Oleh :
Ni Luh Putu Rita Primayuni – 2102561004
Salah satu upaya dalam meminimalkan dampak negatif COVID-19 adalah vaksinasi,
vaksin akan membuat tubuh seseorang mengenali bakteri/virus penyebab COVID-19
sehingga bila terpapar bakteri/virus tidak akan sakit atau mengalami sakit ringan. Jika
70-80% masyarakat melakukan vaksinasi COVID-19 maka akan terciptanya Herd
Immunity (Kekebalan Kelompok) yang merupakan kondisi dimana sebagian besar
masyarakat telah terlindungi dari suatu penyakit.
Dalam mencapai hal tersebut, pemerintah mendukung upaya Advokasi wajib vaksin
COVID-19 sebagai syarat terbang, syarat melakukan pengobatan, hingga syarat
berkunjung ke fasilitas umum. Menurut saya, upaya advokasi tersebut berhasil
dikarenakan terjadinya peningkatan masyarakat yang melakukan vaksinasi. Merujuk
data Kementerian Kesehatan RI per 7 Desember 2021, terdapat 100.033.810 juta
penduduk Indonesia telah mendapatkan dosis lengkap (dosis 1 dan 2) yang berarti
sudah 49% dari total sasaran 208,2 juta orang yng harus divaksin COVID-19.
Berdasarkan rangkuman dari Our World in Data pada 6 Desember 2021 menunjukan
Indonesia menduduki peringkat ke-5 negara dengan jumlah vaksinasi terbanyak dosis
lengkap setelah Cina, India, Amerika Serikat, dan Brazil.
Stunting adalah masalah serius bagi pembangunan sumber daya manusia. Stunting
tidak hanya masalah gangguan pertumbuhan fisik saja, namun juga mengakibatkan
ada mudah sakit, terjadinya gangguan perkembangan otak dan kecerdayan, sehingga
masalah stunting menjadi ancaman besar terhadap kualitas sumber daya Manusia di
Indoensia. Stunting tidak hanya dialami oleh anak, namun memberikan pengaruh di
masa yang akan datang dan berisiko terjadinya penurunan tingkat produktivitas.
Berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (2021) kasus stunting di Indonesia
mengalami penurunan menjadi 24.4%, prevalensi stunting yaitu 20% yang
merupakan selisih dari prevalensi terhadap batas masalah kesehatan. Berdasarkan
Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, 2013, 2018, Survei Status Gizi Balita Indonesia
2019, dan Survei Status Gizi Indonesia 2021 terjadi penurunan angka yang
didalamnya terdiri dari 2 kategori yaitu severaly stunted yaitu balita yang panjang
badan atau PB/U dan TB/U menurut umur kurang dibanding standar baku WHO-
MGRS (Multicenter Growth Reference Study) terdapat 36.8% di tahun 2007, 37.2&
di tahun 2013 dan di tahun 2018 sebanyak 30.8%, menurut data Survei Status Gizi
Balita Indonesia (2019) terdapat 27.7% dan Survei Status Gizi Indonesia terdapat
24.4% yang dapat disimpulkan bahwa angka prevalensi stunting dari beberapa tahun
terakhir terjadinya penurunan dari 36.8% menjadi 24.4% untuk balita dengan
kelompok umur 0-59 bulan. Berdasarkan data dari Bappenas (2020), prediksi stunting
untuk tahun 2020 sebesar 26.9% dan di tahun 2021 berdasarkan data Survei Status
Gizi Indonesia yaitu 24.4% menurut RPJMN menurun sebesar 2.7%.
Data dari BKKBN, perkiraan jumlah aborsi di Indonesia per tahun mencapai 2,4 juta
jiwa. 800 ribu diantaranya terjadi di kelompok remaja. Namun kebijakan pembagian
kondom mengalami penolakan dari sejumlah organisasi massa islam dikarenakan
dianggap sebagai suatu hal yang keliru. Penolakan juga disampaikan oleh Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama secara tegas dikarenakan menganggap membuka jalan
menuju seks bebas.
Data Observasi Kanker Dunia (2020) mengungkapkan terdapat 36.633 kasus baru
sekaliagus 21.003 kematian akibat kanker serviks. Data tersebut menunjukan bahwa
terdapat 50 kasus yang terdeteksi setiap harinya dengan lebih dari dua kematian setiap
jam.
Dengan menjalankan program tersebut, pengeluaran negara akan jauh lebih hemat
dikarenakan pengobatan kanker yang lumayan mahal. Oleh sebab itu, harapannya
tindakan preventif melalui vaksinasi HPV dapat menekan biaya perawatan kanker
dengan mencegah seseorang terkena penyakit kanker serviks.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengungkapkan bahwa 90% kasus HIV yang
terjadi pada anak sebagian besar dikarenakan penularan dari ibu ke janin. Hal tersebut
sesuai dengan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang mencatat terdapat
430.000 anak yang terinfeksi HIV. Oleh karena itu dilakukan program Pencegahan
Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA), dimana pencegahan HIV, diagnosis, dan
perawatan diberikan kepada remaja perempuan dan perempuan dewasa yang
mempunyai HIV serta perempuan hamil yang belum ditest HIV.
Sejak tahun 2008, UNICEF Indonesia mendukung pemerintah Papua dan Papua Barat
dalam memperkuat program PPIA dalam level kabupaten dan provinsi. Program ini
pertama kali diterapkan di kota Sorong pda tahun 2012 sebagai salah satu kita pilot
selain Jakarta, Surabaya, dan Bandung.
Dikarenakan tingginya risiko kematian sebelum berusia dua tahun dengan HIV, dan
meningkatnya ketersediaan perawatan antiretroviral untuk anak di area dengan
sumber daya terbatas, UNICEF mendukung provisni Papua Barat dalam membangun
jumlah petugas kesehatan untuk melakukan diagnosis dini HIV pada bayi sejak 2018.
Di tahun 2019 program ini berhasil menyelamatkan sekitar 20 anak-anak di kota
Sorong dan Manokwari dari infeksi HIV. Program Pencegahan Penularan HIV dari
Ibu ke Anak masih tetap digencarkan hingga saat ini.
6. Teori Advokasi
• Teori Bagan A dari JHU (John Hopkins University)
Kelebihan teori ini yaitu adanya tahapan untuk mengetahui bagaimana langkah awal
untuk advokasi yang efektif dengan melakukan analisis dan mengarahkan strategi
advokasi yang spesific, measurable, appropriate, realistic, dan timebound. Namun
pada teori ini tidak berisi upaya mengembangkan dan mengirimkan pesan advokasi
kepada audiens yang berbeda yang berpotensi merespond terhadap pesan yang
berbeda.
• Teori Sharma
Teori sharma dalam advokasi berisi berbagai upaya diantaranya penggalangan dana,
koalisi, tujuan, data, sasaran, pesan, presentasi pesan, dan evaluasi. Penggalangan
dana berarti advokasi memerlukan sumber daya, jangka waktu lama sehingga
membutuhkan investasi waktu dan energiuntuuk menggalang dana dan sumber daya.
Koalisi berarti upaya keuatan adcokasi ditemukan pada sejumlah masyarakat yang
mendukung tujuan. Tujuan yaitu upaya agar usaha advokasi sukses harus
mempersempit tujuan. Data adalah upaya untuk memilih masalah yang akan
diselesaikan, mengindentifikasi solusi, menetapkan tujuan yang realistiik,
mendukung argumen yang persuasif. Sasaran yaitu uoaya mengidentifikasi
audiens.khalayak para pembuat keputusan, orang-orang yang mempengaruhi
pembuatan keputusan. Pesan adalah uoaya mengembangkan dan mengirimkan pesan
advokasi. Evaluasi adalah upaya advokasi yang berperan untuk menghasilkan timbal
balik dengan melakukan evaluasi secara terus menerus.
Kelebihan dari teori ini yaitu berisikan banyak upaya penunjang terlaksananya
advokasi yang efektif, mulai dari pendanaan hingga penyampaian pesan. Namun pada
teori ini tidak berisi upaya kesinambungan yang memperjelas tujuan jangka panjang.