
pustaka dapat di lihat ragaan di bawah ini :

18
Yusi Amdani, (2017), Formulasi Hukum Pidana Terkait … Op Cit, hlm. 193.
19
Yusi Amdani, (2017), Formulasi Hukum Pidana Terkait … Ibid, hlm. 193.

33
SIPENDIKUM 2018

Tindak Pidana Korupsi


yang dilakukan oleh
korporasi

Penegakan hukum
Problem penanganan tindak pidana korupsi;
terhadap tindak Pidana
problem-problem kesejahteraan; pelanggaran
Korupsi pada bidang
HAM; konflik ekonomi, sosial dll
korporasi

Perlu penanganan tindak pidana korupsi yang


dilakukan oleh korporasi

1. Bentuk Tindak Pidana Korupsi


Yang Dapat Dilakukan Oleh
Korporasi
2. Kapan dan dalam hal bagaimana
suatu tindak pidana korupsi
dikategorikan sebagai tindak
pidana korupsi yang dilakukan
oleh korporasi

Bentuk Tindak Pidana Korupsi Yang Dapat Dilakukan Oleh Korporasi.

Tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana


telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi juga diatur dalam beberapa ketentuan [Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (1)
huruf b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (2),
Pasal 11, Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 12 huruf c, Pasal 12 huruf d dan Pasal 13
sebagai tindak pidana korupsi berupa suap-menyuap; Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf
a, Pasal 10 huruf b dan Pasal 10 huruf c sebagai tindak pidana korupsi berupa
penyalahgunaan jabatan; Pasal 12 dan Pasal 12 huruf e sebagai tindan pidana korupsi
yang berbentuk pemerasan; Pasal 7 ayat 1 huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1)
huruf c, Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 huruf h sebagai tindak pidana korupsi yang berhubungan
dengan kecurangan, Pasal 12 huruf i sebagai tindak pidana korupsi yang berhubungan
dengan pengadaan; Pasal 12B, Pasal 12C sebagai tindak pidana korupsi yang berhubungan
dengan gratifikasi (pemberian hadiah yang tidak semestinya).

34
SIPENDIKUM 2018

Berdasarkan ketentuan-ketentuan dan pengelompokan tindak pidana korupsi


sebagaimana disebutkan diatas, tidak semua tindak pidana tersebut dapat dilakukan oleh
suatu korporasi. Sebagai konsekuensinya, tidak semua tindak pidana korupsi sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana korporasi (padahal, dalam Pasal 1 Angka 3
undang-undang ini disebutkan bahwa setiap orang adalah orang perseorangan atau
termasuk korporasi).
Tindak pidana korupsi yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana
korporasi dalam Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yakni tindak
pidana korupsi sebagaimana dirumuskan dalam beberapa ketentuan berikut ini: Pasal 2,
Pasal 3: Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 12 A dan 12 B, Pasal 13, Pasal
15, Pasal 16, Pasal 21 dan Pasal 22. Ketentuan-ketentuan ini pada dasarnya dapat
dilakukan oleh suatu korporasi (melalui organ atau pengurusnya namun memenuhi syarat-
syarat tertentu sehingga perbuatan dari organ atau pengurusnya tersebut dapat
dikategorikan sebagai perbuatan dari korporasi) dan korporasi memperoleh keuntungan
atau manfaat dari tindak pidana tersebut sehingga atas perbuatannya, korporasi dapat
dimintakan pertanggungjawaban secara pidana.
Kapan Dan Dalam Hal Bagaimana Suatu Tindak Pidana Korupsi Dikategorikan
Sebagai Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi
Selain memenuhi rumusan tindak pidana korupsi sebagaimana disebutkan diatas,
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No.
20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga mengatur dengan
tegas kapan dan dalam hal bagaimana suatu tindak pidana korupsi dapat dikategorikan
sebagai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi.
Hal ini diatur secara tegas dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) dan (2) Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 sebagimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut menyatakan bahwa
tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan
oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain,
bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. Dalam
hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan
penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
Berkaitan dengan hal ini, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 8 Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara
Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, Tindak Pidana oleh Korporasi adalah
tindak pidana yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi
sesuai dengan undang-undang yang mengatur tentang korporasi. Dengan demikian,

