tata susila, tata pranataning basa miturut lungguhing tata krama utawa nggunakake
basa. Dari pendapat tersebut diatas saya menyimpulkan tata krama adalah merupakan
sikap, sopan santun, menghormati pada orang yang lebih tua atau yang dituakan.
Dalam menghormati orang lain tersebut mencakup penggunaan unggah-ungguhing
basa dalam berbasa jawa. Sedangkan unggah-ungguhing basa yang hanya berlaku
dalam bahasa jawa maksudnya adalah penerapan atau penggunaan bahasa jawa yang
mengenal tingkatan-tingkatan sesuai dengan umur, pangkat, atau jabatan. Menurut
penggunaannya dalam kehidupan sehari hari unggah-ungguhing basa jawa dibedakan
menjadi 3 macam yaitu krama alus atau inggil, krama lugu, dan ngoko. Krama alus
digunakan dalam percakapan antara orang yang lebih muda dengan yang lebih tua,
ditujukan kepada seseorang yang berkedudukan lebih tinggi, serta digunakan dalam
acara-acara formal sedangkan
krama lugu
masyarakat awam. Menurut kedudukan ilmu bahasa Jawa, krama lugu lebih rendah
dari krama alus. Jawa ngoko adalah bahasa dengan tingkatan tata krama paling
rendah, biasanya digunakan dalam percakapan sehari-hari, percakapan sesama teman,
seusia,
dan
atau
seprofesi.
budaya
asing
ke
Indonesia
menjadikan
masyarakat
Jawa
mulai
mulai
tutur kata yang keluar dari bibir seseorang, jika tutur kata yang keluar dari bibir
seseorang itu dipandang tidak sopan, jorok, kasar, kotor maka harga diri seseorang
tersebut dinilai rendah, demikian pula sebaliknya.
Saya tekankan disini, bahwa bahasa Jawa ngoko tidak dapat dipakai sebagai
bahasa penghormatan atau kesantunan dalam berbicara. Peminat bahasa Jawa
semakin sedikit bagi kalangan muda zaman sekarang. Jika saya mengamati dalam
kehidupan sehari hari, memang menggunakan bahasa jawa itu tidak praktis dan juga
tidak efisien, karena penggunaan bahasa jawa dengan penerapan unggah-ungguhing
basa yang benar, kita dituntut berfikir dengan siapa lawan bicara kita. Sebagai contoh
saya kutipkan sms dlm bentuk bahasa jawa yang dikirim seorang guru kepada kepala
sekolahnya dalam hal permohonan izin, sebagai berikut.
Ngaturaken sugeng dalu Bpk, nyuwun pangapunten badhe nyuwun pamit bilih
mbenjang dintn senin, dalem mboten saget mlampah amargi kala dinten setu kula
nampi alangan inggih menika dawah / kecelakaan wonten Piyungan saengga miturut
surat ket. dokter dumugi mbenjang senin dereng punparengaken mlmpah. Matur
sembah nuwun awit kawicaksanan kliyan paringipun izin dumateng kawula. Nuwun.
Nampak nyata bahwa perbedaan kedudukan jabatan sangat mempengaruhi
penggunaan bahasa jawa tersebut. Bandingkan sms tersebut dengan bentuk bahasa
Indonesia yang bentuknya lebih singkat dan efisien tetapi mengandung arti yang sama.
Slmt mlm pak, membritaukn bsk senin sya tdk dpt msk kerja krn sakit akibt kcelkaan di
Piyungan hr sbtu kmrn. Sekian dan trimksh ats izin n kbijakan Bpk. Terlihat nyata dari
kedua bahasa sms diatas memperkuat pendapat saya mengenai tidak efisiennya
penggunaan bahasa jawa dewasa ini, terlebih bagi generasi muda yang inginnya cepat
saji atau serba instan, apa yang diinginkan serba praktis dan cepat.
