Anda di halaman 1dari 54

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Memang harus diakui, dewasa ini ada kecenderungan orang semakin
mengesampingkan pentingnya penggunaan bahasa. Terkadang kita pun tidak
mengetahui pentingnya penguasaan bahasa indonesia yang baik dan benar,
sehingga ketika kita berbahasa, baik lisan maupun tulis, sering mengalami
kesalahan dalam penggunaan kata, frasa, kalimat, paragraf, dan wacana.
Agar tercipta suatu komunikasi yang efektif dan efisien, pemahaman yang
baik ihwal penggunaan diksi atau pilihan kata, pengelasan kata, serta frasa
dirasakan sangat penting, bahkan mungkin vital, terutama untuk menghindari
terjadinya kesalahpahaman dalam berkomunikasi.

1.2 Rumusan Masalah


1) Apa pengertian kata?
2) Apa fungsi diksi?
3) Bagaimana peranti-peranti diksi?
4) Apa pengertian peristilahan?
5) Bagaimana pengkelasan kata?
6) Apa pengertian frasa?
7) Bagaimana klasifikasi frasa?

1.3 Tujuan
1) Menjelaskan pengertian kata.
2) Menjelaskan fungsi diksi.
3) Menjelaskan ihwal peranti-peranti kata.
4) Menjelaskan pengertian peristilahan.
5) Menjelaskan ihwal kelas kata.
6) Menjelaskan pengertian frasa.
7) Menjelaskan ihwal klasifikasi frasa.
2

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN KATA


Kata adalah unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan yang merupakan
perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam
berbahasa. (KBBI, 2005: 513)

2.2 DIKSI
Diksi atau pilihan kata dalam praktik berbahasa sesungguhnya mempersoalkan
kesanggupan sebuah kata dapat juga frasa atau kelompok kata untuk
menimbulkan gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengarnya.

2.3 PERANTI-PERANTI DIKSI

2.3.1 Peranti Kata Berdenotasi atau Berkonotasi


Denotasi adalah suatu pengertian yang dikandung sebuah kata secara objektif.
Adapun maknanya disebut makna denotatif, makna denotasional, makna kognitif,
makna konseptual, makna ideasional, makna referensial, atau makna proporsional.
Contoh:
Kata ‘kursi’ memiliki makna apa adanya, sesuai dengan yang disimbolkan,
tidak ada nuansa makna lain di luar makna sesungguhnya.
Konotasi adalah makna kias, bukan makna sesungguhnya. Maka, sebuah kata
bisa diartikan berbeda pada masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain.
Contoh:
‘Dengan memanjatkan puji syukur kepada tuhan yang maha esa.’ Pemakaian
bentuk ‘memanjatkan’ dalam kalimat diatas mengandung makna konotatif.

2.3.2 Peranti Kata Bersinonim dan Berantonim


Sinonim sesungguhnya adalah persamaan makna kata, maksudnya bahwa
sinonim adalah dua kata atau lebih yang berbeda bentuknya, ejaannya,
3

pengucapannya atau lafalnya, tetapi memiliki makna sama atau hampir sama.
Contoh:
Hamil, mengandung, dan bunting.
Antonim berlawanan dengan sinonim, bentuk kebahasaan tertentu akan dapat
dikatakan berantonim kalau bentuk itu memiliki makna yang tidak sama dengan
makna yang lainnya. Dengan kata lain, penyangkalan terhadap entitas kebahasaan
yang satu akan menegaskan eksistensi yang satunya lagi. Contoh:
Panas dan dingin.

2.3.3 Peranti Kata Bernilai Rasa


Diksi atau pemilihan kata juga mengajarkan untuk senantiasa menggunakan
kata-kata yang bernilai rasa dengan cermat.kata-kata yang mengandung nilai rasa
hendaknya dipakai secara cermat dan hati-hati agar sesuai dengan tempat dan
suasana pembicaraan. Contoh:
Pemakaian kata ‘wanita’ dan ‘perempuan’ sering dipersoalkan. Ada yang
mengatakan bentuk ‘perempuan’ lebih benar, tetapi ada pula yang mengatakan
kata ‘perempuan’ itu tidak memiliki nilai rasa.

2.3.4 Peranti Kata Konkret dan Abstrak


Kata-kata konkret adalah kata-kata yang menunjuk pada objek yang dapat
dipilih, didengar, dirasakan, diraba, atau dicium. Kata-kata konkret lebih mudah
dipahami dari pada kata-kata abstrak. Kata-kata konkret akan dapat lebih efektif
jika dipakai dalam deskripsi sebab kata-kata demikian itu akan dapat merangsang
pancaindera. Jadi, sesungguhnya kata-kata konkret menunjuk pada kata-kata yang
dapat diindera. Contoh:
Meja, kursi.

Kata abstrak menunjuk pada konsep atau gagasan. Kata-kata abstrak sering
dipakai untuk mengungkapkan gagasan yang cenderung rumit. Kalau kata-kata
konkret lazim digunakan untuk membuat deskripsi, beberapa juga untuk narasi,
maka kata-kata abstrak lazim digunakan untuk membuat persuasi dan/atau
argumentasi. Contoh:
4

‘Pendidikan’, ‘kemiskinan’, ‘pembodohan’, tentu saja merupakan kata-kata


abstrak yang hanya dapat ditangkap maknanya dengan kejernihan pemikiran dan
ketajaman pikir.

2.3.5 Peranti Keumuman dan Kekhususan Kata


Kata-kata umum adalah kata-kata yang perlu dijabarkan lebih lanjut dengan
kata-kata yang sifatnya khusus untuk mendapat perincian lebih baik. Kata-kata
umum tidak tepat untuk mendeskripsikan sesuatu karena memiliki kadar akurasi
yang rendah. Kata-kata demikian ini lebih tepat digunakan untuk argumentasi atau
persuasi, karena dalam pemakaian yang disebutkan terakhir itu akan dibuka
kemungkinan-kemungkinan penafsiran yang lebih luas, yang lebih umum, yang
lebih komprehensif. Contoh:
Banyak korban, para pengunjung.
Kata-kata khusus memang merupakan kebalikan dari kata-kata umum. Kata-
kata khusus cenderung digunakan dalam konteks terbatas, dalam kepentingan-
kepentingan yang perlu pemerincian, dan perlu ketetapan dan keakuratan konsep.
Maka, lazim pula dipahami bahwa kata-kata khusus adalah kata-kata yang sempit
ruang lingkupnya, terbatas konteks pemakaiannya. Akan tetapi harus dipahami
pula bahwa makin khusus sebuah kata , maka makin jelaslah maknanya. Contoh:
Para korban banjir yang terdiri atas 200 pria dan 100 perempuan, 50 remaja dan
60 balita, masing-masing mendapatkan selembar selimut.

2.3.6 Peranti Kelugasan Kata


Diksi juga mengajarkan kita ihwal kata-kata lugas, apa adanya. Ada juga yang
menyebut bahwa kata-kata lugas itu tembak langsung (to the point), tegas, lurus,
apa adanya, kata-kata yang bersahaja. Kata-kata yang lugas adalah kata-kata yang
sekaligus juga ringkas, tidak merupakan frasa panjang, tidak mendayu dayu, dan
sama sekali tidak berbelit-belit. Contoh:
Kata ‘sanggama’ lebih lugas dibandingkan dengan kata ‘berhubungan badan’ dan
‘koitus’.
5

2.3.7 Peranti Penyempitan dan Perluasan Makna Kata


Sebuah kata dapat dikatakan mengalami penyempitan makna apabila di dalam
kurun waktu tertentu maknanya bergeser dari semula yang luas ke makna yang
sempit atau sangat terbatas. Penyempitan makna yang demikian ini memang
merupakan tuntutan kehidupan dan perkembangan bahasa. Contoh:
‘pendeta’ yang semula bermakna orang yang berilmu, tetapi kini menyempitg
maknanya menjadi ‘guru agama Kristen’ atau ‘pengkhotbah Kristen’.
Sebagai imbangan dari penyempitan makna kata adalah perluasan makna
kata. Peluasan makna dapat dikatakan sebagai sebuah simbol dari kesuburan
bahasa. Sebuah makna kebahasaan dikatakan akan meluas jika dalam kurun waktu
tertentu maknanya akan bergeser dari yang semula sempit ke makna yang lebih
luas. Contoh:
Kata ‘bapak’ dan ‘ibu’ dalam pengertian sempit digunakan sebagai sebutan
seorang anak kepada orang tuanya. Akan tetapi, sekarang kata tersebut dipakai
sebagai sebutan seorang karyawan kepada pimpinannya.

2.3.8 Peranti Keaktifan dan Kepasifan Kata


Kata-kata aktif adalah kata-kata yang banyak digunakan oleh tokoh masyarakat,
para selebritas, jurnalis media massa, para dosen, para politisi, maka kata-kata
yang semula tidak pernah digunakan itu menjadi semakin banyak di gunakan
dalam pemakaian kebahasaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kata-kata
demikian itu menjadi aktif lagi dan siap untuk di gunakan. Contoh:
Kata ‘terkini’ yang banyak digunakan oleh media masa. Tidak banyak orang
mengetahui kata tersebut tidak benar dari segi kebahasaan. Bentuk adverbial ’kini’
bagaimana mungkin ditambah dengan prefiks ‘ter’.

2.3.9 Peranti Ameliorasi dan Peyorasi


Ameliorasi adalah proses perubahan makna dari yang lama ke yang baru
ketika bentuk yang baru dianggap dan dirasakan lebih tinggi dan lebih tepat nilai
rasa serta konotasinya dibandingkan dengan yang lama. Contoh:
Orang jarang sekali mengatakan ‘berak’ dan beralih pada bentuk ‘buang air
besar’.
6

Sedangkan Peyorasi adalah perubahan makna dari yang baru ke yang lama
ketika yang lama dianggap masih tetap lebih tinggi dan lebih tepat nilai rasa serta
konotasinya dibandingkan dengan makna yang baru. Contoh:
‘efektif’ dan ‘efisien’ yang dulunya berusaha untuk diganti menjadi ‘sangkil’ dan
‘mangkus’. Akan tetapi usaha tersebut tidak berhasil dan kemudian orang kembali
menggunakan kalimat ‘efektif’ dan ‘efisien’.

2.3.10 Peranti Kesenyawaan kata


Dikatakan sebagai bentuk senyawa karena bentuk demikian itu sudah sangat
erat hubungan antara satu dengan yang lainnya. Jadi, di dalam konstruksi
ideomatis, kata yang satu dan kata yang lainnya itu berhubungan erat, lekat, dan
tidak dapat dipisahkan oleh alasan apa pun juga.
Di dalam ilmu jurnalistik upaya demikian itu dilakukan, padahal
sesungguhnya tidak benar, di dalam pemakaian bahasa untuk tujuan ilmiah jangan
sampai terjadi. Bahasa dalam laras ilmiah harus menerapkan kaidah-kaidah
kebahasaan yang baku, yang sesuai dengan kaidah-kaidah kebahasaan yang
berlaku. Contoh:
‘disebabkan oleh’ yang banyak disimplifikasikan menjadi ‘disebabkan’.

2.3.11 Peranti Kebakuan dan Ketidakbakuan Kata


Bentuk baku hadir karena adanya pembakuan bentuk-bentuk kebahasaan.
Pembakuan bahasa demikian itu pada gilirannya akan menjadikan bahasa
indonesia semakin bermartabat. Bahasa yang bermartabat lazimnya akan banyak
digunakan oleh masyarakat, baik masyarakat dalam pengertian domestik maupun
masyarakat dalam pengertian internasional.
Bilamana bahasa baku tersebut digunakan oleh masyarakat internasional,
maka jadilah bahasa itu bahasa yang berharkat dan bermartabat tinggi. Bahasa
indonesia sangat berpotensi untuk dapat dikembangkan menjadi bahasa yang
berharkat dan bermartabat tinggi, hingga akhirnya akan banyak digunakan dalam
kancah internasional. Contoh:
Akhlak (baku) dan ahlak (tidak baku), aktivitas (baku) dan aktifitas (tidak baku).
7

2.4 PERISTILAHAN
Istilah dapat didefinisikan sebagai kata atau gabungan kata yang dapat dengan
cermat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan atau sifat yang khas di
bidang kehidupan dan cabang ilmu pengetahuan tertentu.
Bentuk-bentuk kebahasaan yang hanya lazim digunakan dalam bidang
tertentu dapat dikatakan sebagai bentuk-bentuk yang sifatnya khusus. Sebagai
imbangan dari kata-kata yang sifatnya khusus adalah kata-kata yang sifatnya
umum, general, atau universal. Bentuk-bentuk yang universal biasanya
memberikan alternatif makna yang tidak hanya satu. Maka, dengan alternatif
makna yang banyak itu, kandungan maksud yang dimilikinya juga banyak.

2.5 KELAS KATA


Dalam studi linguistik atau ilmu bahasa, perbincangan ihwal kalimat lazimnya
tidak langsung dimulai dari kalimat itu sendiri. Alasannya, ilmu tata kalimat
bermula dari tataran kata. Kata dalam bahasa Indonesia yang jumlahnya luar biasa
banyak itu mustahil untuk dapat dipelajari dengan mudah kalau tidak dikelas-
kelaskan terlebih dahulu. Hasil dari pengelaskataan atau pengelompokan kata-kata
itulah yang kemudia lazim disebut dengan kelas kata.

2.5.1 VERBA (Kata Kerja)


Ciri-ciri verba:
a. Verba memiliki fungsi utama sebagai predikat. Contoh:
(1) Mereka sedang belajar di kamar.
(2) Bom itu seharusnya tidak meledak.
b. Verba mengandung makna inheren perbuatan (aksi), proses, atau keadaan
yang bukan sifat atau kualitas.
c. Verba, khususnya yang bermakna keadaan, tidak dapat diberi prefiks ter-
yang berarti paling. Contoh:
(1) Mati, tidak dapat diubah menjadi termati.
(2) Hidup, tidak dapat diubah menjadi terhidup.
d. Pada umumnya verba tidak dapat bergabung dengan kata-kata yang
menyatakan makna kesangatan. Contoh:
8

(1) Belajar, tidak dapat dibentuk menjadi agak belajar.


(2) Pergi, tidak dapat dibentuk menjadi sangat pergi.

VERBA DARI SEGI PERILAKU SEMANTISNYA


Dari segi perilaku semantisnya verba memiliki ciri:
a. Mengandung makna inheren perbuatan, dapat menjadi jawaban untuk
pertanyaan Apa yang dilakukan oleh objek, serta dapat dipakai dalam kalimat
perintah. Contoh:
(1) Apa yang dilakukan oleh pencuri? Pencuri itu lari.
(2) Larilah!
b. Mengandung makna inheren proses, dapat menjadi jawaban untuk pertanyaan
Apa yang terjadi pada subjek, serta tidak dapat dibentuk menjadi kalimat
perintah. Contoh:
(1) Apa yang terjadi pada bom itu? Bom itu meledak.
(2) Meledaklah! (Tidak benar)
c. Mengandung makna inheren keadaan, dan tidak dapat ditambahkan prefiks
ter-. Contoh:
(1) Tersuka. (Tidak benar)
(2) Termati. (Tidak benar)
d. Mengandung makna tambahan peristiwa yang terjadi begitu saja tanpa
kesengajaan dan kehendaknya, disebut dengan verba pengalaman. Contoh:
(1) Mendengar, akan berbeda makna dengan mendengarkan.
(2) Melihat, akan berbeda makna dengan memperlihatkan.
e. Mengandung makna tambahan perbuatan dilakukan untuk orang lain, yakni
dengan ditambahkan sufiks –kan. Contoh:
(1) Membelikan.
(2) Meledakkan.
f. Mengandung makna tambahan perbuatan dilakukan lebih dari satu kali, yakni
dengan ditambahkan sufiks –i. Contoh:
(1) Memukuli.
(2) Mencabuti.
9

g. Mengandung makna tambahan tidak sengaja melakukan, yakni dengan


ditambahkan prefiks ter- pada selain verba bermakna keadaan. Contoh:
(1) Terbawa.
(2) Tertinggal.

VERBA DARI SEGI PERILAKU SINTAKSISNYA


Verba merupakan unsur yang sangat penting dalam kalimat karena dalam
kebanyakan hal verba berpengaruh besar terhadap unsur-unsur lain yang harus
atau boleh ada dalam kalimat tersebut. Dari segi sintaksisnya verba
diklasifikasikan menjadi 3.

2.5.1.1 Verba Transitif


Verba Transitif adalah verba yang memerlukan nomina ( kata benda) sebagai
objek dalam kalimat aktif, dan objek itu dapat berfungsi sebagai subjek dalam
kalimat pasif. Contoh:
(1) Ibu sedang membersihkan kamar itu. (kalimat aktif)
Kamar itu sedang dibersihkan oleh ibu. (kalimat pasif)
(2) Rakyat pasti mencintai pemimpin yang jujur. (kalimat aktif)
Pemimpin yang jujur pasti dicintai oleh rakyat. (kalimat pasif)
Verba Transitif terbagi menjadi 3:
1. Verba Ekatransitif
Verba Ekatransitif adalah verba transitif yang diikuti oleh satu objek.
Contoh:
(1) Saya sedang mencari pekerjaan.
(2) Ibu akan membeli baju baru.
2. Verba Dwitransitif
Verba Dwitransitif adalah verba yang dalam kalimat aktif dapat diikuti
oleh dua nomina, satu sebagai objek dan satunya lagi sebagai pelengkap.
Contoh:
(1) Saya sedang mencarikan adik saya pekerjaan.
(2) Ibu akan membelikan kakak baju baru.
3. Verba Semitransitif
10

Verba Semitransif adalah verba yang objeknya boleh ada dan boleh juga
tidak ada. Contoh:
(1) Ayah sedang membaca koran.
(2) Ayah sedang membaca.

2.5.1.2 Verba Taktransitif


Verba Taktransitif adalah verba yang tidak memiliki nomina di belakangnya yang
dapat berfungsi sebagai subjek dalam kalimat pasif. Contoh:
(1) Maaf pak, ayah sedang mandi.
(2) Kami harus bekerja keras untuk membangun negara.

2.5.1.3 Verba Berpreposisi


Verba Berpreposisi adalah verba taktransitif yang selalu diikuti oleh preposisi
tertentu. Contoh:
(1) Kami belum tahu tentang hal itu.
(2) Saya berminta pada musik.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam pemakaian verba berpreposisi.
Pertama, orang sering memakai bentuk transfitif, tetapi masih mempertahankan
preposisinya sehingga terjadilah kesalahan seperti berikut.
(1) Saya tidak mengetahui tentang soal itu. (salah)
Saya tidak mengetahui soal itu. (benar)
Saya tidak tahu tentang soal itu. (benar)
(2) Kami belum membicarakan tentang usul anda. (salah)
Kami belum membicarakan usul anda. (benar)
Kami belum berbicara tentang usul anda. (benar)

VERBA DARI SEGI BENTUK MORFOLOGISNYA


Dalam bahasa Indonesia ada dua macam dasar yang dipakai dalam pembentukan
verba, yaitu verba asal dan verba turunan.
11

2.5.1.4 Verba Asal


Verba asal ialah verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks. Contoh:
(1) Di mana Bapak tinggal?
(2) Segera setelah tiba di Jawa, kirimlah surat ke mari.

2.5.1.5 Verba Turunan


Verba turunan ialah verba yang dibentuk melalui transposisi, pengafiksan,
reduplikasi (pengulangan), atau pemajemukan (pemaduan).
Transposisi adalah suatu proses penurunan kata yang memperlihatkan
peralihan suatu kata dari kategori sintaksis yang satu ke kategori sintaksis yang
lain tanpa mengubah bentuknya. Contoh:
(1) Dari nomina jalan diturunkan verba jalan.
(2) Dari nomina telepon diturunkan verba telepon.
Pengafiksan adalah penambahan afiks pada dasar. Contoh:
(1) Beli membeli
(2) Temu bertemu
Reduplikasi adalah pengulangan suatu dasar. Dinamakan verba berulang.
Contoh:
(1) Lari lari-lari
(2) tembak tembak-menembak
Pemajemukan adalah penggabungan atau pemaduan dua dasar atau lebih
sehingga menjadi satu satuan makna. Dinamakan verba majemuk. Contoh:
(1) Jual, beli jual beli
(2) Hancur, lebur hancur lebur

Proses penurunan verba


Ada empat macam afiks (imbuhan) yang dipakai untuk menurunkan verba:
prefiks, sufiks, konfiks, dan infiks. Prefiks (awalan) adalah afiks yang diletakkan
dimuka dasar. Sufiks (akhiran) adalah diletakkan di belakang dasar. Konfiks
adalah gabungan prefiks dan sufiks yang mengapit dasar dan membentuk satu
kesatuan. Infiks (sisipan) adalah bentuk afiks yang ditempatkan ditengah dasar.
Urutan penurunan verba mengikuti kaidah ururtan afiks berikut:
12

1. Jika prefiks tertentu mutlak diperlukan untuk mengubah kelas kata dari dasar
tertentu menjadi verba, prefiks itu tinggi letaknya dalam hierarki penurunan
verba. Contoh:
(1) Darat (nomina) mendarat (verba)
(2) Kuning (adjektiva) menguning (verba)
(3) Satu (numeralia) bersatu (verba)
2. Jika prefiks tertentu digunakan bersama-sama dengan sufiks tertentu dan
kehadiran dua afiks itu terpadu dan maknanya pun tak terpisahkan, dalam
hierarki penurunan verba kedua afiks yang bersangkutan mempunyai tempat
yang sama tinggi. Contoh:
(1) Jatuh (verba) kejatuhan (verba)
(2) Banjir (nomina) kebanjiran (verba)
3. Jika prefiks tertentu terdapat pada verba dengan dasar nomina yang bersufiks
tertentu, prefiks itu lebih tinggi letaknya daripada sufiks dalam hierarki
penurunan verba. Contoh:
(1) Halangan berhalangan
(2) Kaitan berkaitan
4. Jika prefiks tertentu digunanakan bersama-sama dengan sufiks tertentu,
sedangkan hubungan antara sufiks dan dasar telah menumbuhkan makna
tersendiri, dan penambahan prefiks itu tidak mengubah makna leksikalnya
(makna yang melekat pada kata) maka tempat sufiks dalam hierarki
penurunan verba lebih tinggi daripada prefiks. Contoh:
(1) Kuning kuningkan menguningkan
(2) Adil adili mengadili
5. Jika prefiks tertentu digunakan bersama-sama dengan sufiks tertentu,
hubungan antara prefiks dan dasar kata telah menghasilkan perubahan kelas
kata, dan penambahan sufiks tidak mengubah kelas kata lagi, maka dalam
hieraki penurunan verba prefiks itu lebih tinggi daripada sufiks. Contoh:
(1) Asas berasas berasaskan
(2) Suami bersuami bersuamikan
6. Jika prefiks tertentu digunakan bersama-sama dengan sufiks tertentu, dan
gabungan keduanya bukan merupakan konfiks tetapi menentukan makna
13

leksikal, maka maknalah yang kita anggap menentukan hierarki pembentukan


verba. Contoh:
Verba transitif berhentikan, kita anggap diturunkan dari berhenti lalu
ditambah –kan, dan bukan dari hentikan lalu ditambah ber-. Hal ini
disebabkan oleh makna verba berhentikan, yakni ‘menyebabkan berhenti’ dan
bukan ‘ditandai oleh hentikan.’

