Anda di halaman 1dari 18

PEDOMAN PROGRAM HIV

UPTD PUSKESMAS GEGESIK TAHUN 2023

UPTD PUSKESMAS GEGESIK


DINAS KESEHATAN
PEMERINTAH KABUPATEN CIREBON
Jl. Raya Gegesik – Arjawinangun No. 20, Gegesik
Telp. 0231 8830182 Kode pos 45164 Email :
pkmgegesik@gmail.com
PEMERINTAH KABUPATEN CIREBON
DINAS KESEHATAN
UPTD PUSKESMAS GEGESIK
Jl. Raya Gegesik – Arjawinangun No. 20 Telp.(0231) 8830182
Email : pkm.gegesik@cirebonkab.go.id
Gegesik-45164

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hingga saat ini HIV merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat utama di Indonesia. Sejak pertama kali
ditemukan (1987) sampai dengan tahun 2011, kasus HIV
teridentifikasi tersebar di 368 (73,9%) dari 498
kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia. Provinsi
pertama kali ditemukannya adanya kasus HIV (2011) adalah
Provinsi Bali (1987), sedangkan yang terakhir melaporkan
adanya HIV (2011) adalah Provinsi Sulawesi Barat.
Berdasarkan data terbaru, kejadian penularan infeksi
HIV di Indonesia terbanyak melalui hubungan seksual dengan
orang terinfeksi tanpa menggunakan kondom. Diikuti oleh
penggunaan alat suntik yang tercemar darah mengandung HIV
(karena penggunaan alat suntik secara Bersama diantara para
pengguna Napza suntikan), dan ditularakan dari ibu pengidap
HIV kepada anaknya, baik selama kehamilan, persalinan atau
selama menyusui. Cara penularan lain adalah melalui
transfuse darah yang tercemar, alat tusuk dan peralatan
lainnya (tato, dan lain-lain) dan adanya infeksi menular
seksual seperti sifilis.
Sejak beberapa tahun belakangan ini telah banyak
kemajuan dicapai dalam program pengendalian HIV di
Indonesia. Berbagai layanan terkait HIV telah dikembangkan
dan dimanfaatkan oleh masyarakat yang membutuhkannya
yaitu para populasi kunci dengan jumlah yang terus
meningkat. Namun demikian efektifitas maupun kualitas
intervensi dan layanan tersebut masih belum merata dan
belum semuanya saling terkait. Selain itu masih banyak
tantangan yang harus dihadapi seperti jangkauan layanan,
cakupan maupun, retensi klien pada layanan, termasuk di
wilayah dengan beban yang tinggi.

B. TUJUAN
Tujuan Umum
Sesuai dengan tujuan pengendalian HIV di Indonesia,
yaitu menurunkan angka kesakitan, kematian dan
diskriminasi serta meningkatkan kualitas hidup ODHA, maka
diperlukan upaya pengendalian serta layanan HIV dan IMS
yang komprehensif di tingkat kabupaten/kota di Indonesia.

Tujuan Khusus

 Meningkatkan akses dan cakupan terhadap upaya


promosi, pencegahan, dan pengobatan HIV & IMS serta
rehabilitasi yang berkualitas dengan memperluas jejaring
layanan hingga ke tingkat, puskesmas termasuk layanan
untuk populasi kunci.
 Meningkatkan pengetahuan dan rasa tanggung jawab
mengendalikan epidemi HIV & IMS di Indonesia dengan
memperkuat koordinasi antar pelaksana layanan HIV dan IMS
melalui peningkatan partisipasi komunitas dan masyarakat
madani dalam pemberian layanan sebagai cara meningkatkan
cakupan dan kualitas layanan.
C. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup program HIV menekankan pada upaya
preventif, promotif, kuaratif dan rehabilitatif.

D.BATASAN OPERASIONAL
Program penanggulangan AIDS di Indonesia mempunyai
4 pilar, yang semuanya menuju pada paradigma Zero New
Infection, Zero AIDS-Related Death, dan Zero Discrimination.
Empat pilar tersebut adalah :
1. Pencegahan (prevention)
Meliputi pencegahan penularan HIV melalui transmisi
seksual dan alat suntik, pencegahan di Lembaga
pemasyarakatan dan rumah tahanan, pencegahan di kalangan
pelanggan penjaja seks, dan lain lain.
2. Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan (PDP)
Meliputi penguatan dan pengambangan layanan
kesehatan, pencegahan dan pengobatan infeksi opurtunistik,
pengobatan antiretroviral dan dukungan serta Pendidikan dan
pelatihan bagi ODHA. Program PDP teruma ditujukan untuk
menurunkan angka kesakitan dan rawat inap, angka kematian
yang berhubungan dengan AIDS, dan meningkatkan kualitas
hidup orang terinfeksi HIV (berbagai Stadium). Pencapaian
tujuan tersebut dapat dilakukan antara lain dengan pemberian
terapi antiretroviral (ARV).
3. Mitigasi dampak berupa dukungan psikososio-
ekonomi.
4. Penciptaan lingkungan yang kondusif (Creating
Enabling Environment).
Meliputi program peningkatan lingkungan yang kondusif
adalah dengan penguatan kelembagaan dan manajemen
manajemen program.
BAB II
STANDAR KETENAGAAN

A. KUALIFIKASI SUMBER DAYA MANUSIA

Sumber daya manusia yang melakukan pelayanan


program HIV adalah tenaga medis yang sesuai dengan
kompetensinya yang telah mendapat pelatihan HIV yaitu
dokter, perawat, petugas laboratorium, apoteker/asisten
apoteker, petugas RR dan kader muda.

B. DISTRIBUSI KETENAGAAN
Pengaturan dan penjadwalan tugas tenaga program HIV
diatur oleh Satuan Pelaksana program HIV, mengetahui Kepala
Satuan Pelaksana UKM dan Kepala Puskesmas yang dusah
diatur sesuai dengan tupoksi kerja masing-masing unit.

C. JADWAL KEGIATAN
Pelayanan program HIV dilaksanakan setiap hari kerja
mulai dari Senin dan Kamis Pukul 08.00 – 14.00 WIB
BAB III
STANDAR FASILITAS

A. SARANA DAN PRASARANA


Dalam melakukan program HIV, dibutuhkan
perlengkapan sebagai berikut :
1. Alat dan bahan penunjang :
 Speculum
 Anuscopi
 Objek glass
 Cutton swabs
 Ph meter
 Tabung specimen darah
 Spuit 3 cc
2. Tempat
Tempat pelaksanaan program HIV di dalam gedung
Puskesmas Kecamatan Kasemen dan di luar gedung yang
masih termasuk wilayah Kecamatan Gegesik.
3. Obat-obatan
 Obat-obatan IMS
 Antiretroviral (ARV)
 Obat-obatan infeksi opputunistik
4. Alat Promkes
 Materi penyuluhan
 Media KIE
 Kondom
B. STANDAR FASILITAS
Fasilitas yang diperlukan dalam pelaksanaan program
HIV meliputi:
- Poli CST/IMS/VCT
- Laboratorium
BAB IV
TATALAKSANA PELAYANAN
Mengingat Batasan operasional di atas maka
disepakati perlunya mengembangkan suatu kerangka kerja
standar bagi tingkat kabupaten/kota. Kerangka kerja ini
dimaksudkan untuk memberikan pedoman bagi para pengelola
program, pelaksana layanan dan semua mitra terkait dalam
penerapan layanan pencegahan, perawatan dan pengobatan
HIV & IMS yang berkesinambungan di kabupaten/kota.
Layanan HIV & IMS tersebut menggunakan pendekatan
sistematis dan komprehensif, serta dengan perhatian khusus
pada kelompok kunci dan kelompok populasi yang sulit
dijangkau.

Kerangka kerja tersebut merupakan paduan standar


untuk merencanakan layanan secara efisien dan konsisten
serta menyelaraskan penyelenggaraan layanan secara lokal
maupun nasional. Kerangka kerja dikembangkan melalui
proses konsultasi yang melibatkan para pemangku
kepentingan secara luas dibawah koordinasi Kementerian
Kesehatan RI, dengan dukungan WHO, yang dilandasi oleh
prinsip dasar :

 Hak azasi manusia


 Kesetaraan akses layanan
 Penyelenggaraan layanan HIV & IMS yang berkualitas
 Mengutamakan kebutuhan ODHA dan keluarganya
 Memperhatikan kebutuhan kelompok populasi kunci
dan populasi rentan lainnya
 Keterlibatan ODHA dan keluarganya
 Penerapan perawatan kronik
 Layanan terapi antiretroviral dengan pendekatan
kesehatan masyarakat
 Mengurangi hambatan dalam mengakses layanan
(termasuk hambatan finansial seperti misalnya layanan cum-
Cuma bila memungkinkan)
 Menciptakan lingkungan yang mendukung untuk
mengurangi stigma dan diskriminasi, slah satunya dengan
peraturan perundangan yang melindungi, serta
 Mengarus utamakan aspek gender.

Desentralisasi layanan komprehensif HIV dan IMS yang


berkesinambungan (LKB) di tingkat kabupaten/kota perlu
didahului dengan pemetaan dan analisi situasi setempat, yang
mencakup pemetaan populasi kunci dan lokasi layanan terkai
HIV yang tersebar serta analisis factor-faktor yang
mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku pencarian
layanan pengobatan (Health seeking behavior), yang
dipengaruhi tatanan non-fisik yang ada di lingkungan
masyarakat. Analisis situasi ini perlu dilakukan agar populasi
kunci/masyarakat mau memanfaatkan jejaring LKB yang
dibangun (feeding in) sehingga program ini berdampak bagi
pengendalian epidemic secara luas. Didaerah dengan
prevalensi tinggi maka RS di tingkat kabupaten/kota
sebaiknya dikembangkan menjadi pusat layanan HIV di daerah
tersebut. Dengan pertimbangan bahwa RS di tingkat
kabupaten/kota pada umumnya :

 Memiliki cukup kapasitas untuk memberikan


tatalaksana klinis infeksi menular seksual, infeksi oportunistik
pada pasien HIV, bagi penasun dan terapi ARV
 Dapat melayani jumlah ODHA dan populasi kunci
yang cukup untuk membentuk kelompok
 Jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal ODHA
dank lien lainnya.

Sesuai prinsip dasar di atas maka LKB di tingkat


kabupaten/kota dikembangkan dasar 6 pilar berikut :

Pilar 1 : Koordinasi dan kemitraan dengan semua


pemangku kepentingan di setiap lini

Pilar 2 : Peran aktif komunitas termasuk ODHA dan


keluarga

Pilar 3 : Layanan terintegrasi dan terdesentralisasi


sesuai kondisi setempat

Pilar 4 : Paket layanan HIV Komprehensif yang


berkesinambungan

Pilar 5 : Sistem rujukan dan jejaring kerja

Pilar 6 : Akses layanan terjamin

Komponen LKB terdiri dari 5 komponen utama dalam


pengendalian HIV di Indonesia yaitu :

1. Pencegahan
2. Perawatan
3. Pengobatan
4. Dukungan
5. Konseling
Jenis Layanan Komprehensif HIV

Dukungan
Tatalaksana Klinis
Promosi dan Pencegahan Psikososial
HIV
Ekonomi dan Legal
 Promosi Kesehatan  Tatalaksana medis  Dukungan
(KIE) dasar psikososial
 Ketersediaan dan  Terapi ARV  Dukungan sebaya
akses alat pencegahan  Diagnosis IO dan  Dukungan
(kondom, alat suntik steril) komorbis terkasit HIV spiritual
 PTRM, PTRB, PABM dan Pengobatannya,  Dukungan social
 Penampisan darah termasu TB  Dukungan
donor  Profilaksis IO ekonomi : latihan
 Life skills education  Tatalaksana kerja, kredit mikro,
 Dukungan kepatuhan paliatif, termasuk kegiatan peningkatan
berobat (adherence) tatalaksana nyeri pendapatan, dsb
 PPIA  Dukungan gizi
 Layanan IMS, KIA, KB
dan Kesehatan reproduksi
remaja
 Tatalaksana IMS
 Vaksinasi Hep-B bagi
bayi dan para penasun (bila
tersedia)
 Pencegahan Pasca
Pajanan
BAB V
LOGISTIK

Kebutuhan dana logistic untuk program pencegahan dan


pengendalian penyakit menular direncanakan dalam
pertemuan lokakarya mini lintas sector sesuai dengan
tahapan kegiatan dan metode pemberdayaan yang akan
dilaksanakan.
BAB VI
KESELAMATAN PASIEN

Dalam setiap kegiatan program pencegahan dan


pengendalian penyakit menular perlu diperhatikan
keselamatan pasien, yakni dengan melakukan identifikasi
resiko terhadap segala kemungkinan yang dapat terjadi pada
saat pelaksanaan kegiatan. Upaya pencegahan resiko terhadap
pasien harus dilakukan untuk tiap tiap kegiatan yang akan
dilaksanakan.
BAB VII
KESELAMATAN KERJA

Dalam setiap kegiatan program pencegahan dan


pengendalian penyakit menular perlu diperhatikan
keselamatan karyawan puskesmas, yakni dengan melakukan
identifikasi resiko terhadap segala kemungkinan yang dapat
terjadi pada saat pelaksanaan kegiatan. Upaya pencegahan
resiko terhadap karyawan harus dilakukan untuk tiap-tiap
kegiatan yang akan dilaksanakan.
BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU

Untuk mengukur kinerja petugas medis dalam


pelayanan sehari-hari harus ada indikator yang dapat
digunakan dalam mengukur tingkat keberhasilan edukasi
dalam pelayanan di puskesmas dan di luar puskesmas, antara
lain :

1. Tingkat kepuasan pelanggan : dilakukan dengan


survei angket, kotak saran dan sms hotline
2. Kelengkapan rekam medis
BAB IX
PENUTUP

Pedoman ini dibuat sebagai acuan bagi petugas tenaga


medis dalam menjalankan pelayanan kesehatan di UPTD
Puskesmas Gegesik.

Keberhasilan kegiatan petugas tenaga medis dalam


pelayanan kesehatan tergantung pada komitmen semua
petugas kesehatan yang bekerja secara professional.
DAFTAR PUSTAKA

Pedoman penerapan layanan komprehensif HIV IMS


Berkesinambungan. 2012. Jakarta. Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.

Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual


2012. Jakarta. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai