Anda di halaman 1dari 15

Makalah Semantik

Ungkapan Tabu dan Strategi Penghindaran Tabu


Dosen Pengampu: Prof. Dr. I Wayan Rasna, M.Pd.

Oleh:
Yona Migi Arsela ;2012011014

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Bahasa Indonesia dan Daerah
Bahasa dan Seni
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu

Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat
dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah yang berjudul “Ungkapan
Tabu dan Strategi Penghindaran Tabu” tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Prof. Dr. I Wayan Rasna, M.Pd. selaku dosen
pengampu mata kuliah Semantik.

Saya sudah melakukan yang terbaik dalam penyusunan makalah ini, dan kesempurnaan
merupakan harapan saya. Namun apalah daya, kesempurnaan bukanlah milik saya sebagai
manusia. Oleh karena itu, saya selaku penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila
terdapat kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini. Saran dan kritik yang membangun dari
pembaca akan selalu saya terima agar di kemudian hari saya bisa menyusun makalah yang lebih
baik lagi.

Akhir kata saya ucapkan terima kasih, dan saya berharap semoga makalah ini dapat
menjadi referensi bagi pihak pembaca. Selain itu, saya juga berharap agar pembaca mendapatkan
sudut pandang baru setelah membaca makalah ini.

Om Santih, Santih, Santih Om

Singaraja, 15 November 2021

Penulis
Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bahasa adalah salah satu unsur kebudayaan yang didalamnya tercermin nilai-
nilai yang berhubungan dengan kehidupan manusia sebagai makhluk sosial.
Wibowo (2001) menyatakan bahwa bahasa adalah simbol bunyi yang bermakna
dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbitrer dan
konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia
untuk melahirkan perasaan dan pikiran. Bahasa juga merupakan alat penghubung
dalam beromunikasi antar wilayah. Dalam berbahasa diperlukan kecakapan dalam
penyampaiannya agar si pendengar tidak salah paham dengan apa yang kita
ucapkan. Namun terdapat beberapa kata yang dalam pengucapannya masih
terbilang tidak awam atau tabu. Tabu dapat berupa ungkapan atau kata yang masih
dipakai karena adanya adat yang masih kental.
Istilah tabu merupakan bagian dari suatu kebudayaan. Kata-kata tabu
seharusnya tidak diucapkan atau dihindari penggunaannya. Seringnya kata-kata ini
digunakan akan menimbulkan sensitifitas masyarakat dalam mengenal dan
menyaring penggunaan kata-kata yang termasuk dalam tabu bahasa ini menjadi
berkurang. Istilah-istilah tabu ini sendiri dapat diuraikan sebagai kata-kata yang
menyakitkan hati atau menghina, mengejutkan atau tidak sopan, atau kasar.
Kridalaksana (1993: 207) menjelaskan bahwa bahasa tabu adalah ujaran yang
dilarang, baik karena kekuatan yang membahayakan (tabu positif) maupun karena
kekuatan yang mencemarkan atau merusak kekuatan hidup seseorang (tabu
negatif). Dengan demikian perlu adanya kiat untuk menghindari pengucapan
bahasa tabu yang masih digunakan di masyarakat. Dalam setiap kelompok
masyarakat, terdapat kata-kata tertentu yang dinilai tabu. Kata-kata tersebut tidak
diucapkan, atau setidaknya, tidak diucapkan di depan para tamu dalam kondisi
formal dan penuh sopan santun. Ketika suatu tindakan dikatakan tabu, maka segala
sesuatu yang berhubungan dengan tindakan tersebut juga dianggap tabu. Pada
awalnya biasanya masyarakat tidak memperbolehkann untuk melakukan hal
tersebut namun semakin lama suatu masyarakat tidak boleh mengatakan hal
tersebut bahkan yang bersangkutan dengan hal tersebut.
Secara verbal, Frazer (1955) menggolongkan kata-kata tabu menjadi enam
bagian: (1) tabu nama orang tua, (2) tabu nama kerabat, (3) tabu nama orang yang
meninggal, (4) tabu nama orang dan binatang yang disakralkan, (5) tabu nama
Tuhan, dan (6) tabu kata-kata tertentu. Sementara itu, Montagu (1973)
menggolongkan tabu sumpah serapah menjadi enam bagian juga, yaitu: (1)
makian, (2) hujatan, (3) kutukan, (4) sumpahan, (5) (ke)carutan, dan (6) lontaran
atau seruan.
Dari pemaparan yang sudah dipaparkan, selanjutnya akan dibahas lebih jauh
lagi mengenai spesifikasi ungkapan tabu dan strategi menghindari ungkapan tabu
itu sendiri. Permasalahan yang dapat saya angkat dari pemaparan yang sudah
dijelaskan yaitu sebagai berikut:

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja bentuk dari ungkapan tabu?
2. Apa saja jenis makna dari ungkapan-ungkapan tabu?
3. Bagaimana klasifikasi ungkapan tabu berdasarkan referensinya?
4. Bagaimana strategi menghindari ungkapan tabu dalam bahasa Indonesia?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun tujuannya yaitu:
1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk ungkapan tabu.
2. Untuk mengetahui makna dari ungkapan tabu.
3. Untuk mengetahui jenis dari klasifikasi ungkapan tabu berdasarkan referensi.
4. Untuk mengetahui strategi apa yang seharusnya digunakan untuk menghindari
ungkapan tabu.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini yaitu untuk menambah
pengetahuan yang lebih spesifik mengenai ungkapan tabu kepada pembaca.
Makalah ini juga dapat dijadikan referensi sumber bahan ajar yang berkaitan
dengan ungkapan tabu.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Bentuk-Bentuk dari Uangkapan Tabu


Ungkapan tabu dalam pelontarannya dapat berupa apa saja namun dengan maksut
menyinggung atau hanya sebagai candaan sesama teman. Namun tetap saja tidak
dibenarkan untuk melontarkan ungkapan seperti itu kepada siapapun. Kata-kata tabu
memang masih banyak dipakai di sebagian kalangan, entah itu karena adat yang berlaku
atau karena perspektif keren pada kalangan muda. Terdapat beberapa bentuk ungkapan
tabu yang dapat kita ketahui, bentuk-bentuk ungkapan tersebut yaitu:
1. Makian
Makian adalah bentuk ungkapan tabu yang dicirikan oleh kata-kata keji (kotor/kasar)
yang diucapkan karena marah atau jengkel. Makian yang dilontarkan oleh penutur
memiliki fungsi tertentu. Fungsi tersebut juga dapat dikatakan sebagai motif ekspresi
mengapa mereka memaki.
Contoh: "Dasar anak setan!"
2. Hujatan
Hujatan adalah ungkapan yang bermakna ketidaksopanan yang mencolok.
Penghujatan, pada umumnya lebih serius dari pada makian.
Contoh: "anak gadik kok dua hari gak pulang, udah seperti jalang saja"
3. Kutukan
Kutukan ialah bentuk ungkapan dengan menggunakan doa disertai kata-kata yang
dapat mengakibatkan kesusuahan atau bencana pada seseorang. Tujuan orang
mengutuk adalah agar orang yang dikutuk diharapkan mengalami kesusahan.
Contoh: "kudoakan rumahmu kemalingan"
4. Sumpahan
Sumpahan adalah pernyataan serta itikad melakukan sesuatu untuk menguatkan
kebenaran atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar. Jadi orang
yang bersumpah dengan menggunakan kata-kata sumpah bermaksud agar orang yang
menyaksikan sumpahnya yakin jika ia tidak berbuat seperti apa yang dituduhkan ke
dirinya. Dalam hal ini, sumpahan ditujukan pada diri penyumpah. Jika sumpah
serapah ditujukan kepada orang lain, maka bentuknya tidak berbeda dengan kutukan
atau makian.
Contoh: "berani mati, saya tidak mengambil"
5. Kecarutan
Bentuk ini dicirikan oleh pemakaian kata atau ungkapan yang mengacu ke hal-hal
yang jorok, pada seks dan fungsinya. Rentangan makna kata-kata carut sulit dibatasi
karena paham (ke)carutan berbeda-beda dilihat dari segi budaya, periode waktu di
dalam suatu kebudayaan, serta dari satu orang ke orang lainnya.
Contoh: "makan tuh tai"
6. Lontaran/Seruan
Lontaran atau seruan adalah bentuk yang dicirikan oleh pemakaian kata atau
ungkapan yang hanya berfungsi sebagai “pengisi”, dimana penggunaannya tidak
bermakna apa-apa dan tidak bertujuan menyakiti hati orang.
Contoh: "sialan, uangku jatuh"
2.2 Makna Ungkapan Tabu
Dalam makna ungkapan tabu ini telah dikemukakan oleh Leech (1974), yang
mengklasifikasikan makna ke dalam tujuh jenis. Jenis makna dan penjelasannya
adalah sebagai berikut:
1. Makna Konseptual (conceptual meaning), yang biasanya disebut juga dengan
makna denotatif, yaitu makna sebenarnya yang tertulis dalam kamus.
2. Makna Konotatif yang merupakan makna kiasan yang memiliki nilai komunikatif
dari apa yang diacu dalam suatu ungkapan.
3. Makna Stilistika (stylistic meaning), yang berhubungan dengan lingkungan sosial
penggunanya. Pilihan ungkapan atau kata yang diucapkan oleh penuturnya
biasanya dapat menunjukkan asal-usul penutur menurut lingkungan geografis atau
menunjukkan hubungan sosial antara penutur dan pendengarnya.
4. Makna Afektif (affective meaning), yaitu cerminan perasaan penuturnya pada
ungkapan yang digunakan, dan sikapnya terhadap lawan bicaranya serta sikapnya
terhadap sesuatu yang dikatakan.
5. Makna Reflektif (reflected meaning) yang berhubungan dengan makna konseptual
ganda dimana makna dari suatu ungkapan/kata secara otomatis memiliki
tanggapan/pengertian lain. Makna ini juga sering dipahami sebagai sugesti yang
terdapat pada suatu pemakaian bahasa.
6. Makna Kolokatif (collocative meaning) yang menjelaskan hubungan makna suatu
kata dengan makna kata-kata lain yang cenderung muncul di dalam
lingkungannya seperti kata "tampan‟ dan "cantik‟ pada umumnya dipakai untuk
menunjukkan wajah laki-laki dan perempuan yang menarik, dapat juga digunakan
untuk menjelaskan kata-kata benda lainnya, contohnya laki-laki tampan, penulis
tampan, mobil gagah atau perempuan cantik, bunga yang cantik, kebun yang
cantik, warna yang cantik, dan sebagainya.
7. Makna Tematik (thematic meaning) yang biasanya terdapat dalam
ungkapan/kalimat yang menekankan suatu pesan. Penutur biasanya menggunakan
struktur kalimat tertentu dalam menekankan suatu bagian dalam kalimat yang
dapat dilihat dari contoh kalimat "Dewi menyumbangkan hadiah tersebut‟ dan
"Hadiah tersebut disumbangkan oleh Dewi‟, dimana kalimat pertama
menekankan kata "Dewi‟ (subjek), sedangkan kalimat kedua menekankan kata
"Hadiah tersebut‟ (objek yang berpindah menjadi subjek).
2.3 Klasifikasi Ungkapan Tabu Berdasarkan Referensinya
Menurut Wijana dan Rohmadi (2007:119—124), dilihat dari referensinya,
ungkapan tabu dapat digolong-golongkan menjadi bermacam-macam, yakni keadaan,
binatang, benda-benda, bagian tubuh, kekerabatan, mahluk halus, aktivitas, profesi, dan
seruan. Penjelasan dari setiap klasifikasinya sebagai berikut:
1. Keadaan
Dalam hal ini, sering kali kata-kata tabu digunakan untuk mengekspresikan
keterkejutan, keheranan, atau kekaguman, dan sebagainya. Secara garis besar
ada tiga hal yang dapat atau mungkin dihubungkan dengan keadaan yang tidak
