Kato Nan Ampek
Kato Nan Ampek
12 Sep @Kolom
#tantangan Gurusiana
Bagi masyarakat Minangkabau Kato Nan Ampek sudah tidak asing lagi. Kato
Nan Ampek merupakan aturan yang mengikat bagi putera dan puteri
Minangkabau dalam berkomunikasi dan mengungkapkan pemikirannya dalam
kehidupan sehari-hari. Kato Nan Ampek maksudnya adalah 4 etika dalam
berbicara. Masyarakat Minang mempunyai tatanan untuk berbicara dalam
keseharian, seperti berbicara kepada yang tua, tokoh masyarakat, pemimpin,
yang lebih muda, teman sebaya, berbicara kepada menantu (sumando),
maupun didalam forum. Semakin halus penghayatan seseorang terhadap kato
Nan ampek ini, maka semakin bernilailah keberadatan orang yang
bersangkutan. Bagi mereka yang tidak menerapkan Kato Nan Ampek dalam
berkomunikasi, semakin rendahlah keadabannya atau istilahnya indak tau di
nan ampek (tidak tahu adat).
Kato Nan Ampek tersebut adalah kato mandaki, kato manurun, kato mandata
dan kato malereang. Pertama; Kato mandaki atau kata mendaki maksudnya
bagaimana kita menyatakan pikiran kita dengan cara berkomunikasi terhadap
seseorang yang posisinya lebih tinggi dari kita, seperti orang tua kita, guru,
ulama, tokoh masyarakat, termasuk pemimpin kita. Hal yang sangat terlarang
bila kita memanggil namanya saja atau memberi kata sandang ‘Si’.
Kedua; kato manurun atau kata menurun adalah cara berkomunikasi dengan
seseorang yang posisinya di bawah kita atau lebih muda usianya dari kita.
Kato manurun ini kadang disalah artikan sebagian orang. Kato manurun bukan
berarti mambuang aie ka lurah (bukan berarti kita bisa bicara semena-mena).
Ketika kita berbicara dengan yang lebih muda tetaplah harus juga pandai
menghargai dan tidak semena mena. Tidak merasa paling tahu atau paling
benar.
Ketiga; Kato mandata atau kata mendatar merupakan cara bertutur kata
kepada teman sejawat atau teman sebaya kita. Kepada teman sebaya tutur
kata kita mungkin tidak sebagaimana kepada orang yang lebih tua, tetapi kata-
kata itu tetap harus dalam koridor saling menghargai. Walaupun dengan
teman sebaya kita harus tetap saling menghargai dalam bicara. Petitih Minang
mengatakan, “Diagak mangko diagiah, dijua mangko dibali,” yang artinya
dalam berbicara hendaklah berfikir terlebih dahulu, dan memberikan jawaban
yang tidak menyinggung lawan bicara.