Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH

FARMASI KESEHATAN MASYARAKAT

PENGGUNAAN OBAT GENERIK SECARA RASIONAL DALAM


MELAKUKAN PELAYANAN KESEHATAN

Dosen Pengampu : apt. Juni Fitrah, S.Si, M. Farm


Disusun Oleh :

Kelompok 6

Anggota :

1. Alisia Nabila 2130122242


2. Icha Febriani 2130122254
3. Nur Hasanah 2130122265
4. Rendi Irawan 2130122267
5. Resti Putri Yuliana 2130122268
6. Windy Bunga Nabila 2130122277

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA PADANG
2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penggunaan obat generik sebagai salah satu alternatif terapi masih sering

dipertanyakan dari segi mutu dan kualitas, sedangkan obat dengan merk dagang

sering dianggap memiliki khasiat lebih baik dibandingkan dengan obat generik.

Hal ini dikarenakan harga dari obat generik yang jauh lebih murah sekitar 24-67

% dibandingkan dengan obat merk dagang (Hosiana dkk., 2000). Dokter

meresepkan obat generik di rumah sakit umum milik pemerintah adalah 66%, di

rumah sakit swasta dan apotek hanya 49%. Sarana pelayanan kesehatan memiliki

sebanyak 69,7% ketersediaan obat esensial generik dari target 95% pada tahun

2005-2010. Pasar obat nasional mengalami peningkatan, hal tersebut dapat

dipengaruhi oleh tingginya peresepan obat generik dalam pelayanan kesehatan

(Depkes RI, 2010).

Dokter seringkali meresepkan obat non-generik kepada pasien sebagai

pilihan untuk pengobatan, meskipun memiliki harga yang lebih mahal daripada

obat generik, sehingga banyak dari pasien yang hanya membeli setengah obat dari

obat yang diresepkan (Sulistyaningrum dkk., 2012).

Perbedaan harga yang cukup besar, membuat konsumen beranggapan

karena obat generik memiliki mutu lebih rendah daripada produk paten. Padahal,

baik tablet generik maupun paten memiliki zat berkhasiat yang sama dan telah
melalui berbagai uji untuk memenuhi persyaratan mutu, seperti uji BA (bio-

availabilitas) dan uji BE (bio-ekivalensi) (Karsono, 2008).

Penggunaan obat yang tidak tepat, tidak efektif, tidak aman, dan juga tidak

ekonomis saat ini telah menjadi masalah dalam pelayanan kesehatan, baik di

negara maju maupun negara berkembang. Masalah ini dijumpai di unit-unit

pelayanan kesehatan misalnya di rumah sakit, Puskesmas, praktek pribadi,

maupun di masyarakat luas (Anonim, 2000).

Penggunaan obat secara rasional di masyarakat merupakan salah satu hal

penting untuk membangun pelayanan kesehatan. Pelaksanaan pengobatan yang

tidak rasional selama ini telah memberikan dampak negatif berupa pemborosan

dana, efek samping dari penggunaan obat yang kurang tepat akan menyebabkan

terjadinya resistensi, interaksi obat yang berbahaya, dapat menurunkan mutu

pengobatan dan mutu pelayanan kesehatan. Untuk meningkatkan kerasionalan

obat pada masyarakat hingga mutu pelayanan kesehatan yang optimal maka perlu

dilakukan pengelolaan obat secara rasional dan sistematis (Yuliastuti dkk., 2013).

Peresepan obat yang rasional sangat didambakan berbagai pihak, baik oleh

dokter, apoteker, maupun pasien, sehingga diperoleh peresepan obat yang efektif

dan efisien (Mundariningsih, dkk., 2007). Salah satu indikator keberhasilan

peresepan obat rasional di rumah sakit antara lain persentase penggunaan

antibiotik, persentase penggunaan obat generik, dan persentase penggunaan obat

esensial (ketaatan penggunaan formularium) benar-benar diterapkan sesuai aturan

(Anonim, 2006).
Obat yang digunakan di rumah sakit umumnya adalah obat generik, karena

harga obat nama dagang lebih mahal antara 3-5 kali daripada obat generik.

Penulisan resep di rumah sakit pemerintah selain mengacu pada Formularium

Rumah Sakit, juga mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan nomor 085/

Menkes/ Per/ I/ 1989 tentang kewajiban menuliskan resep dan atau menggunakan

obat generik di rumah sakit umum pemerintah (Supardi, dkk., 2005).

1.2 Rumusan Masalah

1.Bagaimana profil penggunaan obat generik padada masyarakat?

2.Bagaimana perbedaan pengaruh sebelum dan sesudah pemberian edukasi pada 

masyarakat pengguna obat generik.

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui profil penggunaan obat generik pada masyarakat.

2. Untuk mengetahui pengetahuan masyarakatt terhadap penggunaan obat generik

secara rasional
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1 Obat

2.1.1 Definisi Obat

Obat merupakan sedian atau paduan bahan-bahan yang siap digunakan

untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistim fisiologi atau keadaan patologi

dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,

peningkatan, kesehatan dan kontrasepsi (Kebijakan Obat Nasional, 2010).Defenisi

menurut Ansel (2005), obat adalah zat yang digunakan untuk diagnosis,

mengurangi rasa sakit, serta mengobati atau mencegah penyakit pada manusia

atau hewan.

2.1.2 Peran Obat

Seperti yang telah dituliskan pada pengertian obat di atas, maka peran obat

secara umum adalah sebagai berikut :

1. Penetapan diagnosa

2. Untuk pencegahan penyakit

3. Menyembuhkan penyakit

4. Memulihkan (rehabilitasi) kesehatan

5. Mengubah fungsi normal tubuh untuk tujuan tertentu

6. Penigkatan kesehatan

7. Mengurangi rasa sakit (Chaerunisaa, 2014).


2.1.3 Pengunaan Obat

1. Berdasarkan Jenisnya :

 Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas. Obat Bebas merupakan obat yang

bisa dibeli bebas di apotek, bahkan warung, tanpa resep dokter, ditandai

lingkaran hijau bergaris tepi hitam. Obat Bebas Terbatas

(waarschuwing/Peringatan), yakni obat-obatan yang dalam jumlah tertentu

masih bisa dibeli di apotek, tanpa resep dokter, memakai lingkaran biru

bergaris tepi hitam.

 Obat Keras. Obat keras (Gevaarlijk/berbahaya), yaitu obat berkhasiat keras

yang untuk mendapatkannya harus dengan resep dokter, memakai tanda

lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan tulisan huruf K di dalamnya.

 Psikotropika dan Narkotika Psikotropika adalah zat atau obat yang dapat

menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan syaraf pusat dan

menimbulkan kelainan prilaku. Narkotika adalah zat atau obatyang berasal

dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang

dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang

menggunakan dengan memasukkannya ke dalam tubuh manusia

(Chaerunisaa, 2014).

2. Berdasarkan Mekanisme Kerja Obat Obat digolongkan menjadi lima jenis:

 Obat yang bekeja terhadap penyebab penyakit, misalnya penyakit karena

bakteri atau mikroba, contoh: antibiotik.


 Obat yang bekerja mencegah keaadan patologis dari penyakit, contoh:

serum, vaksin.

 Obat yang menghilangkan gejala penyakit = simptomatik, missal gejala

penyakit nyeri, contoh: analgetik, antipiretik.

 Obat yang bekerja untuk mengganti atau menambah fungsi-fungsi zat

yang kurang, contoh: vitamin, hormon.

 Pemberian placebo, adalah pemberian sediaan obat yang tanpa zat

berkhasiat untuk orang-orang yang sakit secara psikis, contoh: aqua

proinjection. Selain itu, obat dapat dibedakan berdasarkan tujuan

penggunaannya misalkan antihipertensi, cardiaca, diuretic, hipnotik,

sedative dan lain-lain (Chaerunisaa, 2014).

3. Berdasarkan Tempat atau Lokasi Pemakaiannya Obat dibagi dua

golongan:

 Obat Dalam, misalnya obat-obat peroral. Contoh: antibiotik,

acetaminophen.

 Obat Topikal, untuk pemakaian luar badan. Contoh sulfur, antibiotik

(Anief, 2004).

4. Berdasarkan Cara Pemberian Obat digolongkan menjadi enam jenis :

 Oral, obat yang diberikan atau dimasukkan melalui mulut, Contoh: serbuk,

kapsul, tablet sirup.

 Parektal, obat yang diberikan atau dimasukkan melalui rectal. Contoh

suppositoria, laksatif.
 Sublingual, obat yang diletakkan di bawah lidah dan melalui selaput lendir

masuk ke pembuluh darah agar mendapaktkan efek obat yang lebih cepat.

Contoh: tablet hisap, hormone.

 Parenteral, obat suntik melaui kulit masuk ke darah. Ada yang diberikan

secara intravena, subkutan, intramuscular, intrakutan.

 Langsung ke organ, contoh intrakardial.

 Melalui selaput perut, intraperitoneal (Anief, 2004).

5. Berdasarkan Efek yang Ditimbulkan Obat digolongkan menjadi dua jenis :

 Sistemik: masuk ke dalam system peredaran darah, diberikan secara oral

 Lokal : pada tempat-tempat tertentu yang diinginkan, misalnya pada kulit,

telinga, mata (Anief, 2004).

6. Berdasarkan Penamaannya Menurut Widodo (2009), penamaan dibagi

menjadi tiga, yaitu :

 Nama Kimia, yaitu nama asli senyawa kimia obat.

 Nama Generik (unbranded name), yaitu nama yang lebih mudah yang

disepakati sebagai nama obat dari suatu nama kimia.

 Nama Dagang atau Merek, yaitu nama yang diberikan oleh masing-masing

produsen obat. Obat bermerek disebut juga dengan obat paten.

2.2 Obat Generik

2.2.1 Definisi Obat

Generik Obat (Unbranded Drug) adalah obat dengan nama generik, nama

resmi yang telah ditetapkan dalam Farmakope Indonesia dan INN (International
10 Non-propietary Names) dari WHO (World Health Organization) untuk zat

berkhasiat yang dikandungnya. Nama generik ini ditempatkan sebagai judul dari

monografi sediaan obat yang mengandung nama generik tersebut sebagai zat

tunggal (Depkes, 2010). Obat generik berlogo yaitu obat yang diprogram oleh

pemerintah dengan nama generik yang dibuat secara CPOB (Cara Pembuatan

Obat yang Baik). Harga obat disubsidi oleh pemerintah.Logo generik

menunjukkan persyaratan mutu yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan

(Kemenkes) RI.Sedangkan obat generik esensial adalah obat generik terpilih yang

paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat (Widodo, 2009).

A. Pengenalan Obat Generik Obat pada waktu ditemukan diberi nama kimia

yang menggambarkan struktur molekulnya. Nama kimia obat biasanya amat

kompleks sehingga tidak mudah diingat orang awam. Untuk kepentingan

penelitian biasanya nama kimia disingkat dengan kode tertentu. Setelah obat itu

dinyatakan aman dan bermanfaat melalui uji klinis, barulah obat tersebut

didaftarkan pada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM). Obat

tersebut mendapat nama generik dan nama dagang. Nama dagang ini sering

disebut nama paten.

Perusahaan obat yang menemukan obat tersebut dapat memasarkannya

dengan nama dagang. Nama dagang biasanya diusahakan yang mudah diingat

oleh pengguna obat.Disebut obat paten karena pabrik penemu tersebut berhak atas

paten penemuan obat tersebut dalam jangka waktu tertentu. Selama paten tersebut

masih berlaku, obat ini tidak boleh diproduksi oleh pabrik lain, baik dengan nama

dagang pabrik peniru ataupun dijual dengan nama generiknya. Obat nama dagang
yang telah habis masa patennya dapat diproduksi dan dijual oleh pabrik lain

dengan nama dagang berbeda yang biasanya disebutsebagai me-too product di

beberapa negara barat disebut branded generic atau tetap dijual dengan nama

generik (Chaerunisaa, 2014).

B. Manfaat Obat Generik Menurut Widodo (2009) manfaat obat generik

secara umum adalah :

1. Sebagai sarana pelayanan kesehatan masyarakat untuk meningkatkan

derajat kesehatan masyarakat.

2. Dari segi ekonomis obat generik dapat dijangkau masyarakat golongan

ekonomi menengah kebawah.

3. Dari segi kualitas obat generik memiliki mutu atau khasiat yang sama

dengan obat yang bermerek dagang (obat paten).

C. Kebijakan Obat Generik Kebijakan obat generik adalah salah satu

kebijakan untuk mengendalikan harga obat, di mana obat dipasarkan dengan nama

bahan aktifnya. Agar upaya pemanfaatan obat generik ini dapat mencapai tujuan

yang diinginkan, maka kebijakan tersebut mencakup komponen-komponen

berikut (Widodo, 2009) :

1. Produksi obat generik dengan Cara Produksi Obat yang Baik (CPOB).

Produksi dilakukan oleh produsen yang memenuhi syarat CPOB dan

disesuaikan dengan kebutuhan akan obat generik dalam pelayanan

kesehatan.

2. Pengendalian mutu obat generik secara ketat.

3. Distribusi dan penyediaan obat generik di unit-unit pelayanan kesehatan.


4. Peresepan berdasarkan atas nama generik, bukan nama dagang.

5. Penggantian (substitusi) dengan obat generik diusulkan diberlakukan di

unit-unit pelayanan kesehatan.

6. Informasi dan komunikasi mengenai obat generik bagi dokter dan

masyarakat luas secara berkesinambungan.

