Anda di halaman 1dari 6

Hasyim Aidilichsan Muliawan

1606906793
Teknik Metalurgi dan Material

Filsafat Jawa dalam Bahasa dan Kehidupan Sehari-hari

Kebudayaan Jawa memiliki nilai-nilai kebijakasanaan yang dapat diaplikasikan ke dalam


kehidupan. Salah satu menjaga warisan budaya adalah dengan melewati pendidikan. Melalui
pendidikan nilai-nilai dari filsafat jawa dapat diserap kepada kalangan muda. Bahasa dan
kebudayaan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.
Percakapan dan proses pemberian ilmu dilakukan melalui bahasa dimana pesan pembicara
harus dapat dipengerti jelas oleh pendengarnya. Masyarakat Jawa memiliki ciri khas tersendiri
dalam bercakap dimana terdapat tingkatan dalam bahasa yang digunakan yang bergantung
kepada kondisi dan status orang yang menggunakan bahasa tersebut.

Terdapat banyak istilah dalam Bahasa Jawa yang dapat dijadikan acuan nilai dalam
kehidupan. Seperti pepatah “nrimo ing pandum” yang memiliki makna orang harus menerima
apa yang ia dapatkan yang merupakan pengendalian diri karena dalam hidup kita tidak selalu
mendapatkan apa yang kita inginkan. Istilah “wong urip sakdremo nglampahi” memiliki arti
orang hidup untuk menghayati kehidupannya sendiri dengan segala usaha, energi, hati dan
pikiran. Filsafat Jawa membuat kita menyadari ketika berhasil menyelesaikan masalah dalam
kehidupan kita akan bersyukur kepada Tuhan.

Macapat merupakan lagu tradisional Jawa dimana pada disetiap baitnya mengandung
beberapa pernyataan yang disebut sebagai ‘gatra’ dan etiap gatra mengandung beberapa suku
kata yang disebut sebagai ‘guru lagu’. Puisi dalam budaya Jawa terbagi menjadi tiga kategori
yaitu: ‘tembang cilik’, ‘tembang tengahan’, dan ‘tembang gedhe’. Mecapat termasuk dalam
kategori ‘tembang cilik’ dimana dapat dikategorikan menjadi 11 lagu yang mendeskripsikan
tingkatan kehidupan manusia dimulai dari masih dalam rahim hingga kematian.

1. Maskumambang: mensimbolisasikan embrio dalam Rahim yang masih belum diketahui


apakah laki-laki atau perempuan. Semua bergembira atas kabar kehamilan.
2. Mijil: Bayi telah dilahirkan ke dunia dan sudah diketahui apakah ia laki-laki atau
peremupan
3. Kinanthi: Telah dapat berjalan, ia akan mengikuti apa yang dilakukan sekitarnya
4. Sinom: Remaja, merupakan salah satu fase terpenting dalam kehidupan karena pada
tingkatan ini mereka mencari ilmu dan mengembangkan kepribadian
5. Asmaradana: Ketika mulai memiliki ketertarikan dan perasaan kepada lawan jenis
6. Gambuh: Ketika sudah mulai menjalin hubungan antara lawan jenis dan ingin memulai
kehidupan Bersama
7. Dandanggula: Menjelaskan orang yang bahagia karena keinginannya tercapai seperti
telah mendapatkan pasangan, rumah, dan kehidupan berkeluarga
8. Durma: Orang yang berkecukupan dan membantu mereka yang membutuhkan
9. Pangkur: Memiliki arti meninggalkan dimana telah menghindari hal-hal negatif dalam
hidup
10. Megatruh: Jiwa yang meninggalkan raga karena sudah waktunya untuk bertemu sang
pencipta
11. Pucung: Tubuh yang dibalut dengan pakaian putih sebelum dikuburkan.

Sinom merupakan tingkatan hidup pada masa muda yang ditunjukan untuk mencari ilmu
sebanyak-banyaknya. Melalui ilmu kita bisa melakukan apa saja, tanpa ilmu orang akan
menjadi korban kekejaman dunia ini. Dandanggula mengajarkan kita agar berguna bagi orang
lain selama kita hidup. Karena melakukan hal tersebut kita menjadi orang yang baik hati
sehingga orang lain dapat mengikuti kelakuan kita. Durma merupakan belajar memberi, dalam
kehidupan kita selamanya tidak menjadi penerima namun ada kalanya kita juga memberi.
Hidup kadang berada dibawah dan kadang pula berada diatas. Ketika sedang berada diatas
merupakan waktu bagi kita untuk memberi dan membagi kebahagiaan kepada mereka yang
sedang dalam kesulitan.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa memegang teguh konsep tata krama dan
tanggap ing sasmita. Ketika seseorang berlaku tidak sopan seperti anak muda yang tidak
mengatakan permisi dan membungkuk didepan orang tua yang ia lewati maka orang tersebut
dianggap tidak sopan dan tidak memiliki tata krama. Sebagai masyarakat Jawa yang baik harus
memiliki rasa tanggap ing sasmita yang berarti kemampuan untuk membaca situasi. Hal ini
terjadi ketika seseorang mengatakan sesuatu yang bukan merupakan maksud langsung yang
ingin ia utarakan. Dalam percakapan terdapat tingkatan kesopanan yang didasarkan kepada
bahasa yang dipakai. Tingkatan dalam Bahasa Jawa terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu Ngoko
(Ng) tingkatan rendah, Krama Madya (KM) tingkatan menegah, dan Krama Inggil (KI)
tingkatan tinggi. Tingkatan-tingkatan tersebut menjadikan Bahasa Jawa memiliki tiga
penyebutan ungkapan untuk satu makna yang sama. Hal tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:

1. KI : Mengapa panjengan sampun dhahar?


2. KM : Napa sampenyan mpun nedho?
3. Ng : Apa kowe wis mangan?

Ketiga ungkapan tesebut sama-sama memiliki maksud untuk menanyakan apakah


seseorang sudah makan atau belum. Namun penyebutannya didasari siapa yang melakukan dan
menunjukan tingkat kesopanan orang yang menanyakan.

Tata krama merupakan gabungan dari dua kata yaitu tata dan krama. Kata tata dapat
ditambahkan imbuhan me- menjadi kata kerja “menata” yang memiliki arti mengatur dan dapat
menjadi kata benda yaitu “tatanan” yang berarti aturan. Krama dapat diartikan sebagai bahasa
sehingga kata tata krama bisa diartikan sebagai aturan dalam berbahasa. Sebagai contoh dapat
dilihat ilustrasi berikut:

4. Bapak arep ngeterake (kata kerja) adik (objek) menyang stasiun.


Artinya : Bapak akan menemani adik ke staisun
5. Adik arep nderekake (kata kerja) Bapak (Objek) menyang stasiun.
Artinya : Adik akan ditemani bapak ke stasiun

Kalimat nomor 4 dan 5 memiliki makna yang sama akan tetapi cara penggunaan kata kerja
terhadap objeknya merupakan hal yang berbeda dalam masyarakat Jawa. Dalam kalimat 4
objek adik memiliki umur yang lebih muda dibandingkan dengan bapak sehingga dipakai
tingkatan Ngoko yaitu ngeterake. Dalam kalimat nomor 5 objek bapak memiliki umur yang
lebih tua sehingga diperlukan bahasa dengan tingkatan kesopanan yang lebih tinggi yaitu
nderekake. Ketika aturan tentang umur ini tidak digunakan dalam percakapan maka akan
dianggap sebagai bentuk ketidaksopanan. Pemakaian tingkatan dalam Bahasa Jawa menurut
pandangan usia dapat mengikuti aturan sebagai berikut:
• Apabila pembicara lebih tua dari pendengar maka dapat digunakan tingakatan Ngoko
• Apabila pembicara dan pendengar memiliki usia yang sama maka pembicara sebaiknya
menggunakan tingkatan Krama Madya
• Apabila pembicara jauh lebih muda dari pendengar maka pembicara lebih baik
menggunakan Krama Inggil
Pemilihan tingakatan bahasa selain didasarkan pada factor usia dapat juga dilakukan
berdasarkan faktor pendidikan, jabatan, dan kekayaan. Pada faktor ini mungkin tindak
mengikuti aturan tentang usia dimana pembicara yang lebih tua menggunakan Krama Inggil
kepada pendengar yang lebih muda karena didasari status sosial. Kedekatan seseorang pun juga
dapat menjadi faktor penentu dalam pemilihan tingkatan bahasa. Krama Inggil digunakan bagi
mereka yang bercakap namun belum mengenal satu sama lain agar sopan. Ketika sudah terjalin
hubungan yang dekat mereka mulai menurunkan tingkatan bahasa hingga memakai tingkatan
Ngoko.
Sebagai seseorang yang baik kita harus memiliki rasa tanggap ing sasmita yaitu
kemampuan untuk menangkap maksud yang tidak disampaikan secara langsung. Dalam
tanggap ing sasmita apa yang ia maksud dapat berbeda dari apa yang ia ucapkan. Hal itu
dilakukan karena dapat memalukan lawan bicara apabila maksud si pembicara disampaikan
secara langsung. Sebagai contoh dapat dilihat pada ilustrasi percakapan ayah dan anak yang
pulang malam berikut:

Ayah : Iki isih jam piro kok wis mulih ?


(Masih sore ini kok sudah pulang ?)
Anak : Ngapunten Pak, wonten acara dhateng sekolahan
(Maaf ayah, ada acara di sekolah)
Ayah : Ya, senajan akeh acara mosok ora ngerti waktu.
(Iya saya tau, tapi masa kamu gak tau waktu)
Anak : Inggih Pak ... mboten badhe kula wangsuli malih.
(Iya ayah, nanti aku tidak pulang telat lagi)

Pada kondisi diatas ayah menyapa anaknya dengan pertanyaanya Iki isih jam piro kok wis
mulih? ‘Masih sore kok sudah pulang?’. Pertanyaan seolah-olah menanyakan kehadiran
anaknya yang pulang lebih awal namun sebenarnya terdapat makna didalamnya yang
bermaksud menyindir anaknya yang pulang terlalu malam. Sebagai orang Jawa, sang anak
mengerti apa yang dimaksud oleh ayahnya dan meminta maaf. Ia meminta maaf secara
langsung dengan mengucapkan Ngapunten Pak, ‘Maaf ayah’, lalu ia menyebutkan sebabnya
ia pulang telat malam. Dalam budaya Jawa pulang larut malam merupakan suatu pantangan
sehingga ayahnya menanyakannya lagi ya, senajan akeh acara mosok ora ngerti waktu ‘Iya
saya tau, tapi masa kamu gak tau waktu’. Sebagai anak yang baik anaknya berjanji dengan
mengucpkan Inggih Pak ... mboten badhe kula wangsuli malih ‘Iya ayah, nanti aku tidak pulang
telat lagi’.

Menurut pandangan saya masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi etika dalam
kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat terlihat dari penggunan Bahasa Jawa sangat dipengaruhi
oleh kebudayaan Jawa. Melalui pemilihan bahasa yang diucapkan seseorang dapat dikatakan
berperilaku sopan atau tidak. Makna dari penggunaan bahasa yang telah diucapkan sehari-hari
dapat membentuk mental dan pola piker masyarakat Jawa dalam memandang kesopanan terkait
usia dan status yang dimiliki dalam tatanan sosial. Tata krama, dan tanggap ing sasmita
berperan penting dalam kesopanan di Jawa. Tata krama mengajarkan masyarakat Jawa untuk
dapat menempatkan dan melakukan hal yang sesuai dalam berkata-kata setiap harinya.
Tanggap ing sasmita mengajarkan kepada masyarakat untuk menjadi pribadi yang peduli dan
peka terhadap hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat.
Pada zaman modern ini nilai-nilai dari budaya Jawa masih dapat diambil dan diteladani
dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti kata pepatah ‘urip iku urup’ yang memiliki makna
hidup harus bermanfaat bagi orang lain. Dalam hidup yang harmonis seseorang tidak dapat
berbuat semaunya, ia harus memikirkan orang lain dan memiliki empati. Kita harus tetap
tenang dan sabar dalam menghadapi masalah yang dihadapi. Kita juga tidak dapat bergantung
pada orang lain, kita sepatutnya percaya diri tentang diri kita sendiri dan apa yang kita punya.
Nilai- nilai dari filsafat Jawa mengajarkan agar seorang manusia menjadi seorang yang
memiliki perilaku bijaksana dan tidak gegabah dalam mengambil keputusan.
Seperti pepatah dalam bahasa Jawa “Nguluruk Tanpo Bolo, Menang Tanpo Ngasorake,
Sekti Tanpo Aji-Aji, Sugih Tanpo Bondo’ yang memiliki makna berperang tanpa pasukan,
menang tanpa merendahkan, sakti tanpa memiliki musuh, dan kaya tanpa harta. Nguluruk tanpo
bolo mengajarkan bahwa untuk mendatangi medan perjuangan, apapun bentuknya itu,
termasuk perjuangan hidup, kita harus berani menghadapi siapa pun dan permasalahan apapun
tanpa harus selalu mengharapkan bantuan dari orang lain. Menang Tanpo Ngasorake
mengajarkan bahwa kemenangan hendaknya diraih dengan cara bijaksana tanpa harus
menjatuhkan dan mempermalukan lawan yang dikalahkan. Sekti Tanpo Aji-aji yang dimaksud
adalah suatu ilmu kebijaksanaan dimana dengan kesederhanaan yang dimiliki dapat menarik
dukungan dari masyarakat luas tanpa perlawanan dari musuh. Sugih Tanpo Bondo memiliki
arti kekayaan tidak dapat selalu diukur dengan harta, melalui ilmu dan kebijaksanaan seseorang
akan memiliki kekayaan didalam batinnya. Kehidupan seperti roda yang berputar terkadang
berada diatas dan terkadang berada dibawah sehingga disukai atau tidak kita harus dapat
beradaptasi di segala lingkungan.

Referensi :

Sukarno, S. (2010). The Reflection of the Javanese Cultural Concepts in the Politeness of
Javanese. K@Ta, 12(1), 59–71. https://doi.org/10.9744/kata.12.1.59-71

Budiman, M. A. (2012). Macapat: Javanese Philosophy. Prosiding Seminar Internasional


Multikultural & Globalisas, 44–54.

Anda mungkin juga menyukai