Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum perlu diwujudkan
sesuaidengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945
melalui Pembangunan Nasional yang berkesinambungan berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945. Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat dipengaruhi oleh
tersedianya sumber daya manusia yang sehat, terampil dan ahli, serta disusun dalam
satuprogram kesehatan dengan perencanaan terpadu yang didukung oleh data dan
informasi epidemiologi yang valid.
Pembangunan bidang Kesehatan di Indonesia saat ini mempunyai beban
ganda(double burden). Penyakit menular masih merupakan masalah, sementara
penyakitdegeneratif juga muncul sebagai masalah. Penyakit menular tidak mengenal
bataswilayah administrasi, sehingga menyulitkan pemberantasannya.
Dengantersedianya vaksin yang dapat mencegah penyakit menular tertentu, maka
tindakanpencegahan untuk mencegah berpindahnya penyakit dari satu daerah atau
negarake negara lain dapat dilakukan dalam waktu relatif singkat dan dengan hasil
yangefektif.
Salah satu strategi pembangunan kesehatan nasional untuk mewujudkan
"Indonesia Sehat 201O" adalah menerapkan pembangunan nasional berwawasan
kesehatan,yang berarti setiap upaya program pembangunan harus mempunyai
kontribusipositif terhadap terbentuknya lingkungan yang sehat dan perilaku sehat.
Sebagaiacuan pembangunan kesehatan mengacu kepada konsep "Paradigma Sehat"
yaitupembangunan kesehatan yang memberikan prioritas utama pada upaya
pelayananpeningkatan kesehatan (promotif) dan pencegahan penyakit
(preventif)dibandingkan upaya pelayanan penyembuhan/pengobatan (kuratif) dan
pemulihan(rehabilitatif) secara menyeluruh dan terpadu dan berkesinambungan.
MenurutUndang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, "Paradigma
Sehat"dilaksanakan melalui beberapa kegiatan antara lain pemberantasan penyakit.
Salahsatu upaya pemberantasan penyakit menular adalah upaya pengebalan
(imunisasi).
Penerapan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerahdan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antaraPemerintah Pusat dan Daerah memberikan otonomi luas kepada
kabupaten/kotadan otonomi terbatas pada provinsi, sehingga pemerintah daerah akan
semakinleluasa menentukan prioritas pembangunan sesuai kondisi daerah. Oleh sebab
itudaerah harus memiliki kemampuan mengidentifikasi masalah sampai memilihprioritas
penanggulangan masalah kesehatan yang sesuai dengan kemampuan dankebutuhan
daerah, serta mencari sumber-sumber dana yang dapat digunakan untukmendukung
penyelesaian masalah. Dalam hal ini, imunisasi merupakan upayaprioritas yang dapat
dipilih oleh semua wilayah mengingat bahwa imunisasimerupakan upaya yang efektif
dan diperlukan oleh semua daerah.
Upaya imunisasi diselenggarakan di Indonesia sejak tahun 1956. Upaya
inimerupakan upaya kesehatan masyarakat yang terbukti paling cost effective.Dengan
upaya imunisasi terbukti bahwa penyakit cacar telah terbasmi danIndonesia dinyatakan
bebas dari penyakit cacar sejak tahun 1974. Mulai tahun1977, upaya imunisasi
diperluas menjadi Program Pengembangan lmunisasi dalamrangka pencegahan
penularan terhadap Penyakit yang Dapat Dicegah Denganlmunisasi (PD31) yaitu,
tuberkulosis, difteri, pertusis, campak, polio, tetanus sertahepatitis B. Dengan upaya
imunisasi pula, kita sudah dapat menekan penyakit poliodan sejak tahun 1995 tidak
ditemukan lagi virus polio liar di Indonesia. Hal inisejalan dengan upaya global untuk
membasmi polio di dunia dengan ProgramEradikasi Polio (ERAPO).
Penyakit lain yang sudah dapat ditekan sehingga perlu ditingkatkan
programnyaadalah tetanus maternal dan neonatal serta campak. Untuk tetanus
telahdikembangkan upaya Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (MNTE)
sedangterhadap campak dikembangkan upaya Reduksi Campak (RECAM). ERAPO,
MNTEdan RECAM juga merupakan komitmen global yang wajib diikuti oleh semua
negaradi dunia. Di samping itu, dunia juga menaruh perhatian terhadap mutu
pelayanandan menetapkan standar pemberian suntikan yang aman (safe injection
practices)yang dikaitkan dengan pengelolaan limbah tajam yang aman (save waste
disposalmanagement), bagi penerima suntikan, aman bagi petugas serta tidak
mencemarilingkungan.
Walaupun PD31 sudah dapat ditekan, cakupan imunisasi harus dipertahankan
tinggidan merata. Kegagalan untuk menjaga tingkat perlindungan yang tinggi dan
meratadapat menimbulkan letusan (KLB) PD31. Untuk itu, upaya imunisasi perlu
disertaidengan upaya surveilans epidemiologi agar setiap peningkatan kasus penyakit
atauterjadinya KLB dapat terdeteksi dan segera diatasi. Dalam Peraturan
PemerintahNomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah
PropinsiPropinsi sebagai Daerah Otonom, kewenangan surveilans epidemiologi,
termasukpenanggulangan KLB merupakan kewenangan bersama antara pemerintah
pusatdan pemerintah provinsi.
Selama beberapa tahun terakhir ini, kekhawatiran akan kembalinya
beberapapenyakit menular dan timbulnya penyakit-penyakit menular baru kian
meningkat.Penyakit-penyakit infeksi "baru" oleh WHO dinamakan sebagai Emerging
InfectiousDiseases adalah penyakit-penyakit infeksi yang betul-betul baru (new
diseases)yaitu penyakit-penyakit yang tadinya tidak dikenal (memang belum ada, atau
sudahada tetapi penyebarannya sangat terbatas; atau sudah ada tetapi
tidakmenimbulkan gangguan kesehatan yang serius pada manusia). Yang juga
tergolongke dalamnya adalah penyakit-penyakit yang mencuat (emerging diseases),
yaitupenyakit yang angka kejadiannya meningkat dalam dua dekade terakhir ini,
ataumempunyai kecenderungan untuk meningkat dalam waktu dekat, penyakit
yangarea geografis penyebarannya meluas, dan penyakit yang tadinya mudah
dikontroldengan obat-obatan namun kini menjadi resisten. Selain itu, termasuk juga
penyakit-penyakit yang mencuat kembali (reemerging diseases), yaitu penyakit-
penyakit yangmeningkat kembali setelah sebelumnya mengalami penurunan angka
kejadian yangbermakna.
Telah ditemukan satu kasus lumpuh karena virus polio liar pada anak umur 20
bulandi desa Giri Jaya, kecamatan Cidahu, kabupaten Sukabumi, provinsi Jawa
Baratpada tanggal 22 April 2005. Anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi
poliomeskipun cakupan imunisasi di desa tersebut >80% dan cakupan di
kabupatenSukabumi tahun 2004 sebesar 95,5%. Ternyata virus penyebab adalah virus
dariSudan. Sebenarnya sejak bulan Oktober 1995 Indonesia sudah bebas polio,
tetapikarena ditemukannya kasus tersebut kita harus melaksanakan Outbreak
Responseof Immunization (ORI) yang dilanjutkan dengan Mop-Up serta Pekan
lmunisasiNasional (PIN) putaran I pada tanggal 30 Agustus, PIN Putaran II 27
September2005 dan PIN Putaran Ill pada 30 November 2005 serta tidak tertutup
