Anda di halaman 1dari 6

KATA PENGANTAR

Indonesia berupaya untuk mencapai ending HIV AIDS pada tahun 2030 sejalan dengan
komitmen dengan negara lainnya di tingkat global. Tantangan akses layanan, ketersediaan
logistic baik ARV, obat untuk infeksi Oportunistik, obat dan reagen diharapkan dapat terjawab
dalam strategi, intervensi dan kegiatan yang dituangkan dalam perencanaan kesehatan terkait
dengan strategi pendekatan program kesehatan untuk menanggulangi HIV/Aids ini. Dukungan
Kementerian/Lembaga/Instansi terkait beserta komunitas termasuk dukungan masyarakat secara
umum sangat dibutuhkan untuk mencapai langkah strategis untuk mencapai indikator baik yang
tertuang dalam SDG’s, RPJMN, Renstra maupun 90-90-90 dan tujuan akhir pencapaian Three
zero yaitu terjadi penurunan infeksi baru HIV, penurunan kematian yang diakibatkan oleh AIDS
dan meniadakan stigma dan diskriminasi yang diakibatkan oleh HIV AIDS.
Apresiasi dan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan
perencanaan kesehatan terkait dengan strategi pendekatan program kesehatan untuk
menanggulangi HIV/Aids ini, juga kepada semua pihak yang selalu mendukung serta berjuang
bersama dalam mewujudnya akhir HIV AIDS di Indonesia. Semoga rencana ini dapat
dimanfaatkan secara maksimal baik di level pusat, provinsi, kabupaten/kota dan Fasilitas
Pelayanan Kesehatan dalam perencanaan kegiatan termasuk dukungan pembiayaan dalam
pelaksanaannya.

1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pemerintah bersama masyarakat memiliki komitmen yang kuat dalam upaya
pengendalian HIV AIDS untuk mencapai eliminasi HIV AIDS dan Penyakit Infeksi Menular
Seksual (P) pada tahun 2030. Pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2020-2024, salah satu arah kebijakan dan strategi adalah meningkatkan akses dan mutu
pelayanan kesehatan menuju cakupan kesehatan semesta. Peningkatan pengendalian penyakit,
dimana HIV AIDS menjadi bagian dari arah kebijakan tersebut. Komitmen negara juga tertuang
dalam Rencana Strategis bidang kesehatan (Renstra Kemenkes RI) dengan meningkatkan jumlah
orang dengan HIV AIDS (ODHA) yang mendapatkan pengobatan sebagai salah satu bentuk
upaya pencegahan penularan HIV dan meningkatkan kualitas hidup ODHA. Pemerintah bersama
masyarakat mendukung upaya pencapaian eliminasi HIV AIDS yang telah disepakati di tingkat
global bahwa pada tahun 2030 kita dapat mencapai 95-95-95 untuk pengobatan, dimana 95%
ODHA mengetahui status, 95% dari ODHA yang mengetahui status mendapatkan pengobatan,
dan 95% dari ODHA yang diobati virusnya tersupresi.Pencegahan dan pengendalian penyakit
infeksi menular seksual merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan pengendalian
HIV AIDS.
Setelah pelaksanaan Rencana Aksi Nasional selama lebih dari lima tahun, Program
Nasional Pencegahan dan Pengendalian HIV AIDS melakukan kajian pada pelaksanaan
kegiatan dan hasil yang telah dicapai selama tahun 2015-2019. Beberapa perubahan kebijakan
diputuskan selama kurun waktu ini. Perubahan tersebut berpengaruh pada pelaksanaan program
dan target pencapaian hasil serta anggaran yang dibutuhkan untuk operasional kegiatan.
Beberapa kebijakan program yang paling berpengaruh adalah kebijakan “fast track
initiative 90-90-90” di mana pemerintah memutuskan secara bertahap mencapai target 90-90-90
mulai dari tingkat kabupaten/kota. Ini sejalan dengan amanat dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang
Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang menyatakan layanan kesehatan merupakan urusan
pemerintahan yang didesentralisasikan dan sifatnya wajib serta merupakan pelayanan dasar bagi
Pemerintah Pusat dan Daerah.
Pelayanan kesehatan orang dengan risiko terinfeksi HIV merupakan salah satu dari 12
indikator SPM Kesehatan dan wajib dipenuhi mutu dan jenis pelayanan dasarnya oleh
pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 tahun 2019
tentang Standar Teknis Pemenuhan Mutu Pelayanan Dasar pada SPM Bidang Kesehatan.
Kebijakan lain adalah penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai salah satu
nomor identitas tunggal dalam pemberian pelayanan publik termasuk pelayanan kesehatan.
Penggunaan NIK juga menjadi tolok ukur akuntabilitas program dan pelayanan untuk
memperoleh hasil yang akurat, valid, efektif dan efisien, serta mampu telusur.
Upaya pencapaian 90-90-90 dimulai dari kabupaten/kota yang diformulasikan sebagai
District Based Intervention (Intervensi tingkat kabupaten/kota). Setiap kabupaten/kota wajib
mengimplementasikan program pencegahan dan pengendalian HIV AIDS dan mencapai target
yang ditetapkan. Penatalaksanaan HIV tanpa Komplikasi dan Infeksi Menular Seksual () yang
merupakan kompetensi dasar dokter dengan tingkat kompetensi IVA mewajibkan setiap fasilitas
pelayanan kesehatan yang tersedia tenaga dokter mampu untuk menemukan dan mengobati HIV
tanpa komplikasi. Hal ini sejalan dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
Hk.02.02/Menkes/514/2015 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Tingkat Pertama. Sistem rujukan dapat dilakukan pada tingkat kabupaten/kota bagi
kasus HIV dengan komplikasi maupun kepada kasus yang memerlukan rujukan untuk
tatalaksana lanjutan sebagaimana diamanatkan pada kompetensi yang harus dimiliki seorang
dokter.
Data prevalensi HIV usia dewasa (15-49 tahun) diperkirakan mencapai 0,32% pada tahun
20191. Estimasi untuk tingkat provinsi berkisar antara kurang dari 0,1% sampai melebihi 2%2 .
Sebaran HIV di Tanah Papua (terdiri dari provinsi Papua Barat dan Papua), dengan prevalensi
HIV diperkirakan mencapai 2,6% di populasi umum pada tahun 2019. Sebaran tersebut
merupakan pengecualian dibandingkan daerah lain dengan tingkat sebaran yang lebih terbatas.
Data yang ada menunjukkan peningkatan persentase temuan kasus HIV sebesar lima kali lipat
sejak tahun 2011 untuk kelompok populasi kunci Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL). Secara
keseluruhan, penularan heteroseksual tetap menjadi cara penularan utama yang mendominasi
temuan kasus baru (68%) sampai akhir tahun 2019.
Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dan terdiri
lebih dari 17.000 pulau. Sistem pemerintahan terdesentralisasi diterapkan pada 514
kabupaten/kota yang tersebar di 34 provinsi. Situasi tersebut merupakan tantangan dalam
pengendalian HIV AIDS dipandang dari segi geografis maupun sosial ekonomi. Keberhasilan
pemerintah bersama masyarakat dalam mengendalikan HIV dan AIDS di seluruh wilayah
Republik Indoneisa akan memberikan manfaat yang berdampak pada upaya global.Dalam
pelaksanaan selama periode 2015-2019, telah banyak terjadi perkembangan dan kesepakatan
baru di tingkat global, regional dan nasional, yang mempengaruhi arah di Indonesia untuk tahun
2020-2024, seperti kebijakan tingkat global: adanya komitmen politik dan penetapan target
global untuk mencapai 95-95-95 pada tahun 2030;
Bukti ilmiah dari berbagai negara terutama Afrika, pada tahun 2013, WHO
merekomendasikan inisiasi pengobatan anti retroviral (ART) dini untuk menekan angka
kematian terkait AIDS, dan mencegah penularan HIV, (WHO, 2013). Di Indonesia, rekomendasi
WHO ini diadaptasi dan dilakukan akselerasi temuan kasus HIV 3 , dengan memperluas akses
untuk inisiasi dini ART, serta memberikan pengobatan ARV segera setelah terdiagnosis HIV
positif.

- Kebijakan tingkat regional: disepakatinya “Gettting to Zero” 6 termasuk Universal Access


terhadap pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan terkait HIV dan AIDS pada
pertemuan KTT ASEAN di Bali;
- RPJMN: adanya komitmen pemerintah bersama masyarakat dalam menekan angka insiden
HIV diantara 1.000 penduduk yang tidak terinfeksi HIV hingga mencapai 0,18 pada tahun
2024;
- SPM: Skrining HIV wajib dilakukan pada delapan populasi yaitu ibu hamil, pasien TBC,
pasien , WPS, LSL, waria/TG, penasun dan WBP dimana hasil skrining yang reaktif
diharapkan dapat mengakses layanan untuk penegakan diagnosis;
- Renstra bidang kesehatan (Kementerian Kesehatan): komitmen pemerintah bersama
masyarakat untuk meningkatkan pengobatan ODHA sampai dengan 60% pada tahun 2024;

- SK Menkes nomor HK.02.02/Menkes/514/2015 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi


Dokter di F asilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama dan dengan adanya bukti bahwa
pemberian ARV dapat mengendalikan HIV hingga tidak terdeteksi dan dapat memperbaiki
kualitas hidup ODHA serta menurunkan risiko penularan. Oleh karena itu pemberian ARV
dapat dilakukan di tingkat fasyankes primer oleh dokter sesuai dengan kewenangan dasar
melakukan inisiasi dini pengobatan ARV.
- Hasil analisis program HIV pada periode 2015-2019 menunjukkan:
- Belum tersedianya data untuk mengukur indikator utama Zero New Infection, Zero AIDS
related death dan Zero Stigma and Discrimination pada populasi kunci;
- Data surveilans yang tersedia berasal dari dua sumber yaitu laporan rutin melalui SIHA dan
laporan hasil survei terpadu biologis dan perilaku (STBP). Laporan rutin melalui SIHA
belum semua fasyankes melaporkan terutama kegiatan untuk data . STBP yang dilakukan
setiap tiga tahun masih perlu diperkuat dalam pelaksanaan dan analisisnya.
- Pada periode 2015-2019 intervensi terfokus pada populasi kunci, sedangkan 68% ODHA
merupakan populasi non kunci. Oleh karena itu, upaya intervensi di luar populasi kunci
seperti pada pasangan ODHA, pasien TBC, pasien , ibu hamil, pasien hepatitis dan
pelanggan pekerja seks perlu dikembangkan.
- Kegiatan program pencegahan dan pengendalian perlu dilaksanakan secara lebih luas dan
intensif pada seluruh fasyankes. Selain itu integrasi skrining HIV pada pasien dan
sebaliknya perlu lebih dioptimalkan.
- Alat pemantau terapi pemeriksaan viral load perlu ditambah.
- Hasil Kajian Eksternal Respon Sektor Kesehatan terhadap HIV dan AIDS di
Indonesia pada tahun 2020 (WHO, 2020) dalam rangka akselerasi pencapaian
Getting to Zero, menunjukkan hal-hal berikut:
1. Indonesia adalah negara dengan epidemi terkonsentrasi di sebagian besar wilayah, serta
epidemi meluas tingkat rendah di Papua.
2. Masih meningkatnya insiden dan prevalensi HIV di kelompok LSL dan waria di sebagian
besar wilayah di Indonesia; juga di kelompok WPS di Papua.
3. Indonesia harus mecapai target 90-90-90 pada tahun 2027 (target global pada tahun 2020).
Kemajuan pencapaian ketiga target ini perlu ditingkatkan.
4. Cakupan paket pencegahan sesuai rekomendasi WHO perlu ditingkatkan pada empat
populasi kunci: WPS, LSL, Waria dan Penasun
5. Adanya persepsi bahwa belum menjadi masalah di Indonesia karena laporan kasus rendah.
Cakupan testing HIV diantara ibu hamil (44,87 %) jauh lebih baik dari pada cakupan testing
sifilis. Laporan SIHA tahun 2019 menunjukkan baru sekitar 423.377 (8,1%) ibu hamil yang
tes Sifilis. Data pengobatan baik untuk kasus HIV dan sifilis masih jauh dari yang
diharapkan, yakni 30,35% mendapatkan ARV dan 58,92% mendapatkan pengobatan dengan
Benzatine peniciline.
6. Kemajuan implementasi program sangat bervariasi antar provinsi. Cakupan skrining HIV
pada ibu hamil kurang dari 50% dan hanya dilaporkan oleh 450 kabupaten/kota dari 514
daerah yang ada (87,5%).
7. Kegiatan yang dipaparkan dalam RAN ini disusun berdasarkan strategi dan intervensi yang
terstruktur terpadu, dengan prioritas sasaran adalah masyarakat be risiko tinggi, orang
terinfeksi HIV, dan masyarakat rentan lainnya.

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimana perencanaan kesehatan terkait dengan strategi pendekatan program kesehatan untuk
menanggulangi HIV/Aids

1.3. Tujuan Pembahasan


Tujuan umum:
Tujuan umum adalah sebagai acuan perencanaan kesehatan terkait dengan strategi pendekatan
program kesehatan untuk menanggulangi HIV/Aids

Tujuan khusus:

1. Mengurangi insidensi HIV pada tahun 2024 (Baseline 2018 = 0,24/1.000 penduduk)
2. Meningkatkan proporsi ODHA yang mengetahui status HIV mereka menjadi 90% Tahun
2024
3. Meningkatkan proporsi ODHA yang menerima terapi pengobatan ARV menjadi 70% dan
memastikan kepatuhan mereka untuk menjamin keberhasilan menekan jumlah virus di
dalam darahnya di tahun 2024
4. Meningkatkan akses cakupan pemeriksaan viral load ODHA on ARV menjadi 75% tahun
2024
5. Mengurangi infeksi baru HIV dan Sifilis, dan Hepatitis B pada anak
6. Menurunkan diskriminasi terhadap ODHA dan populasi terdampak hingga 60% pada tahun
2024

Anda mungkin juga menyukai