35
SIPENDIKUM 2018

maka tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi akan mengacu kepada ketentuan
Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagimana telah diubah
oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
tersebut diatas.
Apabila dicermati dengan saksama, ketentuan Pasal 20 ayat (1) dan (2) Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 sebagimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dapat dilihat dengan jelas bahwa
tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi “Apabila” tindak pidana tersebut dilakukan
oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain,
bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
Jika ditelaah lebih jauh, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “Apabila”
berasal dari kata “Jika” atau “Kalau”.20 Sebagai suatu Predikat dalam tata bahasa
Indonesia, kata “Apabila” artinya kata penghubung untuk menandai syarat atau darat
diartikan “seandainya”.21 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri, penggunaan kata
“Apabila” dicontohkan dengan kalimat sebagai berikut: “Apabila hari tidak hujan, saya
akan datang”, “ seandainya ia tidak mau membayar utangnya, apa yang akan kau
perbuat?”.22
Perkataan “Apabila hari tidak hujan, saya akan datang” diatas artinya, saya akan
datang jika hari tidak hujan (hari tidak hujan sebagai prasyarat untuk perbuatan saya akan
datang). Kalimat tersebut sama konstruksinya dengan kalimat “apabila saya lapar, saya
akan makan” (artinya: saya akan makan jika saya lapar (lapar disini sebagai prasayarat
yang harus ada sebelum perbuatan makan dilakukan).
Dengan demikian, perumusan kata “Apabila” dalam ketentuan pasal 20 ayat (1)
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan: “tindak
pidana korupsi dilakukan oleh korporasi „apabila‟ tindak pidana tersebut dilakukan oleh
orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain,
bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama”
menurut hemat penulis menimbulkan konsekuensi sebab akibat dan konsekuensi tempus
(waktu) antara perbuatan yang satu dengan perbuatan yang lain sebagai prasayaratnya.
Dengan demikian, dalam perkataan yang lain, dapat dikatakan bahwa dugaan adanya tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi baru dapat ditindaklanjuti apabila sudah
terbuti secara sah dan meyakinkan tindak pidana korupsi tersebut dilakukan oleh orang-
orang (baik sendiri maupun bersama-sama) yang merupakan organ dari korporasi, sudah
terbukti bahwa orang tersebut memiliki hubungan kerja maupun hubungan lain dengan
korporasi dan sudah terbukti bahwa orang tersebut bertindak dalam lingkungan korporasi

20
https://kbbi.web.id/apabila diakses terakhir pada hari Kamis, 28 Januari 2018 pada pukul 22. 45.
21
Ibid.
22
Ibid.

36
SIPENDIKUM 2018

serta sudah terbukti secara sah dan meyakinkan korporasi mendapat keuntungan atas tindak
pidana korupsi tersebut (perbuatan-perbuatan ini sebagai prasayarat untuk meminta
pertanggungjawaban pidana dari korporasi).
Masih berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
sebagimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak
pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri
maupun bersama-sama. Jika ditafsirkan secara argumentum a contrario,
pertanggungjawaban pidana tidak dapat diterapkan terhadap korporasi manakala:
1. Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh organ korporasi tidak dilakukan atas
dasar hubungan kerja atau hubungan lain; dan
2. Tindak pidana korupsi tersebut dilakukan diluar lingkungan korporasi.
Perumusan kalimat “dilakukan oleh atau atas nama korporasi”, “dilakukan oleh
orang-orang”, “berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain”,
“bertindak dalam lingkungan korporasi” dan perumusan “baik sendiri maupun bersama-
sama” dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatas, menunjukan bahwa undang-undang ini telah
menganut beberapa teori yaitu:
1. Teori atau doktrin identifikasi yang menyatakan bahwa tindak pidana dilakukan
oleh korporasi apabila tindak pidana itu dilakukan oleh “pejabat senior” (senior
officer) sebagai “directing mind” (otak korporasi) yakni orang yang menentukan
arah dan kebijakan dari korporasi) sehingga perbuatan dari pejabat senior tersebut
dapat diidentifikasi sebagai perbuatan dari korporasi,
2. Teori vicarious liability (pertanggungjawaban pengganti) yang menyatakan bahwa
pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan oleh organ atau
pengurus dapat digantikan oleh korporasi manakala terpenuhi beberapa syarat
(tindak pidana yang dilakukan oleh organ atau pengurus, tindak pidana dilakukan
dalam ruang lingkup pekerjaannya, tindak pidana dilakukan dengan tujuan untuk
menguntungkan atau memberikan manfaat bagi korporasi dan lain sebagainya) dan
3. Doktrin of aggregation yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana bagi
suatu korporasi dapat diterapkan apabila terdapat kesalahan sejumlah orang secara
kolektif.
Pengaturan kapan dan dalam hal bagaimana suatu tindak pidana dapat dikategorikan
sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dirumuskan pula pada ketentuan Pasal
3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata
Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi. Ketentuan pasal 3 menyatakan
sebagai berikut: “Tindak pidana oleh Korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan

37
SIPENDIKUM 2018

oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-
sendiri maupun bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi di dalam
maupun di luar Lingkungan Korporasi”.23
Ketentuan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi tersebut diatas
sepintas serupa dengan perumusan tindak pidana korporasi yang terdapat dalam Pasal 20
ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Namun demikian, apabila diperhatikan dengan teliti, terdapat perbedaan yang cukup
signifikan antara perumusan tindak pidana korporasi dalam Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia No. 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak
Pidana Oleh Korporasi dengan perumusan tindak pidana korporasi dalam Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Untuk lebih jelasnya, perhatikan 2 (dua)
ketentuan berikut ini:
Pasal 20 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan:
“Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi APABILA tindak
pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan
hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak
DALAM lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-
sama. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama
suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan
terhadap korporasi dan/atau pengurusnya”. (kursif oleh penulis)

Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016


Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi menyatakan:
“Tindak pidana oleh Korporasi MERUPAKAN tindak pidana yang
dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan

23
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016
Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi ini, dapat dilihat bahwa, sama
seperti Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi
telah menganut teori atau doktrin identifikasi, teori vicarious liability (pertanggungjawaban pengganti)
dan doktrin of aggregation.
Berbeda dengan ketentuan Pasal 3 ini, ketentuan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi
telah menganut teori atau doktrin reactive corporate fault dan teori atau doktrin the corporate culture
model atau company culture theory. Mengenai kedua hal ini, lihat pada penjelasan berikutnya.

38
SIPENDIKUM 2018

hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang


bertindak untuk dan atas nama Korporasi di dalam maupun DI LUAR
Lingkungan Korporasi”. (kursif oleh penulis)

Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh


Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak
diatur lebih jauh mengenai “hubungan kerja” atau “hubungan lain” sehingga
mempengaruhi aplikasi dan eksekusi dari aturan tersebut. Singkat kata, karena terdapat
ketidakjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan “hubungan kerja” atau
“hubungan lain” dalam undang-undang ini, ketentuan tersebut sulit untuk diaplikasikan
dalam praktik berhukum di Indonesia.
Berbeda dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi sebagai
ketentuan yang melengkapi Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
mengenai “hubungan kerja” atau “hubungan lain” telah diatur secara tegas.
Dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016
Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, yang dimaksud
dengan “Hubungan Kerja” adalah hubungan antara korporasi dengan pekerja/pegawainya
berdasarkan perjanjian yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan/atau perintah (Pasal 1
Angka 11). Sedangkan yang dimaksud dengan “Hubungan Lain” adalah hubungan antara
pengurus dan/atau korporasi dengan orang dan/atau korporasi lain sehingga menjadikan
pihak lain tersebut bertindak untuk kepentingan pihak pertama berdasarkan perikatan, baik
tertulis maupun tidak tertulis (Pasal 1 Angka 12). Ketentuan mengenai “hubungan kerja”
dan “hubungan lain” tersebut diatas, tentu menjadi berlaku bagi Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena filosofis lahirnya Peraturan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara
Tindak Pidana Oleh Korporasi adalah untuk melengkapi dan mengefektifkan penegakan
hukum atas undang-undang yang sebelumnya telah mengatur korporasi sebagai subjek
hukum pidana.
Berikutnya, dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13
Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, diatur
pula hal baru yang sebelumnya tidak dikenal dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yakni mengenai “Lingkungan Korporasi”. Yang
dimaksud dengan “Lingkungan Korporasi” dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana
Oleh Korporasi adalah lingkup korporasi atau lingkup usaha korporasi atau lingkup kerja

39
SIPENDIKUM 2018

yang termasuk dan/atau mendukung kegiatan usaha korporasi baik langsung maupun tidak
langsung (Pasal 1 Angka 13).
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, maka dapat dilihat ruang lingkup
tindak pidana yang dilakukan oleh suatu korporasi menurut Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak
Pidana Oleh Korporasi jauh lebih luas dibandingkan dengan cakupan tindak pidana
korporasi dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal
tersebut dikarenakan tindak pidana korporasi dalam pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak
Pidana Oleh Korporasi mencakup tindakan-tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh
orang (manusia alamiah) di luar lingkungan korporasi. Sebagai konsekuensinya, tindak
pidana yang dilakukan orang (manusia alamiah) diluar lingkup korporasi atau diluar
lingkup usaha korporasi atau diluar lingkup kerja yang termasuk dan/atau mendukung
kegiatan usaha korporasi baik langsung maupun tidak langsung dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi yang bersangkutan.
Menurut hemat penulis, ketentuan tersebut, tentunya merupakan ketentuan yang
bias dan tidak masuk logika hukum sehingga keberadaannya bertentangan dengan asas
Negara hukum Indonesia yang menjamin kepastian hukum. Ketentuan ini juga
bertentangan dengan asas lex certa dalam hukum pidana. Bagaimana mungkin, suatu tindak
pidana yang dilakukan oleh orang (manusia alamiah) di luar lingkup korporasi, di luar
lingkup usaha korporasi, di luar lingkup kerja yang termasuk kegiatan usaha korporasi, di
luar lingkup kerja yang mendukung kegiatan usaha korporasi baik langsung maupun tidak
langsung (misalnya pihak-pihak yang terafiliasi dengan korporasi seperti konsultan,
konsultan hukum, akuntan publik, penilai, notaris dan pihak-pihak lainnya seperti keluarga
atau kerabat dari direksi korporasi) dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana bagi
korporasi? Atas tindak pidana seperti ini seharusnya diterapkan pertanggungjawaban
pidana secara individual dari orang (manusia alamiah) yang melakukan tindak pidana
tersebut, bukan pertanggungjawaban pidana dari korporasi. Analisis yang demikian
dikuatkan oleh ketentuan Pasal 23 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana
Oleh Korporasi yang menyatakan: “Penjatuhan pidana terhadap Korporasi dan/atau
Pengurus tidak menutup kemungkinan penjatuhan pidana terhadap pelaku lain yang
berdasarkan ketentuan undang-undang terbukti terlibat dalam tindak pidana tersebut”.
Dengan demikian, pihak-pihak lain yang terlibat dalam tindak pidana korporasi dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana secara individual.
Masih berkaitan dengan ketentuan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana
Oleh Korporasi, menurut hemat penulis, perumusan tindak pidana korporasi sebagaimana

40
SIPENDIKUM 2018

dirumuskan dalam ketentuan Pasal 3 khususnya yang berkaitan dengan “berdasarkan


hubungan lain” dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi dirumuskan
secara kabur atau tidak jelas. Katentuan pasal 3 menyatakan sebagai berikut: “Tindak
pidana oleh Korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orang berdasarkan
hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun bersama-
sama yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi di dalam maupun di luar Lingkungan
Korporasi”. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 Angka 12 yang dimaksud dengan “Hubungan
Lain” dalam Peraturan Mahkamah Agung ini adalah “hubungan antara pengurus dan/atau
korporasi dengan orang dan/atau korporasi lain sehingga menjadikan pihak lain tersebut
bertindak untuk kepentingan pihak pertama berdasarkan perikatan, baik tertulis maupun
tidak tertulis”.
Oleh karena itu, menurut hemat penulis, apabila terdapat tindak pidana yang
dilakukan oleh orang dan/atau korporasi lain (korporasi pihak ke dua) sehingga pihak
tersebut bertindak untuk kepentingan korporasi pihak pertama maka pertanggungjawaban
pidananya dibebankan kepada orang dan/atau korporasi lain tersebut (sebagai pelaku tindak
pidana), bukan saja kepada korporasi pihak pertama yang memperoleh keuntungan. Apabila
pertanggungjawaban pidana hanya dibebankan kepada korporasi pihak pertama sedang
korporasi lainnya (korporasi pihak ke dua) sebagai pelaku tindak pidana, tidak dibebankan
pertanggungjawaban pidana maka akan terjadi “lempar batu sembunyi tangan” alias
pengalihan pertanggungjawaban pidana terlebih apabila tindak pidana yang dilakukan
menguntungkan atau memberikan manfaat juga bagi korporasi pihak ke dua tersebut.
Hal ini harus pertegas dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh
Korporasi karena pada dasarnya hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara
Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi yang menyatakan: “Dalam hal tindak
pidana dilakukan oleh Korporasi dengan melibatkan induk Korporasi dan/atau Korporasi
subsidiari dan/atau Korporasi yang mempunyai hubungan dapat dipertanggungjawabkan
secara pidana sesuai dengan peran masing-masing”.
Selain dalam ketentuan Pasal 3 tersebut diatas, kapan dan dalam hal bagaimana
suatu tindak pidana dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi diatur pula dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak
Pidana Oleh Korporasi. Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh
Korporasmenyatakan sebagai berikut:
“Dalam menjatuhkan pidana terhadap Korporasi, Hakim dapat menilai
kesalahan Korporasi antara lain:

41
SIPENDIKUM 2018

a. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak


pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk
kepentingan Korporasi;
b. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau
c. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk
melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan
memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku
guna menghindari terjadinya tindak pidana”.

Ketentuan Pasal 4 ayat (2) tersebut jika dikaitkan dengan ketentuan pasal 3
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara
Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi khususnya yang berkaitan dengan
“diluar lingkungan korporasi” sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya maka
dapat diketahui maksud pembuat undang-undang, bahwa tindak pidana oleh korporasi
merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orang (manusia alamiah) dan tindak pidana
tersebut harus menguntungkan atau memberikan manfaat bagi korporasi. Sedangkan
apabila tindak pidana tersebut dilakukan diluar lingkungan korporasi maka pada hakikatnya
korporasi tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana.
Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak
Pidana Oleh Korporasi tersebut diatas, dapat dilihat bahwa pada hakikatnya Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara
Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi telah mengadopsi doktrin atau teori
Reactive Corporate Fault dan doktrin atau teori The Corporate Culture Model atau The
Company Culture Theory. Menurut doktrin atau teori reactive corporate fault, di bawah
kesalahan reaktif,24 perusahaan-perusahaan atau korporasi membuat dirinya sendiri
bertanggung jawab untuk mengamati dan melaporkan disiplin internal setelah sebuah
pelanggaran (termasuk pula tindak pidana) terjadi dan juga menyelesaikan tanggung jawab
tersebut.25 Adapun bentuk pertanggungjawaban yang dapat dimintakan terhadap korporasi
misalnya sebagai berikut:26
1. Meminta perusahaan atau korporasi untuk menyelidiki siapa yang bertanggung
jawab dalam organisasi perusahaan atau korporasi tersebut;
2. Mengambil tindakan disiplin terhadap mereka yang bertanggung jawab;

24
Kesalahan korporasi reaktif bisa didefinisikan secara luas sebagai kegagalan perusahaan atau korporasi
yang tidak layak untuk menyuruh dan melaksanakan tindakan preventif atau korektif terhadap sebuah
pelanggaran oleh personal yang bertindak untuk dan atas nama suatu korporasi. Lihat juga dalam:
Kristian, (2014), Hukum Pidana Korporasi (Kebijakan Integral (Integral Policy) Formulasi
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia), CV. Nuansa Aulia, hlm. 72-73.
25
Lihat juga dalam: Ibid.
26
Ibid.

42
SIPENDIKUM 2018

3. Memerintahkan agar perusahaan atau korporasi tersebut mengirimkan laporan yang


terperinci mengenai tindakan apa saja yang telah diambil oleh perusahaan atau
korporasi dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Menurut teori ini, apabila perusahaan atau suatu korporasi dinilai telah melakukan
tindakan yang tepat untuk menyelesaikan masalah tersebut maka pertanggungjawaban
pidana tidak akan dikenakan terhadap korporasi yang bersangkutan. Apabila dinilai
sebaliknya, di mana korporasi dinilai tidak mengambil tindakan atau langkah yang cukup
dalam rangka menanggulangi tindak pidana maka korporasi yang bersangkutan dapat
dimintakan pertanggungjawaban secara pidana.27
Menurut doktrin atau teori the corporate culture model, suatu korporasi dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana dilihat atau didasarkan pada prosedur, sistem
bekerjanya atau budayanya. 28 Oleh karena itu, teori budaya ini sering juga disebut sebagai
teori atau model sistem atau model organisasi (organisational or systems model).29
Menurut teori ini, suatu korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana
apabila prosedur dalam korporasi, organisasi dalam korporasi, sistem bekerja dan budaya
yang terdapat dalam korporasi memungkinkan dilakukannya tindak pidana oleh para
pengurusnya. Sebaliknya, apabila korporasi telah membentuk prosedur kerja, organisasi,
sistem bekerja dan budaya yang baik dimana karena hal tersebut tindak pidana dapat
diminimalisir sampai kepada titik terendah (tidak memungkinkan dilakukannya tindak
pidana oleh para pengurusnya) maka terhadap korporasi tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan oleh organ atau
pengurusnya (apabila tindak pidana tetap terjadi, maka pertanggungjawaban pidana
dibebankan kepada pengurusnya secara individual).
Dalam praktik, untuk melihat dan menilai apakah suatu korporasi telah membentuk
sebuah sistem, prosedur, disiplin internal atau pengawasan dan budaya yang dapat
mencegah dan menindak dilakukannya tindak pidana dan korporasi telah melakukan
tindakan yang tepat untuk menyelesaikan masalah tindak pidana atau pelanggaran yang
muncul, perlu ditelaah AD/ART dan SOP yang terdapat dalam korporasi yang
bersangkutan. Kedua hal tersebut, dalam praktik dapat dikategorikan sebagai alasan yang
membenarkan atau alasan yang menjustifikasi penjatuhan pidana bagi korporasi (Peraturan
Mahkamah Agung menyatakan “dalam menjatuhkan pidana bagi korporasi” dan “untuk
menilai kesalahan korporasi”). Namun demikian, menurut hemat penulis, dalam tataran
teoritis dan praktik, kedua hal tersebut dapat juga digunakan sebagai alasan pemaaf (alasan
yang menghapuskan kesalahan) bagi korporasi sehingga korporasi tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban secara pidana atau setidaknya sebagai alasan yang dapat