kemungkinanakan dilanjutkan dengan PIN berikutnya.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa program imunisasi ke
dalampenyelenggaraan yang bermutu dan efisien. Upaya tersebut didukung dengan
kemajuan yang pesat dalam bidang penemuan vaksin baru (Rotavirus,
JapaneseEncephalitis, dan lain-lain). Beberapa jenis vaksin dapat digabung sebagai
vaksinkombinasi yang terbukti dapat meningkatkan cakupan imunisasi, mengurangi
jumlahsuntikan dan kontak dengan petugas imunisasi.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa upaya imunisasi perlu terus ditingkatkan
untukmencapai tingkat population immunity (kekebalan masyarakat) yang tinggi
sehinggadapat memutuskan rantai penularan PD31. Dengan kemajuan ilmu
pengetahuan danteknologi, upaya imunisasi dapat semakin efektif dan efisien dengan
harapan dapatmemberikan sumbangan yang nyata bagi kesejahteraan anak, ibu serta
masyarakatlainnya.
Penyelenggaraan program imunisasi mengacu pada kesepakatan-
kesepakataninternasional untuk pencegahan dan pemberantasan penyakit, antara lain :
1. WHO tahun 1988 dan UNICEF melalui World Summit for Children pada tahun
1990 tentang ajakan untuk mencapai target cakupan imunisasi 80-80-80,Eliminasi
Tetanus Neonatorum dan Reduksi Campak;
2. Himbauan UNICEF, WHO dan UNFPA tahun 1999 untuk mencapai target
Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (MNTE) pada tahun 2005 di negara
berkembang;
3. Himbauan dari WHO bahwa negara dengan tingkat endemisitas tinggi >8% pada
tahun 1997 diharapkan telah melaksanakan program imunisasi hepatitis B ke
dalam program imunisasi rutin;
4. WHOIUNICEFIUNFPA tahun 1999 tentang Joint Statement on the Use of
Autodisable Syringe in Immunization Services;
5. Konvensi Hak Anak: Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak dengan
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1999 tertanggal 25 Agustus 1990, yang
berisi antara lain tentang hak anak untuk memperoleh kesehatan dan
kesejahteraan dasar;
6. Resolusi Majelis Kesehatan Dunia (World Health Assembly) tahun 1988 dan tahun
2000 yang diperkuat dengan hasil pertemuan The Eight Technical Consultative
Group Vaccine Preventable Disease in SEAR tahun 2001 untuk mencapai
Eradikasi Polio pada tahun 2004 untuk regional Asia Tenggara dan sertifikasi
bebas polio oleh WHO tahun 2008;
7. The Millenium Development Goal (MDG) pada tahun 2003 yang meliputi goal 4:
tentang reduce child mortality, goal 5: tentang improve maternal health, goal 6:
tentang combat HIV/AIDS, malaria and other diseases (yang disertai dukungan
teknis dari UNICEF);
8. Resolusi WHA 56.20, 28 Mei 2003 tentang Reducing Global Measles Mortality,
mendesak negara-negara anggota untuk melaksanakan The WHO-UNICEF
Strategic Plan for Measles Mortality Reduction 2001-2005 di negara-negara
dengan angka kematian campak tinggi sebagai bagian EPI;
9. Cape Town Measles Declaration, 17 Oktober 2003, menekankan pentingnya
melaksanakan tujuan dari United Nation General Assembly Special Session
(UNGASS) tahun 2002 dan World Health Assembly (WHA) tahun 2003 untuk
menurunkan kematian akibat campak menjadi 50% pada akhir tahun 2005
dibandingkan keadaan pada tahun 1999; dan mencapai target The United
Millenium Development Goal untuk mereduksi kematian campak pada anak
usiakurang dari 5 tahun menjadi 2/3 pada tahun 2015 serta mendukung
TheWHO/UNICEF Global Strategic Plan for Measles Mortality Reduction
andRegional Elimination 2001-2005;
10. Pertemuan The Ninth Technical Consultative Group on Polio Eradication and Polio
Eradication and Vaccine Preventable Diseases in South-East Asia Region tahun
2003 untuk menyempurnakan proses sertifikasi eradikasi polio, reduksikematian
akibat campak menjadi 50% dan eliminasi tetanus neonatal, cakupanDPT3 80% di
semua negara dan semua kabupaten, mengembangkan strategi untuk safe
injections and waste disposal di semua negara serta memasukkan vaksin
hepatitis B di dalam Program lmunisasi di semua negara;
11. WHO-UNICEF tahun 2003 tentang Joint Statement on Effective Vaccine Store
Management Initiative.
B. TUJUAN
1. TUJUAN UMUM
Mengembangkan peran mitra swasta dalam imunisasi serta terjaminnya
kelancaran pelayanan imunisasi di unit pelayanan masyarakat yang lebih maju
dan terdidik
2. TUJUAN KHUSUS
Sebagai acuan bagi pemegang program imunisasi dalam melaksanakan
program imunisasi di puskesmas
C. RUANG LINGKUP PELAYANAN
Ruang lingkup pengaturan meliputi jenis imunisasi, penyelenggaraan imunisasi
wajib, pelaksana pelayanan imunisasi, pemantauan dan penanggulangan KIPI,
penelitian dan pengembangan, pencatatan dan pelaporan, pembinaan dan
pengawasan.
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan
seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila suatu saat terpajan
dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan.
2. Vaksin adalah antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati, masih hidup tapi
dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, yang telah diolah, berupa toksin
mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksoid, protein rekombinan yang bila
diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif
terhadap penyakit infeksi tertentu.
3. Penyelenggaraan Imunisasi adalah serangkaian kegiatan perencanaan,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan imunisasi.
4. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi yang selanjutnya disingkat KIPI adalah kejadian
medik yang berhubungan dengan imunisasi baik berupa efek vaksin ataupun efek
simpang, toksisitas, reaksi sensitifitas, efek farmakologis maupun kesalahan
program, koinsidens, reaksi suntikan atau hubungan kausal yang tidak dapat
ditentukan.
5. Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang
bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah
kerjanya.
6. Komite Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
yang selanjutnya disebut Komnas PP KIPI adalah komite independen yang
melakukan pengkajian dan penetapan kasus KIPI di nasional secara kausalitas.
7. Komite Daerah Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
yang selanjutnya disebut Komda PP KIPI adalah komite independen yang
melakukan pengkajian dan penetapan kasus KIPI di daerah secara klasifikasi
lapangan dan kausalitas bila memungkinkan.
8. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintah Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
9. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah.
10. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan.
11. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal pada Kementerian Kesehatan yang
mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang pengendalian penyakit dan
penyehatan lingkungan.
BAB II
SUMBER DAYA PROGRAM IMUNISASI

A. SUMBER DAYA MANUSIA


Untuk dapat melaksanakan fungsinya dan menyelenggarakan pelayanan program
imunisasidi Puskesmas, dibutuhkan sumber daya manusia yang mencukupi baik jumlah
maupun mutunya. Pola ketenagaan minimal harus dimiliki oleh Puskesmas. Adapun tenaga
imunisasi si Puskesmas Ngrandu sebagai berikut :

No JENIS TENAGA KUALIFIKASI JUMLAH


1 PENANGGUNG JAWAB DOKTER / KEPALA 1
PUSKESMAS
2 TENAGA IMUNISASI D3 Kebidanan 1
Untuk pembagian kerja masing-masingg petugas berdasarkan TUPOKSI yang sesuai
kompetensinya.

1. Kepala puskesmas sebagai penanggung jawab imunisasi di Puskesmas mempunyai


tugas :
a. Mengkoordinir penyusunan perencanaan tingkat puskesmas berdasarkan data
program Dinas Kesehatan
b. Merumuskan kebijakan operasional dalam bidang pelayanan kesehatan masyarakat
c. Memberikan tugas pada staf dan unit-unit, Puskesmas, Puskesmas Pembantu, dan
Ponkesdes
d. Melakukan evaluasi pelaksanaan kegiatan Puskesmas berdasarkan realisasi
program kerja dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku sebagai bahan
dalam menyusun program kerja berikutnya
e. Melaksanakan pengawasan, pengendalian, dan evaluasi program/kegiatan
Puskesmas
f. Membina petugas Puskesmas
g. Bertanggungjawab mengenai pendidikan berkelanjutan, orientasi, dan program
pelatihan staf untuk menjaga kemampuan dan meningkatkan pelayanan sesuai
kebutuhan
h. Bertanggungjawab atas penyelengaraan pelaksanaan program-program di
Puskesmas
i. Membuat surat keputusan tentang pengelola program di Puskesmas.

2. Tugas pokok Tenaga Imunisasi adalah :


a. Menyusun rencana kegiatan imunisasi berdasarkan data program Puskesmas
b. Malakukan pemberian imunisasi, sweeping imunisasi, penyuluhan imunisasi,
penanganan KIPI, dan koordinasi lintas program terkait sesuai prosedur dan
ketentuan
c. Membuat pencatatan dan pelaporan kegiatan imunisasi serta visualisasi data
sebagai bahan informasi dan pertanggungjawaban kepada Kepala Puskesmas
d. Melakukan evaluasi hasil kinerja kegiatan imunisasi
e. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Puskesmas.
B. SARANA DAN PRA SARANA
Sarana adalah suatu tempat, fasilitas, dan peralatan yang secara langsung
terkait dengan program imunisasi, sedangkan pra sarana adalah tempat, fasilitas,
dan peralatan yang secara tidak langsung mendukung kegiatan program imunisasi.
Dalam upaya mendukung kegiatan program imunisasi di UPT Puskesmas Ngrandu
diperlukan sarana dan pra sarana yang memadai meliputi :
1. Ruang petugas imunisasi
Dengan denah ruang petugas imunisasi di UPT Puskesmas Ngrandu sebagai
berikut :

Luas ruang petugas imunisasi adalah 5 m 2. Ruang program imunisasi terpisah


dari ruang program lainnya. Ruangan pencahayaan cukup, ventilasi cukup,
lantai terbuat dari keramik, tersedia almari untuk penyimpanan arsip program
imunisasi, dan tersedia coolpack untuk penyimpanan vaksin. Tersedia komputer,
meja komputer untuk program imunisasi.

2. Peralatan program imunisasi


Dalam pelaksanaan kegiatan program imunisasi memerlukan peralatan.
Peralatan yang menunjang program kegiatan imunisasi antara lain :
a. Kit imunisasi
Kit imunisasi adalah sejumlah alat medi yang digunakan untuk melaksanakan
kegiatan imunisasi yang terdiri dari :
1) Pinset
2) Boks pendingin yang tahan dingin hingga 7 hari
3) Termos khusus, tahan dingin hingga 12 hari
4) Termos vaksin, tahan dingin 3 hari
5) Vaksin carier
6) Lemari es biasa (alat pembuat coolpack)
7) Cool pack
8) Lemari es penyimpan vaksin standar WHO/UNICEF atau lemari es minyak
tanah (tipe absorpsi) untuk daerah terpencil/kepulauan
9) Termometer pada lemari es
10)Freeze tag (alat pemantau suhu beku di lemari es
11)Termometer Muller (untuk pemantauan suhu dalam kulkas).
b. Peralatan surveillans
1) Komputer
2) Printer
c. Mebelair
1
1) Meja kerja biro
2
2) Kursi kerja
3) Kursi hadap
d. Penunjang
1) Tas lapangan
2) Tempat sampah basah
3) Tempat sampah kering tertutup
e. Bahan habis pakai
1) ADS (Auto Distruct Syringe) 0, 05 ml, 0,5 ml, 5 m
2) Kapas
3) DPT-HB Combo
4) HB uniject
5) Polio
6) BCG
7) Pelarut BCG’
8) Campak
9) Pelarut campak
10)DT
11)Td
12)TT (Tetanus Toxoid)
13)Safety box volume 5 liter
BAB III
PELAYANAN PROGRAM IMUNISASI DI PUSKESMAS NGRANDU

Berdasarkan sifat penyelenggaraannya, imunisasi dikelompokkan menjadi


imunisasi wajib dan imunisasi pilihan.Imunisasi wajib merupakan imunisasi yang
diwajibkan oleh pemerintah untuk seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam
rangka melindungi yang bersangkutan dan masyarakat sekitarnya dari penyakit
menular tertentu.Imunisasi pilihan merupakan imunisasi yang dapat diberikan kepada
seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi yang bersangkutan
dari penyakit menular tertentu. Vaksin untuk imunisasi harus memiliki izin edar sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
A. IMUNISASI WAJIB
Imunisasi wajib terdiri atas:
1. Imunisasi rutin
Imunisasi rutin merupakan kegiatan imunisasi yang dilaksanakan secara terus
menerus sesuai jadwal. Imunisasi rutin terdiri atas
a. Imunisasi dasar
Imunisasi dasar diberikan pada bayi sebelum berusia 1 (satu) tahun.Jenis
imunisasi dasar) terdiri atas:
1) Bacillus Calmette Guerin (BCG);
2) Diphtheria Pertusis Tetanus-Hepatitis B (DPT-HB) atau Diphtheria
Pertusis Tetanus-Hepatitis B-Hemophilus Influenza type B (DPT-HB-Hib);
3) Hepatitis B pada bayi baru lahir;
4) Polio; dan
5) Campak
b. Imunisasi lanjutan.
Imunisasi lanjutan merupakan imunisasi ulangan untuk mempertahankan
tingkat kekebalan atau untuk memperpanjang masa perlindungan.Imunisasi
lanjutan diberikan pada :
1) Anak usia bawah tiga tahun (Batita);
2) anak usia sekolah dasar; dan
3) wanita usia subur.
Jenis imunisasi lanjutan yang diberikan pada anak usia bawah tiga tahun
(Batita) terdiri atas Diphtheria Pertusis Tetanus-Hepatitis B (DPT-HB) atau
Diphtheria Pertusis Tetanus-Hepatitis B-Hemophilus Influenza type B (DPT-
HB-Hib) dan Campak. Imunisasi lanjutan pada anak usia sekolah dasar
diberikan pada Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS). Jenis imunisasi
lanjutan yang diberikan pada anak usia sekolah dasar terdiri atas Diphtheria
Tetanus (DT), Campak, dan Tetanus diphteria (Td). Jenis imunisasi lanjutan
yang diberikan pada wanita usia subur berupa Tetanus Toxoid (TT).

2. Imunisasi tambahan
Imunisasi tambahan diberikan pada kelompok umur tertentu yang paling berisiko
terkena penyakit sesuai kajian epidemiologis pada periode waktu tertentu.
Pemberian imunisasi tambahan tidak menghapuskan kewajiban pemberian
imunisasi rutin.

3. Imunisasi khusus.
Imunisasi khusus merupakan kegiatan imunisasi yang dilaksanakan untuk
melindungi masyarakat terhadap penyakit tertentu pada situasi tertentu. Situasi
tertentu antara lain persiapan keberangkatan calon jemaah haji/umroh,
persiapan perjalanan menuju negara endemis penyakit tertentu dan kondisi
kejadian luar biasa. Jenis imunisasi khusus) antara lain terdiri atas imunisasi
Meningitis Meningokokus, imunisasi demam kuning, dan imunisasi Anti Rabies
(VAR).
B. IMUNISASI PILIHAN
Jenis imunisasi pilihan dapat berupa imunisasi Haemophillusinfluenza tipe b (Hib),
Pneumokokus, Rotavirus, Influenza,Varisela, Measles Mumps Rubella, Demam
Tifoid, Hepatitis A, Human Papilloma Virus (HPV), dan Japanese Encephalitis.
BAB IV
PENYELENGGARAAN IMUNISASI WAJIB

