Anda di halaman 1dari 11

TINGKAT TUTUR BAHASA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Daerah

Dosen Pengampu:

Erika Puspitasari, M.Pd

Disusun Oleh:

Kelompok 3

Ma'rifatul Laily Putri Ragil (21206058)

Ahmad Farista Ardiansyah (21206075)

Nabillah Aura Assyayuarahma (21206083)

Elisa ika febrian indrianti (21206084)

JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH

IBTIDAIYAH FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI

2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT. Sholawat serta
salam tetap tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Berkat limpahan
rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas
mata kuliah Bahasa Daerah.
Makalah ini menjelaskan tentang Tingkat Tutur Bahasa. Dalam pembuatan
makalah ini penyusun telah mengupayakan semaksimal mungkin mulai dari
pencarian materi hingga penyusunnya sehingga makalah ini dapat terselesaikan
dengan baik.
Bilamana dalam penyusunan makalah ini masih terdapat kekurangan. Oleh
karena itu, penyusun mengharapkan saran serta masukan bahkan kritik yang
membangun dari pembaca untuk perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
memberikan wawasan yang lebih luas bagi pembaca khususnya para mahasiswa.

Kediri, 10 Maret 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii

DAFTAR
PUSTAKA................................................................................................................. ii
i

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

A. Latar Belakang .................................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 1
C. Tujuan ................................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................... 2
A. Arti Tingkat Tutur Ngoko .................................................................................. 2
B. Sistem Tingkat Tutur ........................................................................................ 2
C. Krama ................................................................................................................. 4
BAB III PENUTUP ................................................................................................. 7
A. Kesimpulan ........................................................................................................ 7
B. Saran ................................................................................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 8

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Bahasa pergaulan dalam kehidupan sehari-hari selain Bahasa Indonesia adalah
Bahasa Jawa. Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan oleh penduduk suku bangsa
Jawa. Bahasa yang merupakan warisan nenek moyang yang tak ternilai harganya.
Dalam penggunaan Bahasa Jawa harus memperhatikan tingkatan orang yang diajak
bebicara, karena Bahasa Jawa terdiri atas beberapa tingkatan, salah satunya adalah
Krama Inggil. Bahasa yang semakin meluntur seiring dengan perkembangan zaman
saat ini. Bahasa yang digunakan orang lebih muda kepada yang lebih tua ini, sebagai
tanda menghormati. Namun dalam kehidupan sehari-hari tampak jelas bahwa anak-
anak sekarang sudah tidak menggunakannya.
Hanya sedikit dalam penggunaannya, seperti “enggeh, dalem”. Itu hanya
sepenggal kata yang bisa diucapkan oleh anak-anak jaman sekarang. Pelajaran Bahasa
Jawa yang ada di sekolah-sekolah hanya sebagai sarana saja. Dalam pengaplikasiannya,
anak-anak tetap saja menggunakan Bahasa Jawa ngoko atau Bahasa Indonesia biasa.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Tingkat Tutur Ngoko?
2. Apa saja Sistem Tingkat Tutur?
3. Apa yang dimaksud dengan Krama?
C. Tujuan
1. Untuk memahami Tingkat Tutur Ngoko.
2. Untuk mengetahui Sistem Tingkat Tutur.
3. Untuk mengetahui Krama.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Arti Tingkat Tutur Ngoko


Tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara orang pertama
terhadap orang kedua. Artinya, orang pertama tidak memiliki rasa segan (jiguh
pakewuh) terhadap orang kedua. Jadi, untuk seseorang yang ingin menyatakan
keakrabannya terhadap seseorang orang kedua , tingkat ngoko inilah yang seharusnya
dipakai. Teman-teman akrab biasanya saling “ngoko”-an. Orang-orang yang berstatus
sosial tinggi berhak pula, atau justru dianggap pantas, untuk menunjukkan rasa tak
enggan terhadap orang lain yang berstatus sosial lebih rendah. Ini berarti bahwa seorang
majikan berhak memakai ngoko terhadap pembantu rumah tangganya. Guru berhak
memakai ngoko terhadap muridnya dan tukang kebun sekolahnya. Ayah dan ibu
memakai ngoko terhadap anaknya, menantunya, dan kemenakannya. Suami berhak
memakai ngoko terhadap isterinya, saudara tua berhak memakai ngoko terhadap adik-
adiknya. Sebaliknya, isteri pun berhak ngoko terhadap suami dan adik ngoko terhadap
kakak. Tetapi pada keluarga priayi, terutama di zaman sebelum perang, sering terdapat
isteri berbasa (krama atau madya) terhadap suami dan adik berbasa terhadap kakak.
Orang yang sedang marah, kesakitan, dan dalam keadaan lain yang mengandung emosi
tinggi, biasanya juga bercakap dengan ngoko. 1
Antara orang yang akrab hubungannya tetapi saling menghormat dapat
memakai tingkat tutur ngoko yang halus (antyabasa dan basaantya). Teman akrab di
kalangan pegawai negeri, priayi, guru-guru biasa menggunakan tingkat tutur semacam
ini. isteri para priayi juga banyak yang menggunakan tingkat tutur ini. 2
B. SISTEM TINGKAT TUTUR
1. BENTUK TINGKAT TUTUR
Pada umumnya, bahasa memiliki cara-cara tertentu untuk menunjukkan sikap
hubungan orang pertama yang berbeda karena adanya tingkat sosial orang kedua
yang berbeda. Ada golongan masyarakat tertentu yang perlu dihormati dan ada
golongan masyarakat lain yang dapat dihadapi secara biasa. Terdapat banyak faktor
yang menyebabkan perbedaan tingkat sosial, diantaranya adalah perbedaan kondisi
tubuh, kekuatan ekonomi, kekuasaan politik, aluran kekerabatan, perbedaan usia,
jenis kelamin, kekuatan magis, kekhususan kondisi psikis, dan sebagainya.3
Lazimnya tingkat tutur bahasa yang telah diketahui dinyatakan dengan
pemakaian promina yang berbeda-beda untuk menunjukkan perbedaan rasa hormat
ini. Banyak bahasa memakai bentuk kata yang berbeda untuk menyebut orang
pertama dan orang kedua dalam tingkat-tingkat tuturnya. Misalnya untuk kata ganti
orang pertama, bahasa Jawa sekarang ini sering memakai kata aku, kula, dalem,

1 Buku tingkat tutur bahasa jawa hal.20


2 Buku tingkat tutur bahasa jawa hal.20
3 Buku tingkat tutur bahasa jawa hal.9

2
kawula, untuk kata ganti orang kedua kowe, sampeyan, panjenengan, paduka, untuk
kata ganti orang ketiga dheweke, kiyambake, piyambakipun, panjenenganipun
(kata-kata tersebut ditulis dari yang biasa, hormat, dan sangat hormat) 4
Tentang kata-kata benda, keadaan, dan kerja yang berbeda pun banyak terdapat
setelah dipakai dalam sistem tingkat tutur bahasa Jawa. Misalnya untuk kata rumah,
dipakai omah, griya, dan dalem, kata sakit dipakainya lara, sakit, dan gerah, kata
sembuh, digunakannya mari, mantun, dan dangan, kata tidur mempunyai
terjemahan turu, tilem, sare, dan sebagainya.5
Kalimat-kalimat yang tak terlalu langsung, banyak sekali dipakai dalam bahasa
Jawa. Seseorang (misalnya Pak Lurah) yang menginginkan sesuatu, misalnya buah
pisang yang ada di kebun orang kedua , tak perlu dengan jelas mengatakan bahwa
ia ingin ikut makan pisang itu, tetapi cukup kalau ia mengatakan ‘‘Wah pisange
apik-apik, Pak Karya’’ (Wah pisangnya bagus, Pak Karya). Kalimat semacam ini
sudah cukup jelas bagi Pak Karya yang tanggap ing sasmita (pandai menerima
isyarat atau pertanda) dan sebelum Pak Lurah yang mengeluarkan tutur itu tiba di
rumah, pisang itu telah diantar oleh Pak Karya ke rumah Pak Lurah. Di dalam
masyarakat Jawa, terutama yang, tradisional, dianggap baik kalau seseorang itu
tanggap ing sasmita (pandai memahami isyarat) seperti itu. Akibatnya, dalam
beberapa hal, sering dianggap lebih sopan kalau kalimat yang mengandung
permintaan atau suruhan itu tidak dinyatakan secara langsung.6
Di dalam bentuknya yang sederhana, kalimat-kalimat yang berisi permintaan
atau suruhan sering berbentuk, antara lain, sebagai berikut7 :
a. Dengan pengandaian:
‘‘Kepiye saupamane kowe saiki budhal dhisik’’
(Bagaimana seandainya kau sekarang berangkat dulu)
b. Dengan menyebutkan kalau sekiranya tak merepotkan:
‘‘Yen ora ngrepotake lan yen dhangan penggalihmu, aku sajatine kepinginn
nyuwun ngampil dhuwit sethithik’’
(Kalau tak merepotkan dan berkenan di hatimu, sebetulnya saya ingin
meminjam uang sedikit)
c. Dengan memakai partikel pelemah mbok:
‘‘Mbok coba saiki tambahana dhuwitku sethithik, aku tak ngrasakake rasane
numpak montor mabur’’
(Coba tambahilah uangku sedikit, saya ingin merasakan nikmatnya naik kapal
terbang)
d. Dengan memakai bentuk pasif di- (tidak dengan imbuhan imperatif —ana atau
—kna):
‘‘Mbok niki dipundhuti, Mas!’’
(Silahkan beli ini, Mas!)
‘‘Mbok coba aku diplesirake!’’

4 Buku tingkat tutur bahasa jawa hal.10


5 Buku tingkat tutur bahasa jawa hal.10
6 Buku tingkat tutur bahasa jawa hal.11
7 Buku tingkat tutur bahasa jawa hal.11

3
(Silahkan menyenang-nyenangkan saya!’ dan lain-lain)
Kalau sudah terjalin dalam wacana, permintaan itu sering kali untuk
menunjukkan maksud sopan orang pertama yang mengajukan permintaan atau
suruhan lalu membuat wacana yang susunan kalimatnya berbelit-belit. Akan tetapi,
di samping yang tersebut di atas, bahasa Jawa memiliki gejala-gejala khusus dalam
sistem tingkat tuturnya. Gejala-gejala khusus ini, terdapat juga pada bahasa Sunda,
Bali, dan Madura. Dalam bahasa Jawa, Sunda, Bali, dan Madura terdapat tingkat-
tingkat tutur yang khas dan jelas yang dipakai untuk membawakan arti-arti
kesopanan yang bertingkat-tingkat pula. Ada tingkat tutur halus yang berfungsi
membawakan rasa kesopanan yang tinggi, tingkat tutur menengah yang berfungsi
membawakan arti kesopanan yang sedang-sedang, dan ada tingkat tutur biasa yang
berfungsi membawakan rasa kesopanan yang rendah. Di dalam bahasa Jawa ada
tingkat tutur krama (sopan sekali), madya (setengah-setengah), dan ngoko (tingkat
kesopanan rendah).8

Sebelum kita membahas lebih lanjut tingkat tutur ngoko (Ng), madya (Md) dan
krama (Kr), lebih dahulu perlu dijelaskan adanya perbedaan antara ketiga tingkat
tutur itu dengan kosakata ngoko (N), madya (M), dan krama (K). Tingkat tutur
(speech levels) ialah suatu sistem kode penyampai rasa kesopanan yang di dalamnya
terdapat unsur kosakata tertentu, aturan sintaksis tertentu, aturan morfologi dan
fonologi tertentu, sedang kosakata N, M, K, dan lain-lain hanyalah inventarisasi
kata-kata yang masing-masing kata di dalamnya memiliki persamaan arti kesopanan
yang sama. Dapat diketahui bahwa kosakata tingkat tutur bahasa Jawa tidak hanya
terbatas kepada N, M, K, tetapi juga meliputi KI (Krama Inggil), KA (Krama
Andap), dan KD (Krama Desa). Kata-kata N memancarkan arti tanpa-sopan, K
memancarkan arti sopan, M memancarkan arti sopan, tetapi tingkat kesopanannya
agak setengah-setengah saja, KI dan KA memiliki arti sopan yang sangat tinggi, KD
memancarkan arti sopan, tetapi di samping itu ditunjukkan juga bahwa pemakainya
kurang mengetahui bentuk K yang benar-benar (yang standar).9

C. Krama
Tingkat tutur krama adalah tingkat yang memancarkan arti penuh sopan santun.
Tingkat ini menandakan adanya perasaan segan (pekewuh) orang pertama terhadap
orang kedua karena orang kedua adalah orang yang belum dikenal, atau berpangkat,
atau priayi, berwibawa, dan lainnya. Murid memakai krama terhadap gurunya. Pegawai
menggunakan krama terhadap kepalanya. Pembantu rumah tangga berkrama terhadap
majikannya. Menantu berkrama terhadap mertuanya. Antara besan yang hubungannya
tak begitu dekat biasanya juga saling memakai krama.
krama merupakan bentuk halus dari kosa kata ngoko. Kosa kata krama dibagi
menjadi dua yaitu kosa kata krama baku (tiyang sepuh)dan kosa kata krama desa (tiyang
sepah).Krama baku adalah kosa kata krama yang sesuai dengan kaidah dan tatabahasa

8 Buku tingkat tutur bahasa jawa hal.12


9 Buku tingkat tutur bahasa jawa hal.13

4
Jawa yang benar yang bisa dilihat dalam kamus. Krama desa adalah kosa kata yang
digunakan oleh masyarakat pedesaan dikarenakan mereka tidak memahami tata bahasa
yang benar.
Pembagian krama menjadi tiga tingkat:
1) Muda krama ialah tingkat krama yang di samping mengandung kata-
kata dan imbuhan krama, mengandung pula kata-kata krama inggil dan
krama andap, atau disebut juga Krama untuk orang tua.
2) Kramantara ialah tingkat krama yang tidak mengandung bentuk-bentuk
lain kecuali bentuk krama, krama untuk orang-orang yang sederajat.
3) Wreda krama ialah tingkat krama yang juga tidak mengandung bentuk-
bentuk Krama Inggil, kramanya untuk orang muda.
Sekedar ilustrasi di bawah ini diberikan contoh kalimatn tingkat krama:
1) Muda krama:
“Bapak, panjenengan mangke dipun aturi mundhutaken buku kangge
Mas Kris”.
2) Kramantara:
“Pak, sampeyan mangke dipun purih numbasaken buku kangge Mas
Kris”.
3) Wreda krama:
“Nak Triano, sampeyan mangke dipun purih numbasaken buku kangge
Mas Kris”.

Artinya: Bapak, kamu nanti disuruh (diminta) membelikan buku. untuk Mas Kris.

1. Kosakata penentu tingkat tutur Krama


Kosakata terpenting sesudah ngoko ialah krama dan jumlahnya agak banyak,
tergantung cara menghitungnya, tetapi jumlah kata-kata krama ini ada kira-kira 850.
Menurut bentuk fonemisnya, kata-kata krama dapat digolong-golongkan ke dalam
dua kelompok. Yang pertama ialah kata krama yang bentuknya sama sekali lain
dengan padanan ngokonya.
Yang kedua ialah kata-kata krama yang bentuknya agak menyerupai bentuk
ngokonya. Sering kali dapat ditemukan caracara membentuk krama itu asal kita
bertolak dari padanan ngokonya. Ini pulalah yang antara lain menyebabkan kita
berkesimpulan bahwa ngoko adalah dasar dari sistem tingkat tutur ini.
2. Tingkat Tutur Madya
Tingkat tutur madya adalah tingkat tutur menengah antara krama dan ngoko.
Tingkat ini menunjukkan perasaan sopan meskipun sedang-sedang saja. Tingkat ini
awal mulanya adalah tingkat tutur krama, tetapi dalam proses perkembangannya telah
mengalami tiga perkembangan yang penting.
Perkembangan itu ialah perkembangan proses kolokiahsasi (informalisasi),
penurunan tingkat, dan ruralisasi. (Soepomo, 1977). Inilah sebabnya, bagi
kebanyakan orang tingkat madya ini dianggap tingkat yang setengah sopan dan
setengah tidak. Inilah sebabnya pula bahwa yang disapa dengan madya ini dianggap
kurang begitu angker oleh orang pertama. Orang pertama harus menaruh sopan

5
santun, tetapi rasa segan tak perlu setinggi seperti yang dikenakan kepada orang
kedua yang seharusnya diberi.
Di tengah-tengah, antara tingkat krama dan tingkat ngoko terdapatlah tingkat
madya. Tingkat tutur ini ditandai dengan adanya bentuk-bentuk kata madya pada
kalimat-kalimatnya, terutama kata-kata madya pada kata tugas dan pronomina:
samang ‘kau’, kiyambake ‘dia’, niki ‘ini’, niku ‘itu’, nika ‘itu’, onten ‘ada: ampun
‘jangan’, engga, awi ‘silakan’, ajeng ‘akan’, negile ‘ini lho’, nigeli ‘ini lho’, teng ‘ke’,
dan lain-lain (lihat daftar kata-kata madya).
Berikut ini contoh kalimat madya:
a. Samang napa pun nukokke klambi adine Warti dhek wingi sore?
b. Samang napa pun numbaske klambi adhine Warti dhek wingi sore?
c. Samang napa pun numbaske rasukan adhine Warti dhek wingi sore?
d. Samang napa pun numbaske rasukan adhine Warti dhek wingi sonten?

Artinya: ‘Apakah kau sudah membelikan baju adiknya Warti kemarin sore?’

3. Kosakata penentu tingkat tutur Madya


Jumlah kata-kata madya ini tak begitu besar. Sebagian besar ialah ambilan
bentuk krama Bentuknya sangat menyerupai padanan krama, Ada beberapa kata
madya yang tampaknya terpungut dari kata-kata krama orang-orang dari dialek yang
kurang standar. Leksikon kata-kata madya ini agak menarik perhatian, sebab hampir
kesemuanya adalah kata yang boleh dinamakan kata tugas. Jadi, di dalam
perbendaharaan kata-kata madya itu ada jenis kata bantu verba seperti ajeng ‘akan’,
pun ‘sudah’; katakata pronomina personal seperti samang ‘kau’, kiyambake ‘ia’; kata
pronomina penunjuk seperti niki ‘ini’; niku ‘itu’, nika ‘itu’ kata pronomina perannya
seperti pripun bagaimana, napa ‘apa’, dan sebagainya.

6
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara orang pertama
terhadap orang kedua. Jadi, untuk seseorang yang ingin menyatakan keakrabannya
terhadap seseorang orang kedua , tingkat ngoko inilah yang seharusnya dipakai. Teman-
teman akrab biasanya saling “ngoko”-an. Orang-orang yang berstatus sosial tinggi
berhak pula, atau justru dianggap pantas, untuk menunjukkan rasa tak enggan terhadap
orang lain yang berstatus sosial lebih rendah. Pada umumnya, bahasa memiliki cara-
cara tertentu untuk menunjukkan sikap hubungan orang pertama yang berbeda karena
adanya tingkat sosial orang kedua yang berbeda. Ada golongan masyarakat tertentu
yang perlu dihormati dan ada golongan masyarakat lain yang dapat dihadapi secara
biasa. Lazimnya tingkat tutur bahasa yang telah diketahui dinyatakan dengan
pemakaian promina yang berbeda-beda untuk menunjukkan perbedaan rasa hormat ini.
Banyak bahasa memakai bentuk kata yang berbeda untuk menyebut orang pertama dan
orang kedua dalam tingkat-tingkat tuturnya. Tingkat tutur krama adalah tingkat yang
memancarkan arti penuh sopan santun. Tingkat ini menandakan adanya perasaan segan
(pekewuh) orang pertama terhadap orang kedua karena orang kedua adalah orang yang
belum dikenal, atau berpangkat, atau priayi, berwibawa, dan lainnya.
B. Saran
Pada makalah ini kami sebagai penulis dan pemakalah berharap kepada para
pembaca agar dapat memberikan kritik dan sarannya pada makalah yang sudah dibuat
dan dibahas oleh para pemakalah. Agar makalah yang sudah dibuat dan dibahas oleh
pemakalah dapat menjadikan lebih baik lagi kedepannya, apabila ada perbaikan juga
saran dan kritik akan sangat berguna dan dapat digunakan sebagai tambahan wawasan
serta pengetahuan yang lebih bermanfaat.

7
DAFTAR PUSTAKA

Poedjosoedarmo, soepomo dkk.2013. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Yogyakarta: Kementerian


pendidikan dan kebudayaan badan pengembangan dan pembinaan bahasa balai bahasa
provinsi daerah istimewa Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai