BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1) Menjelaskan pengertian kata.
2) Menjelaskan fungsi diksi.
3) Menjelaskan ihwal peranti-peranti kata.
4) Menjelaskan pengertian peristilahan.
5) Menjelaskan ihwal kelas kata.
6) Menjelaskan pengertian frasa.
7) Menjelaskan ihwal klasifikasi frasa.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.2 DIKSI
Diksi atau pilihan kata dalam praktik berbahasa sesungguhnya mempersoalkan
kesanggupan sebuah kata dapat juga frasa atau kelompok kata untuk
menimbulkan gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengarnya.
pengucapannya atau lafalnya, tetapi memiliki makna sama atau hampir sama.
Contoh:
Hamil, mengandung, dan bunting.
Antonim berlawanan dengan sinonim, bentuk kebahasaan tertentu akan dapat
dikatakan berantonim kalau bentuk itu memiliki makna yang tidak sama dengan
makna yang lainnya. Dengan kata lain, penyangkalan terhadap entitas kebahasaan
yang satu akan menegaskan eksistensi yang satunya lagi. Contoh:
Panas dan dingin.
Kata abstrak menunjuk pada konsep atau gagasan. Kata-kata abstrak sering
dipakai untuk mengungkapkan gagasan yang cenderung rumit. Kalau kata-kata
konkret lazim digunakan untuk membuat deskripsi, beberapa juga untuk narasi,
maka kata-kata abstrak lazim digunakan untuk membuat persuasi dan/atau
argumentasi. Contoh:
4
Sedangkan Peyorasi adalah perubahan makna dari yang baru ke yang lama
ketika yang lama dianggap masih tetap lebih tinggi dan lebih tepat nilai rasa serta
konotasinya dibandingkan dengan makna yang baru. Contoh:
‘efektif’ dan ‘efisien’ yang dulunya berusaha untuk diganti menjadi ‘sangkil’ dan
‘mangkus’. Akan tetapi usaha tersebut tidak berhasil dan kemudian orang kembali
menggunakan kalimat ‘efektif’ dan ‘efisien’.
2.4 PERISTILAHAN
Istilah dapat didefinisikan sebagai kata atau gabungan kata yang dapat dengan
cermat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan atau sifat yang khas di
bidang kehidupan dan cabang ilmu pengetahuan tertentu.
Bentuk-bentuk kebahasaan yang hanya lazim digunakan dalam bidang
tertentu dapat dikatakan sebagai bentuk-bentuk yang sifatnya khusus. Sebagai
imbangan dari kata-kata yang sifatnya khusus adalah kata-kata yang sifatnya
umum, general, atau universal. Bentuk-bentuk yang universal biasanya
memberikan alternatif makna yang tidak hanya satu. Maka, dengan alternatif
makna yang banyak itu, kandungan maksud yang dimilikinya juga banyak.
Verba Semitransif adalah verba yang objeknya boleh ada dan boleh juga
tidak ada. Contoh:
(1) Ayah sedang membaca koran.
(2) Ayah sedang membaca.
1. Jika prefiks tertentu mutlak diperlukan untuk mengubah kelas kata dari dasar
tertentu menjadi verba, prefiks itu tinggi letaknya dalam hierarki penurunan
verba. Contoh:
(1) Darat (nomina) mendarat (verba)
(2) Kuning (adjektiva) menguning (verba)
(3) Satu (numeralia) bersatu (verba)
2. Jika prefiks tertentu digunakan bersama-sama dengan sufiks tertentu dan
kehadiran dua afiks itu terpadu dan maknanya pun tak terpisahkan, dalam
hierarki penurunan verba kedua afiks yang bersangkutan mempunyai tempat
yang sama tinggi. Contoh:
(1) Jatuh (verba) kejatuhan (verba)
(2) Banjir (nomina) kebanjiran (verba)
3. Jika prefiks tertentu terdapat pada verba dengan dasar nomina yang bersufiks
tertentu, prefiks itu lebih tinggi letaknya daripada sufiks dalam hierarki
penurunan verba. Contoh:
(1) Halangan berhalangan
(2) Kaitan berkaitan
4. Jika prefiks tertentu digunanakan bersama-sama dengan sufiks tertentu,
sedangkan hubungan antara sufiks dan dasar telah menumbuhkan makna
tersendiri, dan penambahan prefiks itu tidak mengubah makna leksikalnya
(makna yang melekat pada kata) maka tempat sufiks dalam hierarki
penurunan verba lebih tinggi daripada prefiks. Contoh:
(1) Kuning kuningkan menguningkan
(2) Adil adili mengadili
5. Jika prefiks tertentu digunakan bersama-sama dengan sufiks tertentu,
hubungan antara prefiks dan dasar kata telah menghasilkan perubahan kelas
kata, dan penambahan sufiks tidak mengubah kelas kata lagi, maka dalam
hieraki penurunan verba prefiks itu lebih tinggi daripada sufiks. Contoh:
(1) Asas berasas berasaskan
(2) Suami bersuami bersuamikan
6. Jika prefiks tertentu digunakan bersama-sama dengan sufiks tertentu, dan
gabungan keduanya bukan merupakan konfiks tetapi menentukan makna
13
Urutan Afiks
Berikut kemungkinan penggabungan prefiks dan sufiks:
1. Jika dua prefiks terdapat pada satu dasar yang sama, urutan yang pertama
adalah prefiks meng- yang selalu menduduki posisi paling kiri, kemudian
14
menyusul prefiks per- atau ber- sehingga terjadi bentuk memper- dan
member-. Contoh:
(1) Memperjuangkan.
(2) Memberlakukan.
2. Meng- disatu pihak dengan di- dan ter- dipihak lain menduduki posisi yang
sama dalam susunan ururtan verba.
3. Prefiks ke- tidak dapat bergabung dengan prefiks lain.
4. Sufiks –kan, -i, dan –an tidak dapat saling bergabung.
Dengan demikian, urutan afiks dalam bahasa Indonesia adalah sebagai
berikut:
1. Meng- -kan
Di- +
Ter- -i
2. Meng-
+ Per-
Di-
3. Meng- -kan
+ Per- +
Di- -i
4. Meng-
Di- + Ber- + -kan
Ter-
5. Ke- + -an
-i
Morfofonemik
Prefiks meng-, per-, ber-, dan ter- mengalami perubahan bentuk sesuai dengan
fonem awal dasar kata yang dilekatinya, Proses berubahnya suatu fonem menjadi
fonem lain sesuai dengan fonem awal atau fonem yang mendahuluinya dinamakan
proses morfofonemis. Berikut adalah kaidah morfofonemik untuk semua prefiks
dan sufiks:
1. Morfofonemik Prefiks meng-
15
1. Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /a/. /i/. /u/, /e/,
/o/, /k/, /g/, /h/, atau /x/, bentuk meng- tetap meng-. Contoh:
(1) Meng + ambil mengambil
(2) Meng + kalahkan mengalahkan
2. Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan /l/, /m/, /n/, /ny/, /ng/,
/r/, /y/, atau /w/, bentuk meng- berubah menjadi me-. Contoh:
(1) Meng + latih melatih
(2) Meng + wajibkan mewajibkan
3. Jika ditambah pada dasar yang mulai dengan fonem /d/ atau /t/, bentuk
meng- berubah menjadi men-/. Contoh :
(1) meng- + datangkan mendatangkan
(2) meng- +tanamkan menanamkan
4. Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fenom/b/,/p/ atau/f/
bentuk meng- berubah menjadi mem-/. Contoh :
(1) Meng + patuhi mematuhi
(2) Meng + fitnah menfitnah
Akan tetapi peluluhan itu tidak terjadi jika fenom /p/ merupakan bentuk
yang mengawali prefiks per- atau dasarnya berawalan dengan per- dan
pe- tertentu. Contoh :
(1) Meng- + pertaruhkan mempertaruhkan
(2) Meng- + pedulikan mempedulikan
5. Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fenom /c/, /j/, dan /s/,
bentuk meng- berubah menjadi meny-. Didalam ejaan yang dibakukan,
bentuk meny- yang bergabung dengan huruf <c>, <j>, dan <sy> pada
awal dasar disederhanakan menjadi men-. Contoh :
(1) Meng- + satukan menyatukan
(2) Meng- +cari mencari
6. Jika ditambahkan pada dasar yang bersuku satu, bentuk meng- berubah
menjadi menge-/. Disamping itu, ada bentuk yang tidak baku, yaitu yang
mengikuti pola 1-5 diatas tanpa adanya peluluhan. Contoh:
(1) Meng- + bom mengebom
(2) Meng- + cek mengecek
16
7. Morfofonemik Sufiks –i
Sepertinya halnya dengan –kan, sufiks –i juga tidak mengalami perubahan
jika ditambahkan pada dasar kata apapun. Hanya saja perlu diingat bahwa
kata dasar yang berakhir dengan fonem /i/ tidak dapat diikuti oleh sufiks –i.
Contoh:
(1) Memberii (salah)
(2) Mengisii (salah)
19
2.5.2 ADJEKTIVA
Adjektiva adalah kata yang memberikan keterangan yang lebih khusus tentang
suatu yang dinyatakan oleh nomina (kata benda) dalam kalimat.
Adjektiva waktu mengacu ke masa proses, perbatan, atau keadaan berada atau
berlangsung sebagai pewatas. Contoh:
Lama, segera, jarang, singkat, lambat, sering, mendadak, larut.
5. Adjektiva Jarak
Adjektiva jarak mengacu ke ruang antara dua benda, tempat, atau maujud
sebgai pewatas nomina. Contoh:
Jauh, suntuk, akrab, rapat, renggang, lebar, dekat
6. Adjektiva Sikap Batin
Adjektuva sifat batyin bertalian dengan pengacuan suasana hatyi atau
perasaan. Contoh:
Bahagia, cemas, jahat, kasih, kagum, yakin, takut, risau, ngeri.
7. Adjektiva Cerapan
Adjektiva cerapan bertalian dengan pancaindera, yakni penglihatan,
pendengaran, penciuman, atau penghiduan, perabaan, dan pencitarasaan.
Contoh:
Gemerlap, bising, anyir, basah, enak.
Ciri yang menarik pada adjektiva cerapan dalam kalimat ialah sering
terjadinya gejala sinestasi. Artinya, ada penggabungan indera yang bertalian
dengan nomina dan adjektiva yang mengacu kepada dua macam cerapan yang
berbeda. Contoh:
(1) Sungguh harum namanya.
(2) Kucing itu tajam penglihatan matanya.
Berarti ‘insaf akan keadaan sosial politik’. Sehingga dapat dikatakan lebih
sadar, kurang sadar, sangat sadar
(2) Pasien itu hingga sekarang belujm sadar. (adjektiva tak bertaraf)
Berarti ‘keadaan ingat akan dirinya’
Pertarafan Adjektiva
Adjektiva bertaraf dapat menunjukkan berbagai tingkat kualitas atau intensitas
dan berbagai tingkat bandingan.
a. Tingkat Kualitas
Berbagai tingkat kualitas secara relatif menunjukkan tingkat intensitas yang
lebih tinggi atau lebih rendah.
1. Tingkat Positif
Tingkat positif yangb memerikan kualitas ataun intensitas maujud yang
diterangkan, dinyatakan oleh adjektiva tanpa pewatas. Ketiadaan kualitas
dinyatakan dengan pemakaian pewatas seperti tidak atau tak. Contoh:
(1) Indonesia kaya akan hutan.
Indonesia tidak kaya akan hutan.
(2) Suasana kini sudah tenang.
Suasana kini sudah tak tenang.
2. Tingkat Intensif
Tingkat intensif, yang menekankan kadar kualitas atau intensitas,
dinyatakan dengan memakai pewatas benar, betul, atau sungguh.
23
6. Tingkat Atenuatif
Tingkat atenuatif, yang memerikan penurunan kadar kualitas atau
pelemahan intensitas, dinyatakan dengan memakai pewatas agak atau
sedikit. Pada adjektiva warna, tingkat atenuatif dinyatakan dengan bentuk
ke-an yang direduplikasi. Contoh:
(1) Gadis yang agak malu itu diterima jadi pegawai.
(2) Warna bajunya kekuning-kuningan.
b. Tingkat Bandingan
Pada pembandingan dua maujud atau lebih dapat disimpulkan bahwa tingkat
kualitas atau intensitasnya dapat setara atau tidak setara.
1. Tingkat Ekuatif
Tingkat ekuatif mengacu ke kadar kualitas atau intensitas yang sama atau
hampir sama. Peranti bahasa yang digunakan ialah
1. bentuk klitik se- yang ditempatkan di depan adjektiva.
2. Pemakaian sama + adjektiv + -nya + dengan diantara dua nomina.
3. Pemakaian sama + adjektiva + -nya di belakang dua nomina yang
dibandingkan. Contoh:
(1) Tuti secantik ibunya.
(2) Kota Garut sama ramainya dengan Ciamis.
(3) Perundingan yang kemarin dan yang pertama tidak berjalan
sama lancarnya.
2. Tingkat Komparatif
Tingkat komparatif mengacu ke kadar kualitas atau intensitas yang lebih
atau yang kurang. Pewatas yang dipakai ialah lebih ... dari (pada)...,
kurang ... dari(pada), dan kalah ... dengan/ dari(pada). Contoh:
(1) Mangga arumanis lebih enak dari(pada) mangga golek.
(2) Gajinya kalah besar dari(pada) yang saya terima.
3. Tingkat Superlatif
Tingkat Superlatif mengacu ke tingkat kualitas atau intensitas yang
paling tinggi diantara semua acuan adjektiva yang dibandingkan. Tingkat
itu dalam kalimat dinyatakan dengan pemakaian afiks ter- atau pewatas
25
2. Adjektiva yang bersufiks –if, -er, -al, -is setakat ini diserap dari bahasa
Belanda atau bahasa Inggris di samping nomina yang bertalian makna.
Contoh:
Adjektiva nomina
Aktif aksi
Parlementer parlemen
3. Adjektiva bentuk berulang dapat muncul jika berfungsi predikatif atau
adverbial. Predikat adjektival yang berbentuk ulang menandakan
kejamakan, keanekan, atau keintensifan. Perulangan itu terjadi melalui
cara (1) perulangan penuh, (2) perulangan sebagian, dan (3) perulangan
salin suara. Contoh:
i. Buah pohon rambutan itu kecil-kecil.
ii. Pertanyaan itu dijawabnya secara awur-awuran.
iii. Pakaiannya compang-camping.
4. Adjektiva gabungan sinonim atau antonim yang mirip dengan bentuk
berulang. Contoh:
(1) Cantik jelita
(2) Tua muda
5. Adjektiva majemuk ada yang merupakan gabungan morfem terikat
dengan morfem bebas dan ada yang merupakan gabungan dua morfem
bebas (atau lebih). Contoh:
(1) Asusila, multinasional, subtropis
(2) Baik budi, besar kepala, cacat mental
2.5.3 ADVERBIA
Dilihat dari tatarannya, perlu dibedakan adverbia dalam tataran frasa dari adverbia
dalam tataran klausa. Dalam tataran frasa, adverbia adalah kata yang menjelaskan
verba, adjektiva, atau adverbia lain. Sementara dalam tataran klausa, adverbia
mewatasi atau menjelaskan fungsi fungsi sintaksis.
27
2.5.5 PRONOMINA
Pronomina adalah kata yang dipakai untuk mengacu kepada nomina lain. Ada tiga
macam pronomina.
b. Pronomina penunjuk tempat ialah sini, situ, atau sana. Karena menunjuk
lokasi, pronomina ini sering digunakan dengan preposisi pengacu arah,
di/ke/dari. Contoh:
(1) Kita akan bertolak dari sini.
(2) Barang-barangnya ada di situ.
(3) Siapa yang mau pergi ke sana?
c. Pronomina penunjuk ihwal ialah begini, begitu. Contoh:
(1) Dia mengatakan begini.
(2) Jangan berbuat begitu lagi.
d. Pronomina penanya adalah pronomina yang dipakai sebagai pemarkah
pertanyaan. Berikut ini adalah kata penanya sesuai dengan maknanya.
a. Siapa (menanyakan orang)
b. Apa (menanyakan barang)
c. Mana (menanyakan pilihan)
d. Mengapa, kenapa (menanyakan sebab)
e. Kapan, bila(mana) (menanyakan waktu)
f. Di mana, ke mana (menanyakan tempat)
Dari mana
g. Bagimana (menanyakan cara)
h. Berapa (menanyakan jumlah/ urutan)
Sebenarnya ditinjau dari segi bentuknya, sebenarnya hanya ada dua unsur
yang mendasari semua kata penanya, yakni apa dan mana. Dua unsur tersebut
dikembangkan dengan mengikuti pola berikut.
Si Apa
Meng- Siapa
Men- Mengapa
+ apa
Ken- Kenapa
K-n Kapan
(ke)ber- (ke)berapa
Di Di mana
Ke + mana Ke mana
Dari Dari mana
34
Bagai Bagaimana
Bila Bilamana
2.5.6 NUMERALIA
Numeralia atau kata bilangan adalah kata yang dipakai untuk menghitung
banyaknya maujud (orang, binatang, atau barang) dan konsep.
Frasa Numeralia
Umumnya, frasa numeralia dibentuk dengan menambahkan kata penggolong.
Contoh:
(1) Dua ekor kerbau
(2) Lima orang penjahat
(3) Tiga buah rumah
Berikut ini adalah beberapa kata penggolong dalam bahasa Indonesia.
Orang untuk manusia
Ekor untuk binatang
Buah untuk buah-buahan atau hal lain yang di luar golongan
Manusia dan binatang
Batang untuk pohon, rokok, atau barang lain yang berbentuk
bulat panjang
Bentuk untuk cincin, gelang, atau barang lain yang dapat
dibengkokkan atau dilenturkan
Bidang untuk tanah, sawah, atau barang lain yang luas dan datar
Belah untuk mata, telinga, atau benda lain yang berpasangan
Helai untuk kertas, rambut, kain, atau benda lain yang tipis dan
halus
Bilah untuk pisau, pedang atau benda lain yang tajam
Utas untuk benang, tali, atau benda lain yang kecil dan
panjang
Potong untuk baju, celana, atau bagian/ potong suatu benda
Tangkai untuk bunga, pena, atu benda lain yang bertangkai
Butir untuk kelereng, telur, atau benda lain yang bulat dan
kecil
Pucuk untuk surat atau senapan
Carik untuk kertas
37
2.5.7.1 PREPOSISI
Preposisi yang juga disebut kata depan, ditinjau dari perilaku semantisnya,
menandai berbagai hubungan makna antara konstituen di depan preposisi tersebut
dengan konstituen di belakangnya. Peran semantis preposisi yang lazim dalam
bahasa Indonesia adalah sebagai penanda hubungan: (1) tempat, (2) peruntukan,
(3) sebab, (4) kesertaan atau cara, (5) pelaku, (6) waktu, (7) ihwal, dan (8) milik.
Contoh:
(1) Pergi ke pasar.
(2) Surat untuk ibu.
38
2.5.7.2 KONJUNGTOR
Konjungtor yang juga dinamakan kata sambung, adalah kata tugas yang
menghubungkan dua satuan bahasa yang sederajat: kata dengan kata, frasa dengan
frasa, atau klausa dengan klausa. Contoh:
(1) Hidup atau mati kita bergantung pada upaya kita sendiri.
(2) Saya mau pergi kalau pekerjaan rumah saya selesai.
Bentuk seperti karena, sejak, dan setelah dapat menghubungkan kata, frasa,
ataupun klausa. Dalam hubungannya dengan kata dan frasa bentuk-bentuk itu
bertindak sebagai preposisi, dalam hubungannya dengan klausa, bentuk-bentuk itu
bertindak sebagai konjungtor. Sehingga tampak bahwa ada bentuk yamg hanya
dapat berfungsi sebagai preposisi, ada bnetuk yang hanya berfungsi sebagai
konjungtor, dan ada bentuk yang dapat berfungsi baik sebagai preposisi maupun
sebagai konjungtor.
39
2.5.7.3 INTERJEKSI
42
Interjeksi atau kata seru adalah kata tugas yang mengungkapkan rasa hati
pembicara. Secara struktural interjeksi tidak bertalian dengan unsur kaimat yang
lain. Berbagai interjeksi dapat dikelompokkan menurut perasaan yang
diungkapkannya seperti berikut.
1. Interjeksi kejijikan: bah, cih, cis, ih, idih
2. Interjeksi kekesalan: brengsek, sialan, buset, keparat
3. Interjeksi kekaguman atau kepuasan: aduhai, amboi, asyik
4. Interjeksi kesyukuran: syukur, alhamdulillah
5. Interjeksi harapan: insya Allah
6. Interjeksi keheranan: aduh, aih, ai, li, duilah, eh, oh, ah
7. Interjeksi kekagetan: astaga, astagfirullah, masyaallah
8. Interjeksi ajakan: ayo, mari
9. Interjeksi panggilan: hai, he, eh, halo
10. Interjeksi simpulan: nah
Contoh:
(1) Bah, pergi kau dari rumah ini!
(2) Sialan, baru masuk sudah diberi banyak kerjaan rumah!
2.5.7.4 ARTIKULA
Artikula adalah kata tugas yang mebatasi makna nomina. Dalam bahasa Indonesia
ada kelompok artikula:
(1) Yang bersifat gelar. Pada umumnya bertalian dengan orang atau hal yang
dianggap bermartabat. Berikut ini jenis-jenisnya.
a. Sang : untuk manusia tau benda unik dengan maksud untuk
meninggikan martabat; kadang-kadang juga dipakai
dalam gurauan atau sindiran;
b. Sri : untuk manusia yang bermartabat tinggi dalam
keagamaan atau kerajaan;
c. Hang : untuk laki-laki yang dihormati dan pemakaiannya
terbatas pada nama tokoh dalam cerita sastra lama;
d. Dang : untuk wanita yang dihormati dan pemakaiannya
terbatas pada nama tokoh dalam cerita sastra lama.
43
Contoh:
(1) Sang Merah Putih berkibar dengan jaya di seluruh tanah air.
(2) Dang Merdu adalah tokoh yang terkenal dalam hikayat sastra
Melayu.
(2) Yang mengacu ke makna kelompok yakni para. Karena artikula
mengisyaratkan ketaktunggalan, maka nomina yang diiringinya tidak
dinyatakan dalam bentuk kata ulang. Contoh:
Para guru, para ilmuwan, para petani.
(3) Yang menominalkan. Artikula si yang menominalkan dapat mengacu ke
makna tunggal atau generik, bergantung pada konteks kalimatnya. Berikut
adalah ikhtisar pemakaian artikula si:
1. Di depan nama diri pada ragam akrab atau kurang hormat: si Ali, si Tomi,
si Badu;
2. Di depan kata untuk mengkhususkan orang yang melakukan sesuatu atau
terkena sesuatu: si pengirim, di alamat, si terdakwa;
3. Di depan nomina untuk dipakai sebagai timanga, panggilan, atau ejekan:
yang disebut itu memiliki sifat atau mirip sesuatu: si belang, si bungsu, si
kumis;
4. Dalam bentuk verba yang menandakan dirinya menjadi bersifat tertentu:
bersitegang, bersikukuh, bersikeras, bersilengah;
5. Pada berbagai nama tumbuhan dan binatang: siangit, sibusuk, sidingin,
simalakama, siamang, sigasir, sikikih.
Kata yang dapat juga dimasukkan dalam jenis artikula yang
menominalkan jika mengantarai nomina dengan pewatasnya.
Contoh:
Yang terhormat, yang berkepentingan, yang hadir.
Frasa endosentrik koordinatif adalah frasa yang terdiri atas unsur unsur yang
kedudukannya setara, yang satu tidak tergantung pada yang lain. unsur unsur frasa
tersebut secara potensial dan faktual dapat dihubungkan baik dengan konjungtor
tunggal: dan, atau, tetapi, maupun dengan konjungtor terbagi seperti:
baik...maupun..., entah...entah.... Frasa endosentrik koordinatif terdapat pada frasa
endosentrik yang berinduk jamak (beraneka hulu). Contoh:
(1) Suami isteri
(2) Pembinaan dan pengembangan
(3) Belajar atau bekerja
(4) Rumah pekarangan
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dari hasil pembahasan tentang Kata dan Frasa, maka diambil kesimpulan:
1. Kata adalah unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan yang merupakan
perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam
berbahasa.
2. Diksi mempersoalkan kesanggupan sebuah kata dapat juga frasa atau
kelompok kata untuk menimbulkan gagasan yang tepat pada imajinasi
pembaca atau pendengarnya.
3. Peranti-peranti diksi ada 11, yaitu:
1. Peranti Kata Berdenotasi atau Berkonotasi
2. Peranti Kata Bersinonim dan Berantonim
3. Peranti Kata Bernilai Rasa
4. Peranti Kata Konkret dan Abstrak
5. Peranti Keumuman dan Kekhususan
6. Peranti Kelugasan Kata
7. Peranti Penyempitan dan Perluasan Makna Kata
8. Peranti Keaktifan dan Kepasifan Kata
9. Peranti Ameliorasi dan Peorasi
10. Peranti Kesenyawaan Kata
11. Peranti Kebakuan dan Ketidak Bakuan Kata
4. Peristilahan adalah kata atau gabungan kata yang dapat dengan cermat
mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan atau sifat yang khas di
bidang kehidupan dan cabang ilmu pengetahuan tertentu
5. Kelas kata ada 8, yaitu:
1. Verba
2. Adjektiva
3. Adverbia
4. Nomina
52
5. Pronomina
6. Numeralia
7. Kata Tugas
8. Kategori Fatis
6. Frasa adalah satuan gramatik yang terdiri atas dua kata atau lebih yang
tidak melampaui batas fungsi unsur klausa.
7. Klasifikasi Frasa ada 7, yaitu:
1. Frasa Endosentrik
2. Frasa Eksosentrik
3. Frasa Nominal
4. Frasa Verbal
5. Frasa Adjektival
6. Frasa Numeral
7. Frasa Proposisional
3.2 Saran
Dinamika perkembangan kebahasaan tidak dapat dihindari. Begitu pula dengan
kemajuan peradaban. Oleh karenanya, sebagai warga negara Indonesia yang
mengaku berbahasa kebangsaan satu yakni bahasa Indonesia, maka dipandang
vital penguasaan penggunaan bahasa secara baik dan benar. Sehingga penajaman
pengajaran materi bahasa Indonesia dalam pendidikan formal perlu terus
ditingkatkan, agar terwujudlah cita bangsa.
53
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Arifin, E. Zainal dan S. Amran Tasai. 1987. Cermat Berbahasa Indonesia.
Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa.
Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Http://www.ufroog.com/cerita-rakyat.html/4. Diakses: 30 Oktober 2017
Rahardi, Kunjana. 2010. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:
Erlangga.
Sukini. 2010. Sintaksis Sebuah Panduan Praktis. Surakarta: Yuma Pustaka.
54
LAMPIRAN