Anda di halaman 1dari 11

Latar Belakang

Kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum perlu diwujudkan sesuai
dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 melalui
Pembangunan Nasional yang berkesinambungan berdasarkan Pancasila dan UUD
1945.Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat dipengaruhi oleh tersedianya sumber
daya manusia yang sehat, terampil dan ahli, serta disusun dalam satu program kesehatan
dengan perencanaan terpadu yang didukung oleh data dan informasi epidemiologi yang
valid.
Pembangunan bidang kesehatan di Indonesia saat ini mempunyai beban ganda
(double burden). Penyakit menular masih merupakan masalah, sementara penyakit
degeneratif juga muncul sebagai masalah. Penyakit menular tidak mengenal batas
wilayah administrasi, sehingga menyulitkan pemberantasannya. Dengan tersedianya
vaksin yang dapat mencegah penyakit menular tertentu, maka tindakan pencegahan untuk
mencegah berpindahnya penyakit dari satu daerah atau negara ke negara lain dapat
dilakukan dalam waktu relatif singkat dan dengan hasil yang efektif.
Salah satu strategi pembangunan kesehatan nasional untuk mewujudkan
Indonesia Sehat 2010 adalah menerapkan pembangunan nasional berwawasan
kesehatan, yang berarti setiap upaya program pembangunan harus mempunyai kontribusi
positif terhadap terbentuknya lingkungan yang sehat dan perilaku sehat. Sebagai acuan
pembangunan kesehatan mengacu kepada konsep Paradigma Sehat yaitu pembangunan
kesehatan yang memberikan prioritas utama pada upaya pelayanan peningkatan
kesehatan (promotif) dan pencegahan penyakit (preventif) dibandingkan upaya pelayanan
penyembuhan/pengobatan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) secara menyeluruh dan
terpadu dan berkesinambungan.
Menurut Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992, Paradigma Sehat
dilaksanakan melalui beberapa kegiatan antara lain pemberantasan penyakit. Salah satu
upaya pemberantasan penyakit menular adalah upaya pengebalan (imunisasi). Penerapan
Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-
Undang RI Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah memberikan otonomi luas kepada kabupaten/kota dan otonomi terbatas
pada provinsi, sehingga pemerintah daerah akan semakin leluasa menentukan prioritas
pembangunan sesuai kondisi daerah.
Oleh sebab itu daerah harus memiliki kemampuan mengidentifikasi masalah
sampai memilih prioritas penanggulangan masalah kesehatan yang sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan daerah, serta mencari sumber-sumber dana yang dapat
digunakan untuk mendukung penyelesaian masalah. Dalam hal ini imunisasi merupakan
upaya prioritas yang dapat dipilih oleh semua wilayah mengingat bahwa imunisasi
merupakan upaya yang efektif dan diperlukan oleh semua daerah. Upaya imunisasi
diselenggarakan di Indonesia sejak tahun 1956. Upaya ini merupakan upaya kesehatan
masyarakat yang terbukti paling cost effective.
Dengan upaya imunisasi terbukti bahwa penyakit cacar telah terbasmi dan
Indonesia dinyatakan bebas dari penyakit cacar sejak tahun 1974. Mulai tahun 1977,
upaya imunisasi diperluas menjadi Program Pengembangan Imunisasi dalam rangka
pencegahan penularan terhadap Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)
yaitu, tuberculosis, difteri, pertusis, campak, polio, tetanus serta hepatitis B.
Dengan upaya imunisasi pula, kita sudah dapat menekan penyakit polio dan sejak
tahun 1995 tidak ditemukan lagi virus polio liar di Indonesia. Hal ini sejalan dengan
upaya global untuk membasmi polio di dunia dengan Program Eradikasi Polio (ERAPO).
Penyakit lain yang sudah dapat ditekan sehingga perlu ditingkatkan programnya
adalah tetanus maternal dan neonatal serta campak. Untuk tetanus telah dikembangkan
upaya Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (MNTE) sedangterhadap campak
dikembangkan upaya Reduksi Campak (RECAM). ERAPO, MNTE dan RECAM juga
merupakan komitmen global yang wajib diikuti oleh semua Negara di dunia. Disamping
itu, dunia juga menaruh perhatian terhadap mutu pelayanan dan menetapkan standar
pemberian suntikan yang aman (safe injection practices) yang dikaitkan dengan
pengelolaan limbah tajam yang aman (save waste disposal management), bagi penerima
suntikan, aman bagi petugas serta tidak mencemari lingkungan.