7. Pemantauan dan evaluasi penggunaan obat generik secara berkala.

D. Faktor yang Menghambat Masyarakat terhadap Obat Generik

1. Akses Obat.

Hal ini dalam rangka memenuhi kebutuhan obat pasien sesuai dengan

resep di setiap penjualan obat, yaitu membahas resep yang terlayani , resep yang

tidak terlayani oleh apotik, dan resep yang obatnya digantikan dengan obat lain

yang sejenis. Akses masyarakat terhadap obat esensial dipengaruhi oleh empat

faktor utama, yaitu :

a. Penggunaan obat yang rasional;

b. Harga yang terjangkau;

c. Pembiayaan yang berkelanjutan;

d. Sistem pelayanan kesehatan beserta sistem suplai obat yang dapat

menjamin ketersediaan, pemerataan, keterjangkauan obat

(Kebijakan Obat Nasional, 2010).

2. Harga Obat.

Harga obat di Indonesia umumnya dinilai mahal dan struktur harga obat

tidak transparan. Penelitian WHO menunjukkan perbandingan harga antara satu


nama dagang dengan nama dagang yang lain untuk obat yang sama, berkisar 1:2

sampai 1:5. Penelitian di atas juga membandingkan harga obat dengan nama

dagang dan obat generik menunjukkan obat generik bukan yang termurah. Survai

dampak krisis rupiah pada biaya obat dan ketersediaan obat esensial antara 1997 -

2002 menunjukkan bahwa biaya resep rata-rata di sarana kesehatan sektor swasta

jauh 13 lebih tinggi dari pada di sektor publik yang menerapkan pengaturan harga

dalam sistem suplainya (Kebijakan Obat Nasional, 2010).

3. Tingkat Ketersediaan Obat.

Rendahnya ketersediaan obat generik di rumah sakit pemerintah dapat

berimplikasi secara langsung pada akses obat generik, sebagai gantinya pasien

membeli obat generik di apotik atau di praktek dokter.Apotik swasta mempunyai

obat generik lebih sedikit dibandingkan dengan yang disediakan oleh

dokter.Sehingga apotik menyediakan obat paten lebih banyak.Selama banyak obat

yang tidak tersedia, pasien mengeluarkan uang lebih banyak untuk membayar obat

(Suryani, 2013).

4. Informasi Obat.

Keterbatasan informasi masyarakat akan obat sangat erat kaitannya dengan

ketidaktahuan akan pengenalan, penggunaan dan pemanfaatan obat terutama bagi

mereka yang ingin memakai obat generik. Informasi obat, antara lain mengenai

khasiat, indikasi, kontraindikasi, efek samping, dosis dan aturan pakai,

peringatanperingatan penggunaan suatu obat, serta harga obat, Juga bila perlu

informasi mengenai pilihan obat yang tepat bagi konsumen (Widodo, 2009).
5. Keterjangkauan Obat.

Keterjangkauan obat dapat dipandang dari sudut geografis, ekonomi dan

sosial politik.Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari 17.504 pulau

dimana 5.707 diantaranya sudah bernama.Namun pulau yang telah berpenghuni

jumlahnya lebih kecil.Saat ini sebagian masyakat Indonesia tinggal di daerah

terpencil, daerah tertinggal, dan wilayah perbatasan. Sebagian lagi tinggal di

daerah rawan bencana baik bencana alam dan bencana buatan manusia seperti :

ketidakstabilan politik dan tingginya tingkat kemiskinan.

Dengan pola penyebaran penduduk seperti tersebut di atas, maka

diperlukan adanya perbedaan pengelolaan obat sesuai dengan karateristik masing-

masing daerah. Sebagai contoh kita dapat melakukan pengelompokan Provinsi

Kepulauan : Riau, NTB, NTT, Maluku dan Maluku Utara lebih memiliki

karakteristik geografis kepulauan. Sedangkan propinsi di Kalimantan dan Papua

dapat dikategorikan daratan luas dengan hambatan transportasi. Kategori lain

adalah Pulau Jawa, Bali, Sumatera dan Sulawesi (Kebijakan Obat Nasional,

2010).

2.3 Pengetahuan

Pengertian pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah

orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.Penginderaan terjadi

melalui pancaindera manusia yaitu, indera penglihatan, pendengaran, penciuman,

rasa dan raba.Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan

telinga (Notoatmodjo, 2007).


Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa pengetahuan atau

kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan

seseorang (overt behaviour). Dari hasil pengalaman dan penelitian terbukti bahwa

perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama daripada

perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Apabila penerimaan perilaku baru

atau adopsi perilaku melalui proses seperti yang didasari oleh pengetahuan,

kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng

(long lasting). Sebaliknya, 15 apabila perilaku tersebut tidak didasari oleh

pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo,

2007).

Tingkat pengetahuan Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif

mempunyai 6 tingkatan (Notoatmodjo, 2007), yaitu :

1. Tahu (Know) Tahu di artikan sebagai mengingat suatu materi yang telah

di pelajari sebelumnya, termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah

mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang di

pelajari atau ransangan yang telah di terima oleh sebab itu, tahu ini merupakan

tingkat pengetahuan paling rendah.

2. Memahami (comprehension) Memahami di artikan sebagi suatu

kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang di ketahui dan

dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar.

3. Aplikasi (aplication) Aplikasi di artikan sebagai kemampuan untuk

menggunakan materi yang telah di pelajari pada situasi atau kondisi real
(sebenarnya). Aplikasi disini dapat di artikan sebagai aplikasi atau penggunaan

hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi

yang lain.

4. Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan menjabarkan

materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam

satu sruktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan

analisis ini dapat di lihat dari 16 penggunaan kata kerja, seperti dapat

menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan dan

mengelompokkan.

5. Sintesis (syntesis) Sintesis merupakan kepada suatu kemampuan untuk

meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk

kesuluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk

menyusun formasi-formasi yang ada.

6. Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk

melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-

penilaian ini di dasarkan pada suatu kriteria yang di tentukan sendiri, atau

menggunakan tentang kriteria-kriteria yang telah ada.Pengukuran pengetahuan

dapat di lakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi

materi yang ingin di ukur dari objek penelitian atau responden.Kedalaman

pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan

tingkatan-tingkatan di atas (Notoatmodjo, 2007).