Penggabungan Prefiks dan Sufiks


Kemungkinan penggabungan antara dua Prefiks dan Sufiks sebagai berikut:
(a) Prefiks ke- tidak dapat dengan sufiks –kan atau –i (kecuali dalam dasar verba
ketahui).
(b) Prefiks meng-, per-, ter-, dan di- tidak dapat bergabung dengan sufiks –an.
(c) Prefiks ber- tidak dapat bergabung dengan sufiks –i.
(d) Prefiks ke- hanya dapat bergabung dengan sufiks –an, dan dengan –i pada
kata ketahui. Contoh:
(1) Meng—kan. Menidurkan, membelikan, mendekatkan.
(2) Meng—i. Merestui, membohongim mendekati.
(3) Per—kan. Permainkan, peristrikan, peringatkan.
(4) Per—i. Perbaiki, perlengkapi, peringati.
(5) Ber—kan. Berdasarkan, berisikan, berpedomankan.
(6) Ber—an. Berjatuhan, bepergian, berdatangan.
(7) Ter—kan. Terselesaikan, terabaikan, terlemparkan.
(8) Ter—i. Terpengaruhi, teratasi, tersaingi.
(9) Di—kan. Ditentukan, dihabiskan, dituliskan.
(10) Di—i. Didatangi, dibatasi, diulangi.
(11) Ke—an. Kelaparan, kejatuhan, kecurian.
(12) Ke—i. Ketahui.

Urutan Afiks
Berikut kemungkinan penggabungan prefiks dan sufiks:
1. Jika dua prefiks terdapat pada satu dasar yang sama, urutan yang pertama
adalah prefiks meng- yang selalu menduduki posisi paling kiri, kemudian
14

menyusul prefiks per- atau ber- sehingga terjadi bentuk memper- dan
member-. Contoh:
(1) Memperjuangkan.
(2) Memberlakukan.
2. Meng- disatu pihak dengan di- dan ter- dipihak lain menduduki posisi yang
sama dalam susunan ururtan verba.
3. Prefiks ke- tidak dapat bergabung dengan prefiks lain.
4. Sufiks –kan, -i, dan –an tidak dapat saling bergabung.
Dengan demikian, urutan afiks dalam bahasa Indonesia adalah sebagai
berikut:
1. Meng- -kan
Di- +
Ter- -i
2. Meng-
+ Per-
Di-
3. Meng- -kan
+ Per- +
Di- -i
4. Meng-
Di- + Ber- + -kan
Ter-
5. Ke- + -an
-i

Morfofonemik
Prefiks meng-, per-, ber-, dan ter- mengalami perubahan bentuk sesuai dengan
fonem awal dasar kata yang dilekatinya, Proses berubahnya suatu fonem menjadi
fonem lain sesuai dengan fonem awal atau fonem yang mendahuluinya dinamakan
proses morfofonemis. Berikut adalah kaidah morfofonemik untuk semua prefiks
dan sufiks:
1. Morfofonemik Prefiks meng-
15

1. Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /a/. /i/. /u/, /e/,
/o/, /k/, /g/, /h/, atau /x/, bentuk meng- tetap meng-. Contoh:
(1) Meng + ambil mengambil
(2) Meng + kalahkan mengalahkan
2. Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan /l/, /m/, /n/, /ny/, /ng/,
/r/, /y/, atau /w/, bentuk meng- berubah menjadi me-. Contoh:
(1) Meng + latih melatih
(2) Meng + wajibkan mewajibkan
3. Jika ditambah pada dasar yang mulai dengan fonem /d/ atau /t/, bentuk
meng- berubah menjadi men-/. Contoh :
(1) meng- + datangkan mendatangkan
(2) meng- +tanamkan menanamkan
4. Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fenom/b/,/p/ atau/f/
bentuk meng- berubah menjadi mem-/. Contoh :
(1) Meng + patuhi mematuhi
(2) Meng + fitnah menfitnah
Akan tetapi peluluhan itu tidak terjadi jika fenom /p/ merupakan bentuk
yang mengawali prefiks per- atau dasarnya berawalan dengan per- dan
pe- tertentu. Contoh :
(1) Meng- + pertaruhkan mempertaruhkan
(2) Meng- + pedulikan mempedulikan
5. Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fenom /c/, /j/, dan /s/,
bentuk meng- berubah menjadi meny-. Didalam ejaan yang dibakukan,
bentuk meny- yang bergabung dengan huruf <c>, <j>, dan <sy> pada
awal dasar disederhanakan menjadi men-. Contoh :
(1) Meng- + satukan menyatukan
(2) Meng- +cari mencari
6. Jika ditambahkan pada dasar yang bersuku satu, bentuk meng- berubah
menjadi menge-/. Disamping itu, ada bentuk yang tidak baku, yaitu yang
mengikuti pola 1-5 diatas tanpa adanya peluluhan. Contoh:
(1) Meng- + bom mengebom
(2) Meng- + cek mengecek
16

7. Kata-kata yang berasal dari bahasa asing diperlakukan berbeda, beda


bergantung pada frekuensi dan lamanya kata tersebut telah kita pakai. Jika
disarankan masih relatif baru, proses pilihan diatas tidak berlaku. Hanya
kecocokan artikulasi saja yang diperhatikan dengan catatan bahwa meng-
di depan dasar asing yang dimulai dengan /s/ menjadi men-. Jika dasar itu
dirasakan tidak asing lagi, perubahan morfofonemiknya mengikuti kaidah
yang umum. Contoh:
(1) Meng- + produksi memproduksi
(2) Meng- + klasifikasi mengklasikfikasi
(3) Meng- + sukses mensukseskan atau menyukseskan
8. Jika verba yang berdasar tunggal direduplikasi, dasarnya diulangi dengan
mempertahankan peluluhan konsonan pertamanya. Dasar yang bersuku
satu mempertahankan unsur nge- di depan dasar yang direduplikasi.
Sufiks (jika ada) tidak ikut direduplikasi. Contoh:
(1) Tulis menulis menulis-nulis
(2) Cek mengecek mengecek-ngecek
(3) Ulangi mengulang mengulang-ulangi

2. Morfofonemiks Prefiks per-


Ada tiga kaidah morfofonemik untuk prefiks per-:
1. Prefiks per- berubah menjadi pe- apabila ditambahkan pada dasar yang
dimulai dengan fonem /r/ atau dasar yang suku pertamanya berakhir
dengan /er/. Contoh:
(1) Per- + ringan perendah
(2) Per- + kerjakan pekerjakan
2. Prefiks per- berubah menjadi pel- apabila ditambahkan pada bentuk dasar
ajar. Contoh:
(1) Per- + ajar pelajar
3. Prefiks per- tidak mengalami perubahan bentuk bila bergabung dengan
dasar lain di luar kaidah 1 dan 2 di atas. Contoh:
(1) Per- + lebar perlebar
(2) Per- + panjang perpanjang
17

3. Morfofonemiks Prefiks ber-


Ada empat kaidah morfofonemik untuk prefiks ber-.
1. Prefiks ber- berubah menjadi be- ika ditambahkan pada dasar yang
dimulai dengan fonem /r/. Contoh:
(1) Ber- + ranting beranting
(2) Ber- + runding berunding
2. Prefiks ber- berubah menjadi ber- jika ditambahkan pada dasar yang suku
pertamanya berakhir dengan /er/. Contoh:
(1) Ber- + kerja bekerja
(2) Ber- + pergian bepergian
3. Prefiks ber- berubah menjadi bel- jika ditambahkan pada dasar tertentu.
Contoh:
(1) Ber- + ajar belajar
(2) Ber- + unjur belunjur
4. Perfiks ber- tidak berubah bentuknya bila digabungkan dengan dasar di
luar kaidah 1-3 di atas. Contoh:
(1) Ber- + layar berlayar
(2) Ber- + main bermain

4. Morfofonemik Prefiks ter-


Ada tiga kaidah morfofonemik untuk prefiks ter-.
1. Prefiks ter- berubah menjadi te- jika ditambahkan pada dasar yang
dimulai dengan fonem /r/. Contoh:
(1) Ter- + rebut terebut
(2) Ter- + rasa terasa
2. Jika suku pertama kata dasar berakhir dengan bunyi /er/, fonem /r/ pada
prefiks ter- ada yang muncul ada pula yang tidak. Contoh:
(1) Ter- + percaya terpercaya
(2) Ter- + percik tepercik
3. Di luar kedua kaidah di atas, ter- tidak berubah bentunya. Contoh:
(1) Ter- + pilih terpilih
18

(2) Ter- + ganggu terganggu

5. Morfofonemik Prefiks di-


Digabung dengan dasar pun, prefiks di- tidak mengalami perubahan bentuk.
Contoh:
(1) Di- + beli dibeli
(2) Di- + ambil diambil
Perhatikan bahwa di- sebagai prefiks harus dibedakan dari di sebagai
preposisi. Jika di ikuti oleh kata yang diikuti oleh kata yang menunjukkan
tempat, penulisannya dipisah. Contoh:
(1) Di meja bandingkan: dimejahijaukan
(2) Di dalam bandingkan didalami

6. Morfofonemik Sufiks –kan


Sufiks –kan tidak mengalami perubahan apabila ditambahkan pada dasar kata
apa pun. Contoh:
(1) Tarik + -kan tarikkan
(2) Letak + -kan letakkan
Sufiks –kan seringkali dikacaukan dengan sufiks –an yang dasar katanya
kebetulan berakhir dengan fonem /k/
Contoh:
(1) Tembak + -kan tembakkan (verba)
Tembak + -an tembakan (nomina)

7. Morfofonemik Sufiks –i
Sepertinya halnya dengan –kan, sufiks –i juga tidak mengalami perubahan
jika ditambahkan pada dasar kata apapun. Hanya saja perlu diingat bahwa
kata dasar yang berakhir dengan fonem /i/ tidak dapat diikuti oleh sufiks –i.
Contoh:
(1) Memberii (salah)
(2) Mengisii (salah)
19

8. Morfofonemik Sufiks –an


Sufiks –an tidak mengalami perubahan bentuk jika digabungkan dengan
dasar kata apa pun. Jika fonem terakhir suatu dasar adalah /a/, dalam tulisan
fonem itu dijejerkan dengan sufiks –an. Contoh:
(1) Dua berduaan
(2) Sama bersamaan

2.5.2 ADJEKTIVA
Adjektiva adalah kata yang memberikan keterangan yang lebih khusus tentang
suatu yang dinyatakan oleh nomina (kata benda) dalam kalimat.

ADJEKTIVA DARI SEGI PERILAKU SEMANTISNYA


Karena dari segi bentuknya adjektiva dasar sukar dibedakan dari verba dasar, atau
nomina dasar, klasifikasi adjektiva akan dipaparkan lebih dahulu berdasarkan ciri
semantisnya.