A. PERENCANAAN
Perencanaan nasional penyelenggaraan imunisasi wajib dilaksanakan oleh
Pemerintah berdasarkan perencanaan yang dilakukan oleh puskesmas, pemerintah
daerah kabupaten/kota, dan pemerintah daerah provinsi secara berjenjang.
Perencanaan meliputi :
1. Penentuan sasaran
Sasaran dihitung berdasarkan rata-rata kunjungan setiap bulan selama satu
tahun. Sasaran terdiri dari bayi, ibu hamil, serta sasaran lain sesuai dengan
jenis kegiatan yang akan dilaksanakan
2. Kebutuhan logistik
a. Menghitung Indek Pemakaian (IP) Vaksin yaitu dosis real setiap kemasan
vaksin. Dihitung berdasarkan jumlah cakupan dibagi dengan jumlah-jumlah
vaksin yang terpakai.
jumla h suntikan ( cakupan ) yang dicapai
IP Vaksin=
Jumla h vaksin yang terpakai
b. Menghitung kebutuhan vaksin
Setelah dapat ditentukan jumlah sasaran dan nine=deks pemakian vaksin
maka kebutuhan vaksin dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut:
jumla h sasaran× jumla h pemberian
Vaksin=
Indeks pemakaian vaksin
Rumus perhitungan kebutuhan vaksin untuk 1 bulan adalah
sasaran
Vaksin= =… Amp
IP
c. Perencanaan kebutuhan alat suntik
Alat suntik yang digunakan dalam pelayanan imunisasi adalah alat suntik
yang otomatis rusak setelah sekali pemakaian (ADS = Auto Disable Syringe).
Ada 3 macam ukuran ADS yang dipakai dalam imunisasi yaitu:
1) ADS 0,05 ml untuk memberikan imunisasi BCG
2) ADS 0,5 ml untuk memberikan imunisasi DPT/Hb, campak dan TT
3) 5 ml untuk melarutkan vaksin campak dan BCG
Kebutuhan masing-masing ADS adalah sebagai berikut :
1) ADS 0,05 ml = jumlah sasaran imunisasi BCG
2) ADS 0,5 ml = jumlah sasaran imunisasi (DPT/Hb + Campsk +TT)
3) ADS 5 ml = jumlah kebutuhan vaksin campak dan BCG
Dalam membuat perencanaan ditambahkan 25% sebagai cadangan.
d. Menghitung kebutuhan Safety Box
Safety Box adalah kotak tempat pembuangan limbah medis tajam (terutama
bekas alat suntik). Ada 2 jenis safety box yaitu:
1) Ukuran 2,5 liter untuk menampung ADS bekas ukuran 0,05 ml, 0,5 ml
dan 5 ml. Tiap 1 safety box dapat menampung sekitar 50 buah ADS
bekas.
2) Ukuran 0,25 liter untuk menampung bekas alat suntik hepatitis B (uniject).
Tiap safety box bisa menampung sekitar 10 unit alat bekas hepatitis B.
Secara ringkas cara perhitungan kebutuhan safety box adalah sebagai
berikut:
jumla h ADS 0,05+ 0,5+5 ml
SB2,5 liter=
50
jumla h vaksin hepatitis B ( PID )
SB 0,25liter=
10
3. Pendanaan.
UPS kemudian mengirimkan perhitungan kebutuhan vaksin, ADS , dan Safety
Box 1 tahun ke Puskesmas. Untuk dilakukan kompilasi dan selanjutnya
dikirimkan ke tingkat yang lebih atas untuk dasar pengadaan di tingkat pusat.

B. PENYEDIAAN LOGISTIK

Pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah


kabupaten/kota bertanggung jawab dalam penyediaan logistik untuk
penyelenggaraan imunisasi wajib. Logistik antara lain meliputi vaksin, Auto Disable
Syringe, safety box, emergency kit, dan dokumen pencatatan status imunisasi.
Tata cara kerja dan bentuk pertanggungjawaban logistik diatur oleh Direktur
Jenderal. Pemerintah bertanggung jawab terhadap penyediaan vaksin yang
diperlukan dalam penyelenggaraan imunisasi wajib. Pemerintah, pemerintah
daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota bertanggung jawab
terhadap penyediaan AutoDisable Syringe, safety box, peralatan coldchain,
emergency kit dan dokumen pencatatan status imunisasi sesuai dengan
kebutuhan.Dalam hal Pemerintah Daerah tidak mampu memenuhi tanggung jawab,
Pemerintah bertanggung jawab untuk membantu penyediaan Auto DisableSyringe,
safety box, peralatan coldchain dan dokumen pencatatanstatus imunisasi.
Pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota bertanggung
jawab terhadap penyediaan unit logistik imunisasi untuk menyimpan dan merumat
vaksin dan logistik imunisasi lainnya pada instalasi farmasi yang memenuhi standar
dan persyaratan teknis penyimpanan. Untuk memastikan ketersediaan serta
kualitas logistik (terutama vaksin, harus diperhatikan beberapa hal menyangkut
pengadaan, transportasi, serta laporan pemakaiannya).
1. Pengadaan
Permintaan dihitung berdasarkan jumlah kebutuhan dengan memperhatikan sisa
yang ada serta kapasitas tempat penyimpanan (lemari es). Permintaan dilakukan
setiap bulan ditujukan kepada Puskesmas setempat. Format permintaan harus
ditandatangani oleh pimpinan unit pelayanan.
2. Transportasi
Transportasi vaksin bisa menggunakan wadah berupa vaccine carier atau cold
box tergantung jumlah vaksin yang akan dibawa. Bila jumlah vaksin sedikit,
dibawa dengan vaccine carier atau termos. Sebagai penahan dinginj digunakan
emapat buah kotak dingin cair (cool pack). Bila jumlah vaksin banyak maka
vaksin dibawa dengan cold box. Sebagai penahan dingin digunakan 16 buah
kotak dingin cair (cool pack).

3. Laporan Pemakaian
Laporan pemakaian harus dilakuakn secara rutin setiap bulan karena akan
sangat bermanfaat untuk perencanaan selanjutnya. Waktu pengiriman laporan
dilakukan bersamaan dengan laporan cakupan imunisasi.
Untuk menjaga kualitas, vaksin harus disimpan pada waktu dan tempat
dengan kendali suhu tertentu.
1. Penempatan lemari es
a. Tidak terkena sinar matahari secara langsung
b. Pastikan bahwa alat dijauhkan dari sumber panas
c. Ruangan harus berventilasi baik
d. Lemari es haru sdalam posisis mendatar
e. Perhatikan dengan dinding dan plafon atas
f. Aturlah stop kontak agar tidak menempel pada bagian belakang lemari es,
karena bila terjadi kerusakan pada stop kontak dapat mengakibatkan
kebakaran
g. Pastikan satu steker untuk satu stop kontak
h. Voltage listrik harus sesuai dengan voltage pada lemari es, bila voltage
kurang atau lebih gunakan auomatic voltage stabilizer (AVS)
2. Penyimpanan Vaksin di Lemari Es
Prinsip penyimpanan vaksin di UPS adalah sebagai berikut :
a. Semua vaksin disimpan pada suhu +2 ℃ s/d ¿ 8 ℃pada lemari es, (bukan
freezer)
b. Vaksin sensitif beku (TT, DT, Hepatitis B, DPT/HB) diletakkan jauh dari
evaporator
c. Vaksin sensitif panas (BCG, Campak, Polio) diletakkan dekat dengan
evaporator
d. Jarak antar dus vaksin 1-2 cm atau satu jari tangan untuk sirkulasi udara
e. Bagian bawah lemari es diletakkan cool pack sebagai penahan dingin dan
kestabilan suhu
f. Diantara dus vaksin diletakkan 1 buah termometer untuk mengontrol suhu
g. Diantara dus vaksin sensitif beku diletakkan indikator pembekuan
h. Untuk mengurangi paparan panas maka vaksin harus selalu berada di dalam
dus
i. Pelarut disimpan pada ruang terhindar dari sinar matahari langsung
j. Sehari sebelum digunakan, pelarut disimpan pada lemari es
Ada dua macam lemari es, yaitu lemari es buka depan (lemari es rumah tangga)
dan lemari es buka atas.
3. Perawatan Lemari Es
a. Perawatan Harian
1) Periksa suhu lemari es dua kali sehari setiap pagi dan sore kemudian
catat suhu pada buku grafik suhu
2) Lemari es dibuka setiap 2x sehari, setiap kali membuka jangan lebih dari
5 menit
b. Perawatan Mingguan
1) Bersihkan bagian luar lemari es untuk menghindari karat (korosif)
2) Periksa steker listrik dengan menarik keluar stop kontak
3) Periksa bagian pin steker kontak listrik, bila ada tanda hangus terbakar,
ganti dengan yang baru
4) Setelah steker listrik, tunggu minimal 5 menit untuk mengembalikan ke
stop kontak.
c. Perawatan Bulanan
1) Bersihkan bagian luar, dalam, dan condensor
2) Bersihkan karet seal pintu dan periksa kerapatannya dengan selembar
kertas. Bila perlu beri bedak atau talk
3) Periksa engsel pintu lemari es, bila perlu beri pelumas
4) Bila ketebalan bunga es mencapai 0l5 cm, segera lakukan pencairan.
d. Pencairan Bunga Es pada Lemari es
1) Pencairan bunga es sebaiknya dilakukan pada saat vaksin tinggal sedikit
2) Kosongkan lemari an penerimaanes dengan memindahkan vaksin ke
dalam vaccine carier, cold box, atau lemari es yang lain
3) Cabut steker yang menempel pada stop kontak (jangan mematikan
lemari es dengan memutar thermostat)
4) Selama pencairan bunga es pintu lemari es harus dibuka
5) Siramlah bunga es dengan air biasa (sebaiknya air hangat). Jangan
menggunakan benda tajam untuk mengeluarkan bunga es yang
menempel pada evaporator.
6) Keringkan bagian evaporator dan ruangan lainnya dengan lap kering.
7) Setelah bersih, hidupkan kembali lemari es dengan memasukkan steker
lemari es pada stop kontak listrik.
8) Tunggu sampai suhu mencapai +2℃ s/d +8℃ atau sampai suhu lemari
es kembali stabil.
9) Kemudian masukkan kembali vaksin ke dalam lemari es.
4. Pemakaian Vaksin
Langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam pemakaian vaksin adalah
sebagai berikut :
a. Menyiapkan vaccine carrier dan cool pack
1) Vaccine carrier tidak retak atau pecah
2) Bersihkan sebelum dipakai
3) Ambil 4 buah cool pack dari dalam lemari es (cool pack dibuat didalam
lemari es tersendiri)
b. Memilih vaksin yang akan digunakan
memilih vaksin yang akan digunakan harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
1) Kondisi VVM : Vaksin dengan kondisi VVM B harus dipergunakan terlebih
dahulu meskipun masa kadaularsanya masih lama
2) Tanggal kadalauarsa (FEFO : First Expire First Out)
3) Urutan penerimaan (FIFO : First In First Out)
c. Pengemasan vaksin dalam vaksin carrier
Untuk mengurangi paparan panas vaksin yang disimpan dalam lemari es,
maka vaksin yang akan digunakan harus dikeluarkan dari dalam lemari es
dan disimpan didalam vaccine carrier.
Langkah-langkah pengepakan vaksin dalam vaccine carrier adalah:
1) Masukkan 4 buah cool pack yang sudah didinginkan minimal 12 jam
2) Masukkan vaksin beserta dengan pembungkusnya
3) Tutuplah rapat dan vaksin carrier siap dibawa
4) Vaksin BCG, Campak dan Polio diletakkan pada bagian pinggir menempel
pada cool pack. Sedangkan vaksin DPT/HB, Hepatitis B dan TT
diletakkan di tengah sehingga tidak menempel langsung dengan cool
pack
d. Penggunaan di unit pelayanan
Tempat pelayanan imunisasi merupakan mata rantai paling akhir dari sistem
rantai vaksin. Oleh karena itu perlakuan vaksin diunit ini tidak kalah penting
dengan mata rantai lainnya.
Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
1) Vaccien carrier diletakkan dimeja yamg tidak terkena sinar matahari
langsung.
2) Vaksin yang telah digunakkan diletakkan diatas spon/busa yang berada
didalam teras
3) Didalam termos tidak boleh ada air yang merendam vaksin. Ini untuk
mencegah kontaminasi vaksin dari bakteri lain
BAB V
KESELAMATAN SASARAN KEGIATAN/PROGRAM

A. Keselamatan Pemberian Imunisasi


Pemberian imunisasi harus dilakukan berdasarkan standar pelayanan, standar
prosedur operasional dan standar profesi sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan. Keselamatan sasaran dalam pemberian imunisasi ditunjang oleh 2
faktor :
1. Tenaga pelaksana imunisasi (dokter atau dokter spesialis, bidan, dan perawat
yang terlatih)
2. Proses pemberian imunisasi harus memperhatikan keamanan vaksin dan
penyuntikan agar tidak terjadi penularan penyakit terhadap tenaga kesehatan
pelaksana pelayanan imunisasi dan masyarakat serta menghindari terjadinya
KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi). Sebelum pelaksanaan imunisasi,
pelaksana pelayanan imunisasi harus memberikan informasi lengkap tentang
imunisasi meliputi vaksin, cara pemberian, manfaat dan kemungkinan
terjadinya KIPI. Pemberian informasi imunisasi wajib yang dilakukan secara
perorangan dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pemberian informasi wajib yang dilakukan secara massal dilakukan melalui
pemberitahuan dengan menggunakan media massa dan/atau media informasi
kepada masyarakat.

B. Pemantauan dan Penanggulangan KIPI


KIPI adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi di dalam masa 1
bulan setelah imunisasi. Pada kejadian tertentu lama pengamatan KIPI dapat
mencapau masa 42 hari (artritis kronik pasca vaksinasi rubela), atau sampai 6
bulan (infeksi virus campak vaccine-strain pada resipien non imunodefisiensi atau
resipien imunodefisiensi pasca vaksinasi polio). Selain itu perlu diingat pula bahwa
untuk kompensasi di Amerika (USA) masa pelaporan KIPI dapat tidak terbatas.
1. Klasifikasi KIPI (WHO 1999)
a. Reaksi Vaksin (Vaccine Reaction)
Induksi vaksin (vaccine induced) : intrinsik vaksin vs. Insividu potensiasi
vaksin (Vaccine potentiated) : gejala timbul dipicu oleh vaksin.
Kejadian disebabkan atau dipicu oleh vaksin walaupun diberikan secara
benar. Disebabkan oleh sifat dasar dari vaksin.
b. Kesalahan Program (Programatic error)
Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan
teknik pelaksanaan imunisasi yang neliputi kesalahan program,
penyimpanan, pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kejadian
tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi, misalnya:
1) Dosis antigen (terlalu banyak)
2) Lokasi dan cara penyuntikan
3) Sterilisasi syringe dan jarum
4) Jarum bekas pakai
5) Tindakan aseptik dan antiseptik
6) Kontaminasi vaksin dan alat suntik
7) Penyimpanan vaksin
8) Pemakaian sisa vaksin
9) Jenis dan jumlah pelarut vaksin
10) Tidak memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk pemakaian, indikasi
kontra, dll).
c. Kebetulan (Coincidental)
Kejadian terjadi setelah imunisasi tapi tidak disebabkan oleh vaksin. Indikator
faktor kebetulan ditemukannya kejadian yang sama disaat bersamaan pada
kelompok populasi setempat dengan karakter serupa tetap tidak mendapat
imunisasi.
d. Reaksi Suntikan (Injection reaction)
Kejadian yang disebabkan oleh rasa takut/gelisah atau sakit dari tindakan
penyuntikan, dan bukan dari vaksin. Reaksi suntikan langsung misalnya rasa
sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat suntik, sedangkan reaksi
suntikan tindak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual.
e. Penyebab tidak diketahui
Penyebab kejadian tidak dapat ditetapkan.
2. Gejala klinis KIPI
Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagi
menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan syaraf pusat, serta reaksi lainnya
(tabel dibawah). Pada umumnya makin cepat KIPI terjadi makin berat gejalanya.
3. Survailans KIPI
Surveilans KIPI adalah untuk mendetksi dini, merespon kasus KIPI dengan
cepat dan tepat, mengurangi dampak negatif imunisasi untuk kesehatan individu
dan pada program imunisasi. Hal ini adalah merupakan indikator kualitas
program. Tujuan kegiatan surveilans KIPI meliputi :
a. Mendeteksi, memperbaiki, dan mencegah kesalahan program.
b. Mengidentifikasi peningkatan rasio KIPI yang tidak wajar pada batch vaksin
atau merek vaksin tertentu
c. Memastikan bahwa suatu kejadian yang diduga KIPI merupakan koisudens
(suatu kebetulan)
d. Menimbulkan kepercayaan masyarakat pada program imunisasi dan
memberi respons yang tepat terhadap perhatian orang tua/masyarakat
tentang keamanan imunisasi di tengah kepedulian (masyarakat dan
profesional) tentang adanya risiko imunisasi
e. Memperkirakan angka kejadian KIPI (rasio KIPI) pada suatu populasi.
Bagian terpenting dalam membangun surveilans KIPI adalah menyediakan
informasi surveilans kasusu KIPI secara lengkap agar dapat dengan cepat
dinilai dan analisa untuk mengidentifikasi dan merespon suatu masalah. Respon
yang merupakan suatu aspek tindakan lanjut yang terpenting dalam surveilans
KIPI.
4. Pelaporan KIPI
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pelaporan kasus KIPI adalah :
a. Identitas : nama anak, tanggal, dan tahun lahir (umur), jenis kelamin, nama
orang tua dan alamat harus jelas
b. Jenis vaksin yang diberikan, dosis, nomor batch, siapa yang memberikan.
Vaksin sisa disimpan dan diperlakukan seperti vaksin yang masih utuh
(perhatikan cold chain)
c. Nama dokter yang bertanggung jawab
d. Adakah KIPI pada imunisasi yang terdahulu
e. Gejala klinis yang timbul dan atau diagnosis (bila ada) bila tidak terdeteksi
dalam kolom tertulis. Pengobatan yang diberikan dan perjalanan penyakit
(sembuh, dirawat atau meninggal). Sertakan hasil laboratorium yang pernah
dilakukan. Tulis juga apabila terdapat penyakit lain yang menyertai
f. Waktu pemberian imunisasi (tanggal, jam)
g. Saat timbulnya gejala KIPI sehingga diketahui, berapa lama interval waktu
antara pemberian imunisasi dengan terjadinya KIPI
h. Apakah terdapat gejala sisa, setelah dirawat dan sembuh
i. Bagaimana cara menyelesaikan masalah KIPI (kronologis)
j. Adakah tuntutan dari keluarga.
BAB VI
KESELAMATAN KERJA

A. Program Pelayanan Kesehatan Kerja.


Sebagaimana pelayanan kesehatan masyarakat pada umumnya, pelayanan
kesehatan masyarakat pekerja dilaksanakan dengan pendekatan menyeluruh
(komprehensif) yaitu meliputi pelayanan preventif, promotif, kuratif dan
rehabilitatif.

B. Pelayanan Preventif.
Pelayanan ini diberikan guna mencegah terjadinya penyakit akibat kerja,
penyakit menular dilingkungan kerja dengan menciptakan kondisi pekerja dan
mesin atau tempat kerja agar ergonomis, menjaga kondisi fisik maupun
lingkungan kerja yang memadai dan tidak menyebabkan sakit atau
membahayakan pekerja serta menjaga pekerja tetap sehat. Untuk menghindari
terjadinya kecelakaan terhadap petugas kesehatan pada saat pemberian vaksin
injeksi sebaiknya dihindarkan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Menutup kembali tutup jarum
2. Meletakkan jarum dimeja/suatu permukaan, atau berjalan-jalan membawa jarum
bekas sebelum dibuang
3. Mengasah jarum yang tumpul atau buntu sebelum digunakan ulang
4. Memasukkan tangan ketengah tumpukan jarum atau alat suntik bekas (untuk
membersihkan atau memilah sampah)
5. Meninggalkan alat suntik bekas di sembarang tempat sehingga dapat dipakai
bermain oleh anak-anak
6. Meninggalkan alat suntik bekas di tempat yang dapat dijangkau masyarakat
terutama anak-anak.

Selain menghindari hal-hal seperti di atas perlu untuk melakukan hal-hal seperti
berikut:
1. Tempatkan safety box dekat dengan petugas yang memberikan vaksinasi
sehingga syringe dan jarum bekas dapat segera dibuang
2. Hindari menutup kembali jarum. Jika menutup kembali jarum dianggap perlu
(misalnya jika suntikan tertunda karena anak bergerak-gerak terus), gunakan
teknik sekop dengan satu tangan
3. Jangan mencabut jarum bekas dari syringe dengan menggunakan tangan
4. Jangan membawa syringe dan jarum bekas sembarangan atau di tempat
pelayanan imunisasi
5. Jika sudah selesai memberikan pelayanan imunisasi, ambil vaksin suntikkan,
dan masukkan syringe ke dalam safety box.
6. Tutup safety box bila isinya sudah hampir penuh
7. Jangan memisah-misahkan jarum dan syringe dengan menggunakan tangan.

C. Pelayanan Promotif.
Peningkatan kesehatan (promotif) pada pekerja dimaksudkan agar keadaan fisik
dan mental pekerja senantiasa dalam kondisi baik. Sebelum pelaksanaan
imunisasi, pelaksana pelayanan imunisasi harus memberikan informasi lengkap
tentang imunisasi meliputi vaksin, cara pemberian, manfaat dan kemungkinan
terjadinya KIPI. Pemberian informasi imunisasi wajib yang dilakukan secara
perorangan dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pemberian informasi wajib yang dilakukan secara massal dilakukan melalui
pemberitahuan dengan menggunakan media massa dan/atau media informasi
kepada masyarakat.

D. Pelayanan Kuratif.
Pelayanan pengobatan terhadap tenaga kerja yang menderita sakit akibat
kerja dengan pengobatan spesifik berkaitan dengan pekerjaannya maupun
pengobatan umumnya serta upaya pengobatan untuk mencegah meluas penyakit
menular dilingkungan pekerjaan. Pelayanan ini diberikan kepada tenaga kerja
yang sudah memperlihatkan gangguan kesehatan/gejala dini dengan mengobati
penyakitnya supaya cepat sembuh dan mencegah komplikasi atau penularan
terhadap keluarganya ataupun teman kerjanya. Kegiatannya antara lain meliputi:
1. Pengobatan terhadap penyakit umum.
2. Pengobatan terhadap penyakit dan kecelakaan akibat kerja.

E. Pelayanan Rehabilitatif.
Pelayanan ini diberikan kepada pekerja karena penyakit parah atau kecelakaan
parah yang telah mengakibatkan cacat, sehingga menyebabkan
ketidakmampuan bekerja secara permanen, baik sebagian atau seluruh
kemampuan bekerja yang baisanya mampu dilakukan sehari-hari.
BAB VII
PENGENDALIAN MUTU

A. Pengertian
Pengendalian mutu merupakan suatu upaya yang dilakukan secara berkesinambungan
sistematis dan objektif dalam memantau dan menilai barang, jasa, maupun pelayanan yang
dihasilkan perusahaan atau institusi dibandingkan dengan standar yang ditetapkan serta
menyelesaikan masalah yang ditemukan dengan tujuan untuk memperbaiki mutu.

B. Tujuan dan manfaat penegendalian mutu


Tujuan pengendalian mutu meliputi dua tahap, yaitu tujuan antara dan tujuan akhir. Tujuan
antara pengendalian mutu adalah agar dapat diketahui mutu barang, jasa, maupun
pelayanan yang dihasilkan. Tujuan akhirnya yaitu untuk dapat meningkatkan mutu barang,
jasa, maupun pelayanan yang dihasilkan.
Mengapa pengendalian mutu penting dilakukan? Karena dapat meningkatkan indeks
kepuasan mutu (quality satisfaction index), produktivitas dan efeisiensi, laba/keuntungan,
pangsa pasar, moral, dan semangat karyawan, serta kepuasan pelanggan.
Terdapat lima dimensi pokok mutu, yaitu sebagai berikut :
1. Bukti langsung (tangible), terdiri dari fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana
komunikasi. Contohnya dalam hal pelayanan gizi di poliklinik suatu rumah sakit, maka
pasien melihat mutu pelayanan dari fasilitas ruangan yang memadai, food model,
perlengkapan pengkur status gizi dan sebagainya
2. Keandalan (reliability), merupakan kemampuan perusahaan/institusi dalam memberi
pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan. Contohnya dalam
hal pelayanan gizi yaitu janji ditepati sesuai jadwal, anjuran diet terbukti akurat, dan
sebagainya
3. Daya tanggap (responsiveness), yaitu dapat diakses, tidak lama menunggu, serta
bersedia mendengar keluh kesah konsumen
4. Standar yang ditetapkan serta menyelesaikan masalah yang ditemukan dengan tujuan
untuk memperbaiki mutu
5. Empati, merupakan kemudahan berhubungan, berkomunikasi, perhatian pribadi, serta
memahami kebutuhan konsumen.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 40

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku,


a. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1611/Menkes/SK/XI/2005 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Imunisasi; dan
b. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1626/Menkes/SK/XII/2005 tentang
Pedoman Pemantauan dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Anda mungkin juga menyukai