Cara memperoleh pengetahuan Beberapa cara digunakan untuk

memperoleh kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah, dapat dikelompokkan

menjadi dua (Notoatmodjo, 2007), yakni :

1. Cara tradisional atau non – ilmiah

a. Cara coba – salah ( trial and error ) Cara coba – coba ini di lakukan

dengan menggunakan kemungkinan dalam memecahkan masalah, dan apanila

kemungkinan tersebut tidak berhasil, dicoba 17 kemungkinan yang lain dan hal

tersebut akan terus dilakukan sampai masalah tersebut terpecahkan.

b. Secara kebetulan Penemuan kebenaran secara kebetulan terjadi karena

tidak disengaja oleh orang yang bersangkutan. Salah satu contoh adalah penemuan

enzim urease oleh Summers pada tahun 1926. Di mana pada suatu hari Summers

sedang bekerja dengan ekstrak ecotone dan karena terburu – buru ingin bermain

tenis, maka ekstrak ecotone yang disimpan di dalam kulkas. Keesokan harinya

ketika ingin meneruskan percobaannya ternyata ekstrak ecotone yang disimpan

didalam kulkas tersebut timbul kristal – kristal yang kemudian disebut dengan

enzim urease. Demikian juga dengan penemuan kina sebagai obat malaria yang

ditemukan secara kebetulan oleh seorangan penderita malaria yang sering

mengembara.

c. Cara kekuasaan atau otoritas Sumber pengetahuan dengan cara ini dapat

berupa pemimpin-pemimpin masyarakat baik formal maupun informal, ahli

agama, dan pemegang pemerintahan. Dengan kata lain, pengetahuan tersebut

diperoleh berdasarkan pada otoritas atau kekuasaan, baik tradisi, otoritas


pemerintahan, otoritas pemimpin agama, maupun ahli ilmu pengetahuan. Para

pemegang otoritas, baik pemimpin pemerintahan, tokoh agama, maupun ahli ilmu

pengetahuan pada prinsipnya mempunyai mekanisme yang sama didalam

penemuan pengetahuan. Prinsip ini adalah, orang lain menerima pendapat yang

dikemukakan oleh orang yang mempunyai otoritas, tanpa terlebih dahulu menguji

atau membuktikan kebenarannya, baik berdasarkan fakta empiris ataupun

berdasarkan penalaran sendiri.

d. Berdasarkan pengalaman pribadi Pengalaman pribadi dapat digunakan

sebagai upaya memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara

mengulang pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang

dihadapi pada masa yang lalu. Apabila dengan cara yang digunakan tersebut dapat

memecahkan masalah yang sama, orang dapat pula menggunakan cara tersebut.

e. Cara akal sehat (common sense) Akal sehat atau common sense kadang

– kadang dapat menemukan teori atau kebenaran. Sebelum ilmu pendidikan ini

berkembang, para orang tua zaman dahulu agar anaknya mau menuruti nasehat

orang tuanya, atau agar disiplin menggunakan cara hukuman fisik bila anaknya

berbuat salah, misalnya dijewer telinganya atau dicubit. Ternyata cara

menghukum anak ini sampai sekarang berkembang menjadi teori atau kebenaran,

bahwa hukuman merupakan metode (meskipun bukan yang paling baik) bagi

pendidikan anak. Pemberian hadian dan hukuman (reward and punishment)

merupakan cara yang masih dianut oleh banyak orang untuk mendisiplinkan anak

dalam konteks pendidikan.


f. Kebenaran melalui wahyu Ajaran dan dogma agama adalah suatu

kebenaran yang diwahyukan dari Tuhan melalui para nabi. Kebenaran ini harus

diterima dan diyakini oleh pengikut – pengikut agama yang bersangkutan, terlepas

dari apakah kebenaran tersebut rasional atau tidak.Sebab kebenaran ini diterima

oleh para nabi adalah sebagai wahyu dan bukan karena hasil usaha penalaran atau

penyelidikan manusia.Kebenaran secara intuitif Kebenaran secara intuitif

diperoleh manusia secara cepat sekali melalui proses diluar kesadaran dan tanpa

melalui proses penalaran atau berpikir. Kebenaran yang diperoleh dari intuitif

sukar dipercaya karena kebenaran ini tidak menggunakan cara – cara yang

rasional dan yang sistematis. Kebenaran ini diperoleh seseorang hanya

berdasarkan intuisi atau suara hati atau bisikan hati saja.

h. Melalui jalan pikiran Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat

manusia, cara berpikir manusia pun ikut berkembang. Dari sini telah mampu

menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya. Dengan kata

lain, dalam memperoleh pengetahuan manusia telah menggunakan jalan pikirnya,

baik melaui induksi maupun deduksi. Induksi dan deduksi pada dasarnya

merupakan cara melahirkan pemikiran secara tidak langsung melalui pernyataan –

penyataan yang dikemukakan, kemudian dicari hubungannya sehingga dapat

dibuat suatu kesimpulan.

i. Induksi induksi adalah proses penarikan kesimpulan yang dimulai dari

pernyataan khusus ke pernyataan yang bersifat umum. Hal ini berarti dalam

berpikir induksi pembuatan kesimpulan tersebut berdasarkan pengalaman empiris

yang ditangkap melalui indera.Kemudian disimpulkan melalui ke dalam suatu


konsep yang memungkinkan seseorang untuk memahami suatu gejala. Karena

proses berpikir induksi itu beranjak dari hasil pengamatan indera atau hal yang

nyata, maka dapat dikatakan bahwa induksi beranjak dari hal yang konkret ke hal

yang abstrak.

j. Deduksi Deduksi adalah pembuatan kesimpulan dari pernyataan –

pernyataan umum ke khusus. Aristoteles (384 – 322 SM) mengembangkan cara

berpikir deduksi ini ke dalam suatu cara yang disebut dengan silogisme. Silogisme

ini merupakan suatu bentuk deduksi yang memungkinkan seseorang untuk dapat

mencapai kesimpulan yang lebih baik. Di dalam proses berpikir deduksi berlaku

bahwa sesuatu yang dianggap benar secara umum pada kelas tertentu, berlakuk

juga kebenarannya pada semua peristiwa yang terjadi pada setiap yang termasuk

kedalam kelas itu.

Disini terlihat proses berpikir berdasarkan pada pengetahuan yang umum

mencapai pengetahuan yang khusus. Silogisme sebagai bentuk berpikir deduksi

yang teratur terdiri dari tiga pernyataan atau proposisi, yaitu pernyataan pertama

disebut dengan premis mayor, yang berisi pernyataan yang bersifat

umum.Pernyataan kedua yang sifatnya lebih khusus dari pada pernyataan yang

pertama disebut dengan premis minor.Sedangkan pernyataan ketiga yang

merupakan kesimpulannya, disebut dengan konklusi atau konsekuen.


2. Cara modern atau cara ilmiah

Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini

lebih sistematis, logis dan ilmiah. Cara ini di sebut dengan “metode penelitian

ilmiah,” atau lebih populer dsebut metodologi penelitian ( reseach methodology ).

2.4 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pengetahuan Adapun

beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan, yaitu (Mubarak, 2007).

1. Umur

Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadai perubahan pada aspek

psikis dan psikologis (mental). Pertumbuhan fisik secara garis besar akan

mengalami perubahan baik dari aspek ukuran maupun dari aspek proporsi yang

mana hal ini terjadi akibat pematangan fungsi organ. Sedangkan pada aspek

psikologis (mental) terjadi perubahan dari segi taraf berfikir seseorang yang

semakin matang dan dewasa.

Adapun selain itu, semakin bertambah usia maka semakin banyak

pengalaman dan pengetahuan yang di peroleh oleh seseorang, sehingga bisa

meningkatkan kematangan mental dan intelektual. Usia seseorang yang lebih

dewasa mempengaruhi tingkat kemampuan dan kematangan dalam berfikir dan

menerima informasi yang semakin lebih baik jika di bandingkan dengan usia yang

lebih muda. Usia mempengaruhi tingkat pengetahuan sesorang. Semakin dewasa

umur maka tingkat kematangan dan kemampuan menerima informasi lebih baik

jika di bandingkan dengan umur yang lebih muda atau belum dewasa.
Menurut WHO (dikutip dalam Hurlock, 2009) umur seseorang dapat

diklasifikasikan sebagai berikut :

 Dewasa awal : 18-40 tahun

 Dewasa akhir : 41-65 tahun

 Lansia : >65 tahun

Sesuai besarnya umur, terdapat kemungkinan perbedaan dalam

mendapatkan faktor keterpaparan tertentu berdasarkan lamanya perjalanan hidup.

Demikian pula dengan karakteristik yang lain yang akan membawa perbedaan

dalam kemungkinan mendapatkan kecenderungan terjadinya penyakit dengan

bertambahnya usia. 22 Semakin tua seseorang maka semakin peka terhadap

penyakit dan semakin banyak keterpaparan yang di alami, karena itu umur

meningkat secara ilmiah akan membawa pertambahan resiko suatu penyakit.

2. Tingkat pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang lain

terhadap suatu hal agar mereka dapat memahami. Pendidikan merupakan sebuah

proses belajar dan proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan ke arah

yang lebih baik, lebih dewasa dan lebih matang terhadap individu, kelompok atau

masyarakat Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseoarang

semakin mudah pula mereka menerima informasi dan pada akhirnya makin

banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya, jika seseorang tingkat

pendidikannya rendah, akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap

penerimaan, informasi dan nilai – nilai yang baru diperkenalkan (Soekanto, 2002).
Adapun selain itu, pendidikan juga merupakan perubahan sikap, tingkah

laku dan penambahan ilmu dari seseorang serta merupakan proses dasar dari

kehidupan manusia. Melalui pendidikan manusia melakukan perubahan-

perubahan kualitatif induvidu sehingga tingkah lakunya berkembang. Semua

aktivitas dan prestasi hidup manusia tidak lain adalah hasil dari belajar. Proses

belajar tidak akan terjadi begitu saja apabila tidak ada di sertai sesuatu yang

menolong pribadi yang bersangkutan (Soekanto, 2002). Pengetahuan atau kognitif

merupakan hal yang sangat penting untuk terbentuknya sebuah tindakan

seseorang.Meningkatnya pengetahuan dapat menimbulkan perubahan persepsi dan

kebiasaan seseorang.Pengetahuan juga membentuk kepercayaan seseorang

terhadap suatu hal.Prilaku yang di dasari pengetahuan lebih langgeng dari prilaku

yang tidak didasari pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).

Tingkat pendidikan seseorang atau individu akan berpengaruh terhadap

kemampuan berfikir, semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin mudah

berfikir rasionalisme dan menangkap informasi baru termasuk dalam menguraikan

masalah yang baru. Di harapkan bagi seseorang yang berpendidikan tinggi

memiliki pengetahuan yang luas termasuk pengetahuan terhadap kebutuhan

kesehatannya. Latar belakang pendidikan dan pengalaman di masa lalu dapat

mempengaruhi pola pikir seseorang, kemampuan kognitif akan membentuk cara

berfikir seseorang, termasuk membentuk kemampuan untuk mempelajari atau

memahami faktor-faktor yang berkaitan dengan penyakit yang di deritanya, dan

menggunakan pengetahuan tentang kesehatan dan penyakit yang di milikinya


untuk menjaga kesehatan diri. Kemampuan kognitif juga berhubungan dengan

tahap perkembangan seseorang (Potter & Perry, 2005).

Adapun jenjang pendidikan di indonesia sebagaimana tertera pada

UndangUndang N0 20 Tahun 2003 yaitu tentang sistem pendidikan nasional

terbagi atas 3 tingkat pendidikan formal yaitu pendidikan dasar (SD atau

madrasah ibtidayah atau SMP/MTsn), pendidikan menengah (SMU/madrasah

aliyah dan sederajat), serta pendidikan tinggi (Akademik dan Perguruan Tinggi

(Sekneg RI, 2003).

3. Pekerjaan

Pekerjaan merupakan suatu kegiatan atau aktivitas seseorang untuk

memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Pekerjaan/karyawan adalah mereka yang bekerja pada orang lain atau institusi,

kantor, perusahaan dengan upah dan gaji baik berupa uang maupun barang.

Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan

pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung.Pekerjaan bukanlah

sumber kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang

membosankan, berulang, dan banyak tantangan. Semakin lama seseorang bekerja

semakin banyak pengetahuan yang diperoleh (Wati, 2009).

Pekerjaan merupakan faktor yang mempengaruhi pengetahuan. Ditinjau

dari jenis pekerjaan yang sering berinteraksi dengan orang lain lebih banyak

pengetahuannya bila dibandingkan dengan orang tanpa ada interaksi dengan orang

lain. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan


pengetahuan dan keterampilan profesional serta pengalaman belajar dalam bekerja

akan dapat mengembangkan kemampuan dalam mengambil keputusan yang

merupakan keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik (Wati, 2009).

4. Minat

Minat merupakan suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi

terhadap sesuatu.Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni suatu

hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang lebih mendalam.

5. Pengalaman

Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam

berinteraksi dengan lingkungannya. Ada kecenderungan pengalaman yang kurang

baik seseorang akan melupakan, namun jika pengalaman terhadap obyek tersebut

menyenangkan maka secara psikologis akan timbul kesan yang membekas dalam

emosi sehingga menimbulkan sikap positif.

6. Sumber

informasi Kemudahan memperoleh informasi dapat membantu

mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru. Sumber

informasi adalah data yang diproses kedalam suatu bentuk yang mempunyai arti

sebagai sipenerima dan mempunyai nilai nyata dan terasa bagi keputusan saat itu

keputusan mendatang Rudi Bertz dalam bukunya ”toxonomi of comunication”

media menyatakan secara gamblang bahwa informasi adalah apa yang dipahami,

sebagai contoh jika kita melihat dan mencium asap, kita memperoleh informasi

bahwa sesuatu sedang terbakar.


Media yang digunakan sebagai sumber informasi adalah sebagai berikut :

1. Media Cetak

2. Media Elektronik

3. Petugas kesehatan Informasi yang diperoleh dari pendidikan formal

maupun non formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek

sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan.

