Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Daerah
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
Kelompok 3
2022
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT. Sholawat serta
salam tetap tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Berkat limpahan
rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas
mata kuliah Bahasa Daerah.
Makalah ini menjelaskan tentang Tingkat Tutur Bahasa. Dalam pembuatan
makalah ini penyusun telah mengupayakan semaksimal mungkin mulai dari
pencarian materi hingga penyusunnya sehingga makalah ini dapat terselesaikan
dengan baik.
Bilamana dalam penyusunan makalah ini masih terdapat kekurangan. Oleh
karena itu, penyusun mengharapkan saran serta masukan bahkan kritik yang
membangun dari pembaca untuk perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
memberikan wawasan yang lebih luas bagi pembaca khususnya para mahasiswa.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR
PUSTAKA................................................................................................................. ii
i
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
kawula, untuk kata ganti orang kedua kowe, sampeyan, panjenengan, paduka, untuk
kata ganti orang ketiga dheweke, kiyambake, piyambakipun, panjenenganipun
(kata-kata tersebut ditulis dari yang biasa, hormat, dan sangat hormat) 4
Tentang kata-kata benda, keadaan, dan kerja yang berbeda pun banyak terdapat
setelah dipakai dalam sistem tingkat tutur bahasa Jawa. Misalnya untuk kata rumah,
dipakai omah, griya, dan dalem, kata sakit dipakainya lara, sakit, dan gerah, kata
sembuh, digunakannya mari, mantun, dan dangan, kata tidur mempunyai
terjemahan turu, tilem, sare, dan sebagainya.5
Kalimat-kalimat yang tak terlalu langsung, banyak sekali dipakai dalam bahasa
Jawa. Seseorang (misalnya Pak Lurah) yang menginginkan sesuatu, misalnya buah
pisang yang ada di kebun orang kedua , tak perlu dengan jelas mengatakan bahwa
ia ingin ikut makan pisang itu, tetapi cukup kalau ia mengatakan ‘‘Wah pisange
apik-apik, Pak Karya’’ (Wah pisangnya bagus, Pak Karya). Kalimat semacam ini
sudah cukup jelas bagi Pak Karya yang tanggap ing sasmita (pandai menerima
isyarat atau pertanda) dan sebelum Pak Lurah yang mengeluarkan tutur itu tiba di
rumah, pisang itu telah diantar oleh Pak Karya ke rumah Pak Lurah. Di dalam
masyarakat Jawa, terutama yang, tradisional, dianggap baik kalau seseorang itu
tanggap ing sasmita (pandai memahami isyarat) seperti itu. Akibatnya, dalam
beberapa hal, sering dianggap lebih sopan kalau kalimat yang mengandung
permintaan atau suruhan itu tidak dinyatakan secara langsung.6
Di dalam bentuknya yang sederhana, kalimat-kalimat yang berisi permintaan
atau suruhan sering berbentuk, antara lain, sebagai berikut7 :
a. Dengan pengandaian:
‘‘Kepiye saupamane kowe saiki budhal dhisik’’
(Bagaimana seandainya kau sekarang berangkat dulu)
b. Dengan menyebutkan kalau sekiranya tak merepotkan:
‘‘Yen ora ngrepotake lan yen dhangan penggalihmu, aku sajatine kepinginn
nyuwun ngampil dhuwit sethithik’’
(Kalau tak merepotkan dan berkenan di hatimu, sebetulnya saya ingin
meminjam uang sedikit)
c. Dengan memakai partikel pelemah mbok:
‘‘Mbok coba saiki tambahana dhuwitku sethithik, aku tak ngrasakake rasane
numpak montor mabur’’
(Coba tambahilah uangku sedikit, saya ingin merasakan nikmatnya naik kapal
terbang)
d. Dengan memakai bentuk pasif di- (tidak dengan imbuhan imperatif —ana atau
—kna):
‘‘Mbok niki dipundhuti, Mas!’’
(Silahkan beli ini, Mas!)
‘‘Mbok coba aku diplesirake!’’
3
(Silahkan menyenang-nyenangkan saya!’ dan lain-lain)
Kalau sudah terjalin dalam wacana, permintaan itu sering kali untuk
menunjukkan maksud sopan orang pertama yang mengajukan permintaan atau
suruhan lalu membuat wacana yang susunan kalimatnya berbelit-belit. Akan tetapi,
di samping yang tersebut di atas, bahasa Jawa memiliki gejala-gejala khusus dalam
sistem tingkat tuturnya. Gejala-gejala khusus ini, terdapat juga pada bahasa Sunda,
Bali, dan Madura. Dalam bahasa Jawa, Sunda, Bali, dan Madura terdapat tingkat-
tingkat tutur yang khas dan jelas yang dipakai untuk membawakan arti-arti
kesopanan yang bertingkat-tingkat pula. Ada tingkat tutur halus yang berfungsi
membawakan rasa kesopanan yang tinggi, tingkat tutur menengah yang berfungsi
membawakan arti kesopanan yang sedang-sedang, dan ada tingkat tutur biasa yang
berfungsi membawakan rasa kesopanan yang rendah. Di dalam bahasa Jawa ada
tingkat tutur krama (sopan sekali), madya (setengah-setengah), dan ngoko (tingkat
kesopanan rendah).8
Sebelum kita membahas lebih lanjut tingkat tutur ngoko (Ng), madya (Md) dan
krama (Kr), lebih dahulu perlu dijelaskan adanya perbedaan antara ketiga tingkat
tutur itu dengan kosakata ngoko (N), madya (M), dan krama (K). Tingkat tutur
(speech levels) ialah suatu sistem kode penyampai rasa kesopanan yang di dalamnya
terdapat unsur kosakata tertentu, aturan sintaksis tertentu, aturan morfologi dan
fonologi tertentu, sedang kosakata N, M, K, dan lain-lain hanyalah inventarisasi
kata-kata yang masing-masing kata di dalamnya memiliki persamaan arti kesopanan
yang sama. Dapat diketahui bahwa kosakata tingkat tutur bahasa Jawa tidak hanya
terbatas kepada N, M, K, tetapi juga meliputi KI (Krama Inggil), KA (Krama
Andap), dan KD (Krama Desa). Kata-kata N memancarkan arti tanpa-sopan, K
memancarkan arti sopan, M memancarkan arti sopan, tetapi tingkat kesopanannya
agak setengah-setengah saja, KI dan KA memiliki arti sopan yang sangat tinggi, KD
memancarkan arti sopan, tetapi di samping itu ditunjukkan juga bahwa pemakainya
kurang mengetahui bentuk K yang benar-benar (yang standar).9
C. Krama
Tingkat tutur krama adalah tingkat yang memancarkan arti penuh sopan santun.
Tingkat ini menandakan adanya perasaan segan (pekewuh) orang pertama terhadap
orang kedua karena orang kedua adalah orang yang belum dikenal, atau berpangkat,
atau priayi, berwibawa, dan lainnya. Murid memakai krama terhadap gurunya. Pegawai
menggunakan krama terhadap kepalanya. Pembantu rumah tangga berkrama terhadap
majikannya. Menantu berkrama terhadap mertuanya. Antara besan yang hubungannya
tak begitu dekat biasanya juga saling memakai krama.
krama merupakan bentuk halus dari kosa kata ngoko. Kosa kata krama dibagi
menjadi dua yaitu kosa kata krama baku (tiyang sepuh)dan kosa kata krama desa (tiyang
sepah).Krama baku adalah kosa kata krama yang sesuai dengan kaidah dan tatabahasa
4
Jawa yang benar yang bisa dilihat dalam kamus. Krama desa adalah kosa kata yang
digunakan oleh masyarakat pedesaan dikarenakan mereka tidak memahami tata bahasa
yang benar.
Pembagian krama menjadi tiga tingkat:
1) Muda krama ialah tingkat krama yang di samping mengandung kata-
kata dan imbuhan krama, mengandung pula kata-kata krama inggil dan
krama andap, atau disebut juga Krama untuk orang tua.
2) Kramantara ialah tingkat krama yang tidak mengandung bentuk-bentuk
lain kecuali bentuk krama, krama untuk orang-orang yang sederajat.
3) Wreda krama ialah tingkat krama yang juga tidak mengandung bentuk-
bentuk Krama Inggil, kramanya untuk orang muda.
Sekedar ilustrasi di bawah ini diberikan contoh kalimatn tingkat krama:
1) Muda krama:
“Bapak, panjenengan mangke dipun aturi mundhutaken buku kangge
Mas Kris”.
2) Kramantara:
“Pak, sampeyan mangke dipun purih numbasaken buku kangge Mas
Kris”.
3) Wreda krama:
“Nak Triano, sampeyan mangke dipun purih numbasaken buku kangge
Mas Kris”.
Artinya: Bapak, kamu nanti disuruh (diminta) membelikan buku. untuk Mas Kris.
5
santun, tetapi rasa segan tak perlu setinggi seperti yang dikenakan kepada orang
kedua yang seharusnya diberi.
Di tengah-tengah, antara tingkat krama dan tingkat ngoko terdapatlah tingkat
madya. Tingkat tutur ini ditandai dengan adanya bentuk-bentuk kata madya pada
kalimat-kalimatnya, terutama kata-kata madya pada kata tugas dan pronomina:
samang ‘kau’, kiyambake ‘dia’, niki ‘ini’, niku ‘itu’, nika ‘itu’, onten ‘ada: ampun
‘jangan’, engga, awi ‘silakan’, ajeng ‘akan’, negile ‘ini lho’, nigeli ‘ini lho’, teng ‘ke’,
dan lain-lain (lihat daftar kata-kata madya).
Berikut ini contoh kalimat madya:
a. Samang napa pun nukokke klambi adine Warti dhek wingi sore?
b. Samang napa pun numbaske klambi adhine Warti dhek wingi sore?
c. Samang napa pun numbaske rasukan adhine Warti dhek wingi sore?
d. Samang napa pun numbaske rasukan adhine Warti dhek wingi sonten?
Artinya: ‘Apakah kau sudah membelikan baju adiknya Warti kemarin sore?’
6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara orang pertama
terhadap orang kedua. Jadi, untuk seseorang yang ingin menyatakan keakrabannya
terhadap seseorang orang kedua , tingkat ngoko inilah yang seharusnya dipakai. Teman-
teman akrab biasanya saling “ngoko”-an. Orang-orang yang berstatus sosial tinggi
berhak pula, atau justru dianggap pantas, untuk menunjukkan rasa tak enggan terhadap
orang lain yang berstatus sosial lebih rendah. Pada umumnya, bahasa memiliki cara-
cara tertentu untuk menunjukkan sikap hubungan orang pertama yang berbeda karena
adanya tingkat sosial orang kedua yang berbeda. Ada golongan masyarakat tertentu
yang perlu dihormati dan ada golongan masyarakat lain yang dapat dihadapi secara
biasa. Lazimnya tingkat tutur bahasa yang telah diketahui dinyatakan dengan
pemakaian promina yang berbeda-beda untuk menunjukkan perbedaan rasa hormat ini.
Banyak bahasa memakai bentuk kata yang berbeda untuk menyebut orang pertama dan
orang kedua dalam tingkat-tingkat tuturnya. Tingkat tutur krama adalah tingkat yang
memancarkan arti penuh sopan santun. Tingkat ini menandakan adanya perasaan segan
(pekewuh) orang pertama terhadap orang kedua karena orang kedua adalah orang yang
belum dikenal, atau berpangkat, atau priayi, berwibawa, dan lainnya.
B. Saran
Pada makalah ini kami sebagai penulis dan pemakalah berharap kepada para
pembaca agar dapat memberikan kritik dan sarannya pada makalah yang sudah dibuat
dan dibahas oleh para pemakalah. Agar makalah yang sudah dibuat dan dibahas oleh
pemakalah dapat menjadikan lebih baik lagi kedepannya, apabila ada perbaikan juga
saran dan kritik akan sangat berguna dan dapat digunakan sebagai tambahan wawasan
serta pengetahuan yang lebih bermanfaat.
7
DAFTAR PUSTAKA