Saya sangat prihatin terhadap kondisi tersebut. Dimana kita sebagian besar lahir,
besar dan hidup di tanah air Indonesia khususnya Pulau Jawa. Berdasarkan sumber
yang telah saya wawancarai yaitu salah satu guru disekolah saya ataupun orang tua
saya dirumah mengatakan bahwa pada waktu beliau masih remaja seperti saya
sekarang ini, beliau sangat memegang teguh adat kesopanan. Contohnya adalah ketika
beliau mengendarai sepeda yg melewati orang yang lebih tua yang sedang
berkerumun, maka sikap yang beliau tunjukkan adalah turun dari sepedanya,
apabila suasana
Kita semua sebagai pelajar generasi bangsa yang bertujuan untuk membawa
bangsa Indonesia kearah yang lebih maju, lebih aman, lebih tentram, dan lebih makmur
wajib menanamkan nilai-nilai luhur yang telah dimiliki bangsa Indonesia kedalam hati,
pikiran dan perbuatan kita masing-masing. Sehingga budaya-budaya yang bersifat
positif dan membangun kepribadian bangsa yang tercermin dalam Pancasila tidak
hilang lenyap begitu saja ditelan sang waktu. Kita sebagai generasi bangsa harus
mampu menyaring pengaruh-pengaruh negatif dari dampak adanya globalisasi yang
masuk ke negara tercinta kita ini. Kita sebagai tumpuan harapan bangsa harus mampu
mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa kita dengan berbagai cara yang semaksimal
mungkin dapat kita lakukan. Semoga uraian singkat ini bermanfaat bagi generasi muda
pada khususnya dan masyarakat pada umumnya
http://festiagaby.blogspot.com/2011/10/kini-itu-hampir-tiada.html
Ya, mungkin itu yang akan terjadi dalam kurun waktu 20-30 tahun lagi jika bahasa
Jawa kian terpinggirkan di kalangan masyarakat pulau Jawa sendiri. Sebagai pemilik
bahasa Jawa, masyarakat Jawa seharusnya menjaga kelestarian dan kelangsungan
hidup bahasa Jawa di komunitasnya sendiri.Namun yang terjadi malah sebaliknya,
yang terjadi saat ini para kaum muda di pulau Jawa, khususnya mereka yang masih
menginjak usia sekolah hampir sebagian besar tidak menguasai bahasa Jawa alias
gagap berbahasa Jawa.
Hal itu bisa disebabkan oleh gencarnya serbuan beragam budaya asing dan arus
informasi yang masuk melalui bermacam sarana seperti televisi dan lain-lain.
Pemakaian bahasa gaul, bahasa asing dan bahasa seenaknya sendiri (campuran
jawa indonesia english)juga ikut memperparah kondisi bahasa Jawa yang semakin
lama semakin surut ini di Jawa.
Betapa tidak, saat ini murid tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah yang
mendapatkan pelajaran bahasa Jawa sebagian besar dari bangku sekolah.
Sementara pelajaran bahasa Jawa yang dulunya merupakan pelajaran wajib
sekarang hendak (bahkan sudah mulai) dihilangkan daftar mata pelajaran sekolah.
Sedangkan penggunaan bahasa Jawa di lingkungan rumah pun tidak lagi seketat
seperti di masa-masa dulu. Orang tua tidak lagi membiasakan bahasa Jawa sebagai
bahasa sehari-hari sebagai alat komunikasi di keluarga. Bahasa Indonesia atau
bahasa asing yang diajarkan kepada anak-anak mereka, entah dengan berbagai
macam pertimbangan. Bahasa Jawa, apalagi bahasa Krama Inggil pun kian
terabaikan. Dan juga yang kian memperparah adalah pandangan terhadap bahasa
Jawa dari generasi muda adalah bahasa orang-orang desa, orang udik, orang-orang
pinggiran, atau orang-orang jadul.
Jika pengembangan bahasa Jawa ini tidak berkelanjutan alias putus di generasi
muda sekarang maka benar-benar akan terjadi kepunahan bahasa Jawa di
daerahnya sendiri. Bagaimana bisa menjelaskan dan melatih anak cucu mereka jika
mereka sendiri tak mampu berbahasa Jawa.
Seperti bisa kita lihat di Surabaya atau wilayah sekitarnya yang notabene adalah
pemakai bahasa Ngoko kasar, coba ajak anak-anak muda berbicara bahasa Jawa
halus atau Krama Inggil yang njelimet dan ruwet itu, pastilah mereka akan gagap
dan kesusahan dalam berbahasa Jawa halus, karena kebiasaan berbahasa Jawa
mereka ya bahasa Ngoko kasar itu. (Saya pun juga demikian, meski asli Trenggalek
kemudian menghabiskan waktu kecil di Gresik, kemudian balik lagi ke Trenggalek
dan sekarang di Surabaya, akan tetapi dikarenakan tidak biasa berbahasa Jawa
halus ya lumayan gagap jika disuruh berbahasa Jawa Krama apalagi Krama Inggil
hehehehe... Maaf!). Dan hal seperti itu tidak hanya terjadi di wilayah Jawa Timur aja,
tetapi juga nyaris di seluruh pulau Jawa.
Mungkin untuk saat ini kaum ningrat di lingkungan keraton dan sekitarnya yang
bertutur bahasa super halus itu yang bisa melestarikan penggunaan dan
pengembangan bahasa Jawa ini. Atau juga masyarakat pedesaan yang masih
terbiasa berbahasa Jawa karena kondisi lingkungan yang menuntut hal seperti itu,
dan para dalang yang bahasanya aneh-aneh itu, hehehe.
Nah, coba bayangkan jika seluruh masyarakat pulau Jawa ini tak mampu lagi
berbahasa Jawa maka yang terjadi adalah hilangnya bahasa Jawa di pulau Jawa itu
sendiri
http://aindra.blogspot.com/2007/09/bahasa-jawa-punah-di-pulau-jawa.html