Majunya teknologi akan tersedia bermacam-macam media massa yang

dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. Sebagai

sarana komunikasi berbagai bentuk media massa seperti radio, televisi, surat

kabar, majalah yang mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan

kepercayaan semua orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas

pokoknya, media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang

dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai suatu hal

memberikan landasan kognitif baru terbentuknya pengetahuan terhadap hal

tersebut (Erfandi, 2009).

2.5.1 Konsep Masyarakat

2.5.2 Definisi Masyarakat

Dalam buku Sosiologi, Kelompok dan Masalah Sosial (Syani, 2002),

dijelaskan bahwa diduga perkataan masyarakat mendapat pengaruh dari bahasa

Arab.Dalam bahasa Arab, masyarakat asal mulanya dari kata musayarak yang

kemudian berubah menjadi musyarakat dan selanjutnya mendapatkan kesepakatan

dalam bahasa Indonesia, yaitu Masyarakat".Musyarak, artinya bersama-sama, lalu


musyarakat, artinya berkumpul bersama, hidup bersama dengan saling

berhubungan dan saling mempengaruhi.

Sedangkan pemakaiannya dalam bahasa Indonesia telah disepakati dengan

sebutan Masyarakat. Menurut Soleman (2004), secara sosiologis masyarakat tidak

dipandang sebagai suatu kumpulan individu atau sebagai penjumlahan dari

individu-individu semata. Masyarakat merupakan suatu pergaulan hidup, oleh

karena manusia itu hidup bersama.Masyarakat merupakan suatu sistem yang

terbentuk karena hubungan dari anggotanya. Ringkasnya, masyarakat adalah suatu

sistem yang terwujud dari kehidupan bersama manusia, yang lazim disebut

sebagai sistem kemasyarakatan.

2.5.3 Unsur Pembentukan Masyarakat Menurut Soekanto (2002), masyarakat

mencakup beberapa unsur, yaitu sebagai berikut :

a. Manusia yang hidup bersama. Di dalam ilmu sosial tak ada ukuran

yang mutlak ataupun angka yang pasti untuk menentukan beberapa

jumlah manusia yang harus ada. Akan tetapi secara teoritas, angka

minimnya adalah dua orang.

b. Bercampur untuk waktu yang cukup lama. Kumpulan dari manusia

tidaklah sama dengan kumpulan benda-benda mati seperti umpamanya

kursi, meja dan sebagainya. Oleh karena dengan berkumpulnya

manusia, maka akan timbul manusia-manusia baru. Manusia itu juga

dapat bercakapcakap, merasa dan mengerti; mereka juga mempunyai

keinginankeinginan untuk menyampaikan kesan-kesan atau perasaan-

perasaannya. Sebagai akibat hidup bersama itu, timbullah sistem


komunikasi dan timbullah peraturan-peraturan yang mengatur

hubungan antar manusia dalam kelompok tersebut.

c. Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan.

d. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan

bersama menimbulkan kebudayaan, oleh karena setiap anggota

kelompok merasa dirinya terikat satu dengan lainnya.

2.6 Kerangka Teori

Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan di atas, maka dapat

dikemukakan kerangka teori seperti skema berikut ini :

Gambar. 2.1 Kerangka Teori

Kerangka Teori Umur Pengetahuan Penggunaan Obat Generik

(Chaerunnisa, 2014 ; Widodo, 2009) Tingkat Pendidikan Pekerjaan Minat

Pengalaman Sumber Informasi Masyarakat (Soleman, 2004) Faktor-faktor yang

berhubungan dengan pengetahuanb (Mubarak, 2007)


2.7 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam

penelitian ini adalah :

Gambar. 2.2 Kerangka Konsep Penilitian

Kerangka Konsep Penelitian Variabel Independen Tingkat Pendidikan

Pekerjaan Umur Sumber Informasi Variabel Dependen Tingkat Pengetahuan

Penggunaan Obat Generik Pada Masyaraka

2.8 Studi Jurnal

2.8.1 Perilaku pengobatan sendiri yang rasional pada masyarakat

Kecamatan Depok dan Cangkringan Kabupaten Sleman

1. Pendahuluan

Pengobatan sendiri adalah penggunaan obat oleh masyarakat untuk

mengurangi gejala penyakit ringan (minor illnesses) tanpa intervensi/ nasehat


dokter. Prevalensi pengobatan sendiri di Indonesia pada tahun 2004 sebesar

24,1.% dan di Provinsi DIY pada tahun 2005 sebesar 87,73.%.

Penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas yang sesuai dengan aturan

dan kondisi penderita akan mendukung upaya penggunaan obat yang rasional.

Kerasionalan penggunaan obat menurut Cipolle, et. al., (1998) terdiri dari

beberapa aspek, di antaranya: ketepatan indikasi, kesesuaian dosis, ada tidaknya

kontraindikasi, ada tidaknya efek samping dan interaksi dengan obat dan

makanan, serta ada tidaknya polifarmasi (penggunaan lebih dari dua obat untuk

indikasi penyakit yang sama).

Supardi (1997) menyatakan bahwa belum diketahui faktor yang paling

berpengaruh dalam perilaku pengobatan sendiri. Namun demikian, berdasarkan

hasil penelitian Worku dan Abebe (2003), menurut faktor sosiodemografi seperti

umur, jenis kelamin, dan pendapatan, yang paling banyak melakukan pengobatan

sendiri adalah kelompok usia di bawah 30 tahun (59,5.%), jenis kelamin wanita

(61,9.%) dan kelompok berpenghasilan tinggi (40,5.%). Perilaku pengobatan

sendiri kemungkinan dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan,

status pekerjaan, tingkat pendapatan, serta pengetahuan dan sikap tentang

pengobatan sendiri.

2. Hasil dan Pembahasan

a. Hubungan antara pengetahuan dan sikap tentang pengobatan sendiri

dengan perilaku pengobatan sendiri yang rasional


Pola kedua hubungan tersebut adalah positif. Artinya, semakin baik

pengetahuan, sikap tentang pengobatan sendiri maka semakin rasional pula

perilaku pengobatan sendirinya, demikian juga sebaliknya.

Menurut Soejoeti (2005), ada 3 faktor yang menyebabkan timbulnya perubahan,

pemahaman, sikap dan perilaku seseorang, sehingga seseorang mau mengadopsi

perilaku baru yaitu:

1) Kesiapan psikologis, ditentukan oleh tingkat pengetahuan, kepercayaan,

2) Adanya tekanan positif dari kelompok atau individu dan

3) Adanya dukungan lingkungan.