2.5.2.1 Adjektiva Bertaraf


Adjektiva bertaraf dapat dibagi menjadi 7. Secara semantis batas diantara tujuh
kategori itu tidak selalu jelas, bahkan kadang-kadang bertumpang tindih.
1. Adjektiva Pemeri Sifat
Adjektiva Pemeri Sifat jenis ini dapat memerikan kualitas dan intensitas yang
bercorak fisik atau mental. Contoh:
Aman, bersih, cocok, ganas, kebal, panas, dingin.
2. Adjektiva Ukuran
Adjektiva ukuran mengacu ke kualitas yang dapat diukur dengan ukuran yang
sifatnya kuantitatif. Contoh:
Berat, pendek, tebal, longgar, lapang, rendah, tinggi.
3. Adjektiva Warna
Adjektiva warna mengacu ke berbagai warna. Contoh:
Kuning, jingga, lembayung, cokelat, sawo, merah hati, biru laut, biru muda,
semu kuning, cokelat kemerah-merahan, hijau kekuning-kuningan.
4. Adjektiva Waktu
20

Adjektiva waktu mengacu ke masa proses, perbatan, atau keadaan berada atau
berlangsung sebagai pewatas. Contoh:
Lama, segera, jarang, singkat, lambat, sering, mendadak, larut.
5. Adjektiva Jarak
Adjektiva jarak mengacu ke ruang antara dua benda, tempat, atau maujud
sebgai pewatas nomina. Contoh:
Jauh, suntuk, akrab, rapat, renggang, lebar, dekat
6. Adjektiva Sikap Batin
Adjektuva sifat batyin bertalian dengan pengacuan suasana hatyi atau
perasaan. Contoh:
Bahagia, cemas, jahat, kasih, kagum, yakin, takut, risau, ngeri.
7. Adjektiva Cerapan
Adjektiva cerapan bertalian dengan pancaindera, yakni penglihatan,
pendengaran, penciuman, atau penghiduan, perabaan, dan pencitarasaan.
Contoh:
Gemerlap, bising, anyir, basah, enak.
Ciri yang menarik pada adjektiva cerapan dalam kalimat ialah sering
terjadinya gejala sinestasi. Artinya, ada penggabungan indera yang bertalian
dengan nomina dan adjektiva yang mengacu kepada dua macam cerapan yang
berbeda. Contoh:
(1) Sungguh harum namanya.
(2) Kucing itu tajam penglihatan matanya.

2.5.2.2 Adjektiva Tak Bertaraf


Adjektiva tak bertaraf menempatkan acuan nomina yang diwatasinya di dalam
kelompok atau golongan tertentu. Kehadirannya di dalam lingkungan itu tidak
dapat bertaraf-taraf. Contoh:
Abadi, ganda, gasal, mutlak, tunggal, tentu, pelak, sah, bundar, bengkok, bulat,
lonjong, lurus.
Ada beberapa adjektiva yang dapat dipakai sebagai adjektiva bertaraf dan
sebagai adjektiva tak bertaraf sekaligus. Contoh:
(1) Rakyat yang sadar tentang hukum. (adjektiva bertaraf-taraf)
21

Berarti ‘insaf akan keadaan sosial politik’. Sehingga dapat dikatakan lebih
sadar, kurang sadar, sangat sadar
(2) Pasien itu hingga sekarang belujm sadar. (adjektiva tak bertaraf)
Berarti ‘keadaan ingat akan dirinya’

ADJEKTIVA DARI SEGI PERILAKU SINTAKSISNYA

2.5.2.3 Adjektiva dengan Fungsi Atributif


Adjektiva yang merupakan pewatas dalam frasa nominal yang nominanya
menjadi subjek, objek, atau pelengkap dikatakan dipakai secara atributif.
Tempatnya di sebelah kanan nomina. Contoh:
(1) Buku merah
(2) Harga mahal
Jika pewatas nomina lebih dari satu, rangkaian pewatas itu lazimnya
dihubungkan oleh kata yang. Contoh:
(1) Baju putih yang panjang.
(2) Mobil tua yang murah dan populer.

2.5.2.4 Adjektiva dengan Fungsi Predikatif


Adjektiva yang menjalankan fungsi predikat atau pelengkap dalam klausa
dikatakan dipakai secara predikatif. Contoh:
(1) Gedung yang baru itu sangat megah.
(2) Ayah mengecat pintu dapur biru kelam.
Jika subjek atau predikat kalimat berupa frasa atau klausa yang panjang, demi
kejelasan batas antara subjek dan predikat itu kadang-kadang disisipkan kata
adalah. Contoh:
(1) Yang disarankannya kepadamu itu adalah baik.
(2) Adalah tidak benar bahwa saya menolak usulnya.
22

2.5.2.5 Adjektiva dengan Fungsi Adverbial atau Keterangan


Adjektiva yanng mewatasi verba (atau adjektiva) yang menjadi predikat klausa
dikatakan dipakai secara adverbial atau sebagai keterangan. Pola struktur
adverbial itu dua macam:
(1) ... (dengan) + (se-) + adjektiva (-nya) yang dapat disertai reduplikasi
(2) Perulangan adjektiva
Kedua struktur itu tidak dapat diterapkan secara umum pada ketujuh subkelas
adjektiva yang tadi telah dikemukakan. Adjektiva Sikap Batin cenderung
berstruktur dengan...., sedangkan adjektiva warna dan cerapan cenderung
berstruktur perulangan adjektiva. Contoh:
(1) Bekerja dengan baik
Bekerja baik-baik
(2) Berusaha dengan sepenuhnya
Berusaha sepenuh-penuhnya

Pertarafan Adjektiva
Adjektiva bertaraf dapat menunjukkan berbagai tingkat kualitas atau intensitas
dan berbagai tingkat bandingan.
a. Tingkat Kualitas
Berbagai tingkat kualitas secara relatif menunjukkan tingkat intensitas yang
lebih tinggi atau lebih rendah.
1. Tingkat Positif
Tingkat positif yangb memerikan kualitas ataun intensitas maujud yang
diterangkan, dinyatakan oleh adjektiva tanpa pewatas. Ketiadaan kualitas
dinyatakan dengan pemakaian pewatas seperti tidak atau tak. Contoh:
(1) Indonesia kaya akan hutan.
Indonesia tidak kaya akan hutan.
(2) Suasana kini sudah tenang.
Suasana kini sudah tak tenang.
2. Tingkat Intensif
Tingkat intensif, yang menekankan kadar kualitas atau intensitas,
dinyatakan dengan memakai pewatas benar, betul, atau sungguh.
23

Ketiadaannya dinyatakan dengan pemakaian pewatas sama sekali tidak ...,


tidak ... sama sekali, atau tidak ... sedikit juga/ pun. Contoh:
(1) Pak Asep setia benar dalam pekerjaannya.
Pak Asep sama sekali tidak benar dalam pekerjaannya.
(2) Mobil itu cepat betul jalannya.
Mobil itu tidak cepat sama sekali jalannya.
3. Tingkat Elatif
Tingkat elatif, yang menggambarkan tingkat kualitas atau intensitas yang
tinggi, dinyatakan dengan memakai pewatas amat, sangat, atau sekali.
Untuk meberikan tekanan yang lebih dan pada tingkat elatif, orang
kadang-kadang menggunakan juga kombinasi dari pewatas itu: amat
sangat ... atau (amat) sangat ... sekali. Juga termasuk yang berbentuk
maha ... dan adi ... Contoh:
(1) Sikapnya sangat angkuh ketika menerima kami.
(2) Maha penyayang.
(3) Adikuasa.
4. Tingkat eksesif
Tingkat eksesif, yang mengacu ke kadar kualitas atau inesitas yang
berlebih, atau yang melampaui batas kewajaran, dinyatakan dengan
memakai pewatas terlalu, terlampau, dan kelewat. Contoh:
(1) Mobil itu terlalu mahal.
(2) Orang yang melamar sudah kelewat banyak.
Tingkat eksesif dapat juga dinyatakan dengan penambahan konfiks ke-an
pada adjektiva. Contoh:
(1) Anda membeli mobil itu kemahalan.
(2) Stasiun bus antar kota kejauhan bagi saya.
5. Tingkat Augmentatif
Tingkat augmentatif, yang menggambarkan naiknya atau bertambahnya
tingkat kualitas atau intensitas, dinyatakan dengan memakai pewatas
makin ..., makin ... makin ..., atau semakin ... Contoh:
(1) Sutarno menjadi makin kaya.
(2) Makin lama udara di Jakarta makin panas rasanya.
24

6. Tingkat Atenuatif
Tingkat atenuatif, yang memerikan penurunan kadar kualitas atau
pelemahan intensitas, dinyatakan dengan memakai pewatas agak atau
sedikit. Pada adjektiva warna, tingkat atenuatif dinyatakan dengan bentuk
ke-an yang direduplikasi. Contoh:
(1) Gadis yang agak malu itu diterima jadi pegawai.
(2) Warna bajunya kekuning-kuningan.

b. Tingkat Bandingan
Pada pembandingan dua maujud atau lebih dapat disimpulkan bahwa tingkat
kualitas atau intensitasnya dapat setara atau tidak setara.
1. Tingkat Ekuatif
Tingkat ekuatif mengacu ke kadar kualitas atau intensitas yang sama atau
hampir sama. Peranti bahasa yang digunakan ialah
1. bentuk klitik se- yang ditempatkan di depan adjektiva.
2. Pemakaian sama + adjektiv + -nya + dengan diantara dua nomina.
3. Pemakaian sama + adjektiva + -nya di belakang dua nomina yang
dibandingkan. Contoh:
(1) Tuti secantik ibunya.
(2) Kota Garut sama ramainya dengan Ciamis.
(3) Perundingan yang kemarin dan yang pertama tidak berjalan
sama lancarnya.
2. Tingkat Komparatif
Tingkat komparatif mengacu ke kadar kualitas atau intensitas yang lebih
atau yang kurang. Pewatas yang dipakai ialah lebih ... dari (pada)...,
kurang ... dari(pada), dan kalah ... dengan/ dari(pada). Contoh:
(1) Mangga arumanis lebih enak dari(pada) mangga golek.
(2) Gajinya kalah besar dari(pada) yang saya terima.
3. Tingkat Superlatif
Tingkat Superlatif mengacu ke tingkat kualitas atau intensitas yang
paling tinggi diantara semua acuan adjektiva yang dibandingkan. Tingkat
itu dalam kalimat dinyatakan dengan pemakaian afiks ter- atau pewatas
25

paling di muka adjektiva yang bersangkutan. Adjektiva supeelatif dapat


diikuti frasa yang berpreposisi dari, antara, di antara, dari antara beserta
nomina yang dibandingkan. Contoh:
(1) Dari semua anakku Kusnolah yang terpandai
(2) Dialah orang yang paling tidak sombong

ADJEKTIVA DARI SEGI BENTUK MORFOLOGISNYA


Dari segi bentuknya, adjektiva terdiri atas adjektiva dasar dan adjektiva turunan.

2.5.2.6 Adjektiva Dasar (Monomorfemis)


Sebagian besar adjektiva dasar merupakan bentuk yang monomorfemis meskipun
ada yang berbentuk perulangan semu. Contoh:
Besar, merah, sakit, pura-pura, sia-sia, hati-hati.

2.5.2.7 Adjektiva Turunan (Polimorfemis)


Adjektiva turunan polimorfemis dapat merupakan:
1. Hasil pengafiksan sebagaimana tingkat ekuatif dengan prefiks se-, dan tingkat
superlatif dengan prefiks ter-.
2. Hasil pengafiksan dengan infiks atau sisipan –em pada nomina, adjektiva
yang jumlahnya terbatas. Contoh:
(1) Gemuruh (adjektiva) guruh (nomina)
(2) Semerbak (adjektiva) serbak (adjektiva)
(3) Sinambung (adjektiva) sambung (verba)
3. Hasil penyerapan adjektiva berafiks dari bahasa lain seperti bahasa Arab,
Belanda, dan Inggris. Berikut pemaparannya.
1. Adjektiva yang bersufiks –i, -iah atau –wi, -wiah memiliki dasar nomina
yang berasal dari bahasa Arab. Selain itu, sufiks-sufiks tersebut kini juga
sering diterapkan pada nomina serapan yang berasal dari bahasa lain.
Contoh:
Nomina Adjektiva Adjektiva
Alam alami alamiah
Dunia duniawi
26

2. Adjektiva yang bersufiks –if, -er, -al, -is setakat ini diserap dari bahasa
Belanda atau bahasa Inggris di samping nomina yang bertalian makna.
Contoh:
Adjektiva nomina
Aktif aksi
Parlementer parlemen
3. Adjektiva bentuk berulang dapat muncul jika berfungsi predikatif atau
adverbial. Predikat adjektival yang berbentuk ulang menandakan
kejamakan, keanekan, atau keintensifan. Perulangan itu terjadi melalui
cara (1) perulangan penuh, (2) perulangan sebagian, dan (3) perulangan
salin suara. Contoh:
i. Buah pohon rambutan itu kecil-kecil.
ii. Pertanyaan itu dijawabnya secara awur-awuran.
iii. Pakaiannya compang-camping.
4. Adjektiva gabungan sinonim atau antonim yang mirip dengan bentuk
berulang. Contoh:
(1) Cantik jelita
(2) Tua muda
5. Adjektiva majemuk ada yang merupakan gabungan morfem terikat
dengan morfem bebas dan ada yang merupakan gabungan dua morfem
bebas (atau lebih). Contoh:
(1) Asusila, multinasional, subtropis
(2) Baik budi, besar kepala, cacat mental

2.5.3 ADVERBIA
Dilihat dari tatarannya, perlu dibedakan adverbia dalam tataran frasa dari adverbia
dalam tataran klausa. Dalam tataran frasa, adverbia adalah kata yang menjelaskan
verba, adjektiva, atau adverbia lain. Sementara dalam tataran klausa, adverbia
mewatasi atau menjelaskan fungsi fungsi sintaksis.
27

ADVERBIA DARI SEGI BENTUK MORFOLOGISNYA


Dari segi bentuknya, perlu dibedakan menjadi dua.

2.5.3.1 Adverbia Tunggal


1. Adverbia yang berupa kata dasar, hanya terdiri atas satu kata dasar. Contoh:
Baru, hanya, lebih, hampir, saja, sangat, segera, selalu, senantiasa, paling,
pasti, tentu.
2. Adverbia yang berupa kata berafik, diperoleh dengan menambahkan
gabungan afiks se—nya atau afiks –nya pada kata dasar. Contoh:
(1) Sebaiknya kita segera membayarkan pajak itu.
(2) Agaknya gurauan itu membuatnya marah.
3. Adverbia yang berupa kata ulang, dapat diperinci lagi menjadi empat macam,
yaitu (a) pengulangan kata dasar, (b) pengulangan kata dasar dan penambahan
afiks se-, (c) pengulangan kata dasar dan penambahan sufiks –an, dan (d)
pengulangan kata dasar dan penambahan gabungan afiks se—nya. Contoh:
(1) Anak itu pelan-pelan membuka matanya.
(2) Sesabar-sabar wanita, kalau marah berbahaya.

2.5.3.2 Adverbia Gabungan


Adverbia gabungan terdiri atas dua adverbia yang berupa kata dasar. Kedua kata
dasar yang merupakan adverbia gabungan itu ada yang berdampingan dan ada
pula yang tidak berdampingan. Contoh:
(1) Lagi pula rumahnya baru jadi minggu depan.
(2) kamu hanya membuang-buang waktu saja.

ADVERBIA DARI SEGI PERILAKU SINTAKSISNYA


Perilaku sintaksis adverbia dapat dilihat berdasarkan posiisnya terhadap kata atau
bagian kalimat yang dijelaskan oleh adverbia yang bersangkutan. Atas dasar itu
dapat dibedakan empat macam posisi adverbia.
1. Adverbia yang mendahului kata yang diterangkan:
(1) Telaga itu sangat indah.
(2) Kami hanya menulis apa yang dikatakannya.
28

2. Adverbia yang mengikuti kata yang diterangkan:


(1) Tampan nian kekasih barumu.
(2) Jelek benar kelakuannya.
3. Adverbia yang mendahului atau mnegikuti kata yang diterangkan:
(1) Kini barang-barang elektronik kian mahal harganya.
(2) Mahal amat harga barang-barang itu.
4. Adverbia yang mendahului dan mengikuti kata yang diterangkan:
(1) Saya yakin bukan dia saja yang pandai.
(2) Kami hanya menerima saja apa yang diberikannya.

ADVERBIA DARI SEGI PERILAKU SEMANTISNYA


Berdasarkan perilaku semantisnya, dapat dibedakan delapan jenis adverbia.

2.5.3.3 Adverbia Kualitatif


Adalah adverbia yang menggambarkan makna yang berhubungan dengan tingkat,
derajat, atau mutu. Contoh:
Paling, sangat, lebih, dan kurang.

2.5.3.4 Adverbia Kuantitatif


Adalah menggambarkan makna yang berhubungan dengan jumlah. Contoh:
Banyak, sedikit, kira-kira, dan cukup.

2.5.3.5 Adverbia Limitatif


Adalah adverbia yang menggambarkan makna yang berhubujngan dengan
pembatasan. Contoh:
Hanya, saja, dan sekedar.

2.5.3.6 Adverbia Frekuentatif


Adalah adverbia yang menggambarkan makna yang berhubungan dengan tingkat
kekerapan terjadinya sesuatu yang diterangkan adverbia itu. Contoh:
Selalu, sering, jarang, kadang-kadang.
29

2.5.3.7 Adverbia Kewaktuan


Adalah adverbia yang menggambarkan makna yang berhubungan dengan saat
terjadinya peristiwa yang diterangkan oleh adverbia itu. Contoh:
Baru, segera.

2.5.3.8 Adverbia Kecaraan


Adalah adverbia yang menggambarka makna yang berhubungan dengan
bagaimana peristiwa yang diterangkan oelh adverbia itu berlangsung atau terfjadi.
Contoh:
Diam-diam, secepatnya, dan pelan-pelan.

2.5.3.9 Adverbia Kontrastif


Adalah adverbia yang menggambarkan pertentangan dengan makna kata atau hal
yang dinyatakan sebelumnya. Contoh:
Bahkan, malahan , justru.

2.5.3.10 Adverbia Keniscayaan


Adalah adverbia yang menggambarkan makna yang berhubungan dengan
kepastian tentang keberlangsungan atau terjadinya hal atau periwtiwa yang
dijelaskan adverbia itu. Contoh:
Niscaya, pasti, tentu.

2.5.3.11 ADVERBIA KONJUNGTIF


Adverbia Konjungtif adalah adverbia ynag menghubungkan satu klausa atau
kalimat dengan kalausa atau kalimat yang lain. Posisinya dalam kalimat boelh
dikatakan agak bebas. Akan tetapi, biasanya adverbia konjungtif digunakan pada
awal kalimat. Contoh:
Biarpun demikian, sekalipun demikian, kemudian, tambahan pula, lagi pula,
sebaliknya, sesungguhnya, bahwasanya, malah, namun, kecuali, dengan demikian,
oleh karena itu.
30

2.5.3.12 ADVERBIA PEMBUKA WACANA


Adverbia pembuka wacana pada umumnya mengawali suatu wacana.
Hubungannya dengan paragraf sebleumnya didasarkan pada makna yang
terkandung pada paragraf sebelumnya itu. Contoh:
Adapun, akan hal, mengenai itu, dalam pada itu, alkisah, syahdan.

2.5.4 NOMINA (Kata Benda)


Nomina dapat dilihat dari tiga segi.

NOMINA DARI SEGI PERILAKU SEMANTISNYA


Nomina adalah kata yang mengacu pada manusia, binatang, benda, dan konsep
atau pengertian. Contoh:
Kuda, meja, gadis, laci.

NOMINA DARI SEGI PERILAKU SINTAKSISNYA


Dari segi sintaksisnya, nomina memiliki ciri-ciri tertentu.
1. Dalam kalmat yang predikatnya verba, nomina cenderung menduduki fungsi
subjek, objek, pelengkap, atau keterangan. Contoh:
(1) Manusia pasti mati.
(2) Demokrasi memerlukan keterbukaan.
(3) Dia menyerupai ibunya.
(4) Mereka akan datang minggu depan.
2. Nomina tidak dapat diinkarkan dengan kata tidak. Kata pengingkarnya ialah
bukan. Contoh:
Ayah saya bukan guru.
3. Nomina umunya dapat diikuti oleh adjektiva, baik secara langsung maupun
dengan diantarai oleh kata yang. Contoh:
Buku yang baru, buku baru.
31

NOMINA DARI SEGI BENTUK MORFOLOGISNYA


Dilihat dari segi bentuk morfologisnya, nomina terdiri atas dua macam.

2.5.4.1 Nomina Dasar


Adalah nomina yang hanya terdiri atas satu morfem. Nomina dasar terbagi
menjadi dua, yakni nomina dasar umum, dan nomina dasar khusus. Contoh:
(1) Gambar, meja, rumah, hukum, malam (nomina dasar umum)
(2) Atas, selasa, butir, pontianak, farida, paman (nomina dasar khusus)
Nomina dasar khusus memiliki bermacam-macam subkategori kata dengan
beberapa fitur semantiknya.
1. Nomina yang diwakili oleh atas mengacu pada tempat seperti di atas.
2. Nomina yang diwakili oleh pontianak mengacu pada nama geografis.
3. Nomina yang diwakili oleh butir mneyatakan penggolongan kata berdasarkan
bentuk rupa acuannya secara idiomatis.
4. Nomina yang diwakili oleh farida mengacu pada nama diri orang.
5. Nomina yang diwakili oleh paman mengacu pada orang yang masih
mempunyai hubingan kekerabatan.
6. Nomina yang diwakili oleh selasa mengacu pada nama hari.

2.5.4.2 Nomina Turunan


Nomina turunan dapat diturunkan melalui afiksasi, perulangan, atau
pemajemukan. Contoh:
(1) Darat (nomina) mendarat (verba) daratan (nomina)
mendaratkan (verba) pendaratan (nomina)
(2) Kosong (nomina) kekosongan (nomina)
mengosongkan (verba) pengosongan (nomina)
(3) Buku-buku, corat-coret, warna-warni, dedaunan, padi-padian, keabu-abuan,
kekanak-kanakan.
(4) Suami istri, wajib pajak, unjuk rasa, sekolah menengah, infrastruktur, doa
restu, ganti rugi.
32

2.5.5 PRONOMINA
Pronomina adalah kata yang dipakai untuk mengacu kepada nomina lain. Ada tiga
macam pronomina.

2.5.5.1 Pronomina Persona


Adalah pronomina yang dipakai untuk mengacu pada orang.
Makna
Persona Jamak
Tunggal
Netral Eksklusif Inklusif
Pertama Saya, aku, ku-, - Kami Kita
ku
Kedua Engkau, kamu, Kalian, kamu
anda, dikau, sekalian, anda
kau-, -mu sekalian
Ketiga Ia, dia, beliau, - Mereka
nya

2.5.5.2 Pronomina Penunjuk


Terdiri dari empat macam:
a. Pronomina penunjuk umum ialah ini, itu, dan anu. Sebagai pronomina ini
dan itu ditempatkan sesudah nomina yang diwatasinya. Orang juga memakai
kedua pronomina itu sesudah pronomina persona, tampaknya untuk
memberikan lebih banyak penegasan. Contoh:
Jawaban itu, saya ini.
Kata anu dipakai bila seseorang tidak dapat mengingat benar kata apa yang
harus dia pakai, padahal ujaran telah terlanjur dimulai. Anu juga dipakai bila
si pembicara tidak mau secara eksplisit mengatakan apa yang dia maksud.
Contoh:
(1) Mereka mau anu-mau pinjam kredit di bank
(2) Duduklah dengan baik supaya anumu tidak kelihatan.
33

b. Pronomina penunjuk tempat ialah sini, situ, atau sana. Karena menunjuk
lokasi, pronomina ini sering digunakan dengan preposisi pengacu arah,
di/ke/dari. Contoh:
(1) Kita akan bertolak dari sini.
(2) Barang-barangnya ada di situ.
(3) Siapa yang mau pergi ke sana?
c. Pronomina penunjuk ihwal ialah begini, begitu. Contoh:
(1) Dia mengatakan begini.
(2) Jangan berbuat begitu lagi.
d. Pronomina penanya adalah pronomina yang dipakai sebagai pemarkah
pertanyaan. Berikut ini adalah kata penanya sesuai dengan maknanya.
a. Siapa (menanyakan orang)
b. Apa (menanyakan barang)
c. Mana (menanyakan pilihan)
d. Mengapa, kenapa (menanyakan sebab)
e. Kapan, bila(mana) (menanyakan waktu)
f. Di mana, ke mana (menanyakan tempat)
Dari mana
g. Bagimana (menanyakan cara)
h. Berapa (menanyakan jumlah/ urutan)
Sebenarnya ditinjau dari segi bentuknya, sebenarnya hanya ada dua unsur
yang mendasari semua kata penanya, yakni apa dan mana. Dua unsur tersebut
dikembangkan dengan mengikuti pola berikut.
Si Apa
Meng- Siapa
Men- Mengapa
+ apa
Ken- Kenapa
K-n Kapan
(ke)ber- (ke)berapa
Di Di mana
Ke + mana Ke mana
Dari Dari mana
34

Bagai Bagaimana
Bila Bilamana

2.5.6 NUMERALIA
Numeralia atau kata bilangan adalah kata yang dipakai untuk menghitung
banyaknya maujud (orang, binatang, atau barang) dan konsep.