27
Ibid.
28
Ibid., hlm. 70.
29
Ibid.

43
SIPENDIKUM 2018

dipertimbangkan oleh hakim sebagai alasan yang meringankan dalam hal hakim
menjatuhkan putusan pidana bagi korporasi.
Meskipun hal ini belum diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan
nasional (baik dalam undang-undang pidana khusus diluar Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Jaksa Agung
Republik Indonesia maupun dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RKUHP) versi tahun 2015, dimasa yang akan datang seharusnya hal ini dirumuskan secara
tegas melengkapi ketentuan Pasal 53 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RKUHP) versi tahun 2015 yang mengatur mengenai alasan pemaaf dan alasan pembenar
yang dapat diajukan oleh korporasi.
Selanjutnya, perlu pula diperhatikan bahwa dalam pandangan teoritis yang
membahas mengenai sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, suatu tindak pidana
yang dilakukan oleh pengurus (organ korporasi atau manusia alamiah) dapat dikategorikan
sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi sehingga korporasi dapat dimintakan
pertanggungjawaban secara pidana manakala terpenuhi beberapa persyarakan sebagai
berikut:30
1. Tindak pidana dilakukan oleh personil pengendali korporasi (sebagai senior officer
atau directing mind);
2. Tindak pidana dilakukan karena diperintahkan oleh personil pengendali korporasi
(adanya pendelegasian oleh pihak yang sah);
3. Tindak pidana dilakukan oleh agen atau organ atas nama korporasi;
4. Tindak pidana dilakukan dalam lingkup pekerjaannya;
5. Tindak pidana dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi;
6. Tindak pidana dilakukan melalui agen yang berhubungan erat dengan korporasi;
7. Tindak pidana dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi
perintah;
8. Tindak pidana yang dilakukan oleh sekumpulan orang secara kolektif yang ada
dalam korporasi yang bersangkutan;
9. Korporasi tidak membentuk sebuah sistem, prosedur, disiplin internal atau
pengawasan dan budaya yang terdapat dalam korporasi yang dapat mencegah dan
menindak dilakukannya tindak pidana;
10. Korporasi gagal menindak pelanggaran (tindak pidana) yang terjadi dalam korporasi
tersebut;
11. Tindak pidana dilakukan dengan maksud untuk memberikan manfaat atau
keuntungan bagi Korporasi.

30
Kristian, Optimalisasi Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Dalam Rangka Penanggulangan Tindak
Pidana Korporasi Di Indonesia Dan Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Universitas Islam Bandung
(UNISBA), Disertasi, 2017., hlm. 456- 457.

44
SIPENDIKUM 2018

Dengan demikian, apabila persyaratan sebagaimana disebutkan diatas tidak


terpenuhi (misalnya tindak pidana tidak dilakukan oleh personil pengenadali korporasi,
tindak pidana tidak dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi)
maka tindak pidana yang dilakukan oleh organ korporasi (manusia alamiah) tidak dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Sebagai
konsekuensinya, pertanggungjawaban pidana harus dimintakan secara individual kepada
pengurus (organ-manusia alamiah) yang melakukan tindak pidana (dalam doktrin
digambarkan dengan perkataan “pengurus sebagai pelaku tindak pidana dan penguruslah
yang harus bertanggungjawab secara pidana”), bukan kepada korporasi karena tindak
pidana yang dilakukan bukan atau tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
korporasi.
Perumusan ketentuan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh
Korporasi juga telah mengubah konstruksi hukum tindak pidana korporasi dalam Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, karena dalam ketentuan Pasal 3
Peraturan Mahkamah Agung ini, tindak pidana korporasi dirumuskan dengan istilah
“Merupakan” sehingga tidak membutuhkan konsekuensi sebab akibat dan konsekuensi
tempus (waktu) antara perbuatan yang satu dengan perbuatan yang lain sebagaima
tercermin jika dirumuskan dengan istilah “Apabila” sebagaimana termuat dalam ketentuan
pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagimana telah diubah
oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah dipaparkan pada bagian sebelumnya.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bagian-bagian sebelumnya, terutama analisis terhadap
pokok permasalahan dalam penelitian ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan di bawah,
tindak pidana korupsi di Indonesia hingga saat ini masih marak terjadi. Tindak pidana
korupsi disinyalir sebagai salah satu penyebab tidak tercapainya tujuan nasional bangsa
Indonesia yakni menciptakan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur. Tindak pidana
korupsi saat ini dilakukan dengan cara-cara yang semakin canggih dan semakin
tersistematis dengan menggunakan korporasi sebagai sarana, subjek maupun objek dari
tindak pidana korupsi (sebagai tindak pidana korporasi). Terdapat ketidakjelasan formulasi
mengenai sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana
Oleh Korporasi bertujuan untuk mengisi kekosongan hukum dan mengefektifkan
penegakan hukum terkait dengan subjek hukum pidana berupa korporasi. Tidak semua

