Anda di halaman 1dari 9

Nama : Rini Oktavia

Nim : A241 18 005


MK : Pendidikan Karakter dan Anti Korupsi
Tugas 9, Pertemuan 11

a) Buat kajian 2 adat istiadat terkait Pendidikan Karakter, 1 sesuai dengan suku, yang 1 pilih dari
adat istiadat suku lain
b) Tuliskan kelebihan kedua adat istiadat tersebut terkain pendidikan karakter

Jawaban :

a) Kajian 2 Adat Istiadat Terkait Pendidikan Karakter

1. Suku Jawa (Sesusai Suku)

Budaya jawa sebagai sumber pendidikan karakter tidak perlu diragukan lagi
keberadaannya, karena dalam budaya jawa syarat akan pendidikan nilai yang merupakan
substansi utama dari pendidikan karakter. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dalam
budaya jawa terkandung tata nilai kehidupan Jawa, seperti norma, keyakinan, kebiasaan,
konsepsi, dan simbol-simbol yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Jawa, toleransi,
kasih sayang, gotong royong, andhap asor, kemanusiaan, nilai hormat, tahu berterima kasih,
dan lainnya. Pendidikan karakter yang digali dari substansi budaya jawa dapat menjadi pilar
pendidikan budi pekerti bangsa.

Pendidikan karakter sebagai pilar pendidikan budi pekerti bangsa, dewasa ini menjadi
sangat penting, karena pendidikan karakter sangat menentukan kemajuan peradaban bangsa,
yang tak hanya unggul, tetapi juga bangsa yang cerdas. Keunggulan suatu bangsa terletak
pada pemikiran dan karakter. Kedua jenis keunggulan tersebut dapat dibangun dan
dikembangkan melalui pendidikan.Oleh karena itu, sasaran pendidikan bukan hanya
kepintaran dan kecerdasan (pemikiran), tetapi juga moral dan budi pekerti, watak, nilai, dan
kepribadian yang tangguh, unggul dan mulia (karakter). Dengan kata lain, antara pemikiran
dan karakter harus menjadi kesatuan yang utuh.

Realisiasi pendidikan budi pekerti bangsa yang digali dari sumber budaya jawadapat
dimulai dari kalangan pendidikan melalui pembelajaran budaya jawa dan pengembangan
kultur sekolah. Dalam pembelajaran bahasa dan sastra Jawa, hendaknya dapat berlangsung
melalui proses meaning making (membuat bermakna), sehingga akan terjadi internalisasi
nilai-nilai dalam diri siswa. Pengembangkan kultur sekolah dapat dilakukan dengan cara
memberi keteladanan secara langsung sesuai dengan nilai-nilai kultural bahasa dan sastra
Jawa.

Keluarga jawa pada umumnya mulai mendidik anak-anaknya pada anak tersebut belum
lahir, yaitu dengan cara tidak langsung dari ibunya. Ujud pendidikan itu pada umumnya
melalui berbagai larangan atau keharusan yang harus dijalankan oleh ibu yang sedang hamil
tidak boleh makan-makanan tertentu, tidak boleh mengatakan kata-kata jelek, tidak boleh
membunnuh dantidak boleh marah. Karena keyakinan dalam budaya orang jawa perilaku
ibu pada saat mengandung akan turun pada anaknya sehingga para ibu yang sedang
mengandung sehati-hati mungkin dalam berbuat supaya anaknya juga mewarisi sifat dari
ibunya.

Tidak dapat disangkal bahwa antara ibu dan anak yang dikandungnya ada hubungan yang
erat sekali. Jika ibu makan-makanan tertentu maka akan berpengaruh pada anak yang
dikandungnya. Bila ibu marah-marah, membunuh binatang berarti ada unsur marah, begitu
juga kalau ibu berkata-kata jelek juga ada unsur marah, maka perbuatan itu juga akan
berpengaruh kepada anak yang dikandungnya.

Bagi keluarga jawa anak mempunyai kedudukan tersendiri dalam hati mereka
(Sunoto,1989). Ada ucapan jawa mengatakan bahwa anak iku gegntelaning ati, atau anak
itu tempat bergantungnya hati. Ucapan ini bermaksud bahwa anak adalah pengikat dalam
hubungan berkeluarga. Dalam adat jawa jika ada suatu pertemuan yang ditanyakan adalah
yang berkaitan dengan anak mulai dari berapa anaknya, laki-laki atau perempuan, dimana
sekolahnya. Oleh karena itu orang tua mendambakan seorang anak yang shaleh dan bias
membahagiakan orang tuanya.

Ini sesuai dengan falsafah orang jawa mendhem jero mikul dhuwur, anak molah bapa
kepradhah, yang berarti menimbun yang dalam dan memikul yang tinggi, anak yang berbuat
bapak yang bertanggung jawab. Sehingga dalam falsafah hidup orang jawa harus mendidik
anak supaya anak mempunyai kepribadian yang baik seperti:

a) Sikap saling menghormati, ini terlihat pada bahasa keseharian orang jawa dimana di
dalamnya ada undak-unduk basa (tingkatan bahasa) yang dilakukan antara orang muda
dengan orang yang lebih tua. Dalam falsafah orang jawa sering dikenal dengan among
saha miturut, sedulur tuwa iku dadi gegantining wong tuwa.
b) Sikap dan watak jujur, para orang tua mengajarkan kepada anaknya untuk berperilaku
jujur baik dalam ucapan maupun tindakan.
c) Sikap adil, anak-anak harus mengetahui hak dan kewajiban masing-masing dan tahu
bagaimana memperlakukan saudaranya dalam segala hal. Tidak boleh berbuat serakah,
murka, ora narima ing pandum atau loba, tamak.
d) Rukun agawe santosa, sikap saling tolong menolong, gotong royong, dan tanggung
awab harus ditanamkan olejh orang tua kepada anaknya sejak dini supaya anak dalam
menghadapi kehidupanya tidak berlomba-lomba untuk mencari kebahagiaan pribadi
saja akan tetapi juga membawa kebahagiaan bagi lingkungan sekitarnaya. Seperti
dalam falsafah jawa rukun agawe santosa lan crah agawe bubrah.
• Penguatan Pendidikan Karakter Melalui Budaya Jawa
❖ Bahasa dan Sastra Jawa sebagai Sumber Pendidikan Karakter
Bahasa dan sastra Jawa sebagai sumber pendidikan karakter setidaknya harus
dibawa pada tiga fungsi pokok bahasa, yaitu (1) alat komunikasi, (2) edukatif, dan (3)
kultural.Fungsi alat komunikasi diarahkan agar siswa dapat menggunakan bahasa Jawa
secara baik dan benar untuk keperluan alat perhubungan dalam keluarga dan
masyarakat. Fungsi edukatif diarahkan agar siswa dapat memperoleh nilai-nilai budaya
Jawa untuk keperluan pembentukan kepribadian dan identitas bangsa.Fungsi kultural
agar dapat digali dan ditanamkan kembali nilai-nilai budaya Jawa sebagai upaya untuk
membangun identitas bangsa.
Ketiga fungsi pokok itu jika dilihat dari substansi nilai, merupakan usaha
pengembangan dan penanaman nilai-nilai moral.Pada fungsi pertama, bahasa sebagai
alat komunikasi yang diarahkan agar siswa dapat berbahasa Jawa dengan baik dan
benar, mengandung nilai hormat atau sopan santun. Seperti diketahui bahwa dalam
bahasa Jawa berlaku penggunaan bahasa Jawa sesuai dengan unggah-ungguh, dan
dalam unggah-ungguh itu terkandung nilai-nilai hormat di antara para pembicara, yaitu
orang yang berbicara, orang yang diajak berbicara , dan orang yang dibicarakan.
Sebagai contoh, untuk menyatakan keadaan sedang makan, jika yang berbicara anak
dan yang dibicarakan bapak, menggunakan kalimat “Bapak, nembe dhahar” (Bapak
baru makan), jika yang sedang makan orang yang berbicara anak, menggunakan
kalimat “Kula saweg nedha” (Saya sedang makan).Penggunaan kata dhahar (makan)
merupakan realisasi dari rasa hormat dari anak kepada orang tua.
Bahasa jawa membawakan kitab-kitab lama dan baru, memberikan tuntunan moral
dan ketuhanan untuk hidup bermakna dan mendambakan kelepasan jiwa dalam
kesempurnaan.
Keadaan unggah-ungguh bahasa Jawa saat ini, tidak perlu ditakutkan bahwa bahasa
Jawa bertingkat-tingkat. Dalam “Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa” (1991), unggah-
ungguh bahasa Jawa sudah dibakukan, yaitu dibedakan atas dipakai tidaknya kosakata
yang berkadar halus. Kosakata berkadar halus adalah kata yang secara tradsional
diidentifikasi sebagai krama inggil.Atas dasar itu, unggah-ungguh bahasa Jawa
dibedakan atas (1) ngoko, (2) ngoko alus, (3) krama, dan (4) krama alus.Unggah-
ungguh ngoko semua kosakata terdiri dari kosakata ngoko, ngoko alus kosakatanya
ngoko yang di dalamnya terdapat kosakata halus atau krama inggil, krama semua
kosakata terdiri dari kosakata krama, dan krama alus kosakatanya krama yang di
dalamnya terdapat kosakata krama alus atau krama inggil.
Fungsi edukatif diarahkan agar siswa dapat memperoleh nilai-nilai budaya Jawa
untuk keperluan pembentukan kepribadian dan identitas bangsa. Pengajaran unggah-
ungguh bahasa Jawa seperti diuraikan di depan, selain untuk keperluan alat komunikasi
juga dapat mengembangkan fungsi edukatif. Melalui unggah-ungguh basa, siswa dapat
ditanamkan nilai-nilai sopan santun. Upaya yang lain adalah melalui berbagai karya
sastra Jawa. Sastra wayang misalnya, selain berfungsi sebagai tontonan (pertunjukan)
juga berfungsi sebagai tuntunan (pendidikan).Melalui sastra wayang, para siswa dapat
ditanamkan nilai-nilai etika, estetika, sekaligus logika.Ungkapan tradisonal Jawa juga
banyak mengandung nilai-nilai lokal Jawa untuk kepentingan pendidikan. Semboyan
pendidikan nasional kita “Ing ngarso sung tuladha, Ing madya mangun karsa, dan
Tutwuri Handayani” juga berasal dari ungkapan tradisional Jawa. Pendek kata, dalam
khasanah bahasa dan sastra Jawa banyak mengandung nilai-nilai lokal Jawa yang dapat
berfungsi untuk mengembangkan fungsi edukatif, yaitu fungsi untuk pembentukan
kepribadian.
Fungsi kultural diarahkan untuk menggali dan menanamkan kembali nilai-nilai
budaya Jawa sebagai upaya untuk membangun identitas bangsa. Jika fungsi sebagai alat
komunikasi dan edukatif telah terlaksana dengan baik, sebenarnya fungsi kultural akan
tercapai, karena fungsi kultural sesungguhnya terkait langsung dengan kedua fungsi itu.
Melalui fungsi alat komunikasi dan edukatif, diharapkan telah ditanamkan nilai-nilai
kepribadian luhur sebagai bagian dari dari tata nilai dan budaya Jawa. Jika penanaman
nilai-nilai budaya Jawa telah berhasil, maka akan terbangun kepribadian yang kuat, dan
pada akhirnya akan membentuk karakter yang kuat pula.
❖ Kearifan Lokal dan Pendidikan Berkearifan Lokal
Kearifan lokal adalah kebijaksanaan hidup yang didasarkan pada nilai-nilai
kebudayaan suatu masyarakat. Kearifan lokal merepresentasikan sebuah nilai
kebudayaan masyarakat yang menaungi keseluruhan kompleksitas norma dan perilaku
yang dijunjung tinggi serta menjadi sebuah “belief”. Kearifan lokal dalam kenyataan
sehari-hari dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan,
kesusasteraan, dan naskah-naskah kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Unsur
revitalisasi kearifan lokal dalam merespon lingkungan adalah melalui penguatan
masyarakat berbasis inisiatif-inisiatif lokal.Ciri dasar kearifan lokal adalah adanya
kepedulian sesama manusia dan alam semesta.
Kebudayaan jawa membawakan adab, pendidikan, pengajaran, kesenian
kesusastraan yang penuh ajaran moral, filsafat yang mengandung pemikiran dan cita-
cita kebijaksanaan hidup sampai pada kebatinan/tasawuf mendekati tuhan yang maha
pencipta, kesemuanya memiliki arti sepanjang masa.
2. Suku Batak Toba (Adat Istiadat Suku Lain)
Dalam hal ini penerapan pendidikan karakter pada keluarga batak toba, sangat
mengedepankan betapa pentingnya pendidikan dan pendidikan adat dan kebudayaannya
supaya karakter budaya batak toba tidak meyeimpang. Pendidikan dianggap sebagai
harta yang tidak ternilai, untuk menjadi seorang yang beradab, bersekolah adalah suatu
kewajiban. Orangtua akan bekerja keras demi bisa menyekolahkan anaknya.Tidak
hanya itu, seorang anak juga dituntut harus lebih baik dari orangtuanya, sebagai contoh
jika bapak atau ibu si anak pendidikan terakhirnya adalah sarjana, maka si anak harus
bisa meraih pendidikan magister hingga doktoral.
Sebenarnya masyarakat Batak khususnya Batak Toba sudah lama mengenal dan
melaksanakan pembinaan dan pengembangan pendidikan karakter dari generasi
kegenerasi berikutnya. Hal ini dapat ditelusuri dari petuahpetuah yang sudah lama ada
dalam masyarakat Batak Toba dan dituntut untuk dilaksanakan sebagai pola hidup
dalam komunikasi antar masyarakat, seperti berikut ini (Edward 2015) :
a) Ditoru tangan mangido di ginjang tangan mangalehon; meminta bantuan harus
dengan rendah hati dan mengakui kelebihan dari orang pada siapa kita meminta.
b) Mangangkat rap tu ginjang manimbuk rap tu toru; artinya ada rasa tanggung jawab
bersama untuk meraih sesuatu secara bersama, tidak mementingkan diri sendiri.
Bekerjasama dan gotong royong.
c) Disi tano ni dege disi langit ni jujung; berarti orang Batak Toba toleran terhadap
daerah atau suku lain, tidak egois, dapat beradaptasi tapi tetap memiliki identitas.
d) Jolo ni dilat bibir asa ni dok hata; mengandung makna hatihati dan dipikir dulu
sebelum mengucapkan sesuatu supaya orang lain jangan tersinggung. Dalam
bahasa Indonesia dikatakan “mulutmu adalah harimaumu”.
e) Ndang ikkat mambaen asa dijolo, artinya bahwa berlari bukan jaminan membuat
orang berhasil. Perlu analisa untuk mengerjakan sesuatu, jangan gegabah
dibutuhkan kehatihatian.
f) Hotang hotari hotang pulogos, gogo ma mansari na dangol do napogos;
mengandung arti berusahalah sekuat tenaga karena kemiskinan menimbulkan
penderitaan. Bekerja keras, belajar keras agar berhasil sukses jauh dari kemiskinan
dan penderitaan.
g) Pakkat hotang tusi hamu mangalangka tusi ma dapotan; maknanya adalah kemana
kamu pergi disitulah hendaknya kamu mendapat rezeki. Optimistis terhadap 30
Kasih dan kebesaran Tuhan, berkat dapat diperoleh dimana saja.
h) Manatap tu jolo manaili tu pudi, berarti memandang ke depan tapi jangan lupa
masa lalu. Jangan lupa kacang akan kulitnya, selalu rendah hati, low profile tidak
sombong/angkuh.
i) Ijuk di para-para hotang di panabian, nabisuk nampuna hata na oto dapotan
parulian. Orang cerdas, bijaksana memiliki ilmu pengetahuan dan setiap orang
termasuk yang bodoh memperoleh atau mendapat berkah atau rezeki.
j) Marbahul-bahul nabolon, artinya penyabar, dapat mengendalikan atau mengelola
emosi, bukan pemarah dan bukan pendendam.
k) Marsitijur tu langit madabu tuampuan, artinya ucapan atau perbuatan yang tidak
baik akan diterima sendiri akibatnya, tangan menyincang bahu memikul.
Berusahalah selalu berbuat baik dan berpikir positif.
l) Ndang dao tubis sian bonana, artinya perilaku atau sifat anak tidak jauh dari
perilaku atau sifat ayah dan ibunya atau orang tuanya. Ada peniruan atau
keteladanan.
Selain mengajarkan akan pentingnya mengenyam pendidikan dan menjadi orang
yang sukses, suku Batak memiliki prinsip dasar dalam hidup yang difilosofikan sebagai
Dalihan Natolu atau yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah tungku dengan
tiga penyangga. Ajaran dalam Dalihan Natolu dijelaskan dengan contoh penerapan
bersosial dalam adat Batak Toba yang dikutip dari gobatak.com adalah sebagai berikut
(Gobatak. 2011) :
a) Somba marhula-hula. Artinya hulahula dalam adat suku Batak adalah keluarga
laki-laki dari pihak istri. Dalam hidup beradat, seseorang haruslah menghormati
hula-hulanya, tidak boleh bersikap sesuka hati.
b) 2. Manat mardongan tubu. Dongan tubu dalam adat Batak adalah sekelompok
masyarakat dalam satu rumpun marga. Gambaran dongan tubu adalah sosok
kakak/abang dan adik. Dalam filosofi ini seseorang diajarkan untuk mengasihi
saudaranya dan saling membantu satu sama lain, jangan sampai ada pertikaian
yang dapat merusak persaudaraan.
c) Elek Marboru. Boru adalah kelompok orang dari saudara perempuan dan pihak
dari suami saudara perempuan. Pada istilah ini diajarkan untuk saling mengasihi
agar hidup ini diberikan berkat

Dari filosofi diatas menjelaskan bahwa suku bangsa batak penuh nilai-nilai yang
sangat kental dan sakral.Filosofi tersebut menghilangkan stereotip yang selama ini kita
dengar terhadap orang batak, orang batak pekerja keras, memiliki suara yang keras dan
suka ‘ceplas-ceplos’ jika mengemukakan pendapat, sehingga tidak jarang dianggap kasar
oleh orang lain. Suku Batak juga kerap dikaitkan dengan berbagai profesi seperti
pengacara, tukang tambal ban, sopir, rentenir, hingga pencopet. Sifat pekerja keras,
bertutur ‘ceplas-ceplos’ dan karakter suara yang keras mungkin memang ada kaitannya
dengan budaya Batak. Apabila kita analisa lirik lagu Anak Medan, salah satu lagu pop
Batak yang berbunyi “Horas, pohon pinang tumbuh sendiri – tumbuhlah menantang
awan – biar kambing di kampung sendiri – tapi banteng di perantauan”. Lagu ini
menyiratkan bagaimana seorang “Anak Medan” harus mandiri dan tumbuh (dalam hal
pekerjaan dan atau pendidikan) setinggi mungkin, jika di kampung sendiri hidup biasa-
biasa saja, maka jika harus merantau, hidup harus lebih baik.

Suku bangsa yang merantau tidak hanya suku Batak saja tentunya, tetapi dengan
prinsip hidupnya, suku Batak ini kerap merantau ke segala penjuru dunia dan memang
cukup terkenal dengan berbagai profesi yang kerap dikaitkan dengan latar belakang
budayanya. Seperti stereotip profesi orang Batak sebagai pengacara, tukang tambal ban,
sopir, rentenir, hingga pencopet (profesi ini tidak untuk ditiru), pada hakikatnya orang
Batak tidaklah gengsi dalam mengerjakan pekerjaan apapun, mereka terlatih untuk hidup
keras, demi menghidupi diri sendiri maupun keluarga, mereka rela mengerjakan
pekerjaan yang remeh sekalipun. Untuk profesi pengacara misalnya, mungkin memang
lekat dengan orang Batak karena beberapa pengacara kondang di tanah air bersuku Batak,
sebut saja Hotman Paris Hutapea, Otto Hasibuan, dan Ruhut Sitompul. Untuk menjadi
seseorang yang berhasil dan sukses pastinya tidak harus terlahir menjadi orang
Batak,siapa pun dari suku bangsa manapun juga memiliki kesempatan yang sama untuk
meraih cita-cita. Tergantung pada kemauan diri dan seberapa keras berusaha.

b). Kelebihan kedua adat istiadat tersebut terkain pendidikan karakter

1. Suku Jawa (Sesusai Suku)

Kelebihan :

a) Kebudayaan jawa membawakan adab, pendidikan, pengajaran, kesenian


kesusastraan yang penuh ajaran moral, filsafat yang mengandung pemikiran dan
cita-cita kebijaksanaan hidup sampai pada kebatinan/tasawuf mendekati tuhan
yang maha pencipta, kesemuanya memiliki arti sepanjang masa.
b) Bahasa jawa membawakan kitab-kitab lama dan baru, memberikan tuntunan
moral dan ketuhanan untuk hidup bermakna dan mendambakan kelepasan jiwa
dalam kesempurnaan.
c) Sikap saling menghormati, ini terlihat pada bahasa keseharian orang jawa dimana
di dalamnya ada undak-unduk basa (tingkatan bahasa) yang dilakukan antara
orang muda dengan orang yang lebih tua. Dalam falsafah orang jawa sering
dikenal dengan among saha miturut, sedulur tuwa iku dadi gegantining wong
tuwa.
d) Sikap dan watak jujur, para orang tua mengajarkan kepada anaknya untuk
berperilaku jujur baik dalam ucapan maupun tindakan.

2. Suku Batak Toba (Adat Istiadat Suku Lain)

Kelebihan :

a) Pendidikan karakter dalam budaya Batak Toba bisa dilihat dari filosofi luhurnya
yang mengharuskan setiap keturunannya untuk berbuat baik kepada sesama, yang
dimana hal ini dimulai dari lingkup terdekat, yaitu keluarga.
b) Dengan berbuat baik pada sesama, dalam budaya Batak Toba diyakini akan
membawa kebaikan dan rezeki dari Tuhan Yang Maha Esa. Selain diajarkan
untuk berbuat baik dan hidup rukun dalam kehidupan sosialnya, budaya Batak
Toba juga menanamkan setiap keturunannya untuk mau belajar dan bekerja keras
demi kemajuan di masa depan.

Anda mungkin juga menyukai