menyenangkan ini, yakni keadaan mental, seperti gila, sinting, bodoh, tolol,
dan sebagainya; keadaaan yang tidak direstui Tuhan atau agama, seperti
keparat, jahanam, terkutuk, kafir, dan sebagainya; keadaan yang berhubungan
dengan peristiwa yang tidak menyenangkan, yang menimpa seseorang seperti
celaka, sialan, mati, modar, mampus, dan sebagainya.
2. Binatang
Jika ungkapan tabu yang lainnya digunakan untuk mengekspresikan makian
secara langsung mengacu pada sifat-sifat individu yang dijadikan sasarannya,
satuan-satuan lingual yang referensinya binatang pemakaiannya bersifat
metaforis. Artinya, hanya sifat-sifat tertentu dari binatang itulah yang
memiliki kemiripan atau kesamaan dengan individu atau keadaan yang
dijadikan sasaran makian. Dalam hal ini, tentu saja tidak semua nama binatang
dapat digunakan untuk sarana memaki dalam penggunaan bahasa. Binatang
yang digunakan juga hanya binatang tertentu yang memiliki sifat tertentu,
seperti babi (menjijikan dan diharamkan), anjing (menjijikan), lintah darat
(menyakiti), buaya (senang mencari pasangan). Selain itu ada binatang yang
referennya mengacu pada keburukan muka yaitu monyet dan kera.
3. Mahluk Halus
Ada tiga buah kata yang berhubungan dengan mahluk halus yang lazim
dipakai untuk melontarkan makian, yaitu setan, setan alas, dan iblis.
Semuanya adalah mahluk-mahluk halus yang sering mengganggu kehidupan
manusia.
Contoh: "setan, bikin kaget saja kamu"
4. Benda
Tidak jauh berbeda dengan nama-nama binatang dan mahluk halus, nama-
nama benda yang lazim digunakan untuk memaki juga berkaitan dengan
keburukan referennya, seperti bau yang tidak sedap (tai dan tai kucing), kotor
dan usang (gombal), dan suara yang mengganggu (memekakkan), misalnya
sompret.
5. Bagian Tubuh
Anggota tubuh yang lazim diucapkan untuk mengekspresikan makian adalah
anggota tubuh yang erat kaitannya dengan aktivitas seksual karena aktivitas
ini sangat bersifat personal dan dilarang dibicarakan secara terbuka kecuali di
dalam forum-forum tertentu. Bagian tubuh lainnya yang sering digunakan
untuk memaki dalam bahasa Indonesia adalah mata dalam bentuk frasa
matamu, yang antara lain dipakai untuk mengumpat orang yang tidak dapat
memanfaatkan alat penglihatannya sehingga melakukan kesalahan. Contoh
kata tabu yang masih sering diucapkan mengacu pada bagian tubuh yaitu
hidung belang dan mata duitan.
6. Kekerabatan
Sejumlah kata-kata kekerabatan mengacu pada individu-individu yang
dihormati, atau individu yang biasanya mengajarkan hal-hal yang baik kepada
generasi berikutnya (anak dan cucunya), seperti ibu, bapak, kakek, nenek, dan
sebagainya. Sebagai individu yang dihormati, layaknya kata-kata itu tabu
untuk disebut-sebut tidak pada tempatnya. Akan tetapi, untuk mengumpat atau
mengungkapkan kejengkelan kepada lawan bicaranya, penutur-penutur bahasa
Indonesia seringkali membawa atau menyangkut-nyangkutkan kata-kata
kekerabatan ini dengan menambahkan imbuhan -mu di belakangnya. Contoh
penggunaan kata tabu dalam kalimat yaitu: "memangnya ini jalan nenekmu?"
7. Aktivitas
Kata makian yang berhubungan dengan aktivitas mengacu pada aktivitas
seksual. Dilihat dari afiks yang digunakan, yakni di- secara semantis ungkapan
ini lebih berkadar keadaan dibandingkan dengan tindakan. Kata-kata makian
seperti ini, misalnya diamput dan diancuk. Kata diancuk lazim sekali
digunakan oleh para penutur bahasa Indonesia dari Jawa Timur. Sementara
itu, diamput, dilihat dari kesamaan maknanya, diduga merupakan perubahan
fonologis dari diancuk. Fenomena seperti ini lazim terjadi dalam usaha
penutur memperhalus ucapan, seperti halnya perubahan bentuk makian bahasa
Jawa dari asu "anjing" menjadi asem ‟buah yang asem rasanya‟, bajingan
menjadi bajigur ‟sejenis minuman‟.
8. Profesi
Profesi seseorang, terutama profesi rendah dan yang diharamkan oleh agama,
seringkali digunakan oleh para pemakai bahasa untuk mengumpat atau
mengekspresikan rasa jengkelnya. Profesi-profesi itu di antaranya, maling,
sundal, bajingan, copet, lonte, dan sebagainya.
2.4 Strategi Menghindari Bahasa Tabu dalam Bahasa Indonesia
Bahasa tabu dalam reputasinya sudah dikenal kurang pantas untuk diucapkan sejak dulu.
Namun masih banyak sekali masyarakat yang masih menyebutnya dengan spontan dengan
berbagai kondisi. Kebanyakan dari masyarakat menyebutkan kata-kata tabu dengan spontan
saat mereka marah, senang, ataupun sedih. Dalam halnya bersosialisasi kita perlu menjaga
spontanitas perihal ungkapan tabu, ini untuk tetap menjaga kenyamanan saat bersosialisasi.
Terdapat beberapa strategi dalam menghindari penggunaan bahasa tabu, berikut kiat-kiat
yang dapat digunakan untuk menghindari bahasa tabu:
1. Menggunakan Eufiminisme atau penghalusan makna kata yang dianggap tabu oleh
masyarakat.
2. Mengganti bunyi, maksut dari mengganti bunyi ini yaitu mengganti kata itu sendiri
dengan kata lain dengan maksut agar tidak terlalu frontal atau untuk diparodikan. Contoh:
 "anjing" dengan kata "anjrit" (bagi orang Sunda)
 "asu" dengan "asem" (bagi orang Jawa).
3. Abreviasi (singkatan) adalah proses penanggalan leksem atau kombinasi leksem yang
diambil dari struktur kata lengkap atau frase dan memiliki makna yang sama dengan
makna aslinya atau bentuk semula. Contoh:
 "miss V" untuk "vagina",
 "sekwilda" untuk "sekitar wilayah dada"
 "perek" untuk "perempuan rekrutan"
4. Metafora atau kiasan adalah gaya bahasa yang digunakan sebagai kiasan yang secara
eksplisit mewakili suatu maksud lain berdasarkan persamaan atau perbandingan. Contoh:
 "celana dalam" atau "segitiga pengaman"
 "burung" atau "sebutan kemaluan laki-laki"
5. Menggunakan kata lain atau sinonim. Contoh:
 "kotoran" diganti "fases"
 "pantat" diganti "dubur"
6. Menciptakan kata, maksutnya yaitu ketika terdapat kata tabu yang tidak ada sinonim atau
kata yang lebih pantas, seseorang dapat menciptakan kata baru. Contoh pada kata "tuna"
di kata "tunawisma".
7. Mengikuti perkembangan zaman. Contoh:
 "kuli" diganti jadi "pekerja, karyawan".
 "babu" diganti jadi "asisten rumah tangga"
8. Ungkapan yang memberi kesan lebih baik atau menciptakan ungkapan yang baru. Contoh
"mantan anggota GAM (Gerakan Aceh Merdeka) itu kembali ke ibu pertiwi" padahal
yang dimaksud adalah "menyerah".
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ungkapan tabu adalah bagian dari suatu kebudayaan yang dapat diuraikan sebagai kata-
kata yang menyakitkan hati atau menghina, mengejutkan atau tidak sopan, atau kasar.
Adapun ungkapan tabu itu sendiri memiliki beberapa bentuk seperti makian, hujatan,
kutukan, sumpahan, kecarutan, lontaran atau seruan. Setelah memahami mengenai apa saja
bentuk ungkapan tabu selanjutnya terdapat makna-makna dari ungkapan tabu seperti makna
konseptual, makna konotatif, makna stilistika, makna afektif, makna reflektif, makna
kolokatif, makna tematik. Ungkapan tabu juga memiliki klasifikasi tersendiri berdasarkan
referensinya seperti keadaan, binatang, mahluk halus, benda, bagian tubuh, kekerabatan,
aktivitas, profesi. Dalam halnya penyebutan kata tabu biasanya seseorang mengucapkan
dengan spontanitas, dengan demikian terdapat strategi untuk menghindari bahasa tabu,
contohnya dengan menggunakan eufiminisme, mengganti bunyi, abreviasi atau singkatan,
metafora atau kiasan, menggunakan persamaan kata atau sinonim, menciptakan kata,
mengikuti perkembangan zaman, dan ungkapan yang memberi kesan lebih baik atau
menciptakan ungkapan yang baru.
3.2 Saran
Dalam halnya berbahasa yang baik perlu diketahui aturan-aturan yang berlaku, baik dari
segi ejaan bahasa itu sendiri maupun dari masyarakat yang berlaku. Sebagai pengguna
bahasa yang baik, dalam berbahasa kita juga perlu tahu situasi dan kondisi dalam hal
berbahasa. Menjaga nilai kebudayaan juga diperlukan dalam berbahasa, dengan demikian
kita harus tetap berkomunikasi yang baik seperti pada tata bahasa yang berlaku. Dengan tidak
menyebutkan kata-kata tabu yang dilarang di suatu wilayah kita sudah melakukan dua hal
yakni mematui adat istiadat yang ada di wilayah tersebut dan juga mematuhi etika berbahasa
yang baik. Ungkapan tabu dapat dilakukan pada siapa saja namun harus tetap melihat kondisi
dan tempat ketika ingin mengucapkan. Alangkah baik tidak diucapkan meski dalam situasi
yang tidak diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
Nanoazza. 2008. "Tabu dan Eufeminisme".
https://nanoazza.wordpress.com/2008/07/03/tabu-dan-eufemisme/
Prasetyo, Agung. 2018. "Pengertian dan Contoh Makian dalam Sosiolinguistik".
https://www.linguistikid.com/2018/04/pengertian-dan-contoh-makian-dalam.html
DuniaRobita. 2011. Ungkapan Tabu. https://robita.wordpress.com/2011/06/11/ungkapan-
tabu/
Widiastuti, Ni Made Ayu. 2014. "Ungkapan Tabu Bagi Masyarakat Nusa Penida".
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_riwayat_penelitian_1_dir/7ce380aad01c0629845102a
6ecbd3c4b.pdf
Marpaung, Susila. 2020. "Analisis Konteks Penggunaan Bahasa Tabu Pada Kelompok
Masyarakat Bermata Pencaharian Petani Sebagai Etika Di Asahan".
http://repository.umsu.ac.id/bitstream/123456789/14000/1/Skripsi%20Susila
%20Marpaung.pdf
Resticka, Gita Anggia, dan Erwita Nurdiyanto. 2020. Kata Tabu dalam Bahasa Indonesia
yang Mempunyai Makna Pelacuran (Kajian Leksikografi)

Anda mungkin juga menyukai