45
SIPENDIKUM 2018

tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana
korporasi. Kualifikasi tindak pidana (kapan dan dalam hal bagaimana suatu tindak pidana
dikategorikan sebagai tindak pidana korporasi) menurut Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbeda dengan Kualifikasi tindak pidana korporasi
menurut Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang
Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi. Perumusan kata “Apabila”
dalam ketentuan pasal 20 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagimana telah
diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi menimbulkan konsekuensi sebab akibat dan konsekuensi tempus (waktu) antara
perbuatan yang satu dengan perbuatan yang lain sebagai prasayaratnya. Ketentuan Pasal 3
Peraturan Mahkamah Agung ini, tindak pidana korporasi dirumuskan dengan istilah
“Merupakan” sehingga tidak membutuhkan konsekuensi sebab akibat dan konsekuensi
tempus (waktu) antara perbuatan yang satu dengan perbuatan yang lain. Ruang lingkup
tindak pidana yang dilakukan oleh suatu korporasi menurut Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak
Pidana Oleh Korporasi jauh lebih luas dibandingkan dengan cakupan tindak pidana
korporasi dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena
mencakup tindakan-tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh orang (manusia
alamiah) di luar lingkungan korporasi.

Daftar Pustaka
Barda Nawawi Arief, (2002), Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Dwidja Priyatno, (2006), Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung:


PT.Refika Aditama.

Kristian & Yopi Gunawan, (2015), Tindak Pidana Korupsi (Kajian Terhadap Harmonisasi
Antara Hukum Nasional dan The United Nations Convention Against Corruption
(UNCAC)], PT. Refika Aditama,

___________, (2014), Hukum Pidana Korporasi (Kebijakan Integral (Integral Policy)


Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia), CV. Nuansa
Aulia.

Muladi, Barda Nawawi Arief, (1992), Teori-teori Dan Kebijakan Pidana, Edisi Revisi,
Bandung: Alumni.

46
SIPENDIKUM 2018

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, (2001), Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, Rajagrafindo Persada, Cetakan ke-5, Jakarta,.

Peraturan Perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang


Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi .

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara
Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi.

Putusan Pengadilan Negeri Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm, Putusan Pengadilan Tinggi


Nomor 04/PID.SUS/2011/PT.BJM Dan Putusan Mahkamah Agung No. 936
K/Pid.Sus/2009.

Lain-lain.

Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, Penelitian Hukum tentang Aspek
Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Jakarta, 2008.

https://kbbi.web.id/apabila diakses terakhir pada hari Kamis, 28 Januari 2018 pada pukul
22. 45.
Kristian, (2017), Optimalisasi Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Dalam Rangka
Penanggulangan Tindak Pidana Korporasi Di Indonesia Dan Pembaharuan Hukum
Pidana Nasional, Universitas Islam Bandung (UNISBA), Disertasi.

Yusi Amdani, (2017), Formulasi Hukum Pidana Terkait Pertanggung Jawaban Pidana
Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Hukum Samudra Keadilan, Volume,
12, Nomor 2.

47

Anda mungkin juga menyukai