2.5.6.1 Numeralia Kardinal


Numeralia kardinal atau pokok adalah bilangan dasar yang menjadi sumber dari
bilangan-bilangan yang lain. Atau yang memeberi jawaban atas pertanyaan
“berapa?”
a. Numeralia pokok tentu, mengacu pada bilangan pokok, yakni nol, satu, dua,
hingga sembilan. Bentuk se- dipakai untuk memulai suatu gugus dan artinya
adalah satu. Kecuali untuk bilangan antara sebelas sampai sembilan belas,
gugus diantara 9 sampai 99 berkomponen puluh. Gugus untuk bilangan antara
99 dan 999 berkomponen ratus dan antara 999 dan 999.999 berkomponen
ribu. Proses ini berlanjut dengan gugus yang berkomponen juta untuk
bilangan dengan enam nol, berkomponen miliar untuk bilangan dengan
sembilan nol, dan berkomponen triliun untuk bilangan dengan dua belas nol.
b. Numeralia pokok kolektif, dibentuk dengan prefiks ke- yang ditempatkan di
muka nomina yang diterangkan.
c. Numeralia pokok distributif, dapat dibentuk dengan cara mengulang kata
bilangan. Artinya ialah (1) ‘... demi ...’. (2) ‘masing-masing’. Kata (se)tiap,
tiap-tiap, dan masing-masing termasuk numeralia distributif juga. Contoh:
(1) Satu-satu
(2) Semua siswa akan mendapat buku, masing-masing satu buah.
d. Numeralia pokok taktentu, mengacu pada jumlah yang tidak pasti dan
sebagian besar numeralia ini tidak dapat menjadi jawaban atas pertanyaan
yang memakai kata tanya berapa. Numeralia pokok taktentu ditempatkan di
muka nomina yang diterangkannya. Contoh:
Banyak, berbagai, beberapa, pelbagai, semua, seluruh, segala, segenap.
35

e. Numeralia pokok klitika. Disamping numeralia pokok yang telah kiita


sebutkan, ada pula numeralian lain yang dipungut dari bahasa Jawa Kuna,
tetapi numeralia itu umumnya berbentuk proklitika. Jadi, numeralia macam
itu diletakkan di muka nomina yang bersangkutan. Contoh:
(1) Eka- ‘satu’ : ekamatra ‘satu dimensi’
(2) Dwi- ‘dua’ : dwiwarna ‘dua warna’
(3) Tri- ‘tiga’ : triwulan ‘tiga bulan’
(4) Catur- ‘empat’ : caturwulan ‘empat bulan’
(5) Panca- ‘lima’ : pancasila ‘lima sila’
(6) Sapta- ‘tujuh’ : saptamarga ‘tujuh peraturan prajurit’
(7) Dasa- ‘sepuluh’ : dasalomba ‘sepuluh perlombaan’
f. Numeralia ukuran. Bahasa Indonesia mengenal pula beberapa nomina yang
berkaitan dengan berat, panjang-pendek, maupun jumlah. Misalnya, lusin,
kodi, meter, liter, atau gram. Nomina ini dapat didahului oleh numeralia
sehingga terciptalah numeralia gabungan. Contoh:
(1) Kalau ke toko, belilah dua lusin piring.
(2) Berapa harga minyak itu per sepuluh liter?

2.5.6.2 Numeralia Tingkat


Numeralia pokok dapat diubah menjadi numeralia tingkat. Cara mengubahnya
adalah dengan menambahkan ke- di muka bilangan yang bersangkutan. Numeralia
tingkat diletakkan di belakang nomina yang diterangkan. Contoh:
(1) Pemain ketiga
(2) Suara pertama
(3) Jawaban kedua itu

2.5.6.3 Numeralia Pecahan


Tiap bilangan pokok dapat dipecah menjadi bagian yang lebih kecil yang
dinamakan nummerali pecahan. Cara membentuk numeralia itu ialah dengan
memakai kata per- di antara bilangan pembagi dan penyebut. Dalam bentuk huruf,
per- ditempelkan pada bilangan yang mengikutinya. Dalam betuk angka, dipakai
garis yang memisahkan kedua bilangan itu. Contoh:
36

(1) ½ - seperdua - 0,5 (desimal)


(2) 1/1000 - seperseribu - 0.001 (desimal)
(3) 2 2/5 - dua dua perlima - 2,4 (desimal)

Frasa Numeralia
Umumnya, frasa numeralia dibentuk dengan menambahkan kata penggolong.
Contoh:
(1) Dua ekor kerbau
(2) Lima orang penjahat
(3) Tiga buah rumah
Berikut ini adalah beberapa kata penggolong dalam bahasa Indonesia.
Orang untuk manusia
Ekor untuk binatang
Buah untuk buah-buahan atau hal lain yang di luar golongan
Manusia dan binatang
Batang untuk pohon, rokok, atau barang lain yang berbentuk
bulat panjang
Bentuk untuk cincin, gelang, atau barang lain yang dapat
dibengkokkan atau dilenturkan
Bidang untuk tanah, sawah, atau barang lain yang luas dan datar
Belah untuk mata, telinga, atau benda lain yang berpasangan
Helai untuk kertas, rambut, kain, atau benda lain yang tipis dan
halus
Bilah untuk pisau, pedang atau benda lain yang tajam
Utas untuk benang, tali, atau benda lain yang kecil dan
panjang
Potong untuk baju, celana, atau bagian/ potong suatu benda
Tangkai untuk bunga, pena, atu benda lain yang bertangkai
Butir untuk kelereng, telur, atau benda lain yang bulat dan
kecil
Pucuk untuk surat atau senapan
Carik untuk kertas
37

Rumpun untuk padi, bambu, atau tumuhan lain yang berkelompok


Keping untuk uang logam
Biji untuk mata, jagung, kelereng, padi
Kuntum untuk bungan
Patah untuk kata
Laras untuk senapan
Kerat untuk roti, daging

2.5.7 KATA TUGAS


Ciri-ciri kata tugas:
1. Kata tugas hanya mempunyai arti gramatikal dan tidak memiliki arti leksikal.
Arti suatu kata tugas ditentukan bukan oleh kata itu secara lepas, melainkan
oleh kaitannya dengan kata lain dalam frasa atau kalimat.
2. Hampir semua kata tugas tidak dapat menjadi dasar untuk membentuk kata
lain.
3. Kelas kata tugas merupakan kelas yang tertutup. Artinya tidak mudah
menambah kata dan menerima unsur bahasa lain sebagai kata baru atau
padana kata yang telah ada.

KLASIFIKASI KATA TUGAS


Berdasarkan peranannya dalam frasa atau kalimat, kata tugas dibagi menjadi lima
kelompok.

2.5.7.1 PREPOSISI
Preposisi yang juga disebut kata depan, ditinjau dari perilaku semantisnya,
menandai berbagai hubungan makna antara konstituen di depan preposisi tersebut
dengan konstituen di belakangnya. Peran semantis preposisi yang lazim dalam
bahasa Indonesia adalah sebagai penanda hubungan: (1) tempat, (2) peruntukan,
(3) sebab, (4) kesertaan atau cara, (5) pelaku, (6) waktu, (7) ihwal, dan (8) milik.
Contoh:
(1) Pergi ke pasar.
(2) Surat untuk ibu.
38

(3) Kemacetan ini terjadi karena terjadi kecelakaan.


(4) Aku berjalan bersama adik.
(5) Ikan di dapur dimakan oleh kucing.
(6) Semenjak hari itu, kita tidak pernah bertemu.
(7) Bapak sedang bercerita mengenai masa lalunya.
(8) Ibu telah menerima barang dari seorang kurir.
Ditinjau dari perilaku sintaksisnya, preposisi berada di depan nomina,
adjektiva, atau adverbia sehingga terbentuk frasa yang dinamakan frasa
preposisional. Contoh:
Ke pasar
Ditinjau dari segi bentuk morfologisnya, preposisi ada dua macam, yaitu
preposisi tunggal dan preposisi majemuk.
1. Preposisi tunggal adalah preposisi yang hanya terdiri atas satu kata. Bentuk
preposisi tunggal dapat berupa (1) kata dasar, misalnya di, ke, dari, dan pada,
dan (2) kata berafiks, seperti selama, bagaikan, dan mengenai.
2. Preposisi gabungan, terdiri atas (1) dua preposisi yang berdampingan,
misalnya daripada, kepada, dan sampai dengan, (2) dua preposisi yang
berkorelasi, misalnya antara ... dengan, dari ... hingga, dan sejak ... sampai.

2.5.7.2 KONJUNGTOR
Konjungtor yang juga dinamakan kata sambung, adalah kata tugas yang
menghubungkan dua satuan bahasa yang sederajat: kata dengan kata, frasa dengan
frasa, atau klausa dengan klausa. Contoh:
(1) Hidup atau mati kita bergantung pada upaya kita sendiri.
(2) Saya mau pergi kalau pekerjaan rumah saya selesai.
Bentuk seperti karena, sejak, dan setelah dapat menghubungkan kata, frasa,
ataupun klausa. Dalam hubungannya dengan kata dan frasa bentuk-bentuk itu
bertindak sebagai preposisi, dalam hubungannya dengan klausa, bentuk-bentuk itu
bertindak sebagai konjungtor. Sehingga tampak bahwa ada bentuk yamg hanya
dapat berfungsi sebagai preposisi, ada bnetuk yang hanya berfungsi sebagai
konjungtor, dan ada bentuk yang dapat berfungsi baik sebagai preposisi maupun
sebagai konjungtor.
39

Preposisi Preposisi dan Konjungtor Konjungtor


Di Karena Meskipun
Ke Sesudah Kalau
Dari Sejak Walaupun
Pada Sebelum Sedangkan
... ... ...

