Anda di halaman 1dari 7

Kini Itu Hampir Tiada

Ajining dhiri gumantung saka obahing lathi


Peribahasa jawa tersebut berarti seseorang akan dihargai sesuai perkataannya.
Telah banyak memudarnya nilai-nilai luhur tentang tata karma yang semakin terlihat
jelas melalui bahasa-bahasa modern ataupun bahasa asing yang sering kita dengar.
Nilai-nilai luhur Bangsa Indonesia selama ini yang telah terangkum menjadi kesatuan
utuh dalam Pancasila yang sebetulnya juga bersumber dari nilai-nilai agama yang
tumbuh di Indonesia, mulai banyak ditinggalkan. Memudarnya nilai-nilai luhur tersebut
terlihat sangat jelas pada aksi kekerasan yang mengatasnamakan kekompakan atau
solidaritas kelompok-kelompok dalam masyarakat, seperti berkurangnya semangat
gotong royong terutama di kota-kota besar, adanya tawuran antar pelajar, tawuran antar
warga atau aksi teror atas nama agama. Rasa patriotisme sekarang telah berubah
menjadi rasa premanisme. Penggunaan kekerasan dalam menangani suatu masalah
antar kelompok dianggap sebagai solusi terbaik. Begitu juga dengan nilai musyawarah
untuk mencapai mufakat telah berubah menjadi tindakan saling memaksakan kehendak
dan suap-menyuap. Nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab telah memudar
menjadi kasus pelanggaran hak asasi manusia terutama hak-hak anak seperti kasus
perdagangan anak, pemerkosaan terhadap anak dan lainnya.
Terlihat sangat jelasnya memudarnya nilai-nilai luhur kepribadian bangsa
tersebut adalah dengan hilangnya tata krama bahasa jawa dan unggah-ungguhing
basa yang dulunya sangat dipegang teguh oleh Bangsa Indonesia khususnya
masyarakat Jawa. Seiring bergulirnya waktu, tata krama bahasa jawa dan unggahungguhing basa mulai hilang ditelan arus globalisasi yang semakin hari semakin
mendunia. Dengan adanya era globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang semakin maju, Bangsa Indonesia terkhusus masyarakat Jawa mulai
meninggalkan hal-hal yang diwariskan leluhurnya pada zaman dahulu, yaitu mengenai
tata krama dan unggah-ungguhing basa.
Dalam kamus besar bahasa Jawa, tata krama adalah tembung urmat ing
unggah-ungguhing basa. Sedangkan unggah-ungguhing basa adalah sopan santun,

tata susila, tata pranataning basa miturut lungguhing tata krama utawa nggunakake
basa. Dari pendapat tersebut diatas saya menyimpulkan tata krama adalah merupakan
sikap, sopan santun, menghormati pada orang yang lebih tua atau yang dituakan.
Dalam menghormati orang lain tersebut mencakup penggunaan unggah-ungguhing
basa dalam berbasa jawa. Sedangkan unggah-ungguhing basa yang hanya berlaku
dalam bahasa jawa maksudnya adalah penerapan atau penggunaan bahasa jawa yang
mengenal tingkatan-tingkatan sesuai dengan umur, pangkat, atau jabatan. Menurut
penggunaannya dalam kehidupan sehari hari unggah-ungguhing basa jawa dibedakan
menjadi 3 macam yaitu krama alus atau inggil, krama lugu, dan ngoko. Krama alus
digunakan dalam percakapan antara orang yang lebih muda dengan yang lebih tua,
ditujukan kepada seseorang yang berkedudukan lebih tinggi, serta digunakan dalam
acara-acara formal sedangkan

krama lugu

dipergunakan dalam percakapan

masyarakat awam. Menurut kedudukan ilmu bahasa Jawa, krama lugu lebih rendah
dari krama alus. Jawa ngoko adalah bahasa dengan tingkatan tata krama paling
rendah, biasanya digunakan dalam percakapan sehari-hari, percakapan sesama teman,
seusia,

dan

atau

seprofesi.

Masyarakat Jawa yang identik dengan budaya saling menghormati dan


kesantunan yang tinggi, mempergunakan tata krama bahasa sebagai salah satu bentuk
penghormatan. Mereka menggunakan bahasa sebagai bentuk rasa hormat kepada
lawan bicaranya. Akan tetapi, berkat adanya arus globalisasi yang mendorong
masuknya

budaya

asing

ke

Indonesia

menjadikan

masyarakat

Jawa

mulai

meninggalkan nilai-nilai luhur kesantunan dalam berbahasa. Alasan yang sangat


membenarkan nilai-nilai tata krama Jawa dan unggah-ungguhing basa

mulai

ditinggalkan adalah dengan ditetapkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional.


Penutur asli bahasa Jawa beralih bahasa menggunakan bahasa Indonesia karena tidak
mau dianggap ketinggalan zaman atau orang kuno.
Tata krama bahasa Jawa telah lenyap digantikan bahasa ngoko dan bahasa
Indonesia, bahkan bahasa jawa ngoko sering kali disisipi dengan kata yang tidak
sopan, kasar, jorok ataupun kotor dan tidak pantas untuk didengar. Padahal dalam
masyarakat Jawa dikenal adanya peribahasa ajining dhiri gumantung saka obahing
lathi peribahasa tersebut menekankan bahwa harga diri seseorang itu bergantung dari

tutur kata yang keluar dari bibir seseorang, jika tutur kata yang keluar dari bibir
seseorang itu dipandang tidak sopan, jorok, kasar, kotor maka harga diri seseorang
tersebut dinilai rendah, demikian pula sebaliknya.
Saya tekankan disini, bahwa bahasa Jawa ngoko tidak dapat dipakai sebagai
bahasa penghormatan atau kesantunan dalam berbicara. Peminat bahasa Jawa
semakin sedikit bagi kalangan muda zaman sekarang. Jika saya mengamati dalam
kehidupan sehari hari, memang menggunakan bahasa jawa itu tidak praktis dan juga
tidak efisien, karena penggunaan bahasa jawa dengan penerapan unggah-ungguhing
basa yang benar, kita dituntut berfikir dengan siapa lawan bicara kita. Sebagai contoh
saya kutipkan sms dlm bentuk bahasa jawa yang dikirim seorang guru kepada kepala
sekolahnya dalam hal permohonan izin, sebagai berikut.
Ngaturaken sugeng dalu Bpk, nyuwun pangapunten badhe nyuwun pamit bilih
mbenjang dintn senin, dalem mboten saget mlampah amargi kala dinten setu kula
nampi alangan inggih menika dawah / kecelakaan wonten Piyungan saengga miturut
surat ket. dokter dumugi mbenjang senin dereng punparengaken mlmpah. Matur
sembah nuwun awit kawicaksanan kliyan paringipun izin dumateng kawula. Nuwun.
Nampak nyata bahwa perbedaan kedudukan jabatan sangat mempengaruhi
penggunaan bahasa jawa tersebut. Bandingkan sms tersebut dengan bentuk bahasa
Indonesia yang bentuknya lebih singkat dan efisien tetapi mengandung arti yang sama.
Slmt mlm pak, membritaukn bsk senin sya tdk dpt msk kerja krn sakit akibt kcelkaan di
Piyungan hr sbtu kmrn. Sekian dan trimksh ats izin n kbijakan Bpk. Terlihat nyata dari
kedua bahasa sms diatas memperkuat pendapat saya mengenai tidak efisiennya
penggunaan bahasa jawa dewasa ini, terlebih bagi generasi muda yang inginnya cepat
saji atau serba instan, apa yang diinginkan serba praktis dan cepat.
Saya sangat prihatin terhadap kondisi tersebut. Dimana kita sebagian besar lahir,
besar dan hidup di tanah air Indonesia khususnya Pulau Jawa. Berdasarkan sumber
yang telah saya wawancarai yaitu salah satu guru disekolah saya ataupun orang tua
saya dirumah mengatakan bahwa pada waktu beliau masih remaja seperti saya
sekarang ini, beliau sangat memegang teguh adat kesopanan. Contohnya adalah ketika
beliau mengendarai sepeda yg melewati orang yang lebih tua yang sedang
berkerumun, maka sikap yang beliau tunjukkan adalah turun dari sepedanya,

menuntunnya melewati orang-orang tersebut sambil membungkukkan badannya dan


mengatakan ndherek langkung bu pak. Hal sekecil itu saya sorot dan saya tulis disini,
karena semangat kesadaran diri para remaja dewasa ini telah mulai luntur. Saya
melihat sendiri anak-anak remaja zaman modern sekarang langsung melewati orangorang berkerumun tersebut tanpa menunjukkan sikap apapun dan sepatah kata
apapun. Ya, anak remaja zaman globalisasi ini mulai terlihat cuek dengan kondisi di
sekitarnya. Contoh yang kedua adalah ketika orang tua sedang berbicara serius dan
seorang anaknya masuk bermaksud menyela, dengan lirikan mata dari orang tuanyapun si anak sudah sadar diri bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk menyela.
Sedangkan pada anak remaja saat ini, apalagi dengan kerlingan mata, dengan sikap
atau kata-katapun anak terkadang tidak dapat menangkap maksud dari orang tuanya,
yang dia tahu adalah keinginan kita terpenuhi tanpa memperdulikan alasan lainnya.
Contoh nyata lainnya yang biasa dijumpai oleh seorang guru,

apabila suasana

pembelajaran terlihat gaduh, maka guru memandangi anak penimbul kegaduhan


dengan maksud supaya si anak diam dan memperhatikan hal yang dijelaskan guru
tetapi kenyataannya anak tersebut berbalik memelototi gurunya sambil tertawa dan
kelihatan cuek sekali. Ya, itulah contoh pudarnya nilai-nilai tata krama dewasa ini.
Dari pemaparan berbagai contoh dan fakta diatas maka dapat diambil jalan
keluarnya untuk mencegah memudarnya nilai-nilai luhur tata krama dalam masyarakat
Jawa dengan hal berikut ini. Yang pertama melalui pendidikan dalam keluarga.
Keluarga merupakan cara yang pertama dan utama guna membekali seorang anak
untuk mengenali kebudayaannya sekaligus tata krama yang ada didalamnya. Orang tua
sebaiknya mengenalkan bahasa krama alus kepada anak sedini mungkin, karena
dengan begitu anak akan terbiasa menggunakan bahasa jawa alus. Dan supaya ketika
anak tersebut tumbuh remaja dia akan dapat menerapkan didikan orang tuanya dalam
berinteraksi dengan orang lain.
Yang kedua adalah peran serta pihak sekolah. Seharusnya pihak sekolah tetap
memberikan pengajaran muatan lokal atau bahasa jawa secara wajib, sekolah juga
harus merealisasikan tata krama yang terkandung dalam bahasa jawa tersebut dengan
cara menerapkan bertata krama dalam berbagai aspek berinteraksi di sekolah, dan juga
menerapkannya sewaktu pelajaran bahasa jawa berlangsung. Atau sekolah membuat

kebijakan dengan menetapkan 1 (satu) hari dalam setiap minggunya untuk


berkomunikasi dengan menggunakan bahasa jawa. Dalam hal ini saya belum pernah
menjumpainya secara nyata bahwa di sekolah yang khususnya ada di Pulau Jawa
menerapkan aturan untuk menggunakan bahasa jawa sehari penuh dalam setiap
minggunya.
Yang ketiga adalah peran serta pemerintah. Peranan pemerintah harus juga
diikutsertakan untuk mencegah semakin pudarnya tata krama bahasa jawa. Menurut
saya, sebaiknya Gubernur selaku Kepala Daerah menginstruksikan kepada Kepala
Dinas Pendidikan untuk mewajibkan semua staf pengajar dan guru saling berbicara
menggunakan tata krama bahasa jawa. Sebagai seorang pengajar dan guru yang
pastinya mayoritas lebih tua dari pada anak didiknya, hendaknya terlebih dahulu
memberikan contoh perealisasian tata krama bahasa jawa dalam berinteraksi dengan
orang lain. Supaya ketika disekolah diwajibkan satu hari penuh berkomunikasi
menggunakan tata krama bahasa jawa, siswa tidak ada alasan untuk mencibir dan
meremehkan gurunya karena gurunya tidak berperan aktif dalam perealisasian
mencegah pudarnya tata krama bahasa jawa. Peran serta Gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta yang dikenal kental dengan sebutannya Kota Pelajar, Kota Budaya harus
berperan serta dalam penanaman nilai-nilai luhur didalam kehidupan anak dan orang
dewasa. Jangan sampai kita yang tinggal terkhusus di Daerah Istimewa Yogyakarta
yang sering disebut dengan Kota Budaya tidak melestarikan budaya tata krama
bahasa jawa yang telah sejak lama diwariskan kepada kita generasi muda. Seharusnya
Bapak Sri Sultan Hamengku Buwono X selaku Gubernur Provinsi DIY memerintahkan
digalakkannya pemakaian tata krama bahasa Jawa untuk pergaulan sehari-hari di
lingkungan Pegawai Negeri Sipil di daerahnya.
Pemakaian bahasa Jawa sesuai dengan tata kramanya lebih banyak memiliki
dampak positif. Diantaranya, timbul rasa hormat kepada lawan bicara sehingga
perbincanganpun akan terjalin dengan baik dan pembicaraan akan terkesan harmonis
karena penutur dan lawan tuturnya mempergunakan bahasa yang halus. Oleh karena
itulah, penting diadakannya sosialisasi dan peninjauan kembali fungsi dan kedudukan
tata krama bahasa Jawa agar lebih diperhatikan oleh masyarakat Jawa dan sekitarnya
serta pemerintah.

Kita semua sebagai pelajar generasi bangsa yang bertujuan untuk membawa
bangsa Indonesia kearah yang lebih maju, lebih aman, lebih tentram, dan lebih makmur
wajib menanamkan nilai-nilai luhur yang telah dimiliki bangsa Indonesia kedalam hati,
pikiran dan perbuatan kita masing-masing. Sehingga budaya-budaya yang bersifat
positif dan membangun kepribadian bangsa yang tercermin dalam Pancasila tidak
hilang lenyap begitu saja ditelan sang waktu. Kita sebagai generasi bangsa harus
mampu menyaring pengaruh-pengaruh negatif dari dampak adanya globalisasi yang
masuk ke negara tercinta kita ini. Kita sebagai tumpuan harapan bangsa harus mampu
mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa kita dengan berbagai cara yang semaksimal
mungkin dapat kita lakukan. Semoga uraian singkat ini bermanfaat bagi generasi muda
pada khususnya dan masyarakat pada umumnya
http://festiagaby.blogspot.com/2011/10/kini-itu-hampir-tiada.html

Ya, mungkin itu yang akan terjadi dalam kurun waktu 20-30 tahun lagi jika bahasa
Jawa kian terpinggirkan di kalangan masyarakat pulau Jawa sendiri. Sebagai pemilik
bahasa Jawa, masyarakat Jawa seharusnya menjaga kelestarian dan kelangsungan
hidup bahasa Jawa di komunitasnya sendiri.Namun yang terjadi malah sebaliknya,
yang terjadi saat ini para kaum muda di pulau Jawa, khususnya mereka yang masih
menginjak usia sekolah hampir sebagian besar tidak menguasai bahasa Jawa alias
gagap berbahasa Jawa.
Hal itu bisa disebabkan oleh gencarnya serbuan beragam budaya asing dan arus
informasi yang masuk melalui bermacam sarana seperti televisi dan lain-lain.
Pemakaian bahasa gaul, bahasa asing dan bahasa seenaknya sendiri (campuran
jawa indonesia english)juga ikut memperparah kondisi bahasa Jawa yang semakin
lama semakin surut ini di Jawa.
Betapa tidak, saat ini murid tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah yang
mendapatkan pelajaran bahasa Jawa sebagian besar dari bangku sekolah.
Sementara pelajaran bahasa Jawa yang dulunya merupakan pelajaran wajib
sekarang hendak (bahkan sudah mulai) dihilangkan daftar mata pelajaran sekolah.

Sedangkan penggunaan bahasa Jawa di lingkungan rumah pun tidak lagi seketat
seperti di masa-masa dulu. Orang tua tidak lagi membiasakan bahasa Jawa sebagai
bahasa sehari-hari sebagai alat komunikasi di keluarga. Bahasa Indonesia atau
bahasa asing yang diajarkan kepada anak-anak mereka, entah dengan berbagai
macam pertimbangan. Bahasa Jawa, apalagi bahasa Krama Inggil pun kian
terabaikan. Dan juga yang kian memperparah adalah pandangan terhadap bahasa
Jawa dari generasi muda adalah bahasa orang-orang desa, orang udik, orang-orang
pinggiran, atau orang-orang jadul.
Jika pengembangan bahasa Jawa ini tidak berkelanjutan alias putus di generasi
muda sekarang maka benar-benar akan terjadi kepunahan bahasa Jawa di
daerahnya sendiri. Bagaimana bisa menjelaskan dan melatih anak cucu mereka jika
mereka sendiri tak mampu berbahasa Jawa.
Seperti bisa kita lihat di Surabaya atau wilayah sekitarnya yang notabene adalah
pemakai bahasa Ngoko kasar, coba ajak anak-anak muda berbicara bahasa Jawa
halus atau Krama Inggil yang njelimet dan ruwet itu, pastilah mereka akan gagap
dan kesusahan dalam berbahasa Jawa halus, karena kebiasaan berbahasa Jawa
mereka ya bahasa Ngoko kasar itu. (Saya pun juga demikian, meski asli Trenggalek
kemudian menghabiskan waktu kecil di Gresik, kemudian balik lagi ke Trenggalek
dan sekarang di Surabaya, akan tetapi dikarenakan tidak biasa berbahasa Jawa
halus ya lumayan gagap jika disuruh berbahasa Jawa Krama apalagi Krama Inggil
hehehehe... Maaf!). Dan hal seperti itu tidak hanya terjadi di wilayah Jawa Timur aja,
tetapi juga nyaris di seluruh pulau Jawa.
Mungkin untuk saat ini kaum ningrat di lingkungan keraton dan sekitarnya yang
bertutur bahasa super halus itu yang bisa melestarikan penggunaan dan
pengembangan bahasa Jawa ini. Atau juga masyarakat pedesaan yang masih
terbiasa berbahasa Jawa karena kondisi lingkungan yang menuntut hal seperti itu,
dan para dalang yang bahasanya aneh-aneh itu, hehehe.
Nah, coba bayangkan jika seluruh masyarakat pulau Jawa ini tak mampu lagi
berbahasa Jawa maka yang terjadi adalah hilangnya bahasa Jawa di pulau Jawa itu
sendiri
http://aindra.blogspot.com/2007/09/bahasa-jawa-punah-di-pulau-jawa.html

Anda mungkin juga menyukai