Walaupun PD3I sudah dapat ditekan, cakupan imunisasi harus dipertahankan
tinggi dan merata. Kegagalan untuk menjaga tingkat perlindungan yang tinggi dan merata
dapat menimbulkan letusan (KLB) PD3I. Untuk itu, upaya imunisasi perlu disertai
dengan upaya surveilans epidemiologi agar setiap peningkatan kasus penyakit atau
terjadinya KLB dapat terdeteksi dan segera diatasi. Dalam PP Nomor 25 Tahun 2000
kewenangan surveilans epidemiologi, termasuk penanggulangan KLB merupakan
kewenangan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Selama beberapa
tahun terakhir ini, kekawatiran akan kembalinya beberapa penyakit menular dan
timbulnya penyakit-penyakit menular baru kian meningkat.
Penyakit-penyakit infeksi baru oleh WHO dinamakan sebagai Emerging
Infectious Diseases adalah penyakit-penyakit infeksi yang betul-betul baru (new diseases)
yaitu penyakit-penyakit yang tadinya tidak dikenal (memang belum ada, atau sudah ada
tetapi penyebarannya sangat terbatas; atau sudah ada tetapi tidak menimbulkan gangguan
kesehatan yang serius pada manusia). Yang juga tergolong ke dalamnya adalah penyakit-
penyakit yang mencuat (emerging diseases), yaitu penyakit yang angka kejadiannya
meningkat dalam dua dekade terakhir ini, atau mempunyai kecenderungan untuk
meningkat dalam waktu dekat, penyakit yang area geografis penyebarannya meluas, dan
penyakit yang tadinya mudah dikontrol dengan obatobatan namun kini menjadi resisten.
Selain itu, termasuk juga penyakit-penyakit yang mencuat kembali (reemerging diseases),
yaitu penyakit-penyakit yang meningkat kembali setelah sebelumnya mengalami
penurunan angka kejadian yang bermakna.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa program imunisasi kedalam
penyelenggaraan yang bermutu dan efisien. Upaya tersebut didukung dengan kemajuan
yang pesat dalam bidang penemuan vaksin baru (Rotavirus, Japanese encephalitis, dan
lain-lain). Beberapa jenis vaksin dapat digabung sebagai vaksin kombinasi yang terbukti
dapat meningkatkan cakupan imunisasi, mengurangi jumlah suntikan dan kontak dengan
petugas imunisasi.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa upaya imunisasi perlu terus ditingkatkan untuk
mencapai tingkat population imunity (kekebalan masyarakat) yang tinggi sehingga dapat
memutuskan rantai penularan PD3I. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi,
upaya imunisasi dapat semakin efektif dan efisien dengan harapan dapat memberikan
sumbangan yang nyata bagi kesejahteraan anak, ibu serta masyarakat lainnya.

Tujuan
1. Tujuan Umum
Turunnya angka kesakitan, kecacatan dan kematian bayi akibat PD3I.
2. Tujuan Khusus
a. Tercapainya target Universal Child Immunization yaitu cakupan imunisasi lengkap
minimal 80% secara merata pada bayi di 100% desa/ kelurahan pada tahun 2010.
b. Tercapainya Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (insiden di bawah 1 per 1.000
kelahiran hidup dalam satu tahun) pada tahun 2005.
c. Eradikasi polio pada tahun 2008.
d. Tercapainya reduksi campak (RECAM) pada tahun 2005.
Landasan Hukum
a) Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
b) Undang-undang No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
c) Undang-undang No. 1 tahun 1962 tentang Karantina Laut.
d) Undang-undang No. 2 tahun 1962 tentang Karantina Udara.
e) Keputusan Menkes No. 1611/Menkes/SK/XI/2005 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Imunisasi.
f) Keputusan Menkes No. 1626/ Menkes/SK/XII/2005 tentang Pedoman
g) Pemantauan dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI).
Kebijakan dan Strategi
Program Imunisasi
1) Kebijakan
Penyelenggaraan imunisasi dilaksanakan oleh pemerintah, swasta dan
masyarakat, dengan mempertahankan prinsip keterpaduan antara pihak terkait.
Mengupayakan pemerataan jangkauan pelayanan imunisasi baik terhadap
sasaran masyarakat maupun sasaran wilayah.
Mengupayakan kualitas pelayanan yang bermutu.
Mengupayakan kesinambungan penyelenggaraan melalui perencanaan program
dan anggaran terpadu.
Perhatian khusus diberikan pada wilayah rawan sosial, rawan penyakit (KLB)
dan daerah-daerah sulit secara geografis.
2) Strategi
Memberikan akses (pelayanan) kepada masyarakat.
Membangun kemitraan dan jejaring kerja.
Menjamin ketersediaan dan kecukupan vaksin, peralatan rantai vaksin da alat
suntik.
Menerapkan sistem Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) untuk menentukan
prioritas kegiatan serta tindakan perbaikan.
Pelayanan imunisasi dilaksanakan oleh tenaga profesional/terlatih
Pelaksanaa sesuai standar.
Memanfaatkan perkembangan metoda dan teknologi yang lebih efektif,
berkualitas dan efisien.
Meningkatkan advokasi, fasilitasi dan pembinaan.
Di Indonesia, untuk pelayanan kesehatan pemerintah, vaksin yang termasuk
dalam program imunisasi dasar diberikan secara gratis, kadang-kadang di beberapa
unit pelayanan kesehatan hanya membayar kartu masuk puskesmas atau rumah
sakit tergantung pada kebijakan daerah. Vaksin yang termasuk program imunisasi
dasar adalah: Hepatitis B, Diptheri, Pertusis, Tetanus, polio, BCG dan vaksin
campak. Untuk vaksin yang tidak termasuk program imunisasi dasar, seperti HiB,
Pneumoni, MMR maka harus membayar vaksin yang diberikan. Untuk pelayanan
swasta, bila vaksin bukan berasal dari vaksin pemerintah maka yang bersangkutan
harus membayar biaya vaksin dan konsultasi pada pihak swasta.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Penelitian-penelitian tentang status imunisasi dasar pada anak telah banyak dilakukan,
dengan hasil sebagai berikut :
Umur Ibu
Umur ibu merupakan faktor yang berhubungan dengan status imunisasi anaknya.
Hasil penelitian Wardhana (2001) menyebutkan bahwa ibu yang berumur 30 tahun atau
lebih cenderung imunisasi anaknya tidak lengkap dibandingkan dengan ibu yang berumur
lebih muda.
Menurut Pillai & Conaway (1992) dalam Wardhana (2001) melaporkan juga ibu-
ibu yang lebih muda sering kali memberikan vaksinasi kepada bayi-bayinya hingga tahap
berikutnya (DPT1) dibandingkan dengan ibu-ibu yang lebih tua. Namun umur ibu tidak
berpengaruh pada tahap-tahap imunisasi lainnya. Penelitian Isfan (2006) menemukan
bahwa ketidaklengkapan imunisasi dasar pada anak lebih beresiko 3,10 kali pada ibu yang
berumur 30 tahun dibandingkan umur ibu yang lebih muda atau <30 tahun.
Pendidikan Ibu
Pendidikan adalah proses perubahan sikap dan perilaku seseorang dalam kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan
(Syah, 2000). Selanjutnya pendidikan kesehatan menurut Notoatmodjo (1993) adalah
suatu penerapan konsep pendidikan di bidang kesehatan atau dengan kata lain konsep
pendidikan kesehatan dimaksudkan untuk menerapkan pendidikan dalam bidang
kesehatan yang meliputi proses pembelajaran.
Berdasarkan hasil penelitian Wardhana (2001) menemukan bahwa ibu yang
berpendidikan rendah, maka status imunisasi anaknya cenderung tidak lengkap
dibandingkan ibu yang berpendidikan tinggi. Penelitian Isfan (2006) menyebutkan bahwa
ketidaklengkapan imunisasi dasar pada anak beresiko 2,01 kali pada ibu yang pendidikan
rendah dibandingkan ibu yang pendidikan tinggi. Jadi pendidikan kesehatan tidak terlepas
dari proses belajar pada individu, kelompok masyarakat dari tidak tahu tentang nilai-nilai
kesehatan menjadi tahu, dan tidak mampu menjadi mampu mengatasi sendiri-sendiri
masalah kesehatan.
Pekerjaan Ibu
Penelitian Rahmadewi (1994) status kerja ibu-ibu yang diteliti, proporsi anaknya
yang diimunisasi lengkap lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja,
masing-masing 55% dan 52,%.
Hasil penelitian Utomo (2008) menunjukkan bahwa proporsi ibu yang tidak
bekerja kemungkinan besar status imunisasi anak tidak lengkap dibandingkan ibu yang
bekerja, yaitu 74,6% dan 68,3%.
Penelitian Idwar (2000) dalam Tawi (2008) menyebutkan bahwa ibu yang bekerja
mempunyai risiko 2,324 kali untuk mengimunisasikan bayinya dibandingkan dengan ibu
yang tidak bekerja disebabkan kurangnya informasi yang diterima ibu rumah tangga
dibandingkan dengan ibu yang bekerja.
Jumlah Anak Hidup
Jumlah anak adalah salah satu faktor yang mempengaruhi ibu dalam melakukan
atau berperilaku terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan. Ibu yang mempunyai anak
tiga orang atau lebih cenderung imunisasi dasar anaknya tidak lengkap dibandingkan
dengan ibu yang memiliki anak satu atau dua orang saja (Wardhana, 2001).
Jenis Kelamin Anak
Pillai & Conaway (1992) mengemukakan bahwa diantara anak-anak yang
mendapatkan beberapa imunisasi, anak laki-laki cenderung mendapatkan imunisasi lebih
banyak dari pada anak perempuan. Hubungan jenis kelamin anak dengan angka imunisasi
tampak sangat penting. Latar belakang keluarga, seperti keluarga besar (extended family)
sering kali mendukung pemberian imunisasi secara lengkap.
Pekerjaan Suami
Hasil penelitian Arifin (2001) menunjukan bahwa kepala keluarga yang tidak
bekerja memiliki kecenderungan anaknya tidak mendapatkan imunisasi yang lebih baik
dibandingkan dengan kepala keluarga yang memiliki pekerjaan. Dan resiko
ketidaklengkapan imunisasi dasar pada anak 3,21 kali pada suami yang bekerja di sektor
non formal dibandingkan sektor formal (Isfan, 2006).
Pendidikan Suami
Di samping pendidikan ibu, pendidikan ayah juga ikut memberi peranan dalam
menurunkan angka mortalitas balita. Mosley, 1983 (dalam Singarimbun, 1988)
menyatakan pendidikan ayah merupakan faktor yang sangat mempengaruhi asset rumah
tangga dan komoditi pasar yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Pendidikan ayah dapat
mempengaruhi sikap dan kecenderungan dalam memilih barang-barang konsumsi,
termasuk pelayanan pengobatan anak. Efek ini merupakan hal yang paling berarti untuk
kelangsungan hidup anak pada saat ayah yang lebih berpendidikan menikah dengan
wanita yang kurang berpendidikan.
Peningkatan cakupan imunisasi melalui pendidikan orang tua telah menjadi
strategi populer di berbagai negara. Strategi ini berasumsi bahwa anak-anak tidak akan
diimunisasi secara benar disebabkan orang tua tidak mendapat penjelasan yang baik atau
karena memiliki sikap yang buruk tentang imunisasi.
Program imunisasi dapat berhasil jika ada usaha yang sungguh-sungguh dan
berkesinambungan pada orang-orang yang memiliki pengetahuan dan komitmen yang
tinggi terhadap imunisasi. Jika suatu program intervensi preventif seperti imunisasi ingin
dijalankan secara serius dalam menjawab perubahan pola penyakit dan persoalan pada
anak dan remaja, maka perbaikan dalam evaluasi perilaku kesehatan masyarakat dan
peningkatan pengetahuan sangat diperlukan (Muhammad, 2002 dalam Tawi 2008).
Pemeriksaan Kehamilan (ANC)
Rawatan antenal atau antenatal care (ANC) adalah rawatan yang diberikan
kepada ibu hamil selama masa kehamilannya (Depkes RI dalam Suhendi, 1991). Di
Indonesia pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga
profesional (dokter spesialis kebidanan, dokter umum, bidan, perawat bidan) pada ibu
hamil selama masa kehamilannya, yang sesuai standar pelayanan minimal pelayanan
antenatal meliputi 5 T yaitu timbang berat badan dan ukur tinggi badan, ukur tekanan
darah, imunisasi TT, ukur tinggi fundus uteri dan pemberian tablet besi minimal 90 tablet
selama kehamilan.
Pemeriksaan kehamilan atau antenatal care (ANC) bertujuan untuk
mempersiapkan ibu hamil, baik fisik maupun mental dalam menghadapi kehamilan,
persalinan, pasca persalinan dan perawatan anak. Untuk mencapai tujuan tersebut
pelayanan antenatal care sesuai standar dapat dilaksanakan di puskesmas, puskesmas
pembantu, Polindes dan Posyandu. Penelitian Ediyana (2004) menunjukkan ibu-ibu yang
melakukan pemeriksaan kehamilan pada non tenaga kesehatan mempunyai resiko 2,9 kali
tidak melengkapi status imunisasi anak dibandingkan ibu yang diperiksa oleh tenaga
kesehatan.
Kualitas ANC
Seorang ibu hamil selama kehamilannya minimal diperiksa sebanyak 4 kali yaitu
trimester I sebanyak 1 kali, trimester II sebanyak 2 kali dan trimester III minimal 2 kali.
Dengan memperoleh pelayanan antenatal care yang optimal maka seharusnya ibu hamil
akan memperoleh pelayanan imunisasi yang lengkap (Uussukmara, 2000).
Proporsi ibu yang melakukan kunjungan kehamilan < 4 kali kemungkinan besar
status imunisasi anak tidak lengkap sebesar 79,1% dibandingkan ibu yang melakukan
kunjungan kehamilan 4 kali yaitu sebesar 73,1% (Utomo, 2008).
Penolong Persalinan
Hasil penelitian Suandi (2001) menunjukkan bahwa penolong persalinan
berpengaruh terhadap kontak pertama imunisasi hepatitis B bayi yaitu ibu yang
persalinannya ditolong oleh tenaga kesehatan bayinya mempunyai peluang 3,3 kali untuk
mendapatkan HB-1 nya pada usia dini dibanding bayi dari ibu yang persalinannya
ditolong oleh bukan tenaga kesehatan.
Jarak ke Fasilitas Kesehatan
Jarak dari tempat tinggal ke fasilitas pelayanan kesehatan, juga merupakan faktor
penentu lain untuk pelayanan kesehatan. Jarak dapat membatasi kemampuan dan
kemauan wanita untuk mencari pelayanan terutama ibu. Basrun (1984) dalam
Uussukmara (2000) menemukan hubungan negative antara jarak dengan utilitas
pelayanan kesehatan. Makin jauh suatu pelayanan kesehatan dasar, makin segan mereka
datang. Dibuktikan bahwa ada batas jarak tertentu sehingga orang masih mau berusaha
untuk mencari pelayanan kesehatan.
Batas jarak inipun dipengaruhi oleh jenis jalan, jenis kendaraan pribadi atau
umum, berat ringannya penyakit dan kemampuan untuk biaya ongkos jalan. Penelitian
Idwar (2001) juga menyebutkan ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi
dengan jarak dekat dibandingkan yang jauh sebesar 1,01 kali. Sedangkan untuk jarak
sedang dibandingkan dengan jarak jauh tidak terlihat adanya hubungan yang bermakna.
Ibu akan mencari pelayanan kesehatan yang terdekat dengan rumahnya karena
pertimbangan aktivitas lain yang harus diselesaikan yang terpaksa ditunda.
Sumber Informasi KIA
Keberadaan media informasi berhubungan erat dengan komunikasi massa yang
sangat berpengaruh dalam peningkatan pengetahuan dan pemahaman seseorang tentang
kesehatan. Komunikasi massa adalah penggunaan media massa untuk menyampaikan
pesan-pesan atau informasi-informasi kepada khalayak atau masyarakat (Notoatmodjo,
1993). Penyediaan informasi tentang kesehatan ibu dan anak (KIA) diharapkan
meningkatkan pengetahuan, merubah sikap menjadi positif, serta bagaimana promosi
memperbaiki perilaku.
Faktor yang mempengaruhi ketidaklengkapan imunisasi anak usia 12-23 bulan di
Indonesia salah satunya pengetahuan ibu yang berasal dari media yang murah dan mudah
dijangkau (Cahyono, 2003). Menurut penelitian Ali (2003) sumber informasi mengenai
imunisasi pada seluruh responden didapati berturut-turut posyandu (42%), masyarakat
(16%), klinik (13%), bidan (12%), puskesmas (8%), dokter (7%), dan media massa (3%).
Data ini menunjukkan bahwa peran posyandu masih sangat besar dalam penyebarluasan
informasi tentang imunisasi. Satu penelitian mendapatkan 96% orang tua mengaku
menerima nasihat dokter sebelum memutuskan imunisasi untuk anak mereka.
Menurut Lubis dalam Tawi (2008), dari suatu penelitian yang dilakukan
didapatkan bahwa kurangnya peran serta ibu rumah tangga dalam hal imunisasi lengkap
pada anak disebabkan karena kurang informasi (60-75%), kurang motivasi (2-3%) serta
hambatan lainnya (23-37%).
Hasil penelitian Ramli (1988) menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh
terhadap kejadian drop out atau tidak lengkapnya status imunisasi bayi adalah :
pengetahuan ibu tentang imunisasi, faktor jumlah anak balita, faktor kepuasan ibu
terhadap pelayanan petugas imunisasi, faktor keterlibatan pamong dalam memotivasi ibu
dan faktor jarak rumah ke tempat pelayanan imunisasi.
Perencanaan dan Pembiayaan Program
Perencanaan dan penganggaran untuk Program Imunisasi mengikuti siklus
perencanaan tingkat Nasional. Semua perencanaan program di P2PL merujuk pada
Renstra Depkes. Prioritas ditenukan berdasarkan permasalahan kesehatan yang dihadapi,
dan terdapat pergeseran dalam masalah penyakit, yang menunjukkan bahwa Indonesia
mengalami transisi epidemiologi. Penyakit-penyakit yang umum ditemukan adalah:
tuberkulosis, ISPA, malaria dan diare. Indonesia menghadapi masalah penyakit ganda ,
seiring dengan peningkatan populasi dan proses penuaan, yang akan mempengaruhi
kuantitas dan tipe-tipe pelayanan kesehatan yang akan dibutuhkan dan direncanakan di
masa yang akan datang.
Data menunjukkan adanya peningkatan kasus dan akibat fatal dari flu burung.
Oleh karena itu, tindakan pengurangan dan pencegahan harus ditingkatkan secara
koordinatif. Secara keseluruhan epidemik ini menjadi tantangan baru bagi sektor-sektor
yang terkait yaitu melalui pengawasan penyakit, kontrol dan imunisasi.
Melalui perbaikan desentralisasi dan programprogram prioritas, Program
Imunisasi mempunyai peran dan fungsi dalam setiap tingkatannya.
Tingkat Pusat
Perencanaan dan penganggaran di tingkat Pusat meliputi beberapa kegiatan berikut ini:
Estimasi dana oleh Pemerintah Indonesia didasarkan oleh rencana pembangunan
tahunan dan lima tahunan.
Analisis dan persiapan aktivitas dan anggaran tahunan oleh Subdirektorat Imunisasi
menggunakan satuan biaya dari Bappenas dan DepKeu , dengan mengikuti panduan
komponen biaya seperti: vaksin, ADs, rantai dingin (cold chain), standarisasi dan
panduan, serta pengawasan dan evaluasi.
Diskusi di antara Subdit SEPIM KESMA, Dirjen P2PL DepKes RI, DPR, dan
Depkeu, mengenai kebutuhan anggaran tahunan imunisasi. Rekomendasi dari agensi
donordisediakan pemerintah Indonesia melalui Bappenas.
Kesenjangan diantara biaya yang dibutuhkan dan dana yang tersedia diminta dari
partner program (WHO, UNICEF , dan lain-lain).
Tingkat Regional (Propinsi/ Kab)
Penganggaran oleh DepKes Pusat akan disalurkan ke tingkat propinsi.
Dinkes Kab/Kota mengembangkan rencana tahunan dengan menggunakan
pendekatan sikius penyelesaian masalah ( Perencanaan dan Pengembangan Kesehatan
Terpadu/ P2KT). Layanan-layanan prioritas akan dipilih di tingkat lokal. Analisis dan
persiapan untuk aktifitas dan anggaran tahunan didasarkan pada program perencanaan
tahunan dan lima tahunan dengan menggunakan satuan biaya dari pemerintah lokal,
dengan komponen biaya sebagai berikut: ADs (apabila ada ketentuan yang tidak tepat
dari tingkat pusat), rantai dingin (cold chain), pengawasan, advokasi, dan biaya
operasional.
Diskusi di antara layanan kesehatan regional, DPRD, dan Kantor Keuangan
Pemerintahan Lokal mengenai program imunisasi dan kebutuhan biaya tahunan.
Kesenjangan antara kebutuhan biaya local dan ketersediaan dana didapatkan dari
tingkat pusat/partner program.



Sumber:
Wardhana, Nanang. 2001, Pengaruh Perilaku Ibu Tentang Imunisasi Terhadap Status
Kelengkapan Imunisasi Dasar Pada Anak di Kabupaten Majalengka Tahun 1999-2001, [Tesis].
Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok.
Isfan, Reza. 2006, Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Imunisasi Dasar pada Anak
di Puskesmas Pauh Kota Padang 2006, [Tesis]. Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia, Depok.
Notoatmodjo S. 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineke Cipta, Jakarta.
Rahmadewi. 1994, Hubungan Beberapa Faktor Perilaku Kesehatan Ibu dengan Status
Kelengkapan Imunisasi Dasar Anak, [Tesis]. Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia, Depok.
Utomo, Warsa Budi. 2008. Perbandingan Analisis Regresi Logistik dengan Analisis Propensity
Score Matching pada Studi Kasus Imunisasi Bayi, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Vol 2,
No 6, Juni 2008., pp 282-288
Idwar. 2001. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Imunisasi Hepatitis B pada Bayi
(0-11 Bulan) di Kabupaten Aceh Besar Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 1998/1999 dari
http://digilib.litbang.depkes.go.id/go
Arifin, Samsul. 2001, Hubungan Praktik Kesehatan Ibu dengan Status Imunisasi Dasar Pada
Anak (Analisis Data SDKI), [Tesis]. Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia, Depok.
Ediyana. 2004, Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Imunisasi Hepatitis B pada Anak
Usia 6-23 Bulan di Puskesmas Pasar Ikan Kecamatan Teluk Segara Propinsi Bengkulu Tahun
2000, [Tesis]. Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia,
Depok.
Uussukmara. 200, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Imunisasi Tetanus Toxoid Ibu
Hamil di Puskesmas Sukamanah Kabupaten Bogor Tahun 2000, [Tesis]. Program Pascasarjana
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok.
Suandi, Asep. 2001, Pengaruh Penolong Persalinan terhadap Kontak Pertama Imunisasi
Hepatitis B Bayi di Kecamatan Talaga Kabupaten Majalengka Tahun 2001 dari
http://digilib.litbang.depkes.go.id/go
Cahyono, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keyidaklengkapan Imunisasi Anak Usia 12-23
Bulan Di Indonesia Tahun 2003 (berdasarkan data SDKI 2002-2003) [Skripsi] dari
http://www.youngstatistician.com
Ramli, R.M., Faktor-faktor yang Mempengaruhi Drop Out/Tidak Lengkap Hasil Imunisasi di
Desa Kesongo Semarang Tahun 1988 [Skripsi] dari http://www.journal.unair.ac.id
Comprehensive Multi Year Plan 2007-2011
Probandari, Ari Natalia dkk. 2013, Modul Field Lab Ketrampilan Imunisasi. Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Anda mungkin juga menyukai