Ditinjau dari segi perilaku sintaksisnya dalam kalimat, konjungtor dibagi


menjadi empat kelompok.
1. Konjungtor koordinatif menggabungkan kata atau klausa yang setara.
Kalimat yang dibentuk dengan cara itu dinamakan kalimat majemuk setara.
Perhatikan konjungtor koordinatif berikut.
Dan penanda hubungan penambahan
Serta penanda hubungan pendampingan
Atau penanda hubungan pemilihan
Tetapi penanda hubungan perlawanan
Melainkan penanda hubungan perlawanan
Padahal penanda hubungan pertentangan
Sedangkan penanda hubungan pertentangan
Contoh:
(1) Dia menangis dan istrinya pun tersedu-sedu.
(2) Dia pura-pura tidak tahu, padahal tahu banyak.
2. Konjungtor korelatif adalah konjujngtor yang menghuungkan dua kata, frasa,
atau klausa yang memilliki status sintaktis yang sama. Konjungtor korelatif
terdiri atas dua bagian yang dipisahkan oleh salah satu kata, frasa, atau klausa
yang dihubungkan. Berikut adalah contohnya.
Baik ... maupun ...
Tidak hanya ..., tetapi juga ...
Nukan hanya ..., melainkan juga ...
Demikian ... sehingga ...
Sedemikian rupa ... sehingga ...
40

Apa(kah) ... atau ...


Entah ... entah ...
Jangankan ..., ... pun ...
Contoh:
(1) Baik Pak anwar maupun istrinya tidak suka merokok.
(2) Apa(kah) anda setuju atau tidak, kami akan jalan terus.
3. Konjungtor Subordinatif membentuk anak kalimat. Penggabungan anak
kalimat itu dengan induk kalimatnya menghasilkan kalimat majemuk
bertingkat. Ditinjau dari segi perilaku sintaksis dan semantisnya, konjungtor
subordinatif dapatg dibagi menjadi tiga belas kelompok.
1. Konjungtor Subordinatif Waktu:
a. Sejak, semenjak, sedari
b. Sewaktu, ketika, tatkala, sementara, begitu, seraya, selagi, selama,
serta, sambil, demi
c. Setelah, sesudah, sebelum, sehabis, selesai, seusai
d. Hingga, sampai
2. Konjungtor Subordinatif Syarat: jika, kalau, jikalau, asal(kan), bila,
manakala
3. Konjungtor Subordinatif Pengandaian: andaikan, seandainya,
umpamanya, sekiranya
4. Konjungtor Subordinatif Tujuan: agar, supaya, biar
5. Konjungtor Subordinatif Konsesif: biarpun, meski(pun), walau(pun),
sekalipun, sungguhpun, kendati(pun)
6. Konjungtor Subordinatif Pembandingan: seakan-akan, seolah-olah,
sebagiman, seperti, sebagai, laksana, ibarat,daripada, alih-alih
7. Konjungtor Subordinatif Sebab: sebab, karena, oleh karena, oleh sebab
8. Konjungtor Subordinatif Hasil: sehingga, sampai(-sampai), maka(nya)
9. Konjungtor Subordinatif Alat: dengan, tanpa
10. Konjungtor Subordinatif Cara: dengan, tanpa
11. Konjungtor Subordinatif Komplementasi: bahwa
12. Konjungtor Subordinatif Satributif: yang
41

13. Konjungtor Subordinatif Perbandinagan: sama ... dengan, lebih ...


dari(pada)
Contoh:
(1) saya akan naik haji jika tanah saya laku.
(2) mereka berkata bahwa mereka akan berkunjung besok.
4. Konjungtor Antakalimat merangkai dua kalimat, tetapi masing-masing
merupakan kalimat sendiri-sendiri. Oleh karena itu, konjungtor macam itu
selalu memulai suatu kalimat yang baru dan tentu saja huruf pertamanya
ditulis dengan huruf kapital. Berikut adalah contoh konjungtor antarkalimat.
Biarpun demikian/ begitu
Sekalipun demikian/ begitu
Walaupun demikian/ begitu
Meskipun demikian/ begitu
Sungguhpun demikian/ begitu
Kemudian, sesudah itu, setelah itu, selanjutnya
Tambahan pula, lagi pula, selain itu
Sebaliknya
Sesungguhnya, bahwasanya
Malah(an), bahkan
(akan) tetapi, namun
Kecuali itu
Dengan demikian
Oleh karena itu, oleh sebab itu
Sebelum itu
Contoh:
(1) Kami tidak sependapat dengan dia. Biarpun begitu, kami tidak akan
menghalanginya
(2) Mereka berbelanja ke Glodok. Sesudah itu, mereka pergi ke saudaranya
di Ancol

2.5.7.3 INTERJEKSI
42

Interjeksi atau kata seru adalah kata tugas yang mengungkapkan rasa hati
pembicara. Secara struktural interjeksi tidak bertalian dengan unsur kaimat yang
lain. Berbagai interjeksi dapat dikelompokkan menurut perasaan yang
diungkapkannya seperti berikut.
1. Interjeksi kejijikan: bah, cih, cis, ih, idih
2. Interjeksi kekesalan: brengsek, sialan, buset, keparat
3. Interjeksi kekaguman atau kepuasan: aduhai, amboi, asyik
4. Interjeksi kesyukuran: syukur, alhamdulillah
5. Interjeksi harapan: insya Allah
6. Interjeksi keheranan: aduh, aih, ai, li, duilah, eh, oh, ah
7. Interjeksi kekagetan: astaga, astagfirullah, masyaallah
8. Interjeksi ajakan: ayo, mari
9. Interjeksi panggilan: hai, he, eh, halo
10. Interjeksi simpulan: nah
Contoh:
(1) Bah, pergi kau dari rumah ini!
(2) Sialan, baru masuk sudah diberi banyak kerjaan rumah!

2.5.7.4 ARTIKULA
Artikula adalah kata tugas yang mebatasi makna nomina. Dalam bahasa Indonesia
ada kelompok artikula:
(1) Yang bersifat gelar. Pada umumnya bertalian dengan orang atau hal yang
dianggap bermartabat. Berikut ini jenis-jenisnya.
a. Sang : untuk manusia tau benda unik dengan maksud untuk
meninggikan martabat; kadang-kadang juga dipakai
dalam gurauan atau sindiran;
b. Sri : untuk manusia yang bermartabat tinggi dalam
keagamaan atau kerajaan;
c. Hang : untuk laki-laki yang dihormati dan pemakaiannya
terbatas pada nama tokoh dalam cerita sastra lama;
d. Dang : untuk wanita yang dihormati dan pemakaiannya
terbatas pada nama tokoh dalam cerita sastra lama.
43

Contoh:
(1) Sang Merah Putih berkibar dengan jaya di seluruh tanah air.
(2) Dang Merdu adalah tokoh yang terkenal dalam hikayat sastra
Melayu.
(2) Yang mengacu ke makna kelompok yakni para. Karena artikula
mengisyaratkan ketaktunggalan, maka nomina yang diiringinya tidak
dinyatakan dalam bentuk kata ulang. Contoh:
Para guru, para ilmuwan, para petani.
(3) Yang menominalkan. Artikula si yang menominalkan dapat mengacu ke
makna tunggal atau generik, bergantung pada konteks kalimatnya. Berikut
adalah ikhtisar pemakaian artikula si:
1. Di depan nama diri pada ragam akrab atau kurang hormat: si Ali, si Tomi,
si Badu;
2. Di depan kata untuk mengkhususkan orang yang melakukan sesuatu atau
terkena sesuatu: si pengirim, di alamat, si terdakwa;
3. Di depan nomina untuk dipakai sebagai timanga, panggilan, atau ejekan:
yang disebut itu memiliki sifat atau mirip sesuatu: si belang, si bungsu, si
kumis;
4. Dalam bentuk verba yang menandakan dirinya menjadi bersifat tertentu:
bersitegang, bersikukuh, bersikeras, bersilengah;
5. Pada berbagai nama tumbuhan dan binatang: siangit, sibusuk, sidingin,
simalakama, siamang, sigasir, sikikih.
Kata yang dapat juga dimasukkan dalam jenis artikula yang
menominalkan jika mengantarai nomina dengan pewatasnya.
Contoh:
Yang terhormat, yang berkepentingan, yang hadir.

2.5.7.5 PARTIKEL PENEGAS


Kategori partikel penegas meliputi kata yang tidak takluk pada perubahan bentuk
dan hanya berfungsi menampilkan unsur yang diiringinya. Ada empat partikel
penegas, tiga yang pertama berupa klitika, sedangkan yang keempat tidak.
1. Partikel –kah
44

Partikel –kah berbentuk klitika dan bersifat manasuka dapat menegaskan


kalimat interogatif. Berikut ini adalah kaidah pemakaiannya.
a. Jika dipakai di dalam kalimat deklaratif, -kah mengubah kalimat tersebut
menjadi interogatif.
Contoh:
(1) Diakah yang akan datang?
(bandingkan: Dia yang akan datang.)
(2) Hari inikah pekerjaan itu harus selesai?
(bandingkan: Hari ini pekerjaan itu harus selesai.)
b. Jika kalimat interogatif sudah ada kata tanya seperti apa, dimakna, dan
bagaimana, maka –kah bersifat manasuka. Pemakaian –kah menjadikan
kalimatnya lebih formal dan sedikit lebih halus.
Contoh:
(1) Apa ayahmu sudah datang?
Apakah ayahmu sudah datang?
(2) Ke mana anak-anak pergi?
Ke manakah anak-anak pergi?
c. Jika dalam kalimat tidak ada kata tanya tetapi intonasinya adalah intonasi
interogatif, maka –kah akan memperjelas kalimat itu sebagai kalimat
interogatif. Kadang-kadang urutan katanya dibalilk.
Contoh:
(1) Akan datang dia nanti malam?
Akan datangkah dia nanti malam?
(2) Tidak dapat dia mengurus soal sekecil itu?
Tidak dapatkah dia mengurus soal sekecil itu?
2. Partikel –lah
Partikel –lah, yang jiga berbentuk klitika, dipakai dalam kalimat imperatif
atau kalimat deklaratif. Berikut adalah kaidah pemakaiannya.
a. Dalam kalimat imperatif, -lah dipakai untuk sedikit menghaluskan nada
perintahnya.
Contoh:
(1) Pergilah sekarang, sebelum hujan turun!
45

(2) Bawalah mobil ini ke bengkel besok pagi!


b. Dalam kalimat deklaratif, -laj dipakai untuk memberikan ketegasan yang
sedikit keras.
Contoh:
(1) Dari ceritamu, jelahlah kamu yang salah.
(2) Inilah gerakan pembaruan.
3. Partikel –tah
Partikel –tah yang juga berbentuk klitika, dipakai dalam kalimat interogatif,
tetapi si penanya sebenarnya tidak mengharapkan jawaban. Ia seolah-olah
hanya bertanya pada diri sendiri karena keheranan atau kesangsiannya.
Partikel –tah banyak dipakai dalam sastra lama, tetapi tidak banyak dipakai
lagi sekarang.
Contoh:
(1) Apatah artinya hidup ini tanpa engkau?
(2) Siapatah gerangan orangnya yang mau menolongku/
4. Parikel pun
Partikel pun hanya dipakai dalam kalimat deklaratifdan dalam bentuk tulisan
dipisahkan dari kata di mukanya. Kaidah pemakaiannya adalah sebagai
berikut.
a. Pun dipakai untuk mengeraskan arti kata yang diiringinya.
Contoh:
(1) Mereka pun akhirnya setuju dengan usul kami.
(2) Yang tidak perlu pun dibelinya juga.
b. Partikel pun pada konjungtor ditulis serangkai.
Contoh:
Walaupun, meskipun, kendatipun, adapun, sekalipun, biarpun,
sungguhpun.
c. Dengan arti yang sama seperti di atas, pun sering pula dipakai bersama –
lah untuk menandakan perbuatan atau proses mulai berlaku atau terjadi.
Contoh:
(1) Tidak lama kemudian hujan pun turunlah dengan derasnya.
(2) Para demostran itu pun berbarislah dengan teratur.
46

2.5.8 KATEGORI FATIS


Kategori fatis adalah kata dalam sebuah kalimat yang bertugas memulai,
mempertahankan dan mengukuhkan komunikasi. Lazimnya, bentuk fatis
digunakan dalam ragam lisan. Dalam ragam tulisa bentuk fatis itu memang
jumlahnya terbatas.
Contoh:
(1) Dengan hormat, hormat kami. (di dalam surat)
(2) Selamat siang, selamat sore, selamat makan (dalam keseharian
berkomunikasi)

2.6 PENGERTIAN FRASA


Dalam bahasa Indonesia, istilah frasa diserap dari kata phrase (Ingg.). Istilah frasa
kadang-kadang disebut juga dengan frase.
Frasa adalah satuan gramatik yang terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak
melampaui batas fungsi unsur klausa. (Ramlan, 1987: 151)
Frasa adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata dengan kata yang
sifatnya tidak predikatif atau nonpredikatif. (Kridalaksana, 1983: 46)

2.7 KLASIFIKASI FRASA


Frasa dapat diklasifikasikan kedalam beberapa macam sebagai berikut.

BERDASARKAN DISTRIBUSI UNSUR-UNSURNYA


Berdasarkan distribusi unsur-unsurnya frasa dibedakan menjadi dua tipe, yaitu
frasa endosentrik dan frasa eksosentrik.

2.7.1 FRASA ENDOSENTRIK


Frasa endosentrik adalah frasa yang berdistribusi paralel dengan salah satu
atau semua unsur pembentuknya. Frasa endosentrik terbagi menjadi tiga macam.

2.7.1.1 FRASA ENDOSENTRIK KOORDINATIF


47

Frasa endosentrik koordinatif adalah frasa yang terdiri atas unsur unsur yang
kedudukannya setara, yang satu tidak tergantung pada yang lain. unsur unsur frasa
tersebut secara potensial dan faktual dapat dihubungkan baik dengan konjungtor
tunggal: dan, atau, tetapi, maupun dengan konjungtor terbagi seperti:
baik...maupun..., entah...entah.... Frasa endosentrik koordinatif terdapat pada frasa
endosentrik yang berinduk jamak (beraneka hulu). Contoh:
(1) Suami isteri
(2) Pembinaan dan pengembangan
(3) Belajar atau bekerja
(4) Rumah pekarangan

2.7.1.2 FRASA ENDOSENTRIK ATRIBUTIF


Frasa endosentrik atributif adalah frasa yang terdiri atas unsur-unsur yang
kedudukannya tidak setara, unsur yang satu tergantung pada unsur yang lain.
Unsur frasa endosentrik atributif terdiri atas unsur pusat/ unsur yang diterangkan
(D) dan unsur atribut/ penjelas atau unsur yang menerangkan (M). Adapun
urutannya bisa D – M, bisa pula M - D. Contoh:
(1) ATM BNI
D M
(2) Sangat bangga
M D
Secara umum, frasa endosentrik atributif memiliki beberapa variasi atau corak.
1. Pola atribut mendahului pusat. Contoh:
Hampir terbenam, sepatah kata, sering terlambat.
2. Pola atribut di belakang pusat. Contoh:
Baik sekali, pabrik kertas, besar kepala.
3. Pola atribut terpisah/ terbagi, yaitu unsur pusat berada di antara unsur
atribut. Contoh:
Sebuah meja yang kosong, dua orang mahasiswa Indonesia, dua belas
relawan Indonesia.
4. Pola atribut manasuka. Contoh:
48

Almarhum Dr. Doetomo – Dr. Soetomo almarhum. Lain orang – orang


lain.

2.7.1.3 FRASA ENDOSENTRIK APOSITIF


Frasa endosetrik apositif adalah frasa yang secara simantik unsur yang satu sama
dengan unsur yang lain, dan dapat saling menggantikan. Frasa endosentrik
memiliki unsur pusat (UP), dan unsur aposisi (Ap). Di antara unsur pusat dengan
unsur aposisi digunakan tanda koma. Contoh:
Ir. Soekarno, Presiden pertama RI pemimpin negara yang cerdas.
UP Ap
Jakarta, Ibu kota Indonesia.
UP Ap

2.7.2 FRASA EKSOSENTRIK


Frasa eksosentrik adalah frasa yang berdistribusi komplementer dengan
pusatnya.

2.7.2.1 FRASA EKSOSENTRIK DIREKTIF


Frasa eksosentrik direktif adalah frasa yang terdiri atas unsur perangkai dan unsur
sumbu/pusat. Jadi, dalam frasa eksosentrik direktif terdapat dua komponen, yaitu
komponen perangkai dan komponen sumbu/ pusat. Frasa eksosetrik dibedakan
menjadi tiga, yaitu:
1. Frasa eksosentrik direktif proposisional adalah frasa yang terdiri atas unsur
preposisi sebagai perangkai dan unsur lain sebagai sumbunya. Contoh:
Dari jakarta, ke kantor, pada dinding, kepada saya, tentang kebudayaan.
2. Frasa eksosentrik direktif konjungtif adalah fransa yang terdiri atas unsur
perangkai yang berupa konjungsi dan unsur lain sebagai sumbu. Contoh:
Karena sakit, walaupun sepi, jika tidak hujan.
3. Frasa eksosentrik direktif artikel adalah frasa yang terdiri atas unsur
perangkai yang berupa artikel, dan unsur lain sebagai sumbu. Contoh:
Sang pangeran, yang maha penyayang.
49

2.7.2.2 FRASA EKSOSENTRIK KONEKTIF


Frasa eksosentrik konektif adalah frasa yang salah satu unsurnya berupa kopula
yang bertindak sebagai konektor dan berfungsi sebagai penghubung antara unsur
sebelum dan sesudahnya. Contoh:
(1) ... sebagai ketua
Kopula sumbu
(2) ... adalah mahasiswa teladan
Kopula sumbu

BERDASARKAN KELAS KATANYA


Berdasarkan kelas katanya frasa dibedakan menjadi lima jenis.

2.7.3 FRASA NOMINAL


Frasa nominal adalah frasa yang memiliki distribusi yang sama dengan nomina.
Contoh:
Kedai kopi, buku cerita, teman seperjuangan.

2.7.4 FRASA VERBAL


Frasa verbal adalah frasa ynag memiliki distribusi yangb sama dengan verba.
Contoh:
Sedang menulis, sudah pergi, akan berangkat.

2.7.5 FRASA ADJEKTIVAL


Frasa adjektival adalah frasa yang memiliki distribusi yang sama dengan adjektif.
Frasa ini terdiri atas induk berkategori adjektif dan modifikator berkategori apa
pun yang secara keseluruhannya berperilaku sebagai adjektif. Contoh:
Sangat merdu, tidak yakin, cantuk nian.

2.7.6 FRASA NUMERAL


Frasa numeral adalah frasa yang memiliki distribusi yang sama dengan kata
bilangan. Contoh:
Dua buah, lima helai, tiga lembar.
50

2.7.7 FRASA PREPOSISIONAL


Frasa preposisional adalah frasa yang terdiri atas kata depan sebagai perangkai,
diikuti oleh kata atau frasa sebagai aksis atau sumbunya. Contoh:
Sejak tadi siang, dengan sabar, si sebuah gedung.
51

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Dari hasil pembahasan tentang Kata dan Frasa, maka diambil kesimpulan:
1. Kata adalah unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan yang merupakan
perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam
berbahasa.
2. Diksi mempersoalkan kesanggupan sebuah kata dapat juga frasa atau
kelompok kata untuk menimbulkan gagasan yang tepat pada imajinasi
pembaca atau pendengarnya.
3. Peranti-peranti diksi ada 11, yaitu:
1. Peranti Kata Berdenotasi atau Berkonotasi
2. Peranti Kata Bersinonim dan Berantonim
3. Peranti Kata Bernilai Rasa
4. Peranti Kata Konkret dan Abstrak
5. Peranti Keumuman dan Kekhususan
6. Peranti Kelugasan Kata
7. Peranti Penyempitan dan Perluasan Makna Kata
8. Peranti Keaktifan dan Kepasifan Kata
9. Peranti Ameliorasi dan Peorasi
10. Peranti Kesenyawaan Kata
11. Peranti Kebakuan dan Ketidak Bakuan Kata
4. Peristilahan adalah kata atau gabungan kata yang dapat dengan cermat
mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan atau sifat yang khas di
bidang kehidupan dan cabang ilmu pengetahuan tertentu
5. Kelas kata ada 8, yaitu:
1. Verba
2. Adjektiva
3. Adverbia
4. Nomina
52

5. Pronomina
6. Numeralia
7. Kata Tugas
8. Kategori Fatis
6. Frasa adalah satuan gramatik yang terdiri atas dua kata atau lebih yang
tidak melampaui batas fungsi unsur klausa.
7. Klasifikasi Frasa ada 7, yaitu:
1. Frasa Endosentrik
2. Frasa Eksosentrik
3. Frasa Nominal
4. Frasa Verbal
5. Frasa Adjektival
6. Frasa Numeral
7. Frasa Proposisional

3.2 Saran
Dinamika perkembangan kebahasaan tidak dapat dihindari. Begitu pula dengan
kemajuan peradaban. Oleh karenanya, sebagai warga negara Indonesia yang
mengaku berbahasa kebangsaan satu yakni bahasa Indonesia, maka dipandang
vital penguasaan penggunaan bahasa secara baik dan benar. Sehingga penajaman
pengajaran materi bahasa Indonesia dalam pendidikan formal perlu terus
ditingkatkan, agar terwujudlah cita bangsa.
53

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Arifin, E. Zainal dan S. Amran Tasai. 1987. Cermat Berbahasa Indonesia.
Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa.
Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Http://www.ufroog.com/cerita-rakyat.html/4. Diakses: 30 Oktober 2017
Rahardi, Kunjana. 2010. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:
Erlangga.
Sukini. 2010. Sintaksis Sebuah Panduan Praktis. Surakarta: Yuma Pustaka.
54

LAMPIRAN

Setelah bertahun-tahun lamanya Sangkuriang mengembara, akhirnya ia


berniat untuk pulang ke kampung halamannya. Sesampainya di sana, dia sangat
terkejut sekali, karena kampung halamannya sudah berubah total. Rasa senang
Sangkuriang tersebut bertambah ketika saat di tengah jalan bertemu dengan
seorang wanita yang sangat cantik jelita, yang tidak lain adalah Dayang Sumbi.
Karena terpesona dengan kecantikan wanita tersebut, maka Sangkuriang langsung
melamarnya. Akhirnya lamaran Sangkuriang diterima oleh Dayang Sumbi, dan
sepakat akan menikah di waktu dekat. Pada suatu hari, Sangkuriang meminta ijin
calon istrinya untuk berburu di hatan. Sebelum berangkat, ia meminta Dayang
Sumbi untuk mengencangkan dan merapikan ikat kapalanya. Alangkah
terkejutnya Dayang Sumbi, karena pada saat dia merapikan ikat kepala
Sangkuriang, Ia melihat ada bekas luka. Bekas luka tersebut mirip dengan bekas
luka anaknya. Setelah bertanya kepada Sangkuriang tentang penyebab lukanya
itu, Dayang Sumbi bertambah tekejut, karena ternyata benar bahwa calon
suaminya tersebut adalah anaknya sendiri.

Kata Tidak Baku


Data Kode Data Revisi
Tekejut 5.1.14 Terkejut
Hatan 6.1.9 Hutan
Ijin 12.1.8 Izin kepada
Di waktu 4.1.8 Pada waktu
Ketika saat di tengah 4.1.4 Saat di tengah
Sangat cantik jelita 4.1.5 Cantik Jelita
Kapalanya 7.1.10 Kepalanya
Keterangan:
5: Kalimat
1: Paragraf
14: Baris

Anda mungkin juga menyukai