Anda di halaman 1dari 21

ETIKA DAN TATA PERILAKU

DALAM KEBUDAYAAN SAMAWA


• Secara keilmuan, etika adalah suatu ilmu
cabang filsafat yang obyeknya perilaku
manusia ditinjau dari nilai baik atau buruknya.
• “Etika adalah bagian filsafat nilai dan penilaian
yang membicarakan perilaku orang.
• perilaku seseorang dapat digolongkaan dalam
dua klasifikasi yaitu beretika .baik dan beretika
buruk
Etika Berbahasa dan Etika Berbicara
 

• “Bahasa menunjukkan bangsa; itulah salah


satu pribahasa lama yang memposisikan
bahasa sebagai salah satu indikator ketinggian
martabat manusia”
• bahasa sebagai cerminan masyarakat
dimaksudkan bahwa melalui bahasa kita dapat
mengenali peradaban sebuah masyarakat
pemakai bahasa. Apa saja yang menjadi bidang
kehidupannya, bagaimana mereka
mengungkapkan emosi, pikiran dan tingkah
lakunya, bagaimana penerapan prilaku
keagamaan, semuanya akan dapat diketahui
melalui bahasa yang dipakai oleh masyarakat ini
• Etika berbahasa dalam bahasa Sumbawa
berkaitan dengan:
• (1) adab edap rabasa,
• (2) adab edap nyamung,
• (3) adab edap bajangi ke enti karante, dan
• (4) pasatotang beling bakarante. berkaitan
dengan cara berbahasa dalam menyampaikan
isi pesan.
• Adab Edap Rabasa
 
• Di kalangan bangsawan atau istana kesultanan berlaku bahasa-
bahasa khusus yang dikembang kan di kalangan keluarga istana
yang juga ada bagian dari bahasa itu untuk digunakan atau
dipraktekkan oleh orang kebanyakan (masyarakat umum) ketika
berbicara dengan mereka dari kalangan bangsawam atau
kalangan istana Kerajaan. Misalnya ucapan Klepe atau Klepe kaji
yaitu bahasa penghormatan sebagai pengganti nama orang
bangsawan yang menjadi lawan bicara. Dalam bahasa Indonesia
bisa disetarakan dengan ‘Yang Mulia’. Untuk mengungkap system
bahasa khusus ini perlu dilakukan penelitian tersendiri.
• Di dalam komunikasi personal menggunakan bahasa Sumbawa
dikenal juga ungkapan diri dan ungkapan untuk lawan bicara.
Sebagai contoh Bahasa Kampung Bugis. Dalam berbicara
dibedakan adanya ungkapan diri dan lawan bicara antara lain.
• Kaji sebagai kata ganti orang pertama atau diri aku atau saya
ketika berbicara dengan orang yang lebih tua usianya atau lebih
tinggi status sosial dalam keluarga atau dalam masyarakat.
• Aku sebagai kata ganti diri ketika berbicara dengan orang yang
usianya setara atau dibawah atau yang status dalam keluarga
dan masyarakat lebih rendah.
• Saya merupakan kata serapan dari bahasa Indonesia yang
kedudukannya lebih sopan dan santun disbanding kata aku.
Saya sebagai kata ganti diri yang kedudukannya setara
dengan kata kaji.
• Kelam sebagai kata ganti orang kedua yaitu sebutan untuk
lawan bicara yang lebih tua usianya lebih tinggi statusnya
dalam keluarga dan masyarakat.
• Siya sama dengan kelam kata ganti orang kedua.
• Kau’ kata ganti orang kedua yang berarti kamu, digunakan
untuk menyebut lawan bicara yang seusia atau dengan umur
yang relative sama;
• Nya untuk menyebut orang ketiga yang berarti dia, digunakan
untuk menyebut yang relatif sama usianya;
• ‘Iye’ adalah kata sahutan untuk menunjukkan kepatuhan,
persetujuan, dan kesepahaman ketika berbicara dengan orang
yang lebih tua, atau lebih tinggi statusnya dalam keluarga dan
masyarakat. Misalnya: Seorang paman menyatakan kepada
keponakannya. “Mudi kau mo sajira pina bara ayam ta”. (Nanti
biar kamu saja yang selesaikan kandang ayam ini). Dalam hal
ini si keponakan menyatakan persetujuannya dengan
mengatakan “Iye’ eya’ ba kaji mo sajira mudi” (Iya Paman biar
saya saja yang mengerjakannya nanti).
• Selain itu dikenal juga sebutan untuk keluarga: (1) adi’
atau ari’ untuk menyebut adik kandung maupun adik
sepupu atau yang lebih kecil; (2) kaka’ atau ‘abang’
untuk menyebut kakak atau yang lebih tua sebaya; (3)
‘eya’ untuk menyebut paman atau bibi atau yang
disetarakan dengan paman dan bibi yang umurnya lebih
tua dari orangtua sendiri. ‘nde’ atau ‘ende’ untuk
menyebut paman atau bibi atau yang disetarakan
dengan paman dan bibi yang umurnya diketahui sama
atau lebih muda dari orang tua sendiri;
• (4) ‘uwa, aba’, bapa’ , mami’, maming’ untuk menyebut atau
memanggil ayah; (5) ‘ina’, ma’, indo’, untuk menyebut ibu kandung
atau ibu tiri; (6) papin untuk menyebut kakek atau nenek; (7) balo’
untuk menyebut orangtua dari kakek/nenek; (8) tolo’ untuk
menyebut orang tua dari balo’; dan (9) nini’ kaki’ untuk menyebut
nenek moyang; (10) mentua’ untuk menyebut mertua, (10) pesura’
untuk menyebut yang setara atau sejajar dengan mertua; dan (11)
mentua pesura’ untuk menyebut sekaligus mertua dan yang sejajar
dengan mertua.
• Contoh yang diambil dari tata cara bahasa Kampung Bugis tersebut
sebenarnya juga telah diterapkan oleh orang Sumbawa secara
keseluruhan.
•  
• Adab Edap Nyamung
 Di dalam bahasa Samawa yang disebut nyamung adalah
menyahut atau menjawab panggilan atau pertanyaan.
Nyamung berasal dari kata samung yang berarti jawab.
Cara nyamung ini tergantung kepada pertanyaan atau
ucapan dari lawan bicara, sebagai berikut:
• Iye’ yang berarti iya untuk menjawab panggilan dari
orang yang lebih tua atau lebih dihormati;
• We’ yang berarti iya untuk menjawab panggilan dari
orang yang usianya dan kedudukan sosialnya setara;
• Ao’ yang berarti menyanggupi atau meng-iya-kan pertanyaan
atau ungkapan dari lawan bicara yang usianya atau status
sosialnya relatif sama;
• Iye’ balong mo, berarti menyanggupi atau meng-iya-kan
ungkapan dari lawan bicara yang usianya atau hubungan
sosialnya lebih tinggi;
• Insya Allah, yang berarti jika Allah mengijinkan, adalah awalan
ungkapan kesanggupan atas suatu permintaan atau ajakan dari
lawan bicara. Setelah mengucapkan Insya Allah biasanya
dilanjutkan dengan ungkapan berikutnya yang isinya sesuai
dengan topick pembicaraan dan diungkapkan dengan santun;
• Adab Edap Bajangi ke Enti Karante
 
• Cara berbicara dan berbahasa Sumbawa menunjukkan ketinggian
harkat dan martabat seseorang. Karena itu berbicara dan berbahasa
tidak dapat dianggap main-main. Apalagi dalam pembicaraan yang
penting. Ada beberapa contoh :
• Bajangi yaitu berjanji terhadap orang lain berkaitan dengan sesuatu.
Janji ini dapat berupa menyanggupi, akan melakukan. Karena itu jika
kemungkinan janji akan menghadapi kendala maka sesuai ajaran Islam
bajangi harus diawali dengan ucapan Insya Allah.
• Totang kajangi; mengingat segala yang telah menjadi janji kepada diri
sendiri ataupun kepada orang lain, dan enti jangi artinya pegang dan
penuhi janji.
• Enti karante artinya memegang ucapan yaitu orang yang sudah
berjanji atau menyatakan sesuatu maka dia akan memegang
janji dan perkataannya untuk dipenuhi atau ditepati.
• Melir melak adalah ungkapan untuk seseorang yang tidak tetap
pada pendiriannya, lain yang diucapkan di mulut lain pula yang
dikerjakan. Na mu melir melak artinya jangan kamu ingkar janji
atau melanggar ucapanmu sendiri.
• Len ling boa len len burit adalah untuk menyatakan kekesalan
terhadap orang yang melanggar janji atau melanggar
ucapannya. Secara arti kata berarti lain ucapan di mulut lain
bunyi di pantat, sama dengan berdusta atau berbohong.
• Pedek karante artinya mempermainkan kata-
kata atau ucapan. Na pedek karante adalah
ungkapan untuk mengingatkan seseorang
akan janjinya atau pernyataannya agar tidak
dijadikan main-main tetapi untuk ditepati.
• Bola artinya berdusta atau berbohong
• Pasatotang Beling Bakarante
 Pasatotang atau nasehat berkaitan dengan ‘sopan santun dalam berucap
dan berbicara’. Para orangtua tauloka Sumbawa jaman dahulu sangat
memperhatikan prinsip dalam berucap dan berbicara. Dengan cara
berucap dan berbicara ini sering menjadi penyebab terjadinya
perselisihan bahkan pertumpahan darah. Ini dapat dibandingkan dengan
ungkapan ‘Lidah lebih tajam dari pedang’; atau ungkapan ‘mulutmu
adalah harimaumu’. Ada banyak prinsip pasatotang yang harus
diperhatikan kaitannya dengan cara berucap dan berbicara ini antara lain
sebagaimana dikemukakan oleh H. Syahabuddin Rayes : “Kita berbicara ini
banyak masalahnya, karena itu perlu diantisipasi akibat atau resikonya.
Adat kita menyatakan begini bunyinya: Na beling pang katokal mu tedu,
apa sala’. Na tedu pang katokal mu beling, apa sala’”(2001: 10).
• Pertama; Na beling pang katokal mu tedu, apa sala’; ke Na tedu pang katokal
mu beling, apa sala’.
 
• Prinsip ini jika diterjemahkan berarti: “Jangan mengatakan dimana seharusnya
kamu diam, karena yang demikian itu salah”, dan “Jangan diam dimana
seharusnya kamu mengatakannya, karena yang demikian itu salah”. Dalam prinsip
na beling pang katokal mu tedu, apa sala’ ini seseorang dilarang mengatakan
sesuatu pada saat-saat yang kurang tepat karena yang demikian itu merupakan
kesalahan besar. Misalnya ketika seseorang menagih hutang kepada seseorang
lainnya dengan ucapan yang keras dan itu dilakukan pada tempat dimana banyak
orang lain berkumpul dan ikut mendengar, maka ini adalah kesalahan besar. Pihak
yang ditagih akan merasa ‘ila’ kuning’ atau malu yang luar biasa. Kejadian ini
dapat berakibat fatal misalnya perkelahian atau keinginan saling membunuh.
Selanjutnya na tedu pang katokal mu beling, apa sala’ ini seseorang tidak boleh
diam pada saat seharusnya mengatakan sesuatu.
• Contoh ketika seseorang telah berbuat
kesalahan maka harus segera diperingatkan
sebab jika tidak diperingatkan itu dianggap
kesalahan. Artinya seseorang yang melakukan
kesalahan harus diingatkan segera jangan
menunggu waktu yang lama.
• Kedua; Balong karante sala’ katokal, sala’. Balong katokal sala’ karante, sala’.
Balong karante balong katokal, iya’.
 
• Ini adalah pasatotang adat atau nasihat adat yang menunjukkan keharusan
seseoraang berbicara yang benar pada tempat yang tepat. Balong karante sala’
katokal, sala’ artinya maksud isi bicaranya baik tetapi tempatnya salah, maka yang
demikian itu adalah kesalahan. Cara berbicara yang baik tetapi salah tempat sering
terjadi dalam hubungan sosial sehingga akibatnya akan menimbulkan perselisihan dan
hubungan persaudaraan atau persahabatan putus. Balong katokal sala’ karante, sala’
artinya tempat dan waktu menyampaikan pembicaraan itu sudah tepat, tetapi cara
penyampaiannya tidak bijak maka itu adalah kesalahan fatal. Cara yang baik adalah
balong karante balong katokal, iya’; artinya cara penyampaiannya baik dan benar dan
tempat dan waktu penyampaiannya benar maka itulah yang tepat; sehingga hubungan
antara komunikator dan komunikan bersifat saling menguntungkan dan tidak
menimbulkan perselisihan.
•  
STOP

LANJUT KE SESI BERIKUT


ETIKA BERBICARA

Anda mungkin juga menyukai