Anda di halaman 1dari 90

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Fenomena kerusakan-kerusakan tebing di Indonesia pada umumnya terjadi
di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS). Kerusakan-kerusakan ini biasanya
disebabkan oleh derasnya aliran arus sungai yang sedikit demi sedikit mengikis
tebing di kiri dan kanan sungai sehingga dapat menyebabkan terjadinya erosi pada
awalnya dan apabila dibiarkan akan menyebabkan terjadinya keruntuhan tebing
sungai tersebut. Hal ini diperparah dengan perilaku masyarakat di Indonesia yang
masih sering membangun bangunan rumah atau prasarana pemukiman di kiri dan
kanan tebing daerah aliran sungai, sehingga apabila banjir terjadi akan
menyebabkan rumah-rumah mereka rawan mengalami kerusakan dan keruntuhan
akibat tebing-tebing sungai yang mulai terosi dan kehilangan kekuatan dan
kestabilannya seperti terlihat pada Gambar 1.1.
Pemakaian perkuatan tanah kiranya sangat cocok untuk digunakan pada
lereng dan timbunan. Meskipun demikian, perkuatan tanah juga telah dipakai
untuk dinding pantai (reinforced earth seawall), bulk storage slot, pondasi raft,
containment dike, cerobong, dan tunnel. Untuk pemakaian pada jalan raya,
umumnya dengan perkuatan tanah akan mempermudah area yang lebih sedikit
mengganggu lalu lintas dibanding conventional construction technique yang
lainnya.

Gambar 1.1. Kondisi kerusakan tebing Kali Mungkung

1
2

Kerusakan tebing yang terjadi di Kali Mungkung disebabkan karena sifat


daripada sungai yang cukup dinamis dan mempunyai kecenderungan bentuk
sungai bermeander selain sifat tanah dari pada tebing itu sendiri termasuk jenis
tanah yang tidak stabil, mudah tererosi, dan longsor. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut perlu dilakukan suatu usaha perkuatan tebing baik dengan
cara konvensional maupun dengan geotekstil.
Beberapa metode perkuatan yang dapat dilakukan dengan material
geotekstil adalah dengan menggelar lembaran geocell, dengan strip reinforcement
dan dengan sheet reinforcement geotextile.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu dilakukan suatu kajian
analisis sistem perkuatan struktur tebing Kali Mungkung dengan menggunakan
sistem perkuatan strip reinforcement geotextile dan sheet reinforcement geotextile.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana sistem perkuatan tebing Kali Mungkung dengan strip
reinforcement geotextile;
2. Bagaimana sistem perkuatan tebing Kali Mungkung dengan sheet
reinforcement geotextile;
3. Bagaimana perbandingan (komparasi) antara sistem strip reinforcement
terhadap sistem sheet reinforcement dan sistem mana yang lebih efektif.

1.3. Tujuan
Tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui sistem perkuatan tebing Kali Mungkung dengan strip
reinforcement geotextile;
2. Mengetahui sistem perkuatan tebing Kali Mungkung dengan sheet
reinforcement geotextile;
3. Mengetahui perbandingan antara sistem strip reinforcement terhadap sistem
sheet reinforcement dan menentukan sistem yang lebih efektif.
3

1.4. Lingkup Penelitian


Batasan-batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Data tanah diperoleh dari hasil penyelidikan Balai Besar Wilayah Sungai
Bengawan Solo;
2. Lokasi penelitian hanya di Kali Mungkung, Desa Patihan, Kelurahan Karang
Tengah, Kecamatan Sragen, Kabupatan Sragen, Propinsi Jawa Tengah.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4

2.1. Pengertian Studi Komparasi


Menurut www.wikipedia.org, studi komparasi adalah suatu penelitian
yang bertujuan untuk membandingkan atau mencari kesamaan dan perbedaan
antara dua atau lebih benda uji atau variabel sehingga dapat diambil suatu
kesimpulan.

2.2. Pengertian Sistem Pelindung Tebing dengan Sistem Strip Reiforcement


Geotextile
Perkuatan tanah yang dilakukan dengan cara memasukkan suatu inklusi
(pemasukan/penggabungan) elemen-elemen penahan ke dalam massa tanah
bertujuan untuk menaikkan perilaku mekanis. Manfaat perkuatan tanah ini adalah
lebih nyata pada site dimana kondisi tanah pondasinya jelek dan arealnya
marginal. Pemakaian perkuatan tanah kiranya sangat cocok digunakan pada lereng
dan timbunan dengan kondisi tanah yang jelek, meskipun banyak juga dipakai
untuk aplikasi yang lainnya.
Pada dasarnya, sistem perkuatan tanah terdiri atas tiga komponen utama:
reinforcement (perkuatan), backfill atau in-situ ground (material penimbun), dan
facing element. Dalam sistem strip reinforcement, suatu material yang koheren
dan komposit terbentuk dengan cara meletakkkan strip-strip horisontal di antara
lapis-lapis timbunan backfill. Sedangkan sistem grid reinforcement terdidi atas
metallic bar mats atau polymeric tensile element yang dirangkai dalam grid-grid
yang saling tegak lurus dan diletakkan secara horisontal dalam backfill. Wiremesh
dapat pula digunakan dengan cara yang serupa, sebagai continuous sheet dari
getextile yang diletakkan di antara lapis-lapis backfill. Facing element yang
sekarang ini dipakai mencakup precast concrete panel, prefabricated metal sheet
dan pelat, gabion, welded wiere mesh, shotcrete, seeded soil, masonry block, dan
geotextile. Dalam system in-situ reinforcement, atau soil nailing, biasanya
menggunakan steel bar, metal tube, atau batang logam lainnya yang mampu
menahan bukan hanya tegangan geser tetapi juga bending moment. (Mashur
Irsyam, 1996).
4
5

Strip reinforecement geotextile (reinforced earth) adalah suatu sistem


perkuatan tanah untuk lereng timbunan yang terdiri atas material penimbunan dari
tanah granular dan material perkuatan yang berbentuk strip / lajur lurus yang
diletakkan horisontal. Perkuatan pada sistem ini terbuat dari logam. Oleh karena
itu perkuatan ini mampu menahan gaya tarik yang besar dan dapat berfungsi
untuk menahan pergerakan lateral massa tanah. (Mashur Irsyam, 1996).

2.3. Pengertian Sistem Pelindung Tebing dengan Sistem Sheet Reinforcement


Geotextile
Menurut Mashur Irsyam (1996), dinding tanah yang diperkuat dengan
geotekstil dapat mempunyai kemiringan yang tajam bahkan hingga vertikal.
Dinding tanah ini mendapat support dari beberapa lapis lembar geotekstil yang
tertanam di dalam tanah urugan di belakang permukaan dinding. Muka dinding
(facing element) dibuat dengan cara melipat geotekstil ke atas dan membungkus
lapisan di atasnya. Sehingga lipatan geotekstil untuk muka dinding ini berfungsi
untuk menahan urugan tanah di belakangnya. Sedangkan tekanan lateral dari
dinding akan ditransfer kepada tanah urugan di belakang zona aktif melalui
lembar geotekstil yang tertanam di dalam tanah. Permukaan geotekstil umumnya
ditutup dengan aphalt emulsion, gunite, concrete, masonry, gabions, atau tanah
dan rumput untuk proteksi jangka panjang terhadap sinar ultarviolet dari matahari.
Sebagai alternatifnya, elemen struktur dapat digunakan sebagai muka dinding,
misalnya precast concrete panel, steel soldier piles, tembok bata, gabion, atau
beton cast-in-place.

BAB III
LANDASAN TEORI
6

3.1. Klasifikasi dan Penyebab Bencana Longsor


3.1.1. Klasifikasi tanah longsor
Menurut klasifikasi Highway Research Board 1958 dan 1978. Kriteria
yang digunakan dalam pengelompokan ini, pertama adalah tipe gerakan tanah dan
kedua adalah jenis materialnya. Tipe gerakan tanah dibagi menjadi lima kelompok
utama yaitu: runtuhan, jungkiran, longsoran, penyebaran lateral dan aliran.
Kelompok keenam adalah majemuk yaitu kombinasi dua atau lebih tipe gerakan
tersebut di atas.
Material dibagi menjadi dua kelas yaitu batuan dan tanah. Tanah
selanjutnya dibagi menurut ukuran butirannya yaitu bahan rombakan (tanah
berbutir kasar) dan tanah berbutir halus.
Adapun keenam tipe gerakan tanah dapat diuraikan sebagai berikut:

3.1.1.1. Runtuhan
Runtuhan merupakan gerakan tanah yang disebabkan keruntuhan tarik
yang diikuti dengan tipe gerakan jatuh bebas akibat gravitasi. Pada tipe runtuhan
ini massa tanah atau batuan lepas dari suatu lereng atau tebing curam dengan
sedikit atau tanpa terjadi pergeseran (tanpa bidang longsoran) kemudian meluncur
sebagian besar di udara seperti jatuh bebas, loncat atau menggelundung.
Runtuhan batuan adalah runtuhan massa batuan yang lepas dari batuan
induknya. Runtuhan bahan rombakan adalah runtuhan yang terdiri dari fragmen-
fragmen lepas sebelum runtuh. Termasuk pada tipe runtuhan ini adalah runtuhan
kerikil (ukuran kurang dari 20 mm), runtuhan kerakal (ukuran dari 20 mm - 200
mm), dan runtuhan bongkah (ukuran lebih dari 200 mm).
Runtuhan tanah dapat terjadi bila material yang di bawah lebih lemah
(antara lain karena tererosi, penggalian) dari pada lapisan di atasnya. Model
runtuhan ini dapat dilihat dari Gambar 3.1.

Runtuhan batuan dapat terjadi antara lain karena adanya perbedaan pelapukan,
tekanan hidrostatis karena masuknya air ke dalam retakan, serta karena
6
7

perlemahan akibat struktur geologi (antara lain kekar, sesar, perlapisan).

3.1.1.2. Jungkiran
Jungkiran adalah jenis gerakan memutar ke depan dari satu atau beberapa
blok tanah/batuan terhadap titik pusat putaran di bawah massa batuan oleh gaya
gravitasi dan atau gaya dorong dari massa batuan di belakangnya atau gaya yang
ditimbulkan oleh tekanan air yang mengisi rekahan batuan.
Jungkiran ini biasanya terjadi pada tebing-tebing yang curam dan tidak
mempunyai bidang longsoran, seperti terlihat pada Gambar 3.2.

3.1.1.3. Longsoran
Longsoran adalah gerakan yang terdiri dari regangan geser dan
perpindahan sepanjang bidang longsoran di mana massa berpindah melongsor dari
tempat semula dan terpisah dari massa tanah yang mantap. Dalam hal ini,
keruntuhan geser tidak selalu terjadi secara serentak pada suatu bidang longsoran,
tapi dapat berkembang dari keruntuhan geser set em pat. Jenis longsoran
dibedakan menurut bentuk bidang longsoran yaitu rotasi (nendatan) dan translasi,
dan dapat dibagi lagi : (a) material yang bergerak relatif utuh dan terdiri dari satu
atau beberapa blok dan (b) material yang bergerak dan sangat berubah bentuknya
atau terdiri dari banyak blok yang berdiri sendiri.
Longsoran rotasi adalah longsoran yang mempunyai bidang longsor
berbentuk: setengah lingkaran, log spiral, hiperbola atau bentuk lengkung tidak
teratur lainnya. Contoh yang paling umum dari tipe ini adalah nendatan yang
sepanjang bidang longsoran yang berbentuk cekung ke atas. Retakan-retakannya
berbentuk konsentris dan cekung ke arah gerakan dan dilihat dari atas berbentuk
sendok. Rotasi bisa terjadi tunggal, ganda atau berantai. Untuk longsoran translasi
massa yang longsor bergerak sepanjang permukaan yang datar atau agak
bergelombang tanpa atau sedikit gerakan memutar/miring. Lonsoran jenis rotasi
dapat dilihat pada Gambar 3.3.
Longsoran translasi umumnya ditentukan oleh bidang lemah seperti sesar,
kekar perlapisan dan adanya perbedaan kuat geser antar lapisan atau bidang
8

kontak antara batuan dasar dengan bahan rombakan di atasnya. Untuk translasi
berantai gerakannya menjalar secara bertahap, ke atas lereng akibat tanah di
belakang sedikit demi sedikit diperlemah oleh air yang mengisi retakan-retakan.
Seperti terlihat pada Gambar 3.4.

3.1.1.4. Penyebaran Lateral


Penyebaran lateral adalah gerakan menyebar ke arab lateral yang
ditimbulkan oleh retak geser atau retak tarik. Tipe gerakan ini dapat terjadi pada
batuan ataupun tanah. Seperti terlihat pada Gambar 3.4. dan Gambar 3.7.
Penyebaran lateral dapat dibedakan dalam dua tipe yaitu:
a. Gerakan yang menghasilkan sebaran yang menyeluruh dengan bidang geser
atau zona aliran plastis yang sulit dikenali dengan baik. Gerakan ini banyak
terjadi pada batuan dasar, terutama yang terletak pada puncak tebing.
b. Gerakan yang mencakup retakan dan penyebaran material yang relatif utuh
(batuan dasar atau tanah), akibat pencairan (liquefaction) atau almn plastis
material di bawahnya. Blok di atasnya dapat ambles, melongaor, memutar,
hancur mengalir. Mekanisme gerakan ini tidak saja rotasi dan translasi tetapi
juga aliran. Karena itu penyebaran lateral ini dapat bersifat majemuk, seperti
terlihat pada Gambar 3.6.

3.1.1.5. Aliran
Aliran adalah jenis gerakan tanah di mana kuat geser tanah kecil sekali
atau boleh dikatakan tidak ada, dan material yang bergerak berupa material kental.
Termasuk dalam tipe ini adalah gerakan yang lambat, berupa rayapan pada massa
tanah plastis yang menimbulkan retakan tarik tanpa bidang longsoran.
Rayapan di sini dianggap sama dengan arti rayapan pada mekanika bahan
yaitu deformasi yang terjadi terus menerus di bawah tegangan yang konstan. Pada
material yang tidak terkonsolidasi, gerakan ini umumnya berbentuk aliran, baik
cepat atau lambat, kering at au basah. Aliran pada batuan sangat sulit dikenali
karena gerakannya sangat lambat dengan retakan.retakan yang rapat dan tidak
saling berhubungan yang menimbulkan lipatan, lenturan atau tonjolan. Aliran
dapat dibedakan dalam dua tipe menurut materialnya yaitu aliran tanah (termasuk
9

bahan rombakan) dan aliran batuan. Seperti terlihat pada Gambar 3.8.

3.1.1.6. Majemuk
Majemuk merupakan gabungan dua atau lebih tipe gerakan tanah seperti
diterangkan di atas. Seperti terlihat pada Gambar 3.9.

3.1.2. Ciri-Ciri Gerakan Tanah


Gerakan tanah untuk tipe runtuhan, longsoran, dan aliran dapat dikenali
secara visual di lapangan dengan memperhatikan ciri-ciri dari masing-masing tipe.
Setiap tipe gerakan tanah mempunyai mekanisme yang berbeda satu terhadap
lainnya, sehingga setiap tipe gerakanpun menampakkan cirinya yang khusus.
Gerakan pada massa tanah menunjukkan ciri yang berbeda dengan gerakan
massa batuan, walaupun tipe gerakannya sama, karena perbedaan sifat fisik dan
teknik antara massa tanah dan batuan. Oleh karena itu dalam mempelajari tipe
gerakan pertama kali harus dikenali dahulu jenis materialnya, yaitu: tanah atau
batuan.
Setelah mengenali betul jenis materialnya selanjutnya harus diamati secara
teliti massa yang bergerak dan massa yang stabil di sekelilingnya. Setiap bagian
dari kedua massa tersebut menampakkan ciri yang berbeda. Massa yang bergerak
perlu diamati dan dicatat tenting segala kenampakan di bagian kepala, badan,
kaki, dan ujung kaki; sedangkan massa yang stabil perlu diamati di bagian
mahkota, gawir utama, dan sayapnya.
Dengan mengenali jenis material massa gerakan dan ciri-ciri yang nampak
di setiap bagian tersebut di atas, maka dapatlah diperkirakan tipe gerakan tanah
yang terjadi.

3.1.3. Faktor penyebab


3.1.3.1. Penyebab ditinjau dari peristiwa
Peristiwa yang dapat menyebabkan terjadinya gerakantanah dibedakan
menjadi gangguan luar dan gangguan dalam.
1. Gangguan luar
a. Getaran yang ditimbulkan oleh antara lain: gempa bumi, peledakan, kereta
10

api, dapat mengakibatkan gerakantanah sebagai contoh: gempa bumi Tes


di Sumatera Selatan pada tahun 1952 dan getaran yang ditimbulkan oleh
kereta api Jakarta - Yogyakarta di dekat Purwokerto tahun 1947.
b. Pembebanan tambahan, temtama disebabkan oleh aktivitas manusia,
misalnya adanya bangunan atau timbunan di atas tebing.
c. Hilangnya penahan lateral, dapat disebabkan antara lain oleh pengikisan
(erosi sungai, pantai), aktivitas manusia (penggalian). Sebagai contoh:
penggalian tras di tepi jalan Bandung - Lembang (Pasirjati), erosi sungai
pada jalan Pacitan - Ponorogo, erosi pantai Bengkulu.
d. Hilangnya tumbuhan penutup, dapat menyebabkan timbulnya alur pada
beberapa daerah tertentu. Erosi makin meningkat dan akhimya tejadi
gerakan tanah.
2. Gangguan dalam
a. Hilangnya rentangan permukaan: selaput air yang terdapat diantara butir
tanah memberikan tegangan tarik yang tidak kecil. Sebaliknya jika air
merupakan lapisan tebal, maka akibatnya akan berlawanan. Karena itu
makin banyak air masuk ke dalam tanah, parameter kuat gesemya makin
berkurang.
b. Naiknya berat massa tanah batuan: masuknya air ke dalam tanah
menyebabkan terisinya rongga antarbutir sehingga massa tanah bertambah.
c. Pelindian bahan perekat, air mampu melarutkan bahan pengikat butir yang
membentuk batuan sedimen. Misalnya perekat dalam batu pasir yang
dilarutkan air sehingga ikatannya hilang.
d. Naiknya muka air tanah: muka air dapat naik karena rembesan yang masuk
pada pori antar butir tanah. Tekanan air pori naik sehingga kekuatan
gesernya turun.
e. Pengembangan tanah: rembesan air dapat menyebabkan tanah
mengembang terutama untuk tanah lempung tertentu,jika lempung
semacam itu terdapat di bawah lapisan lain.
f. Surut cepat; jika air dalam sungai atau waduk menurun terlalu cepat, maka
muka air tanah tidak dapat mengikuti kecepatan menurunnya muka air.
11

g. Pencairan sendiri dapat terjadi pada beberapa jenis tanah yang jenuh air,
seperti pasir halus lepas hila terkena getaran (dikarenakan gempa bumi,
kereta api dan sebagainya).

3.1.3.1. Penyebab ditinjau dari konsepsi faktor keamanan


Dengan dasar pemikiran bahwa faktor keamanan lereng terhadap
longsoran bergantung pada angka perbandingan antara kuat geser tanah (S) dan
tegangan geser yang bekerja (tm) yang dinyatakan dengan persamaan.
FK = S l tm.........................................................................................................(3.1)
dengan:
FK = faktor keamanan terhadap longsoran
= 1 kritis
> 1 mantap/aman
< 1 longsor
S = kuat geser tanah
tm = tegangan geser yang bekerja.
Faktor pengaruh terhadap kemantapan lererng dibagi atas 2 (dua)
kelompok utama, yaitu : gangguan luar dan gangguan dalam.
1. Gangguan luar
Gangguan luar terjadi karena meningkatnya tegangan geser yang bekerja
dalam tanah (T m) sehingga FK < 1. Berdasarkan keadaan ini dapat diuraikan:
a. Tegangan horizontal terjadi bila kaki lereng tererosi oleh aliran air, akibat
galian atau pembongkaran tembok penahan. Pada keadaan semula
tegangan yang bekerja pada elemen adalah sebesar σh (tegangan
horisontal), dimana σh = Ko.V0 dengan FK adalah = q1/qf1, Ko merupakan
koefisien, sedangkan Vo adalah gaya vertikal. Setelah penggerusan, galian
atau pembongkaran tembok penahan maka tegangan horisontal berubah.
menjadi σh -Δσh, sedangkan FK2 = q2/qf2 yang lebih kecil dari FK. Ini
berarti kemantapan akan terganggu. Seperti terlihat pada Gambar 3.12.
b. Tegangan vertikal meningkat; - kondisi ini terjadi hila air hujan tertahan di
atas lereng, timbunan, bangunan dan lain-lain. Pada keadaan semula
12

tegangan yang bekerja pada elemen A adalah σv dan σh = Ko σh. Setelah


penimbunan tegangan menjadi σv + Δσv dan σh + Δσh. Bila perubahan
ini digambarkan dengan "stress path" dari keadaan 3 sampai 4, maka
terlihat bahwa FK3 = q3/qf3 lebih besar bila dibanding dengan FK4 =
q4/qf4 yang menunjukkan bahwa faktor keamanan menurun setelah
pembebanan. Seperti terlihat pada Gambar 3.10.
c. Tekanan horizontal meningkat; kondisi ini terjadi karena adanya pengisian
air pada retakan. Seperti pada Gambar 3.11.
d. Tegangan siklik, kondisi ini terutama akibat gaya gempa dan gaya vibrasi
ledakan mesiu. Pada keadaan gcmpa bumi, 2 (dua) bush gelombang naik
dari bawah ke atas permukaan tanah. Sebelum mencapai permukaan tanah,
rambatan gelombang melewati berbagai lapisan sehingga menimbulkan
perubahan pada sistem tegangan semula. Seperti terlihat pada Gambar
3.13.
Kedua gelombang tersebut di atas adalah :
- "body waves" terdiri atas gelombang primer atau longitudinal (P-
waves) dan gelombang transversal atau geser (S-waves).
- "Surface waves" terdiri atas gelombang "Rayleigh" dan "Love".
Gelombang yang sangat menentukan dalam kemantapan lereng adalah
gelombang geser (S-waves) yang meningkatkan tegangan geser tanah
secara acak, sehingga kemantapan lereng terganggu. Bila perubahan
tegangan digambar dengan lintasan tegangan maka terlihat bahwa
lintasannya bergerak ke kanan sehingga FK menurun tergantung dari
waktu.
e. Gerakan tektonik; dapat mengubah keadaan geometri lereng. Pelandaian
lereng berarti menambah kemantapan, dan sebaliknya penegakan lereng
berarti mengurangi kemantapan.

2. Gangguan dalam
Faktor penyebab menurunnya kuat geser tanah (S):
13

a. Sifat bawaan; meliputi komposisi, struktur geologi dan geometri lereng.


- Komposisi, kondisi material dapat menjadi lemah (weak) pada
peningkatan kadar air. Hal ini teljadi pada tanah lempung terkonsolidasi
lebih (OC) dan terkonsolidasi sangat lebih (HOC) dan tanah lempung
organik.
- Struktur geologi dan geometri lereng, dapat berupa bidang diskontinuitas
(sesar, perlapisan, kekar, cermin sesar dan breksiasi), lapisan yang
berada di atas tanah lempung yang lemah atau selang-seling antar lapisan
lulus air pasir dan kedap air (lempung). Kedudukan lapisan miring ke
arah lereng. Seperti terlihat pada Gambar 3.14.
b. Reaksi kimia/fisika; antara lain berupa :
- Hidrasi dari mineral lempung seperti absorbsi air oleh mineral lempung
sehingga kadar air meningkat. Hal ini biasanya diikuti dengan penurunan
harga kohesi, contohnya lempung montmorillonit.
- Penyusutan tanah lempung akibat pengeringan dapat menimbulkan
retakan susut sehingga kuat geser tanah menurun dan memberi
kesempatan air mengalir masuk ke dalamnya.
- Erosi oleh air pada tanah lempung "dispersive" menyebabkan
terbentuknya rongga yang menurunkan kuat geser tanah.
c. Perubahan tekanan air pori dan berat isi, antara lain berupa:
- Berat isi bertambah karena penjenuhan. Daya apung pada kondisi jenuh
menurunkan tegangan efektif pada butir, sehingga kuat geser menurun.
Seperti tampak pada Gambar 3.15.
- Muka air tanah naik karena air hujan, kolam waduk dan lainnya. Hal ini
dapat dilihat pada Gambar 3.16.
d. Perubahan sistem pembebanan; antara lain karena tegangan tanah
berkurang. Pada kondisi ini lapisan tanah lempung terkonsolidasi lebih dan
terkonsolidasi sangat lebih yang sebelumnya telah dibebani lapisan di
atasnya, kemudian lapisan alas tersebut digali (dibuang). Kemudian terjadi
perubahan beban pada lapisan lempung yang menyebabkan berkurangnya
kuat geser tanah.
14

Gambar 3.1. Gerakan tanah jenis runtuhan

Gambar 3.2. Gerakan tanah jenis jungkiran

Gambar 3.3. Gerakan tanah jenis longsoran rotasi


15

Gambar 3.4. Gerakan tanah jenis longsoran translasi

Gambar 3.5. Gerakan tanah jenis lateral

Gambar 3.6. Gerakan tanah jenis lateral majemuk


16

Gambar 3.7. Gerakan tanah jenis aliran


17

Gambar 3.8. Gerakan tanah jenis aliran


18

Gambar 3.9. Gerakan tanah jenis mejemuk

Gambar 3.10. Gangguan kemantapan lereng karena tegangan vertikal meningkat

Gambar 3.11. Retak susut yang terisi air, meningkatkan tegangan geser
19

Gambar 3.12. Gangguan kemantapan lereng karena tegangan horisontal menurun

Gambar 3.13. Gangguan kemantapan lereng karena tegangan siklik


20

Gambar 3.14. Perubahan kekuatan geser tanah sepanjang bidang longsoran

Gambar 3.15. Peningkatran tekanan air pori pada bidang longsoran karena
perubahan muka air tanah bebas waktu pengisian ari waduk

Gambar 3.16. Perubahan kekuatan geser tanah pada waktu hujan akibat
peningkatan muka air tanah dan penjenuhan lapisan tanah
3.2. Desain Perkuatan Lereng
3.2.1. Penyebab kerusakan lereng
21

Pada saat pembuatan desain perkuatan lereng adalah sangat penting


mengetahui sebelumnya berbagai penyebab kerusakan perkuatan lereng yang
pernah dibangun dan keadaan sesungguhnya dari gejala kerusakan-kerusakan
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Penggerusan pondasi perkuatan lereng
Pada tahap-tahap permulaan diawali dengan terjadinya kerusakan-kerusakan
pada pondasi perkuatan lereng akibat gerusan arus sungai dan selanjutnya
kerusakan akan meluas ke seluruh bagian perkuatan lereng tersebut. Karena
itu pada tahapan perencanaannya yang terpenting adalah alas pondasi haruslah
ditempatkan pada elevasi yang lebih rendah dari batas gerusan dan selanjutnya
baru ditentukan perlu tidaknya dilengkapi dengan konsolidasi pondasi.
b. Tersedotnya butiran tanah di belakang perkuatan lereng
Pada lapisan tanah di belakang perkuatan lereng yang karena tekanan air
porinya tidak dapat mengikuti turunnya permukaan air sungai, seperti halnya
perkuatan lereng pada muara sungai di mana perbedaan elevasi pasang dan
elevasi surut sangat besar. Pada sungai yang penurunan elevasi permukaan air
sangat cepat di waktu banjir atau pada sungai yang lebar dengan ombaknya
yang besar serta ombak yang terjadi karena lalu lintas kapal-kapal, maka
butiran tanah tersebut dapat tersedot dan keluar secara berangsur-angsur
melalui celah-celah sambungan atau retakan-retakan pada perkuatan lereng,
dan terbentuklah lubang-lubang di belakang perkuatan lereng tersebut.
Apabila hal tersebut diabaikan atau dibiarkan saja, lobang-lobang tersebut
akan terus membesar dan akibatnya tubuh perkuatan lereng akan runtuh dan
seluruh perkuatan lereng akan hancur.
Karenanya pada lereng tanggul atau tebing yang akan dilindungi haruslah
dicek komposisi butiran tanahnya untuk mengetahui ketahanannya terhadap
gajala penyedotan semacam ini.

Pada tanah-tanah yang komposisi butirannya kurang baik, maka diperlukan


adanya lapisan filter atau selapis tanah dengan komposisi yang baik yang
kelak dapat berfungsi sebagai filter di belakang perkuatan lereng yang akan
22

dibuat. Selanjutnya untuk perkuatan lereng yang dibuat segera setelah


selesainya urugan tanggul, maka lereng tanggul haruslah dipadatkan
secukupnya agar dapat menccegah penurunan yang berlebihan. Seandainya
diperkirakan penurunannya masih besar, maka haruslah dipertimbangkan
suatu perkuatan lereng dengan konstruksi yang fleksibel dengan hamparan
batu atau dengan blok beton.
c. Kerusakan pinggir hulu dan pinggir hilir perkuatan lereng
Sangat sering terjadinya kerusakan perkuatan lereng yang diawali dari
kerusakan kedua pinggirnya, akibat penggerusan arus sungai. Ternyata
penetapan tempat kedudukan perkuatan lereng yang baik serta pemilihan
bentuk trasenya yang tepat akan sangat mengurangi kemungkinan terjadinya
gerusan semacam ini. Dan untuk perkuatan tebing yang selalu terbenam di
waktu banjir, pinggir hulu dan pinggir hilirnya supaya dilengkungkan dan
diberi koperan. Jika perlu pada zona transisi tersebut dapat diperkuat dengan
selapis bronjong kawat atau dengan perkuatan lainnya. Juga pada kedua
pinggir perkuatan lereng tanggul sebagai zona transisi dengan lereng yang
tidak dilindungi supaya diadakan perkuatan secukupnya, baik dengan
hamparan batu biasa, pasangan batu kosong maupun bronjong kawat.
d. Gerusan pada mercu perkuatan lereng
Khususnya untuk mercu perkuatan tebing yang senantiasa terbenam di waktu
banjir, biasanya terjadi gerusan. Guna menghindarkannya, maka di sisi mercu
tersebut ditambah perkuatan horisontal selebar maksimum 2 meter dan
selanjutnya pada lokasi yang tinggi kecepatan arusnya di belakang tambahan
tersebut, perlu dilindungi dengan hamparan bronjong kawat, sedang pada
bagian-bagian yang kecepatan arusnya rendah cukup diperkuat dengan
hamparan batu atau blok beton dengan ukuran yang sesuai.

e. Kerusakan pada zona transisi


Pada perkuatan lereng menerus yang di samping melindungi tebing sungai,
juga akan melindungi lereng tanggul yang terdapat di atas tebing tersebut dan
23

kadang-kadang bahkan dengan kemiringan lereng yang berbeda maka pada


zona transisinya yang biasanya merupakan titik terlemah dari bangunan
perkuatan lereng tersebut. Karena zona transisi ini merupakan titik terlemah,
maka diusahakan agar perubahan kemiringan bagian perkuatan lereng tersebut
tidak terlalu drastis.
f. Kerusakan akibat rendahnya ketahanan perkuatan lereng
Pada sungai-sungai dengan arusnya yang deras, sungai-sungai yang lebar dan
pada muara-muara sungai, perkuatan lereng mudah rusak akibat tekanan arus
yang deras atau akibat hempasan ombak. Untuk bagian-bagian sungai
semacam ini haruslah diperhatikan pemilihan yang teliti dalam menentukan
konstruksi perkuatan lereng.
g. Kerusakan akibat tekanan tanah atau tekanan air tanah di belakang perkuatan
lereng
Tekanan tanah atau tekanan air tanah harus pula diperhitungkan, terutama
untuk perkuatan lereng dengan kemiringan yang curam dan karenanya di
samping hal-hal yang diuraikan terdahulu, maka konstruksi perkuatan lereng
haruslah pula diuji dari segi mekanika tanah. Selanjutnya pada sungai-sungai
dengan penurunan elevasi banjirnya yang cepat atau pada sungai-sungai
pasang surut dengan perbedaan elevasi pasang dan elevasi surut yang besar,
maka tekanan air tanah sisa (residual water pressure)di belakang perkuatan
lereng akan bekerja ke arah luar.

3.2.2. Desain bagian-bagian perkuatan lereng


a. Penempatan pondasi perkuatan lereng
Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, kerusakan perkuatan lereng pada
umumnya dimulai dengan tergerusnya pondasi perkuatan lereng. Karenanya
penempatan posisi pondasinya yang benar akan sangat menentukan stabilitas
dan keamanan bangunan secara keseluruhan. Sebagaiman pengamatan-
pengamatan serta survai yang telah dilakukan pada berbagai sungai, di saat
debit banjir meningkatdan elevasi permukaan air sungai meningkat, ternyata
permukaan dasar sungai bahkan menurun, karena tergerus. Akan tetapi
24

sebaliknya di saat debit banjir surut dan elevasi permukaan air sungai
menurun, maka terjadilah pengendapan dan permukaan dasar sungai naik,
selanjutnya permukaan dasar sungai akan naik, apabila suplai sedimen
meningkat dan sebaliknya akan menurun apabila suplai sedimen menurun
pula. Dan permukaan dasar sungai akan tidak berubah, apabila suplai sedimen
dalam kondisi seimbang.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka untuk menetapkan posisi
alas pondasi (menentukan kedalaman galian pondasi) haruslah didasarkan
pada pengamatan dan penelitian yang seksama terhadap data perubahan dasar
sungai dalam jangka yang cukup panjang dan perkiraan-perkiraan di masa-
masa yang akan datang serta didasarkan pada data-data perubahan/pergerakan
alur sungai baik keseluruhan (proses meander) maupun setempat (longsor
tebing, pengendapan setempat, pembentukan gosong pasir). Jadi perilaku
sungai secara keseluruhan haruslah diketahui secara seksama dengan demikian
sudah dapat diketahui perilaku perubahan sungai, selama masa berfungsinya
perkuatan lereng yang akan dibangun.
Dapat kiranya dikemukakan di sini, bahwa kerusakan-kerusakan yang banyak
terjadi pada perkuatan lereng yang sudah dibangun adalah karena rencana
teknisnya dibuat hanya didasarkan pada keadaan sungai dalam periode survei
dan studi pembuatan rencana teknis tersebut. Guna menetapkan elevasi alas
pondasi atau kedalaman penggalian pondasi, pada umumnya didasarkan pada
cara-cara sebagai berikut :
1. Penempatan elevasi alas pondasi haruslah disesuaikan dengan rencana
denah dan rencana penampang sungai serta memperhatikan kemungkinan
terjadinya penurunan permukaan dasar sungai akibat penggerusan oleh
arus sungai di saat terjadi banjir besar.
2. Penentuan elevasi alas pondasi dengan memperhatikan bahan dasar sungai
dan perkiraan arah pergeseran dasar sungai (baik perubahan lokal maupun
perubahan sungai secara menyeluruh) .
Pada hakekatnya cara 1 lebih mudah dan lebih sering digunakan daripada cara
2. Untuk cara 1, biasanya kedalaman akibat gerusan sepeti Gambar 3.17.
25

secara empiris diperkirakan berdasarkan dimensi sungai, kemiringan dasar


sungai, bahan dasar sungai dan tingkat pukulan air yang mungkin terjadi.
Angka-angka perkiraan yang diperoleh secara empiris atau dari hasil
pencatatan pada bangunan-bangunan yang telah berfungsi seperti yang tertera
pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Standar kasaran untuk kedalaman gerusan pada waktu banjir
Bahan dasar sungai Kecepatan arus pada tanggul sungai
>3 m/det 3-2 m/det <2 m/det
Ukuran butiran lebih besar
dari kerikil 1,0 0,5
Ukuran butiran kerikil 1,5 1,0 0,5
Ukuran butiran kerikil 1,5 1,0
halus

Bagian terdalam MAR rata-rata


Dasar sungai sekarang

Batas dasar sungai terendah


Perkiraan kedalaman gerusan Kedalaman alas pondasi

Gambar 3.17. Kedalaman gerusan


Selanjutnya, apabila penetapan alas pondasi hanya didasarkan pada kondisi
sungai pada periode survei dan studi pembuatan rencana teknis, maka haruslah
diadakan investigasi yang teliti pada kondisi dasar sungai pada saat tersebut.
Andaikan dasar sungai terdiri dari batuan masif dan segar, mungkin tidak
diperlukan adanya penggalian pondasi seperti persyaratan pada cara 1, karena
disamping batuan tersebut cukup kuat, penggaliannya akan memerlukan biaya
yang mahal. Dengan demikian penggalian pondasi semacam ini tidak perlu
terlalu dalam. Oleh sebab ini pengeboran-pengeboran diperlukan untuk
mengetahui karakteristika lapisan batuan yang akan menjadi landasan pondasi
b. Kemiringan perkuatan tebing
26

Kemiringan perkuatan lereng ditetapkan terutama berdasarkan besarnya


tekanan tanah dan tekanan air tanah yang bekerja pada permukaan dind9ing
belakang perkuatan lereng, di samping diperhatikan pula arus sungai di
depannya dan ditinjau dari segi stabilitas, maka perkuatan lereng akan
semakin stabil apabila kemiringannya semakin landai.
Akan tetapi kemiringan yang landai akan memerlukan tempat yang lebih
banyak, volume per meter lari akan semakin besar dan dengan demikian
biayanyapun kian menjadi besar, sehingga kemiringan ini harus ditetapkan
berdasarkan penelitian yang seksama dengan memperhatikan berbagai aspek
seperti yang telah diuraikan terdahulu. Selanjutnya kemiringan lereng tanggul
biasanya dibuat hampir sama dengan kemiringan lereng perkuatannya,
sehingga umumnya tidak ada masalah stabilitasnya, apabila kemiringan
perkuatannya diambil sama dengan kemiringan tanggul yang dilindungi.
Walaupun demikian apabila kemiringan lebih kecil dari 1 : 2, mungkin dapat
terjadi masalah-masalah stabilitas. Akan tetapi hal ini dapat diatasi dengan
memperhatikan konstruksinya, misalnya dengan memperhatikan lapisan dasar
dan dengan bahan yang terpilih khususnya bahan dengan gradasi yang baik.
Perkuatan lereng dengan kemiringan yang curam sering dipergunakan pada
sungai buatan, dalam hal demikian stabilitas kekuatan lerengnya haruslah
memperoleh perhatian khusus. Hubungan antara tinggi dan kemiringan
perkuatan lereng yang dibangun dari pasangan batu kosong atau blok beton
dan batu kenchiisi (batu khusus yang dibuat untuk perkuatan lereng di Jepang)
yang diperlukan pada lereng yang curam dengan mempertimbangkan geologi
lapisan tanah adalah seperti yang tertera pada Tabel 3.2. Sedang ketebalan
lapisan alas di belakang perkuatan lereng ditetapkan dengan memperhatikan
Tabel 3.3.
Tabel 3.2. Hubungan antara tinggi dan kemiringan lereng
Tinggi (m) 0-1,5 1,5-3 3-5 5-7
Kemiringan Timbunan 1 : 0,3 1 : 0,4 1 : 0,5 1 : 0,6
Lereng Galian 1 : 0,3 1 : 0,3 1 : 0,4 1 : 0,5
Tebal Pasangan 35 35 - 45
Bagian Batu kosong
27

kering
Pasangan 25 35 - 45
Batu kosong
Basah (hanya
Dengan beton
Dasar )
Bawah (cm)
Pasangan 25 +5 (25-35)+9 (35 – 45)+14 (35-45)+20
Batu kosong
Basah (dengan
Beton dasar
Dan kerikil
Urugan)

Tabel 3.3a Ketebalan urugan perkuatan lereng pasangan beton


Tinggi (m) 0 – 1,5 1,5 - 3 3-5 5-7
Ketebalan Bagian atas 20 - 40 20 – 40 20 – 40 20 – 40
Pasangan batu Bagian bawah 30 - 60 45 - 75 60 - 100 80 -120
(cm)

Tabel 3.3b. Ketebalan urugan perkuatan lereng pasangan batu kosong


Tebal bagian Tipe Tanah Jenis Kering Basah
bawah (cm) Tanah kerikil Tanah kerikil berpasir
berpasir sampai sampai tanah liat
tanah liat
25 20 cm – 25 cm 15 cm – 20 cm
35 30 – 35 15 – 20
45 40 - 45 20 - 25

c. Kekasaran permukaan perkuatan lereng


Kecepatan arus di depan permukaan lereng biasanya lebih besar setelah
dibangunnya perkuatan lereng dan daya gerus arus di sekitar perkuatan lereng
meningkat. Dalam keadaan demikian, maka penggerusan akan terjadi di
sebelah hulu perkuatan lereng dan di sebelah hilirnya terjadi pengendapan –
pengendapan. Selain itu dengan terjadi peningkatan kecepatan arus tersebut
dan apabila perkuatan lereng terbuat dari pasangan batu kosong, maka
terjadilah penyedotan butiran-butiran tanah alas pasangan tersebut. akhirnya
batu-batu akan turun secara tidak beraturan dan perkuatan lereng akan rusak
sama sekali.
28

Dari uraian di atas, maka kekasaran yang memadai diperlukan pada


permukaan perkuatan lereng guna mengurangi kecepatan arus di depannya,
hingga dapat dihindarkan gejala penyedotan tersebut.
Guna meningkatkan kekasaran tersebut biasanya dilakukan dengan memberi
tonjolan-tonjolan dari batu di atas permukaan perkuatan yang terbuat dari
beton atau dengan meningkatkan kekasaran pada permukaan perkuatan yang
terbuat dari pasangan blok beton. Seperti terlihat pada Gambar 3.18.

Gambar 3.18. Permukaan perkuatan lereng yang dikasarkan

d. Penyelesaian pinggir perkuatan lereng


Biasanya pinggir hulu dan pinggir hilir perkuatan lereng mudah rusak oleh
gerusan arus air. Guna menghindarkan kerusakan-kerusakan tersebut, pada
kedua pinggirannya dilakukan pekerjaan-pekerjaan penyelesaian seperti yang
tertera pada Gambar 3.19.

Gambar 3.19. Contoh pelindung pinggir perkuatan lereng


29

Pinggir perkuatan lereng biasanya dibuat dari konstruksi dinding sekat, karena
konstruksinya sederhana dan mudah pemasangannya. Dipergunakan berbagai
macam sekat, antara lain sekat tiang pancang baja, turap pancang baja, turap
pancang beton bertulang dan turap pancang kayu.
Selanjutnya pada zona transisi tersebut masih diperlukan pelindung yang
terbuat dari bronjong kawat, hamparan batu atau blok-blok beton yang
dihubungkan satu dengan lainnya dengan kawat, agar diperoleh hamparan
pelindung yang fleksibel, tetapi dengan kekasaran yang cukup tinggi. Seperti
terlihat pada Gambar 3.20.

Gambar 3.20. Contoh pelindung zona transisi dari bronjong kawat

e. Perlindungan mercu perkuatan lereng


Khususnya untuk perkuatan tebing yang mercunya tenggelam di waktu banjir
diperlukan perlindungan, agar tidak rusak oleh gerusan arus air.
Adapun konstruksi perlindungan tersebut adalah seperti tertera pada Gambar
3.21 yaitu dengan memperlebar maksimum 2 m mercu tersebut ke arah
samping dan dibuat monolit dengan tubuh perkuatan tebing. Selanjutnya di
ujung mercu tersebut dipasang koperan pemisah, yang dalamnya berturut-turut
untuk sungai yang relatif besar ± 1 m dan untuk sungai-sungai yang relatif
kecil + 0,5 m. Sebagai tambahan maka sepanjang samping koperan pemisah
dipasang pelindung dari hamparan bronjong kawat atau pelindung blok beton
yang dirangkai dengan kawat (selebar antara 1,5 – 3,0 m), guna
menghindarkan terjadinya penggerusan pada bantaran di sekitar mercu
perkuatan lereng
30

1–2m 1,5 – 3 m Koperan pemisah

Gebalan

0,5 - 1 m 1,5 – 3 m Matras bronjong


1–2m
Gebalan

Blok beton rangkai


0,5 - 1 m

Gambar 3.21 Contoh pelindung mercu

f. Sambungan pada perkuatan lereng


Interval sambungan pada perkuatan lereng sangat bervariasi, tergantung pada
macam dan konstruksi pelindung lerengnya. Dari contoh-contoh perkuatan
lereng yang dibangun terdahulu, maka interval sambungan yang baik adalah
10 m untuk konstruksi pengerasan beton dan 20 -25 m untuk konstruksi blok
beton.
Adapun fungsi dari sambungan di samping sebagai sambungan penwaian, juga
guna melokalisir pengaruh suatu kerusakan pada perkuatan lereng tersebut.
Biasanya sambungan tersebut dari papan yang sebelumnya dipenetrasi dengan
aspal cair dan konstruksi sambungan harus sedemikian rupa agar dapat
mencegah tersedotnya butiran tanah dari alas perkuatan lereng keluar melalui
sambungan tersebut.

3.2.3. Pemilihan Tipe Perkuatan Lereng


Pemilihan tipe perkuatan lereng yang cocok untuk suatu sungai tidaklah
mudah dan sepenuhnya tergantung pada karakteristika sungai yang bersangkutan,
antara lain tergantung pada dimensi sungai, kecepatan arus airnya, bentuk
penampang lintangnya, kemiringannya, kedlaman airnya, jenis tanah yang akan
dilindungi, dan keadaan tanah pondasinya. Jadi tipe perkuatan lereng untuk suatu
lokasi haruslah dipilih dari beberapa tipe yang ada dengan memperbandingkan
satu dengan lainnya serta dengan memperhatikan keadaan musim dan jangka
31

waktu pelaksanaan dan memperhatikan sulit tidaknya keadaan lapangan ditinjau


dari segi pelaksanaan. Terdapat beberapa jenis konstruksi dan bahan bangunan
yang dapat dipakai untuk perkuatan tebing, antara lain adalah :
a. Tipe pondasi rendah
Letak pondasi perkuatan lereng jauh di bawah permukaan dasar sungai
rencana, sehingga pelindung lereng harus berada di bawah permukaan dasar
sungai rencana, agar bertumpu pada pondasi. Tipe ini merupakan tipe yang
paling umum dipergunakan dan dapat dianggap sebagai tipe yang standar,
karena pelaksanaan mudah terutama pada lokasi yang mudah dikeringkan
hanya dengan kist dam yang sederhana atau dengan mengalihkan aliran
sungai. Pada tipe ini tidak diperlukan adanya pelindung kaki atau pelindung
pondasi, karena pondasinya telah diletakkan pada posisinya yang aman dan
tidak akan terjangkau oleh gerusan arus sungai. Walaupun demikian pada
sungai-sungai dengan arus yang deras atau pada bagian-bagian yang
kemungkinan terjadi pukulan air dibuat konsolidasi pondasi ringan guna
mencegah kerusakan-kerusakan akibat gerusan untuk masa-masa yang akan
datang. Seperti terlihat pada Gambar 3.22.

Pelindung lereng

Dasar sungai
MAR

Pondasi Dasar rencana sungai

Penetrasi

Gambar 3.22. Contoh pondasi rendah standar pada perkuatan lereng


32

b. Tipe pondasi tinggi


Sebagaimana yang tertera pada Gambar 3.23, tipe ini dipergunakan pada
sungai-sungai yang sukar dikeringkan, sehingga pekerjaan penggalian dan
pembuatan pondasi perkuatan lereng tidak dapat dikerjakan dalam keadaan
kering. Dalam hal ini pelindung kaki berfungsi pula sebagai landasan pondasi
dan konstruksi pondasinya terdiri dari turap pancang beton atau baja. Selain
itu dilengkapi pula dengan konsolidasi pondasi di depan pelindung kaki yang
berfungsi untuk memperkuat pelindung kaki tersebut dan melindungi
permukaan dasar sungai di depan kaki perkuatan lereng.

Pelindung lereng

Pondasi
MARR
Konsolidasi pondasi

Turap pancang
Dasar rencana sungai

Gambar 3.23. contoh perkuatan lereng pada bagian sungai yang airnya dalam

c. Tipe turap pancang baja (steel sheet pile) dengan jangkar dan tanpa jangkar
Dibandingkan kedua tipe di atas, biaya untuk pembuatan tipe turap pancang
baja (steel sheet pile type) lebih tinggi, karenanya tipe ini hanya dipergunakan
jika sulit dikerjakan dengan kedua tipe di atas.
Perkuatan lereng turap pancang baja dapat dilaksanakan dengan mudah pada
sungai yang airnya cukup dalam dan sulit dikeringkan. Selain itu
kekedapannya hampir sempurna sehingga tidak ada kekhawatiran tersedotnya
butiran tanah dari belakang turap tersebut. Pada umumnya, untuk perkuatan
33

lereng tipe initerdiri dari turap pancang baja yang berdiri sendiri (selfstanding
type). Akan tetapi pada sungai-sungai yang airnya dalam dan tekanan tanah di
belakang turap cukup besar, maka turap ini dilengkapi dengan angker yang
kadang-kadang lebih dari satu, sehingga sebagian dari tekanan tanah dapat
ditampung oleh angker tersebut. Dengan pemancangan akan mudah dicapai
kedalaman yang dikehendaki maka keamanan pondasi terhadap gerusan dapat
lebih terjamin.puncak turap pancang inidibungkus dengan betinbertulang dan
membentuk semacam kepala. Seperti terlihat pada Gambar 3.24.

Kepala (penahan)

Turap pancang baja

Konsolidasi pondasi

Gambar 3.24. Contoh perkuatan lereng tipe turap pancang baja

d. Tipe turap papan


Tipe turap papan (wooden plank hurdle work) dipergunakan untuk sungai
yang relatif kecil dan dapat dikerjakan dengan mudah serta biayanya rendah
pula, tetapi tidak awet. Sebagaimana yang tertera pada Gambar 3.25. tiang
tiang kayu dipancang dengan jarak antara 1,0 – 1,5 m dan di antara kedua
tiang pancang tersebut dipasang papan dan selanjutnya ruangan di
belakangnya diurug dengan pasir koral. Sebaiknya pinggir bawah papan
ditempatkan ± 30 cm di bawah permukaan dasar sungai rencana, agar pasir
koral urugan tidak dapat keluar.
34

Gambar 3.25. Turap papan


e. Tipe turap beton
Konstruksi tipe turap beton (concrete plank hurdle work type) sangat mirip
dengan tipe turap papan, hanya bahan kayu diganti dengan beton bertulang
yang lebih tahan lama. Biasanya tipe ini dibuat dengan konstruksi sepeerti
tertera pada Gambar 3.26. dan rongga di belakangnya diurug dengan pasir
koral untuk melindungi butiran tanah di belakang dinding agar tidak tersedot
keluar oleh aliran air sungai. Karena konstruksinya yang sederhana dan mudah
pelaksanaannya, maka tipe ini sangat sering dipergunakan.

Tiang penahan
MAR
Urugan

Plat beton

Tiang utama

Gambar 3.26. Turap beton


3.3. Perkuatan Tebing/Lereng Tanah dengan Geotekstil dan Sistem Lainnya
3.3.1. Pengertian umum
3.3.1.1. Sistem-sistem yang tersedia
Pada dasarnya, sistem perkuatan tanah terdiri atas 3 (tiga) komponen
utama: reinforcement (perkuatan), backfill atau in-situ ground (material
35

timbunan), dan facing element. Reinforcementnya sendiri bisa terdiri atas material
logam maupun non-logam. Dalam sistem strip reinforcement, suatu material yang
koheren dan komposit terbentuk dengan cara meletakkan strip-strip horisontal di
antara lapis-lapis timbunan backfill. Sedangkan sistem grid reinforcement terdiri
atas metallic bar mats atau polymeric tensile element yang dirangkai dalam grid-
grdi yang saling tegak lurus dan diletakkan secara horisontal dalam backfill. Wire
mesh dapat pula digunakan dengan cara yang serupa, sebagai continuous sheet
dari geotextile yang diletakkan di antara lapis-lapis backfill. Facing element yang
sekarang ini dipakai mencakup precast concrete panel, prefabricated metal sheet
and plate, gabion, welded wire mesh, shotcrete, seeded soil, masonry block, dan
geotextile. Pemilihan facing element ini didasarkan atas tipe reinforcement,
fungsi, dan estetika.
Dalam sistem in-situ reinforcement, atau soil-nailing, biasanya
menggunakan steel bar, metal tube, atau batang logam lainnya yang mampu
menahan bukan hanya tegangan geser tetapi juga bending moment.

3.3.1.2. Aplikasi
Perkuatan tanah sekarang ini digunakan secara rutin untuk kosntruksi
retaining wall dan struktur abutment, untuk perbaikan keruntuhan lereng, untuk
retention of excavation, dan untuk stabilisasi in-situ lereng. Dengan menggunakan
perkuatan tanah, akan diperoleh suatu struktur tanah diperkuat dengan koheren
dan fleksibel, sehingga mempunyai toleransi terhadap large deformation, mudah
dilaksanakan, berbagai macam material backfill dapat dipakai, lebih tahan
terhadap beban seismik, lebih ekonomis dari metode konvensionil, dan
mempunyai berbagai pilihan tipe facing element.
Disamping digunakan secara rutin untuk aplikasi di atas, pemakaian
perkuatan tanah juga telah meliputi pondasi raft, containment dike, dam, seawall,
bulkhead, guay, dan pemikul underground chamber.

3.3.1.3. Mekanisme dan perilaku


36

Sebagian besar dari reinforcement yang sekarang ini dipakai umumnya


adalah inextensibel dimana reinforcement ini runtuh (rupture) pada regangan yang
jauh lebih rendah dari yang diperlukan untuk menyebabkan kehancuran tanah,
terkecuali beberapa macam geotextile yang extensible yang runtuh pada large
deformation. Karena reinforcement yang extensible umumnya memiliki modulus
elastisitas yang lebih rendah dari yang inextensible, sehingga diperlukan regangan
tanah yang lebih besar untuk memobilisasi efek reinforcement. Reinforcement
dengan modulus yang tinggi akan menahan deformasi tanah dalam arah yang
sejajar dengan reinforcement, sehingga terdapat anisotropic cohesion atau
bertambahnya confining pressure pada bidang yang tegak lurus dengan perkuatan.
Transfer beban antara tanah dan reinforcement bekerja melalui 2 (dua)
mekanisme dasar, yaitu tahanan friksi dan tahanan pasif (bearing capacity).
Kedua mekanisme ini bekerja secara bersama dan kontribusi masing-masing tidak
mudah untuk dihitung. Oleh karena itu koefisien friksi efektif (effective friction
coefficient) umunya ditentukan dari percobaan fullscale tes. Harga koefisien ini
berkisar dari 0,5 sampai lebih besar dari 0,1. Harga koefisien friksi yang rendah
dipakai untuk reinforcement yang mulus (smooth) dan yang terletak pada
kedalaman yang besar, sedangkan harga koefisien yang tinggi dipakai pada
reinforcement bersirip (ribbed reinforcement) dan yang terletak di sekitar
permukaan backfill.
Mekanisme interaksi tanah-reinforcement adalah sedemikian rupa
sehingga pada tipikal reinforced wall atau timbunan terdapat zona aktif (active
zone) yang cenderung bergerak maju tetapi di tahan oleh bagian reinforcement
yang mentransfer beban pada zona aktif dan zona penahan. Gaya tarik maksimum
pada reinforcement terletak antara zona aktif dan zona penahan. Gaya tarik
reinforcement ini akan paling efektif bila diletakkan dalam arah maksimum
extension strain.

3.3.2. Mekanisme transfer beban


Menurut Mitchell dan Villet (1987), dalam suatu perkuatan tanah,
kombinasi antara material tanah dan perkuatan harus sedemikian rupa sehingga
37

interaksi antara keduanya menghasilkan material komposit yang perilakunya jauh


lebih baik. Tanah yang umumnya memiliki kekuatan tekan yang baik dan
kemampuan tarik yang sangat lemah dapat diperbaiki perilakunya dengan
menambahkan perkuatan yang memiliki kekuatan tarik. Kerja sama kedua
material ini dapat menghasilkan material koheren dan memperbaiki perilaku
teknis tanah asli. Perbaikan perilaku teknis tanah asli ini terjadi karena adanya
transfer beban antara perkuatan dan tanah. Seperti pada Gambar 3.29. dan 3.30.
Mitchell dan Villet (1987) selanjutnya membagi perkuatan ke dalam dua
golongan, yaitu extensible (dapat memanjang) dan inextensible (tidak dapat
memanjang). Pada dasarnya, hampir semua material perkuatan adalah inextensible
kecuali geotextile. Oleh karena itu material perkuatan ini mempunyai modulus
yang jauh lebih tinggi dibanding tanah, maka mampu menahan deformasi tanah
dalam arah sejajar perkuatan. Sehingga keberadaan perkuatan ini dapat dianggap
menaikkan kohesi tanah atau menambah confining pressure.
Transfer tegangan antara tanah dan perkuatan dapat terjadi melalui dua
mekanisme, yaitu tahanan friksi dan tanahan pasif. Umumnya kedua mekanisme
transfer beban ini bekerja secara aktif. Seperti terlihat pada Gambar 3.27.

3.3.2.1. Transfer beban melalui tahanan friksi


Yang dapat digolongkan dalam kategori friksi ini seperti terlihat pada
Gambar 3.28. antara lain adalah:
1. Reinforced earth
2. Plastic strip
3. Geotextile
Meskipun demikian, hanya geotextilelah yang bidang permukaanya
halus. Sehingga hanya geotextile sajalah yang transfer bebannya terjadi melalui
friksi murni. Oleh karena itu sistem perkuatan yang lainnya tidak mempunyai
permukaan yang rata dan halus, maka koefisien friksinya didapat dari pengukuran
langsung.

3.3.2.2. Transfer beban melalui tahanan pasif


38

Transfer melalui tahanan pasif terjadi akibat adanya bidang penahan dari
perkuatan yang arahnya tegak lurus arah gaya yang ditahan tanah.
Yang dapat tergolong ke dalam kategori pasif ini antara lain adalah:
1. VSL Retained Earth Wall
2. Welded Wire Wall
3. Reinforced Soil Embankment
4. Anchored Earth
5. Geogrid

Gambar 3.27. Transfer beban melalui friksi antar tanah dan perkuatan dan
distribusinya sepanjang perkuatan (Mitchell dan Villet, 1987)

Gambar 3.28. Sistem perkuatan dengan transfer beban friksi


39

Gambar 3.29. Tahanan pasif dari tanah (Mitchell dan Villet, 1987)

Gambar 3.30. Tahanan pasif sebagai fungsi dari sudut geser dalam
(Jewell et al., 1984)
40

Gambar 3.31. Sistem perkuatan dengan transfer beban pasif

3.3.2.3. Kombinasi tahanan friksi dan tahanan pasif dan pengaruh sifat fisik
lainnya dari perkuatan
Kecuali geotekstil, pada dasarnya semua perkuatan melibatkan mekanisme
friksi dan mekanisme pasif. Masing-masing mekanisme bekerja sama secara aktif.
Contoh mekanisme kombinasi ini terdapat pada sistem grid pada Gambar 3.32.
Mekanisme transfer beban antara tanah dan perkuatan juga dipengaruhi oleh:
1. Lokasi bidang runtuh, seperti pada Gambar 3.33.
2. Distribusi tegangan maksimum, seperti terlihat pada Gambar 3.34.
3. Orientasi perkuatan, seperti pada Gambar 3.35.
4. Kekarasan perkuatan, seperti pada Gambar 3.36.
5. Bentuk perkuatan, seperti pada Gambar 3.37.
6. Kekakuan perkuatan, dapat dilihat pada Gambar 3.38.
41

Gambar 3.32. Mekanisme gabungan pada perkuatan grid

Gambar 3.33. Lokasi bidang runtuh

Gambar 3.34. Distribusi tegangan tarik maksimum


42

Gambar 3.35. Pengaruh orientasi perkuatan

Gambar 3.36. Pengaruh kekasaran perkuatan

Gambar 3.37. Pengaruh bentuk perkuatan


43

Gambar 3.38. Pengaruh kekuatan perkuatan

3.3.2.4. Perilaku material komposit tanah dan perkuatan


Menurut Schlosseer dan Vidal, adanya kemampuan perkuatan yang
mampu menahan tarik dan adanya transfer beban antara perkuatan dengan tanah
menyebabkan tanah memiliki apparent cohesion dan kuat gesernya bertambah.
Sedangkan menurut Bessett dan Last. Adanya perkuatan dalam matriks tanah
memperkecil deformasi massa tanah dalam arah perkuatan, sehingga menambah
confining pressure dan menaikkan kekuatan geser.
Pada confining pressure yang rendah, keruntuhan sistem komposit terjadi akibat
slip atau tercabutnya perkuatan dari massa tanah. Pada kondisi dengan confining
pressure yang rendah ini, maka kenaikan kekuatan tanah komposit akan
proporsional dengan kenaikan confining pressure.
Sedangkan pada confining pressure yang tinggi, keruntuhan sistem
komposit terjadi akibat patah atau putusnya perkuatan. Pada kondisi dengan
confining pressure tinggi ini, kenaikan kekuatan tanah komposit besarnya adalah
konstan dan tidak ditentukan oleh besarnya kenaikan confining pressure. Seperti
terlihat pada Gambar 3.39. dan Gambar 3.40.
44

Gambar 3.39. Pengaruh kekuatan dan confining pressure terhadap kekuatan tanah
komposit (Mitchell dan Villet, 1987)

Gambar 3.40. Mekanisme keruntuhan dan kenaikan kekuatan tanah komposit


45

................................................................................................ (3.2.)

..........................................................................................

(3.3.)

.........................................................................................................(3.4.)

....................................................................................... (3.5.)

Keterangan:
C’r : kohesi apparent
Rt : kapasitas tarik saat putus
Sv : spasi vertikal antar lapis horisontal
3r : kenaikan effective confinement
1r : tegangan failure envelope

3.3.3. Sistem yang ada


Pada dasarnya, setiap sistem perkuatan tanah terdiri dari 3 (tiga)
komponen yaitu:
1. Reinforcement atau perkuatannya
2. Tanah penimbunnya
3. Facing element, fungsi dari facing element ini adalah untuk menahan erosi dan
lainnya material.
Sedangkan sistem perkuatan tanah dapat diklasifikasikan berdasarkan
material pembentuknya, berdasarkan geometrinya, dan berdasarkan mekanisme
transfer beban dari perkuatan ke tanah di sekelilingnya. Secara garis besarnya,
pengklasifikasian sistem perkuatan tanah ini adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan jenis material
Maka sistem perkuatan tanah dapat dibagi ke dalam:
a. Metallic reinforcement
b. Non metallic reinforcement
2. Berdasarkan bentuk geometrinya
46

Maka sistem perkuatan tanah dapat diklasifikasikan ke dalam:


a. Strip
b. Grid
c. Bar mat
d. Sheet (lembar)
e. Rod (batang)
f. Fiber
g. Cellular
3. Sedangkan berdasarkan mekanisme transfer beban antara perkuatan dan tanah
di sekelilingnya, dikategorikan ke dalam:
a. Friction resistance
b. Passive/bearing resistance
Sistem perkuatan tanah yang tersedia berdasarkan atas klasifikasi di atas meliputi:
1. Frictional reinforcement systems
a. Strip reinforcement
- Metallic : reinforced earth
- Non-metallic : plastic strip
b. Sheet reinforcement : geotextile
2. Passive resistance reinforcement systems
a. Grid reinforcement
- Metallic : Welded wire wall/Reinforced soil embankment
- Non-metallic : Geogrid
b. Bar mat : VSL retained earth wall/Mechanically stabilized
: Embankment/Georgia stabilized embankment
c. Rod reinforcement : anchored earth
d. Cellular reinforcement : grid cell
3. In-situ soil reinforcement soil nailing

3.3.3.1. Frictional reinforcement systems


1. Strip reinforcement metallic : Reinforced earth
47

Reinforced earth adalah suatu sistem perkuatan tanah untuk lereng timbunan
yang terdiri atas material penimbunan dari tanah granular dan material
perkuatan yang berbentuk strip/lajur lurus yang diletakkan horisontal.
Perkuatan pada sistem reinforced earth ini terbuat dari logam. Oleh karena itu
perkuatan ini mampu menahan gaya tarik yang besar dan dapat berfungsi
untuk menahan pergerakan lateral massa tanah. Seperti pada Gambar 3.41.,
Gambar 3.42., Gambar 3.43., dan Gambar 3.44.
Pada dasarnya, reinforced earth ini terdiri atas 3 (tiga) komponen, yaitu:
- Perkuatan tanah yang berbentuk strip/lajur
- Material tanah penimbun, dan
- Facing element yang berfungsi secara lokal untuk menahan larinya material
penimbun, salah satunya dapat dilihat pada Gambar 3.45.
Karena perkuatan strip dari logam dan facing element dari beton dibuat secara
prefabricated, sehingga konstruksi dapat dilaksanakan dengan mudah, cepat,
dan memenuhi standar serta kontrol kualitas. Untuk mencegah korosi maka
perkuatan strip dibuat dari baja yang digalvanisir. Seperti Gambar 3.46, dan
Gambar 3.47.
48

Gambar 3.41. Skema reinforced earth dan contoh aplikasinya


(Mitchell and Villet, 1987)
49

Gambar 3.42. Proses pemasangan


50

Gambar 3.43. Aplikasi reinforced earth


51

Gambar 3.44. Aplikasi reinforced earth

Gambar 3.45. Dimensi perkuatan dan facing element (Mitchell dan Villet, 1987)
52

Gambar 3.46. Skema plastic strip dan dimensinya (Mitchell dan Villet, 1987)

Gambar 3.47. Contoh pemakaian plastic strip pada websol frictional anchor
system (Mitchell dan Villet, 1987)
53

2. Sheet reinforcement : geotextile


Dinding tanah yang diperkuat dengan geotekstil dapat mempunyai kemiringan
yang tajam bahkan hingga vertikal. Dinding tanah ini mendapat support dari
beberapa lapis lembar geotekstil yang tertanam di dalam tanah urugan di
belakang permukaan dinding. Muka dinding (facing element) dibuat dengan
cara melipat geotekstil ke atas dan membungkus lapisan di atasnya. Sehingga
lipatan geotekstil untuk muka dinding ini berfungsi untuk menahan urugan
tanah di belakangnya. Seperti terlihat pada Gambar 3.48. Sedangkan tekanan
lateral dari dinding akan ditransfer kepada tanah urugan di belakang zona aktif
melalui lembar geotekstil yang tertanam di dalam tanah. Permukaan geotekstil
umumnya ditutup dengan aphalt emulsion, gunite, concrete, masonry,
gabions, atau tanah dan rumput untuk proteksi jangka panjang terhadap sinar
ultarviolet dari matahari. Sebagai alternatifnya, elemen struktur dapat
digunakan sebagai muka dinding, misalnya precast concrete panel, steel
soldier piles, tembok bata, gabion, atau beton cast-in-place. Seperti terlihat
pada Gambar 3.49.

Gambar 3.48. Konsep pemakaian geotekstil untuk dinding penahan dan timbunan
(Mitchell dan Villet, 1987)
54

Gambar 3.49. Contoh-contoh pemakaian geotekstil untuk lereng timbunan


(Mitchell dan Villet, 1987)

3.3.3.2. Passive resistance reinforcement systems


1. Grid reinforcement
a. Metallic : Welded wire wall/Reinforced soil embankment
Welded wire wall dan reinforced soil embankment memanfaatkan
perkuatan dari welded wire mesh untuk menghasilkan massa tanah urugan
yang korheren. Perbedaan utama antara welded wire wall dan reinforced
soil embankment adalah pada bidang muka dan pada ukuran mesh-nya.
Pemilihan antar kedua jenis ini lebih didasari atas pertimbangan
arsitektural untuk suatu lokasi. Urutan pelaksanaan konstruksinya terlihat
pada Gambar 3.52.
b. Non-metallic : Geogrid
Geogrid adalah matras grid terbuat dari polimer yang mampu menahan
tarik dan tekan dari tanah bertambah besar akibat adanya interaksi antara
perkuatan geogrid dengan massa tanah yang berada di atas dan di
bawahnya. Mekanisme transfer beban antara geogrdi dengan tanah melalui
55

dua mekanisme, yaitu friksi sepanjang permukaan perkuatan dan tahanan


pasif di depa penampang melintang geogrid. Seperti pada Gambar 3.50.
dan Gambar 3.51., Gambar 3.54., Gambar 3.55.
Material tanah penimbun umumnya berasal dari tanah granular yang
dipadatkan lapis per lapis. Meskipun demikian, geogrid juga dapat
digunakan untuk tanah berkualitas jelek dalam perbaikan lereng.
Facing dari sistem geogrid ini dapat dibuat dengan cara melipat geogrid
(dan memberi/menanam rumput) atau dengan menggunakan elemen
struktur, misalnya gabion dan concrete panel. Seperti dapat dilihat pada
Gambar 3.56. dan Gambar 3.57.

Gambar 3.50. Sistem perkuatan dengan geogrid dan dimensi geogrid


(Netlon Ltd.)
56

Gambar 3.51. Sistem perkuatan dengan geogrid dan dimensi geogrid


(Mitchell dan Villet, 1987)
57

Gambar 3.52. Urutan pelaksanaan konstruksi welded wire wall


(Mitchell dan Villet, 1987)

Gambar 3.53. Reinforced soil embankment


(Mitchell dan Villet, 1987)
58

Gambar 3.54. Tensar Geogrid


59

Gambar 3.55. Dimensi geogrid (Netlon Ltd.)


60

Gambar 3.56. Tipe-tipe facing untuk geogrid (Netlon Ltd.)

Gambar 3.57. Tipe-tipe facing untuk geogrid (Netlon Ltd.)


61

2. Bar mat : VSL retained earth wall/Mechanically stabilized


: Embankment/Georgia stabilized embankment
Sistem perkuatan yang menggunakan bar mat untuk perkuatan lereng meliputi
VSL retained earth wall (Gambar 3.58.), mechanically stabilized embankment
(Gambar 3.59.), georgia stabilized embankment (Gambar 3.60.). Sebagaimana
sistem-sistem lainnya, VSL retained earth wall. Mechanically stabilized
embankment, georgia stabilized embankment memiliki tiga komponen, yaitu
facing element dari beton, perkuatan, dan tanah urugan terpadatkan. Facing
element untuk VSL retained earth berbentuk heksagonal, sedangkan yang
lainnya berntuknya berbeda.
Matras perkuatan terdiri atas tulangan baja W11 atau W20 yang disusun saling
tagak lurus dengan spacing yang tertentu. Tergantung kebutuhannya, masing-
masing mesh dapat memiliki 4, 5, atau 6 tulangan memanjang. Matras ini
dirurug dengan tanah urugan dari granular material yang dipadatkan lapis
demi lapis.

Gambar 3.58. VSL retaining earth wall (Mitchell dan Villet, 1987)

Gambar 3.59. Mechanically stabilized embankment facing panel


62

Gambar 3.60. Georgia stabilized embankment facing panel


(Mitchell dan Villet, 1987)

3. Rod reinforcement : anchored earth


Sistem perkuatan tanah ini memiliki facing panel dari beton yang ditahan
oleh batang baja (steel rod) yang tertanam dalam tanah. Batangan baja ini
ujungnya dibengkokkan agar tahanan tarik dari tanah besar. Batangan baja ini
disambungkan facing panel dengan menggunakan sekrup. Dalam anchored
earth, diasumsikan bahwa tahanan tanah pasif hanya berasal dari bagian
batang yang dibengkokkan. Sedangkan bentuk bengkokan yang disukai adalah
yang berbentuk segitiga dan dilas di pertemuannya. Seperti terlihat pada
Gambar 3.61.

Gambar 3.61. Skema anchored earth retaining wall (Mitchell dan Villet, 1987)

4. Cellular reinforcement
Cellular reinforcement dapat juga digunakan di dasar embankment untuk
menaikkan bearing capacity dari tanah jelek di bawahnya, yang pada akhirnya
akan meningkatkan stabilitas timbunan. Karena cellular reinforcement ini
63

merupakan perkuatan dengan menggunakan satu lapis saja di dasar timbunan,


maka pada dasarnya bukan merupakan sistem tanah yang diperkuat. Seperti
pada Gambar 3.62.

Gambar 3.62. Skema perkuatan dengan grid cell (Mitchell dan Villet, 1987)
64

Gambar 3.63. Facing dan sambungan (Mitchell dan Villet, 1987)

3.3.3.3. In-situ Stabilization dengan soil nailing


Soil nailing adalah suatu metode perkuatan tanah in-situ dengan inclusion,
biasanya terbuat dari batang-batang penguat. Batang-batang penguat ini tidak
diprestress dan diletakkan pada interval yang sama (1,0 – 2,0m). Batang-batang
ini selain dapat diletakkan dalam lubang-lubang predrilled dan digrouting
sepanjang panjang total dapat juga dipancang ke tanah. Permukaan galian antara
batang-batang tersebut distabilisasi dengan lapisan shotcrete setebal 10,0 – 15,0
cm yang diperkuat dengan wire mesh. Seperti dapat dilihat pada Gambar 3.64. dan
Gambar 3.65.
65

Gambar 3.64. Dinding soil nailing tertinggi dibangun di Perancis tahun 1990
(Cloutere, 1991)

Gambar 3.65. Detail konstruksi dari sistem penahan tanah lateral

Prosedur konstruksi tipikal (Chassie, 1993) dapat dilihat pada Gambar 3.66.:
1. Penggalian sampai kedalaman 1,0 – 1,8 m
2. Pemboran
Diameter tipikal = 1,0 – 2,0 m
Inklinasi tipikal = 15o
Panjang tipikal = 60 – 100% tinggi dinding total
66

3. Pemasangan batang baja dan grouting


Batang baja tipikal = diameter 1,875 – 3,65 cm, grade 60
Grout tipikal = neat cement grout, water cement ratio 0,4 – 0,5
Untuk dinding permanen, batang-batang penguat diisi epoxy atau diberi
pencegahan korosi
4. Pemasangan prefabricated drain
Lebar tipikal = 30 – 60 cm
5. Penempatan wire mesh, water bars, shotcrete, bearing plate, dan nut
Campuran shotcrete tipikal = 3/8” ukuran agregat maksimum
Tebal shotcrete tipikal = 10 – 25cm, 21 – 28MPa kekuatan 28 hari
Pelat baja tipikal = 6” x 6” x 3/8” sampai 8” x 8” x 1/2”
6. Ulangi langkah 1 – 5 untuk tahap akhir
7. Penempatan final facing bila diperlukan

Gambar 3.66. Pentahapan konstruksi nailing

3.3.4. Perhitungan perencanaan perkuatan tanah untuk lereng timbunan


3.3.4.1. Metode pendekatan
Dalam mendesain perkuatan tanah ada tiga metode pendekatan yang
umum digunakan, yaitu berdasarkan:
1. kondisi saat runtuh
2. working stress condition
3. metode elemen hingga (finite element analysis)
67

1. Berdasarkan kondisi saat runtuh


Pendekatan ini banyak dipakai dalam mendesain perkuatan tanah. Pendekatan
didasarkan atas “limit analysis” (analisis pada bidang lonsor). Dari hasil
eksperimen di laboratorium menunjukkan logarithmic spiral failure surfface
memberikan lokasi tegangan tarik maksimum (Tmax) reinforcement pada
bidang runtuh.
Pada pendekatan ini terdapat tiga bentuk kemungkinan bidang runtuh yang
umum digunakan dalam analisis:
a. Single plane failure surface
Digunakan oleh U.K. Department of Transportation, T dan N ditambahkan
dalam memobilisir shear strength. Dari beberapa bidang runtuh (trial-
error) digunakan bidang runtuh yang memerlukan reinforcement terbesar.
Seperti dapat dilihat pada Gambar 3.67.
b. Two part wedge failur surface
c. Circular failure surface (Gambar 3.68.)
Perbedaan utama dari masing-masing analisis didasarkan atas asumsi bidang
runtuh dan besarnya kontribusi reinforcement.

Gambar 3.67. Model keruntuhan single plane failure surface


68

2. Pendekatan working stress condition


Tidak seperti pada analisis yang didasarkan pada saat runtuh, disini
diasumsikan tegangan horisontal adalah v’.Ko (bukan Ka). Deformasi yang
terjadi didasarkan atas respon tanah yang koheren terhadap beban luar.
Hasilnya lebih kuat dari analisis yang didasarkan saat runtuh.
3. Pendekatan metode elemen hingga (finite element method)
Pada pendekatan ini analisis tegangan dan deformasi dihitung dengan
menggunakan metode elemen hingga.

Gambar 3.68. Model keruntuhan circular failure surface

3.3.4.2. Metode yang digunakan untuk menghitung kapasitas daya dukung


tarik dari reinforcement
Secara umum ada 3 (tiga) pendekatan, yaitu analisis yang menggunakan
daya dukung friksi saja, analisis yang menggunakan daya dukung pasif saja, dan
analisis yang menggunakan daya dukung pasif dan friksi.
1. Analisis yang menggunakan daya dukung friksi
Pf = *.z.As........................................................................................... (3.6.)
= *v’.As ......................................................................................... (3.7.)
69

dengan:
* : apaprent friction
v’ : tegangan vertikal
As : luas penampang reinforcement
Pf : pullout capacity
- Strip reinforcement
Pf = *.z.Le.2b.......................................................................... (3.8.)
0,50 < * < 1,50
- Sheet reinforcement : geotekstil

Pf = 2 . Le .z . tan ............................................................ (3.9.)

2. Analisis yang menggunakan daya dukung pasif/bearing


- Rod reinforcement (anchored earth)

Pf = ...........................................................

(3.10.)
- VSL retained earth
Pf = Np . zd . b . n...................................................................... (3.11.)
3. Analisis yang menggunakan daya dukung kombinasi friksi dan pasif

Pf = Le.bz ((2s.tan())) + Np. bz . . t . b...................................

(3.12.)
dengan:
s : fraksi dari luas permukaan geogrid yang menerima friksi
b : fraksi dari luas potongan geogrid yang menerima bearing
4. Hal lain yang perlu dipertimbangkan
Hal-hal lain yang perku dipertimbangkan dalam analisis desain perkuatan
tanah adalah:
- Kondisi setempat, yaitu meliputi daya dukung dan settlement;
- Tanah timbunan
- Drainase
70

3.3.4.3. Perencanaan Reinforcement


1. External stability
Dalam external stability ini diasumsikan tanah dan reinforcement
sebagai satu satuan unit. External stability ini meliputi:
- sliding along the base
- overturning about the toe
- bearing capacity of the foundation
- exentricity
- slope stability
Syarat stabilitas eksternal ini dapat digunakan untuk mencari panjang
minimum (L).
- reinforce rupture
- pullout capacity
- durability
2. Internal stability
Hal-hal yang akan dibahas disini meliputi:
- failure surface
- earth pressure coefficient (ka)
71

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi Penelitian


Lokasi Penelitian mengambil tebing di Desa Patihan, Kelurahan Karang
Tengah, Kecamatan Sragen, Kabupatan Sragen, Propinsi Jawa Tengah. Karena
tebing di lokasi tersebut sangat sering terjadi kelongsoran. Beberapa waktu yang
lalu sebenarnya tebing tersebut sudah mendapatkan perbaikan dan perkuatan
dengan sistem Geocell oleh Balai Besar Bengawan Solo namun ternyata masih
mengalami kelongsoran yang cukup parah.

4.2. Metode Pengumpulan Data


4.2.1. Data Primer
Data-data primer yang diperlukan adalah sebagai berikut:
1. Data tanah dan lereng diperoleh dengan cara survei atau dari data instansi
Balai Besar Bengawan Solo;
2. Data material geotekstil diperoleh dari perusahaan penyedia geotekstil.

4.2.2. Data sekunder


Data-data sekunder yang diperlukan adalah sebagai berikut:
1. Foto lokasi diperoleh dari survei lapangan
2. Gambar lokasi tebing
3. Peta lokasi diperoleh dari Bakosurtanal

4.3. Metode Analisis Data


Metode analisis data yang digunakan adalah menggunakan cara scoring
(skala likert) sehingga dapat dikomparasikan dengan jelas antara kelebihan dan
kekurangan sistem pelindung tebing dengan strip reinforcement terhadap sheet
reinforcement geotextile.
72

Mulai
70

Studi Literatur dan Identifikasi Masalah dan


Penelitian Sebelumnya Perumusan Masalah

Pengumpulan Data

Data Primer: Data Sekunder:


1. Data tanah 1. Peta lokasi
2. Data getekstil 2. Gambar tebing

- Perhitungan Perkuatan dengan


Strip Reinforcement
- Perhitungan Perkuatan dengan
Sheet Reinforcement

No Studi Komparasi
Faktor Keamanan
Optimal

Yes
Analisis Studi
Komparasi

Kesimpulan

Penyusunan Laporan

Selesai

Gambar 4.1 Bagan Alir Tahapan Penelitian


73

4.4. Tahapan Pelaksanaan


Tahapan penelitian dari awal sampai akhir penelitian dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Pelaksanaan penelitian dimulai dari observasi lokasi, lokasi mengambil tebing
di Desa Patihan, Kelurahan Karang Tengah, Kecamatan Sragen, Kabupatan
Sragen, Propinsi Jawa Tengah. Karena tebing di lokasi tersebut sangat sering
terjadi kelongsoran;
2. Mengumpulkan data primer dan sekunder;
3. Menganalisis perkuatan tebing dengan strip reinforcement geotextile;
4. Menganalisis perkuatan tebing dengan sheet reinforcement geotextile;
5. Analisis Studi Komparasi;
6. Selesai.
Untuk lebih jelasnya tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.1.
74

BAB V
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

5.1. Data-data Analisis Pelindung Tebing


Data-data yang digunakan untuk analisis sistem perkuatan dinding
penahan tanah dengan sheet dan strip reinforcement geotextile adalah sebagai
berikut :
Data tanah yang digunakan sebagai tanah urug di bagian belakang dinding adalah
data tanah pada kedalaman 0,00 m – 2,00 m.
c (kohesi tanah) = 15,93 KN/m2
(sudut geser tanah) = 31,74o
s (berat jenis tanah) = 15,97 KN/m3
= 1,597 ton/m3

Gambar 5.1. Potongan melintang tipikal tebing Kali Mungkung

5.2. Analisis Pelindung Tebing dengan Strip Reinforcement Geotextile


Data material strip reinforcement geotextile yang digunakan untuk analisis
adalah sebagai berikut:
Tebal reinforcement : 5,00 cm
Lebar reinforcement : 10,00 cm
SV (jarak vertikal) : 1,00 m
SH (jarak horisontal) : 1,00 m
ijin tarik : 3,00 ton/cm2

73
75

Salah satu contoh aplikasi dari sistem pelindung tebing dengan strip
reinforcement geotextile adalah seperti pada Gambar 5.2. dan 5.3. berikut ini:

Gambar 5.2. Sistem pelindung tebing dengan Strip Reinforcement Geotextile

Gambar 5.3. Potongan Sistem Struktur pelindung tebing dengan Strip


Reinforcement Geotextile
76

Gambar ilustrasi pemasangan strip reinforcement geotextile:

Gambar 5.4. Pemasangan Strip reinforcement geotextile

Strip reinforcement geotextile dibuat dalam 6 lapisan seperti terlihat pada Gambar
5.4.
Perhitungan koefisien tanah aktif :
K0 = 1 – sin 
= 1 – sin (31,74o)
= 1 – 0,53
= 0,47

Ka = tan2(45- )

= tan2(45o- ( ))

= 0,31
Distribusi tegangan horisontal :
Perhitungan nilai koefisien K yang lainnya dapat dilakukan secara interpolasi
seperti terlihat pada Gambar 5.5.
77

Gambar 5.5. Interpolasi perhitungan nilai koefisien K

Untuk ketinggian (Z) setinggi 1,00 m, nilai K didapatkan dari hasil interpolasi:

0,17 =

x - 0,47 = -0,027
x = 0,44
Sehingga didapatkan nilai K1 = 0,44.

Dengan cara yang sama didapatkan nilai K untuk ketinggian 0,00 sampai 6,00 m
sebagai berikut :
Z0  K0 = 0,47
Z1  K1 = 0,44
Z2  K2 = 0,42
Z3  K3 = 0,39
Z4  K4 = 0,36
Z5  K5 = 0,34
Z6  K6 = 0,31
78

Gaya horisontal tiap lapisan dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :


FH = SH . SV .  . Zx . Kx
Dimana :
SH : 1,00 m
SV : 1,00 m
s : 15,97 KN/m3
= 1,597 ton/m3

Gambar 5.6. Perspektif pemasangan strip reinforcement geotextile

Sehingga:
FH1 = 1,00 x 1,00 x 1,597 x 1,00 x 0,44
= 0,70 ton
FH2 sampai dengan FH5 analog dengan FH1
FH2 = 1,34 ton
FH3 = 1,87 ton
FH4 = 2,29 ton
FH5 = 2,71 ton
FH total = 0,70 + 1,34 + 1,87 + 2,29 + 2,71
= 8,91 ton
Sehingga didapatkan nilai Tahanan horisontal : 8,91 ton.
79

Kapasitas tarik reinforcement (FT) :


FT = Areinforcement . ijin
= 5,00 x 10,00 x 3,00
= 150,00 ton

SF terhadap rupture =

= 16,84
> 2,00 ….. (Oke)
Sehingga kekuatan strip reinforcement geotextile terhadap gaya tarik putus cukup
memadai.

Gaya horisontal yang ditahan oleh reinforcement akibat dipegang tanah :


Pf = 2 . b .  . Zx .  . Lex
 = 1,50
b = 10 cm
= 0,10 m
s = 15,97 KN/m3
= 1,597 ton/m3

Adapun nilai Le dihitung sebagai berikut :

Untuk Z <  Z<  Z < 3,00  Le = L –

1/3 . H
Nilai L (panjang strip reinforcement geotextile) diambil : 4,00m

Z = 1,00  Le1 = 4,00 – 2,00


= 2,00 m
Z = 2 ,00  Le2 = 4,00 – 2,00
= 2,00 m
Z = 3,00  Le3 = 4,00 – 2,00
= 2,00 m
80

Sedangkan untuk Z >  Z>  Z > 3,00  Le = L –

Z=4  Le4 = 4,00 –

= 4,00 -

= 2,88 m

Z=5  Le5 = 4,00 –

= 4,00 -

= 3,44 m

Nilai Pf untuk masing-masing kedalaman:


Pf1 = 2,00 x 0,10 x 1,597 x 1,00 x 1,50 x 2,00 = 0,96 ton
Pf2 = 2,00 x 0,10 x 1,597 x 2,00 x 1,50 x 2,00 = 1,92 ton
Pf3 = 2,00 x 0,10 x 1,597 x 3,00 x 1,50 x 2,00 = 2,87 ton
Pf4 = 2,00 x 0,10 x 1,597 x 4,00 x 1,50 x 2,88 = 5,52 ton
Pf5 = 2,00 x 0,10 x 1,597 x 5,00 x 1,50 x 3,44 = 8,24 ton
Pf total = 0,96 + 1,92 + 2,87 + 5,52 + 8,24 = 19,51 ton

SF =

= 2,19 > 1,00 ..... (Oke)


Karena SF > 1,00, maka panjang reinforcement (4,00 m) cukup mampu menahan
tekanan tanah lateral.

5.3. Analisis Pelindung Tebing dengan Sheet Reinforcement Geotextile


Salah satu contoh aplikasi dari sistem pelindung tebing dengan Sheet
Reinforcement Geotextile di Indonesia dapat dilihat pada gambar berikut ini:
81

Gambar 5.7. Contoh aplikasi sistem Sheet Reinforcement Geotextile

Data material geotextile yang digunakan:


- Jenis material geotextile : Geotextiles High Strength (GHS)
- Ultimate tensile strength : 55 kN/m
= 5,5 ton/m
Ta = Tall

= 1,83 ton/m
Jarak antar lembar sheet reinforcement geotextile :
S = spacing

=
82

Gambar 5.8. Susunan Sheet Reinforcement Geotextile

Susunan geotekstil dibagi dalam 2 zone, masing-masing zone setinggi 3,00m.


Untuk bagian atas:
hc = 2,50 .  . K0
= (2.50) . (1,597) . (1 – sin 31,74o)
= (3,99) . (1 – 0,53)
= 1,88 ton/m2
Faktor keamanan diambil sebesar : 1,50

Satas =

= 0,65 m
 0,60 m

Jumlah =

= 5 lapisan

Untuk bagian bawah:


hc = 5,00 .  . K0
= (5,00) . (1,597) . (1 – sin 31,74o)
= (7,99) . (0,47)
= 3,79 ton/m2

Satas =
83

= 0,32 m
 0,30 m

Jumlah =

= 10 lapisan

Gambar 5.9. Susunan Lapisan atas dan bawah

Menghitung dimensi sheet reinforcement geotextile :


Untuk lapisan ke – 1 :
Z1 = (1 . 0,60)
= 0,60 m
FH1 = Gaya horisontal yang bekerja pada geotextiles
= Sv . K0 . Z . 
= (0,60) . (1 – sin 31,74o) . (0,60) . (1,597)
= (0,60) . (0,47) . (0,60) . (1,597)
= 0,27 ton/m

Digunakan panjang wrap geotekstil total (L) : 2,50 m


Panjang wrap geotekstil bagian atas (L0) :
84

L0 =

= 2,28 m
Le = L – L0
= 2,50 – 2,28
= 0,22 m
Ppullout resistance = 2 .  . Z . Le . m

= 2 . (1,597) . (0,60) . (0,22) . tan ( .31,74o)

= 0,16 ton/m

FSpullout =

= 0,60
< 1,00 ….. (Tidak Oke)
Karena tidak aman harus diperpanjang L nya dari 2,50 m menjadi 3,00m untuk
lapisan ke-1 dari atas tanah.
Dicoba panjang wrap geotekstil total (L) : 3,00 m
Panjang wrap geotekstil bagian atas (L0) :

L0 =

= 2,28 m

Le = L – L0
= 3,00 – 2,28
= 0,72 m
85

Ppullout resistance = 2 .  . Z . Le . m

= 2 . (1,597) . (0,60) . (0,72) . tan ( .31,74o)

= 0,53 ton/m

FSpullout =

= 1,96
> 1,00 ….. (Oke)

Perhitungan selanjutnya adalah sebagai berikut :


Untuk lapisan ke – 2 :
Z2 = 1,20 m
FH2 = Gaya horisontal yang bekerja pada geotextiles
= Sv . K0 . Z . 
= (0,60) . (1 – sin 31,74o) . (1,20) . (1,597)
= 0,54 ton/m
Digunakan panjang wrap geotekstil total (L) : 2,50 m
Panjang wrap geotekstil bagian atas (L0) :

L0 =

= 1,14 m
Le = L – L0
= 2,50 – 1,14
= 1,36 m
Ppullout resistance = 2 .  . Z . Le . m

= 2 . (1,597) . (1,20) . (1,36) . tan ( .31,74o)

= 2,02 ton/m
86

FSpullout =

= 3,70
> 1,00 ….. (Oke)
Analog dengan perhitungan di atas, dimensi untuk lapisan-lapisan di bawahnya
dapat dilihat pada Tabel 5.1. berikut ini:
Tabel 5.1. Data hasil analisis dimensi sheet reinforcement geotextile
x Zx FH L (m) Lo (m) Le (m) Ppullout(ton/m) FS
1 0,60 0,27 3,00 2,28 0,72 0,53 1,96
2 1,20 0,54 2,50 1,14 1,36 2,02 3,70
3 1,80 0,82 2,50 0,76 1,74 3,87 4,74
4 2,40 1,09 2,50 0,57 1,93 5,73 5,25
5 3,00 1,36 2,50 0,46 2,04 7,58 5,56
6 3,30 0,75 2,50 0,42 2,08 8,49 11,34
7 3,60 0,82 2,50 0,38 2,12 9,42 11,53
8 3,90 0,89 2,50 0,35 2,15 10,35 11,69
9 4,20 0,95 2,50 0,33 2,17 11,28 11,82
10 4,50 1,02 2,50 0,31 2,19 12,20 11,94
11 4,80 1,09 2,50 0,29 2,21 13,13 12,05
12 5,10 1,16 2,50 0,27 2,23 14,06 12,14
13 5,40 1,23 2,50 0,26 2,24 14,98 12,22
14 5,70 1,29 2,50 0,24 2,26 15,91 12,29
15 6,00 1,36 2,50 0,23 2,27 16,84 12,36
(Sumber : Hasil analisis)

Berdasarkan tabel tersebut dapat dibuat model susunan warp geotextile


seperti Gambar 5.10. berikut :
87

Gambar 5.9. Model susunan terakhir Sheet Reinforcement Geotextile

5.4. Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis terhadap system pelindung tebing menggunakan
system sheet reinforcement geotextile dan strip reinforcement geotextile adalah
sebagai berikut:
1. Dimensi strip reinforcement geotextile yang digunakan adalah dengan tebal 5
cm, lebar 10 cm, dan panjang 4,00 m, dimana jarak mendatar selebar 1,00 m,
dan jarak vertical ke atas setinggi 1,00 m juga. Berdasarkan perhitungan
didapatkan hasil bahwa nilai factor keamanan terhadap gaya tarik putus
(rupture) adalah sebesar 16,84, sedangkan factor keamanan terhadap tekanan
tanah lateral adalah sebesar 2,19. Sehingga dapat disimpulkan bahwa system
perkuatan ini cukup aman karena nilai factor keamanannya > 2,00.

2. Dimensi sheet reinforcement geotextile yang didapatkan dalam proses analisis


ini adalah setinggi 6,00 m terdiri atas 5 lapis setebal 0,60 m pada 3,00 bagian
atas dan 10 lapis setebal 0,30 m pada 3,00m bagian bawah. Panjang lipatan
88

bawah pada lapisan paling atas sepanjang 3,00 m sedangkan pada semua
lapisan di bawahnya sepanjang 2,50 m. dari hasil analisis didapatkan bahwa
nilai factor keamanan terhadap tarik meningkat dari lapisan pertama sebesar
1,96 menjadi 12,36 pada lapisan paling bawah.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
89

6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis terhadap system pelindung tebing menggunakan
system sheet reinforcement geotextile dan strip reinforcement geotextile dapat
diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Dimensi strip reinforcement geotextile yang digunakan adalah dengan tebal 5
cm, lebar 10 cm, dan panjang 4,00 m, dimana jarak mendatar selebar 1,00 m,
dan jarak vertical ke atas setinggi 1,00 m juga. Berdasarkan perhitungan
didapatkan hasil bahwa nilai factor keamanan terhadap gaya tarik putus
(rupture) adalah sebesar 16,84, sedangkan factor keamanan terhadap tekanan
tanah lateral adalah sebesar 2,19. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sistem
perkuatan ini cukup aman.
2. Dimensi sheet reinforcement geotextile yang didapatkan dalam proses analisis
ini adalah setinggi 6,00 m terdiri atas 5 lapis setebal 0,60 m pada 3,00 bagian
atas dan 10 lapis setebal 0,30 m pada 3,00m bagian bawah. Panjang lipatan
bawah pada lapisan paling atas sepanjang 3,00 m sedangkan pada semua
lapisan di bawahnya sepanjang 2,50 m. dari hasil analisis didapatkan bahwa
nilai factor keamanan terhadap tarik meningkat dari lapisan pertama sebesar
1,96 menjadi 12,36 pada lapisan paling bawah.
3. Berdasarkan perbandingan terhadap besarnya factor keamanan didapatkan
hasil bahwa system pelindung dan perkuatan struktur tebing yang paling
optimal adalah system strip reinforcement geotextile karena memiliki factor
keamanan sebesar 16,84 lebih besar daripada factor keamanan sheet
reinforcement geotextile sebesar 12,36.

6.2. Saran
Saran yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut:
88
90

1. Perlu lebih dimasyarakatkan lagi di universitas penelitian-penelitian yang


berkaitan dengan teknologi geotekstil terutama sheet reinforcement dan strip
reinforcement geotextile.
2. Perlu dianalisis model perkuatan tebing yang lain seperti menggunakan
reinforced earth ataupun geocell.

Anda mungkin juga menyukai