4) Faktor yang mendukung tersebut adalah: 1) faktor predisposisi

(pengetahuan, sikap, keyakinan, persepsi),

5) Faktor pendukung (akses pada pelayanan kesehatan, keterampilan dan

adanya referensi),

6) Faktor pendorong terwujud dalam bentukdukungan keluarga, tetangga, dan

tokoh masyarakat.

b. Hubungan antara faktor sosiodemografi dengan perilaku pengobatan

sendiri yang rasional

Dari hasil analisis uji independent-sample t-test hubungan antara jenis

kelamin, umur, tingkat pendidikan, status pekerjaan, tingkat pendapatan dengan

perilaku pengobatan sendiri memberikan hasil yang signifikan. Hasil penelitian ini

sejalan dengan hasil penelitian Hebeeb dan Gearhart (1993), Worku dan Abebe

(2003), yang menyatakan jenis kelamin berhubungan dengan perilaku pengobatan


sendiri. Tse, et al., (1999), dalam penelitiannya menemukan bahwa responden

perempuan lebih banyak melakukan peng- obatan sendiri secara rasional. Hasil

analisis menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pendapatan

dengan perilaku pengobatan sendiri.

c. Faktor dominan dalam hubungan antara faktor sosiodemografi,

pengetahuan, dan sikap dengan perilaku pengobatan sendiri yang rasional

Hasil analisis multivariat menunjukkan variabel umur dan pendapatan

tidak berhubungan dengan perilaku pengobatan sendiri. Berdasarkan nilai Wald,

dapat diambil kesimpulan bahwa hubungan antara pendidikan dengan perilaku

pengobatan sendiri paling kuat dibandingkan dengan keempat variabel lainnya.

Kekuatan hubungan jika diurutkan mulai dari yang terkuat kemudian semakin

lemah adalah variabel pendidikan, sikap, pekerjaan, jenis kelamin dan yang

terakhir pengetahuan tentang pengobatan sendiri. Dapat ditarik kesimpulan bahwa

probabilitas perilaku pengobatan sendiri yang rasional akan meningkat jika

tingkat pendidikan responden tinggi, responden bekerja, responden dengan sikap

yang baik dan pengetahuan tentang pengobatan sendiri yang tinggi, serta

responden dengan jenis kelamin perempuan.

3. Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan dan sikap tentang

pengobatan sendiri berhubungan dengan perilaku pengobatan sendiri yang

rasional. Faktor sosiodemografi yaitu jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan,

pekerjaan, dan tingkatpendapatan berhubungan dengan perilaku pengobatan


sendiri yang rasional. Faktor dominan yang paling berpengaruh terhadap perilaku

pengobatan sendiri yang rasional pada masyarakat Kecamatan Depok dan

Cangkringan Kabupaten Sleman adalah tingkat pendidikan.

2.8.2 Tingkat Pengetahuan Penggunaan Obat Bebas Dan Obat Bebas

Terbatas Untuk Swamedikasi Pada Masyarakat Rw 8 Morobangun

Jogotirto Berbah Sleman Yogyakarta

1. Pendahuluan

Swamedikasi adalah salah satu cara pengobatan yang paling banyak

dilakukan dan bermacam pilihan obat sudah tersedia, sehingga diperlukan

pertimbanganpertimbangan yang cermat dalam memilih obat untuk suatu

penyakit. Obat yang dikonsumsi harus selalu digunakan secara benar dan tepat

agar memberikan manfaat klinik yang optimal pada tubuh. Umumnya

swamedikasi dilakukan untuk mengatasi keluhan dan penyakit ringan yang

banyak di alami masyarakat, seperti demam, batuk, flu, nyeri, diare dan gastriris.

Swamedikasi menjadi alternatif yang banyak dipilih masyarakat untuk meredakan

atau menyembuhkan keluhan kesehatan ringan atau meningkatkan keterjangkauan

akses terhadap pengobatan dan mengatasi gejala penyakit sebelum mencari

pertolongan dari tenaga kesehatan. Tindakan swamedikasi menggunakan obat

bebas dan bebas terbatas yang dilakukan biasanya didasari atas beberapa

pertimbangan antara lain mudah dilakukan, mudah dicapai, tidak mahal, dan

sebagai tindakan alternatif dari konsultasi kepada tenaga medis, meskipun disadari

bahwa obat-obat tersebut hanya sebatas mengatasi gejala dari suatu penyakit.
Swamedikasi dengan obat bebas dan bebas terbats yang dilakukan dapat

menjadi beresiko apabila dilakukan secara terus menerus untuk mengobati

penyakit yang tidak kunjung sembuh. Responden terkadang tidak menyadari

bahwa obat bebas dan obat bebas terbatas yang dikonsumsinya dapat

menimbulkan efek samping yang merugikan bagi tubuh. Dosis dari beberapa obat

yang dapat digunakan secara bebas terkadang tidak seaman obat dengan resep

dokter, sehingga ketika seseorang menggunakan obat bebas dan obat bebas

terbatas lebih dari dosis yang direkomendasikan, maka akan menimbulkan efek

samping, reaksi merugikan lainnya, dan keracunan.

Dampak buruk dari swamedikasi yaitu dapat terjadi salah obat, timbul efek

samping yang merugikan, dan dapat pula terjadi penutupan gejala gejala yang

dibutuhkan untuk kedokter. Swamedikasi hendaknya dilaksanakan berdasarkan

tingkat pengetahuan yang cukup untuk menghindari penyalahgunaan obat, serta

kegagalan terapi akibat penggunaan obat yang tidak sesuai. Menurut WHO (2012)

pengetahuan yang cukup akan mempengaruhi seseorang untuk berperilaku atau

melakukan sesuatu. Swamedikasi dilakukan dengan menggunakan obat bebas dan

obat bebas terbatas yang diperoleh di warung, toko obat maupun Apotek.

2. Hasil Dan Pembahasan

 Hasil Kuesioner Pertanyaan Pendahuluan Pengetahuan Obat Bebas

dan Bebas Terbatas Untuk Swamedikasi

Sebaran tempat memperoleh obat dan informasi obat pada responden

dapat dilihat pada tabel 3. Responden memperoleh obat paling banyak di warung
dengan presentase 62,22%, warga yang membeli di supermarket sebanyak 17,14%

, kemudian ada juga yang membeli di apotek sebanyak 12% dan warga yang

membeli di toko obat sebanyak 8,57%. Responden yang memperoleh obat di

warung tidak akan mendapat penjelasan dan penggunaan obat yang benar dari

petugas kesehatan, dikhawatirkan akan terjadi salah penggunaan obat.

Masyarakat cenderung menerapkan tradisi dengan pengobatan sendiri

dengan metode yang diterapkan pada jaman dahulu sebelum banyak beredar jenis

obat-obatan baik obat modern maupun obat tradisional terutama yang dijual

bebas, sehingga responden kemungkinan mengalami salah penggunaan obat

(medications error) dimana responden tidak dijelaskan oleh tenaga kesehatan

langsung penggunaan dan informasi obat yang di konsumsinya. Peran farmasis

sangat dibutuhkan untuk memberikan informasi dan edukasi dalam hal ini adalah

tentang penggunaan obat bebas dan bebas terbatas untuk swamedikasi.

 Hasil Kuesioner Pengetahuan Penggunaan Obat Bebas dan Bebas

Terbatas untuk Swamedikasi

Pengetahuan swamedikasi dari para responden dapat ditinjau dari

pemahaman secara umum dan khusus tentang obat bebas dan obat bebas terbatas,

pemahaman terhadap informasi obat yang tercantum dalam brosur dan kemasan

obat, serta faktorfaktor yang penting diperhatikan dalam membeli obat bebas.

Secara umum responden memahami informasi yang tercantum dalam brosur obat,

serta tidak mengetahui informasi-informasi yang tercantum dalam brosur dengan


lebih lengkap (kandungan zat aktif, cara pemakaian, efek samping, dan batas

maksimum penggunaan).

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ahmad (2015)

menyatakan bahwa responden sama sekali tidak memahami tentang obat itu

apakah termasuk penggolongan obat yang boleh dan tidak boleh untuk dijual

bebas, meskipun ada seorang responden yang mengenal tanda bulatan berwarna

pada kemasan obat dengan benar yaitu hijau dan biru meskipun tidak mengetahui

maksudnya, serta tidak mengenal bulatan berwarna merah tidak memiliki

pengetahuan tentang swamedikasi. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh tingkat

pendidikan responden. Kurangnya pengetahuan responden dalam menyebutkan

paracetamol diminum sebagai obat demam tanpa resep dokter. Hal ini

menunjukan bahwa responden tidak mengetahui mengenai indikasi penggunaan

paracetamol. Dari hasil data kuesioner, banyak responden tidak. Penggunaan obat

bebas dan bebas terbatas disesuaikan dengan aturan yaitu jenis obat yang

digunakan, dosis pemakaian, serta lama penggunaan obat tersebut.

 Tingkat Pengetahuan Responden Tentang Penggunaan Obat Bebas

dan Obat Bebas Terbatas Untuk Swamedikasi

Upaya pengobatan sendiri yang dilakukan oleh masyarakat, tidak terlepas

dari kebenaran informasi tentang obat yang diterima. Informasi obat pada label

penandaan kemasan obat merupakan sumber informasi yang utama kepada pasien

untuk memberikan edukasi mengenai manfaat dan resiko penggunaan obat.

Namun informasi tersebut sering tidak konsisten, tidak lengkap dan sulit

dipahami. Sarana informasi lain yang dinilai juga efektif untuk memberikan
edukasi pasien tentang manfaat dan penggunaan obat adalah komunikasi melalui

media iklan diantaranya media elektronik, media cetak. Hal ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Prinhanka (2009) bahwa, iklan obat dari media

elektronik (televisi dan radio) lebih mempengaruhi responden dalam swamedikasi

dibandingkan media cetak seperti koran atau majalah.

3. Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukan bahwa responden yang mempunyai tingkat

pengetahuan baik penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas sebanyak 75

responden (42,9%), dan tingkat pengetahuan kurang baik penggunaan obat bebas

dan obat bebas terbatas sebanyak 100 responden (57,1%).


BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 KESIMPULAN

Obat merupakan sedian atau paduan bahan-bahan yang siap digunakan

untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistim fisiologi atau keadaan patologi

dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,

peningkatan, kesehatan dan kontrasepsi. Masyarakat adalah suatu sistem yang

terwujud dari kehidupan bersama manusia, yang lazim disebut sebagai sistem

kemasyarakatan.

Generik Obat (Unbranded Drug) adalah obat dengan nama generik, nama

resmi yang telah ditetapkan dalam Farmakope Indonesia dan INN (International

10 Non-propietary Names) dari WHO (World Health Organization) untuk zat

berkhasiat yang dikandungnya. Manfaat Obat Generik secara umum adalah

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, dari segi ekonomis terjangkau, dan

segi kualitas obat generik memiliki mutu atau khasiat yang sama dengan obat

yang bermerek dagang (obat paten).

Adapun disini dari kelompok kami melakukan studi jurnal yang berjudul:

1. Perilaku pengobatan sendiri yang rasional pada masyarakat Kecamatan

Depok dan Cangkringan Kabupaten Sleman


2. Tingkat Pengetahuan Penggunaan Obat Bebas Dan Obat Bebas Terbatas

Untuk Swamedikasi Pada Masyarakat Rw 8 Morobangun Jogotirto Berbah

Sleman Yogyakarta

3.2 SARAN

Diharapkan setelah membaca makalah ini dan pada saat sudah dipaparkan hasil
makalah ini. Masyarakat lebih mengerti penggunaan dan perbedaan obat generik
dan obat paten, sehingga dapat menggunakan secara rasional.
DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. (2004). Ilmu Farmasi. Ghalia Indonesia : Jogyakarta.

Ansel, H.C. (2001). Introduction to Pharmaceutical Dosage Forms. Lea &


Febiger : Philadelphia.

Chaerunissa, A.Y. (2014). Farmasetika Dasar. Widya Padjajaran : Bandung.

Hidayati, A., Dania, H., & Puspitasari, M. D. (2017). Tingkat pengetahuan


penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas untuk swamedikasi pada
masyarakat RW 8 Morobangun Jogotirto Berbah Sleman Yogyakarta. Jurnal
Ilmiah Manuntung, 3(2), 139-149.

Hurlock E.B. (2009). Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang


Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga

Komisi Obat Nasional. (2010). Komisi Obat Nasional (KONAS) Tahun 2010.
Diakses dari http://bifar.kemenkes.go.id [20 Mei 2015]

Kristina, S. A., Prabandari, Y. S., & Sudjaswadi, R. (2008). Perilaku pengobatan


sendiri yang rasional pada masyarakat Kecamatan Depok dan Cangkringan
Kabupaten Sleman. Majalah Farmasi Indonesia, 19(1), 32-40.

Mubarak, W. I. (2007). Promosi Kesehatan Sebuah Pengantar Proses Belajar


Mengajar Dalam Pendidikan. Graha Ilmu : Yogyakarta

Notoatmodjo, S. (2007). Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta :


Jakarta

Potter, P.A., dan Perry, A.G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan:
Konsep, Proses, Dan Praktik, Ed 4. Vol 2 (alih bahasa: Renata Keumala
sari, dkk). EGC : Jakarta

Soekanto, S. (2002). Sosiologi Suatu Pengantar. CV. Rajawali : Jakarta.

Soleman, T. B. (2004). Struktur dan Proses Sosial Suatu Pengantar Sosiologi


Pembangunan. CV. Rajawali : Jakarta.
Suryani, A. (2013). Pelaksanaan Kebijakan Obat Generik di Apotik Kabupaten
Pelalawan Provinsi Riau. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Gadjah Mada : Yogyakarta.

Wati, R. (2009). Pengaruh Penyuluhan Terhadap Peningkatan Pengetahuan.


Diakses dari http://enprints.uns.ac.id [20 Mei 2015]

Widodo, R. (2009). Panduan Keluarga Memilih dan Menggunakan Obat. Kreasi


Wacana : Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai