Anda di halaman 1dari 12

BAB III

PEMBAHASAN

A.Gambaran Penangulangan Penyakit menular dan tidak menular

Penanggulangan Penyakit Menular menurut ( kemenkes, 2014 ) mengatakan “


Penanggulangan Penyakit Menular adalah upaya kesehatan yang mengutamakan
aspek promotif dan preventif yang ditujukan untuk menurunkan dan
menghilangkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian, membatasi penularan,
serta penyebaran penyakit agar tidak meluas antardaerah maupun antarnegara
serta berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa/wabah” .
faktor risiko penyakit tidak menular dibagi dalam tiga kelompok, yakni faktor
risiko gangguan metabolik, faktor risiko perilaku, dan faktor risiko
lingkungan.obesitas, dislipidemia, gangguan fungsi ginjal, malnutrisi pada
maternal dan anak), faktor perilaku (perilaku diet, merokok, risiko kesehatan
kerja, kurang aktivitas fisik, konsumsi alkohol), dan faktor lingkungan (polusi
udara, kekerasan, kemiskinan).

B.Strategi dan Ke bijakan Pemerintah Dalam Menagulagi Penyakit Menular

1.HIV/AIDS

Pemerintah bersama masyarakat memiliki komitmen yang kuat dalam upaya


pengendalian HIV AIDS untuk mencapai eliminasi HIV AIDS dan Penyakit
Infeksi Menular Seksual (PIMS) pada tahun 2030. Pada Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, salah satu arah kebijakan dan
strategi adalah meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan menuju
cakupan kesehatan semesta. Peningkatan pengendalian penyakit, dimana HIV
AIDS dan PIMS menjadi bagian dari arah kebijakan tersebut. Komitmen negara
juga tertuang dalam Rencana Strategis bidang kesehatan (Renstra Kemenkes RI)
dengan meningkatkan jumlah orang dengan HIV AIDS (ODHA) yang
mendapatkan pengobatan sebagai salah satu bentuk upaya pencegahan penularan
HIV dan meningkatkan kualitas hidup ODHA. Pemerintah bersama masyarakat
mendukung upaya pencapaian eliminasi HIV AIDS yang telah disepakati di
tingkat global bahwa pada tahun 2030 kita dapat mencapai 95-95-95 untuk
pengobatan, dimana 95% ODHA mengetahui status, 95% dari ODHA yang
mengetahui status mendapatkan pengobatan, dan 95% dari ODHA yang diobati
virusnya tersupresi.

Beberapa kebijakan program yang paling berpengaruh adalah kebijakan “fast


track initiative 90-9090” di mana pemerintah memutuskan secara bertahap
mencapai target 90-90-90 mulai dari tingkat kabupaten/kota.

Kebijakan lain adalah penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK)


sebagai salah satu nomor identitas tunggal dalam pemberian pelayanan publik
termasuk pelayanan kesehatan. Penggunaan NIK juga menjadi tolok ukur
akuntabilitas program dan pelayanan untuk memperoleh hasil yang akurat, valid,
efektif dan efisien

Data prevalensi HIV usia dewasa (15-49 tahun) diperkirakan mencapai 0,32%
pada tahun 2019. Estimasi untuk tingkat provinsi berkisar antara kurang dari
0,1% sampai melebihi 2%. Sebaran HIV di Tanah Papua (terdiri dari provinsi
Papua Barat dan Papua), dengan prevalensi HIV diperkirakan mencapai 2.6%
di populasi umum pada tahun 2019.

2.TBC

Angka keberhasilan pengobatan/success rate pada tahun 2019 mencapai 82,9%


dan pada tahun 2020 mencapai 78,1% dengan target sebesar 90%. Dalam
rangka pelaksanaan Sustainable Development Goals (SDGs), yang salah satu
tujuannya adalah menjamin kesehatan yang baik dan sejahtera maka diperlukan
Strategi Nasional Penanggulangan TB 2020-2024 yang memerlukan komitmen
semua pihak.
Peningkatan fasilitas pelayanan kesehatan yang sudah DOTS dan
melaporkan kasus TB mengalami peningkatan pada tahun 2020 dibandingkan
tahun 2017 khusunya RS pemerintah (57% menajdi 72%), RS Swasta (33%
menjadi 49%), dan DPM/ Klinik (1% menjadi 3 %). Sedangkan dilihat dari
kontribusi notifikasi kasus TB tahun 2020, terbanyak masih dari PKM dan
B/BPKM sebesar 64%, disusul oleh RS Pemerintah sebesar 20%, RS Swasta
sebesar 15% dan yang terkecil dari DPM/ Klinik sebesar 1%.
Penggunaan Tes Cepat Molekuler merupakan salah satu terobosan dalam
penaggulangan TBC untuk deteksi lebih cepat. Ekspansi penggunaan Tes
Cepat Molekuler (TCM) dalam diagnosis kasus TBC yang sebelumnya hanya
digunakan untuk diangnosis TB RO, sejak tahun 2016 sudah diperluas
penggunaan mesin TCM untuk diagnosis pada terduga TB sensitif obat,
ODHA, TB DM, TB anak. Pada tahun 2015 hanya sebanyak 63 mesin TCM
meningkat menjadi 1158 mesin TCM pada tahun 2020 (per November) yang
tersebar di 1097 faskes peneirma TCM (652 RS, 25 laboratorium, 420 PKM),
514 kab kota dan 34 Provinsi.
Sebagai landasan upaya-upaya menurunkan beban TB di Indonesia adalah
dengan menyatakan TB sebagai prioritas nasional. Strategi TOSS TB adalah
merupakan kunci dari penanggulangan TB yaitu menemukan dan
menyembuhkan pasien TB hingga tuntas (sembuh), untuk memutuskan
rantai penularan TB dan menurunkan insiden TB di masyarakat. Untuk
melaksanakan strategi ini diperlukan komitmen yang kuat dari pemerintah
dan keterlibatan penuh sektor swasta serta stake holder lainnya untuk
penanggulangan TB. Dukungan tersebut bisa dengan menerapkan kebijakan
baru dan peraturan-peraturan yang kemungkinan besar merupakan strategi
paling berdaya guna, termasuk keharusan pelaporan kasus, standar klinis
untuk pelayanan TB yang berkualitas, sertifikasi dan akreditasi para pemberi
layanan kesehatan, serta memastikan kepatuhan terhadap pedoman diagnosis
secara nasional dan juga pembiayaannya.
3.ISPA

a. Pencegahan Penyakit ISFA dengan Program ,Peningkatan program


program P2
a).Intensifikasi Program
Intensifikasi program adalah kegiatan untuk meningkatkan jangkauan
program dan peningkatan cakupan serta mutu pelayanan dalam program
P2 ISPA yang melipu kegiatan penemuan dan pengobatan penderita,
pelaksanaan dan pengembangan MTBS serta pelaksanaan autopsi verbal
Balita.
Program pengendalian penyakit infeksi saluran pernafasan akut (P2
ISPA) adalah suatu program pengendalian penyakit menular yang
tujuannya menurunkan angka kesakitan dan kema an balita akibat
penyakit ISPA pneumonia ,cara pencegahan lainya Mengenakan masker
atau pelindung pernapasan apabila dekat dengan sumber risiko
penularan pneumonia.
Menjaga daya tahan tubuh agar tetap kuat melawan semua virus atau
bakteri yang masuk ke dalam tubuh.

4.HEPATITIS

Dalam pengendalian Hepatitis strategi utama adalah melaksanakan upaya


peningkatan pengetahuan dan kepedulian, pencegahan secara komprehensif,
deteksi dini, pengamatan penyakit dan Dalam pengendalian termasuk
tatalaksana dan peningkatan akses layanan.

Pemerintah Indonesia mendukung upaya pembagunan kesehatan


berkelanjutan “Sustainabel Develovment Gols (SDG’s). Salah satu indikator
SDG’s adalah memerangi hepatitis dengan indikatornya menurunkan insiden
Hepatitis. Hal ini sejalan dengan tujuan global tujuan pengendalian Hepatitis
B dan C adalah eliminasi hepatitis virus B dan C tahun 2030. Untuk
Indonesia diharapkan dapat mencapai Eliminasi penularan Hepatitis B dari
ibu ke anak mulai tahun 2022 secara bertahap, dilanjutkan dengan eliminasi
hepatitis B tahun 2030 dan eliminasi hepatitis C tahun 2040.
Secara khusus untuk Hepatitis B, Indonesia merupakan salah satu negara di
wilayah Asia Tenggara dengan angka prevalensi tertinggi sehingga
dibutuhkan perhatian dan komitmen seluruh penentu kebijakan baik di tingkat
pusat maupun daerah untuk program P2 Hepatitis.5
Hasil Riskesdas 2013 prevalensi Hepatitis B di Indonesia sebesar 7,1% dan
hepatitis C seebsar 1%. Dari hasil tersebut diperkirakan ada sebanyak 18 juta
penderita Hepatitis B dan 2,5 jura penderita hepatitis C di Indonesia.
5.COVID 19
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) merupakan kebijakan pemerintah
yang dikeluarkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020
tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan
Penanganan Corona virus Disease 2019 (COVID-19). Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB) adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk
dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Kebijakan tersebut merupakan
implementasi dari pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
alinea ke-4 itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum...” dapat dimaknai
dari pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 negara harus melindungi segenap bangsa Indonesia yang
diimplementasikan melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar untuk
mengurangi penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Pembatasan Sosial Berskala Besar ini didasari dari beberapa aturan
dasar, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit
Menular,18 UndangUdang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana19, serta Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018
tentang Kekarantinaan Kesehatan.20 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1984 Dalam hal ini Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1984 dapat dijadikan dasar tujuan penerapan Pembatasan Sosial Berskala
Besar, yang pada intinya bertujuan untuk mengurangi penyebaran wabah atau
pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) agar melindungi
masyarakat dari pada wabah atau pandemi yang sangat berbahaya ini.
Termaktub pula dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1984.
implementasi kebijakan Peraturan Daerah Nomor 19 tahun 2016 Tentang
Penanggulangan Penyakit dengan studi kasus penanggulangan Covid19 di
bahwa kebijakan penanggulangan Covid19 sudah diimplementasikan oleh
seluruh actor implementasi namun dilihat dari variabel yang mempengaruhi
impementasi dari Van Meter dan Horn (1975) ditemukan kendala kendala
dalam memenuhi variabel tersebut serta terdapat keterkaitan antar variabel
yang saling mempengaruhi terhadap kinerja implementasi kebijakan, seperti
dijelaskan sebagai berikut :
a. Variabel standar dan sasaran kebijakan sudah dapat dipahami dan
dilaksanakan sesuai peran masing masing. Standar kebijakan
penanggulangan Covid19 telah menjadi ukuran dan tujuan perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi hasil. Sasaran kebijakan dalam penanggulangan
Covid19 sangat kompleks, melibatkan berbagai actor dan target sasaran
sehingga membentuk complex structure dan melibatkan multiple agency.
b. Variabel sumber daya sudah memadai dalam mengimplementasikan
kebijakan penanggulangan Covid19 dan sesuai dengan apa yang tertuang
dalam Perda No.19 Tahun 2016 Tentang Penanggulangan Penyakit, yang
terdiri dari sumber daya manusia kesehatan (SDMK) dan sumber daya
non kesehatan yang jumlah dan jenisnya sudah sesuai dengan standar
yang diharapkan. Fasilitas pelayanan Kesehatan, obat dan perbekalan
Kesehatan, system informasi dan surveillance respon, tata Kelola.
Fasilitas Kesehatan, sarana dan prasarana di Puskesmas Majalaya masih
belum optimal dalam memenuhi standar dalam penanggulangan Covid19
karena kurangnya beberapa sarana kesehatan
c. Variabel komunikasi antar badan pelaksana dan target group lebih
dominan dilakukan secara satu arah, yaitu dengan cara sosialisasi.
Sehingga timbul information gap dari kelompok sasaran terhadap
kebijakan penanggulanan Covid19 di Puskemas majalaya.
d. Variabel karakteristik agen pelaksana ditemukan telah menunjukan
eksistensi teamwork karena memiliki tujuan kolektif, kompak dan
akuntabilitas secara pribadi maupun Lembaga. Komitmen para pelaksana
kebijakan didukung oleh kompetensi atau keahlian untuk manjalankan
tugas dan delegasi yang diberikan.
e. Variabel sikap para implementor telah menunjukan sikap motivasi yang
kuat. mendukung dan komitmen penuh dalam implementasi kebijakan,
namun dalam pelaksanaan implementasi dihadapkan pada situasi yang
tidak terduga untuk mengambil Langkah diskresi.
f. Kebijakan Penanggulangan Covid19 memberikan dampak terhadap
kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Sehingga muncul sikap dukungan,
Kerjasama, Tindakan tandingan dan pemutusan hubungan sebagai
interaksi antara proses implementasi dengan kondisi lingkungan sosial,
politik dan ekonomi. Organisasi atau Lembaga pemerintah memberikan
sikap mendukung dan menunjukan Kerjasama antar Lembaga yang
cukup baik. Namun sebagian masyarakat pelaku ekonomi diwilayah
majalaya menunjukan sikat contra policy atau tindakan tandingan karena
dampak ekonomi yang dialaminya.

C.Strategi dan Ke bijakan Pemerintah Dalam Menagulagi Penyakit Tidak


Menular

Pada tahun 2016, sekitar 71 persen penyebab kematian di dunia adalah penyakit
tidak menular (PTM) yang membunuh 36 juta jiwa per tahun. Sekitar 80 persen
kematian tersebut terjadi di negara berpenghasilan menengah dan rendah. 73%
kematian saat ini disebabkan oleh penyakit tidak menular, 35% diantaranya karena
penyakit jantung dan pembuluh darah, 12% oleh penyakit kanker, 6% oleh penyakit
pernapasan kronis, 6% karena diabetes, dan 15% disebabkan oleh PTM lainnya (data
WHO, 2018).

PTM telah mendorong lahirnya kesepakatan tentang strategi global dalam


pencegahan dan pengendalian PTM, khususnya di negara berkembang. PTM telah
menjadi isu strategis dalam agenda SDGs 2030 sehingga harus menjadi prioritas
pembangunan di setiap negara.

Indonesia saat ini menghadapi beban ganda penyakit, yaitu penyakit menular dan
Penyakit Tidak Menular. Perubahan pola penyakit tersebut sangat dipengaruhi antara
lain oleh perubahan lingkungan, perilaku masyarakat, teknologi, ekonomi dan sosial
budaya. Peningkatan beban akibat PTM sejalan dengan meningkatnya faktor risiko
yang meliputi meningkatnya tekanan darah, gula darah, indeks massa tubuh atau
obesitas, pola makan tidak sehat, kurang aktivitas fisik dan merokok serta alkohol.

Program Kemenkes lainnya yang disinergikan dengan program PTM utama adalah
pengendalian gangguan indera serta yang berfokus pada gangguan penglihatan dan
pendengaran serta gangguan disabilitas. Berdasarkan data Riskesdas 2013, prevalensi
gangguan pendengaran secara nasional sebesar 2,6% dan prevalensi ketulian sebesar
0,09%. Hasil survei Rapid Assesment of Avoidable Blindness (RAAB) menunjukkan
bahwa prevalensi kebutaan atas usia 50 tahun Indonesia berkisar antara 1,7% sampai
dengan 4,4%. Dari seluruh orang yang menderita kebutaan, 77,7% kebutaan
disebabkan oleh katarak. Penyebab lain dari kebutaan di Indonesia adalah kelainan di
segmen posterior bola mata (6%), glaucoma (2,9%), dan kelainan refraksi yang tidak
terkoreksi (2,3%). Pada prevalensi gangguan pendengaran ditemukan 2,6 % dan
ketulian sebesar 0,09 %. Sedangkan pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2018 disebutkan prevalensi disabilitas pada penduduk umur 18 – 59 tahun sebesar
22%.

.1 Kebijakan

a. Meningkatkan advokasi keijakan yang berpihak terhadap program kesehatan


dan sosialisasi P2PTM.
b. Melaksanakan upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif dan paliatif
secara komprehensif.
c. Meningkatkan kapasitas sumber daya manusia.
d. Mengembangkan dan memperkuat sistem surveilans.
e. Penguatan jejaring dan kemitraan melalui pemberdayaan masyarakat.

2. Strategi

a. Meningkatkan advokasi kebijakan yang berpihak terhadap program


kesehatan dan sosialisasi P2PTM.
b. Mendorong penguatan komitmen dari pengambil kebijakan untuk
mendukung program P2PTM terutama dalam alokasi sumber daya daerah.
c. Memberikan informasi dan pemahaman potensial produktitas serta
potensial ekonomi yang hilang akibat P2PTM kepada para pengambil
kebijakan lintas sektor.
d. Menumbuhkan kesadaran bahwa masalah kesehatan adalah tanggung jawab
bersama.
e. Mendorong advokasi lintas sektor untuk mewujdukan pembangunan
berwawasan kesehatan (Health in All Policy = HiAP).
f. Melaksanakan upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif dan paliatif
secara komprehensif.
g. Menyebarluaskan secara masif sosialisasi pencegahan dan pengen dalian
faktor risiko PTM kepada seluruh masyarakat.
h. Meningkatkan kemandirian masyarakat melalui penerapan budaya perilaku
CERDIK.
i. Melakukan deteksi dini dan tindak lanjut dini faktor risiko PTM baik di
Posbindu maupun di fasilitas pelayanan kesehatan.
j. Melakukan penguatan tata laksana kasus sesuai standar.
k. Meningkatkan program peningkatan kualitas hidup (perawatan paliatif)
sesuai ketentuan.
D.Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi

1.Upaya Menurunkan Angka Kesakitan


Salah satu upaya untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian penyakit
menular adalah dengan pemberian imunisasi. Penyakit-penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi (PD3I) diantaranya adalah Difteri, Pertusis, Tetanus,
Tuberkulosis, Campak, Poliomielitis, Hepatitis B, dan Hemofilus Influenza
Tipe b (Hib).
Data tahun 2019 menunjukan jumlah kasus penyakit PD3I yang terjadi
sebanyak 14.340 kasus yang terdiri dari: Campak 11.521 kasus, Difteri 778
kasus, TN 78 kasus dan Non Polio AFP sebanyak 1.963 kasus. Sedangkan
tahun 2014 jumlah kasus PD3I sebanyak 15.224 kasus dengan rincian: Campak
12.943 kasus, Difteri 430 kasus, TN 84 kasus dan Non Polio AFP sebanyak
1.767 kasus. pada tahun 2019 jumlah kasus PD3I dapat menurun hingga 40%,
yaitu minimal menjadi 8.604 kasus
Keberhasilan program imunisasi adalah hilangnya (eradikasi) penyakit cacar
dari muka dunia, hilangnya penyakit polio di sebagian besar negara-negara di
dunia dan pada tahun 2019 penyakit polio telah berhasil dihapus dari seluruh
dunia serta menurunnya angka kesakitan dan kematian akibat PD3I. Beberapa
penyakit tersebut telah menjadi perhatian dunia dan merupakan komitmen
global yang wajib diikuti oleh semua negara, yaitu Eradikasi Polio (ERAPO),
Eliminasi Campak – Pengendalian Rubella (EC-PR) dan Maternal Neonatal
Tetanus Elimination (MNTE). Salah satu upaya untuk mencapai hal tersebut
adalah mempertahankan cakupan imunisasi yang tinggi dan merata di seluruh
wilayah dan penguatan surveilans PD3I. Hal ini bertujuan untuk
menghindarkan terjadinya daerah kantong yang akan mempermudah terjadinya
kejadian luar biasa (KLB). Disamping itu upaya untuk menimbulkan kekebalan
secara paripurna melalui pemberian imunisasi pada anak usia 0-11 bulan
ditambah dengan pemberian dosis tambahan (booster) diperlukan untuk
meningkatkan kekebalan pada usia 18 .
Program imunisasi merupakan salah satu upaya kesehatan yang masih
terkendala oleh beberapa faktor, antara lain: terbatasnya jumlah SDM yang
kompeten, tingginya mutasi petugas khususnya di tingkat pelayanan, tidak
meratanya komitmen pemangku kebijakan di daerah untuk memprioritaskan
program imunisasi, kurang efektifnya sistem pengadaan logistik imunisasi, dan
sulitnya kondisi geografis di sebagian wilayah. Berdasarkan hasil Riskesdas
2013, persentase imunisasi dasar lengkap di perkotaan lebih tinggi (64,5%)
daripada di perdesaan (53,7%). Universal Child Immunization (UCI) desa yang
kini mencapai 82,7% perlu ditingkatkan hingga mencapai 92% di tahun 2019.
Dari data rutin cakupan imunisasi dasar lengkap, persentase lebih tinggi
terdapat di wilayah bagian barat dibanding wilayah timur.
2.Gambaran Imunisasi saat ini
Gambaran kondisi imunisasi saat ini adalah masih terdapat daerah kantong yang
cakupan imunisasinya belum memenuhi target selama beberapa tahun untuk
beberapa antigen, kinerja surveilans yang mengalami penurunan, serta adanya
disparitas capaian antar provinsi. Hal ini memerlukan perhatian upaya khusus
mempertahankan Erapo dan mencapai target eliminasi penyakit tertentu. Keadaan
tersebut di atas menimbulkan daerah risiko tinggi terhadap PD3I seperti gambar
dibawah ini.
Khusus untuk eliminasi Tetanus Maternal Neonatal, saat ini Indonesia
merupakan satu-satunya negara di regional SEARO yang belum mencapai tahap
eliminasi. Sejumlah 30 dari 34 provinsi dan 479 dari 514 kabupaten di Indonesia
yang tersebar di regional 1 (Jawa-Bali), regional 2 (Sumatera), dan regional 3
(Kalimantan, Sulawesi, NTB dan NTT) sudah mencapai tahap eliminasi Tetatus
Maternal dan Neonatal melalui berbagai kegiatan imunisasi rutin, imunisasi
massal, serta persalinan bersih dan aman. Namun Indonesia baru dinyatakan
eliminasi apabila regional 4 yang meliputi provinsi Maluku Utara, Maluku, Papua
Barat dan Papua telah mencapai target eliminasi. Program eliminasi TMN saat ini
terfokus di 18 kabupaten pada regional 4. Perlu dilakukan imunisasi TT dua
putaran dengan cakupan tinggi (>80%) agar Indonesia dapat disertifikasi sebagai

Anda mungkin juga menyukai