Anda di halaman 1dari 16

PEDOMAN

PROGRAM IMS

TAHUN 2017

UPT PUSKESMAS BOJONEGARA

KABUPATEN SERANG

JL. KH. Bakrie No.3 Bojonegara Kab. Serang Banten

Kode Pos 42454 , No.Telp : 087843217356

E-Mail : pkm.Bojonegara@yahoo.co.id
LEMBAR PENGESAHAN

NOMOR :

TANGGAL TERBIT :

Ketua Pokja UKM Pemegang Program IMS-HIV

drg. Cucu Sugiharti Yulia Agustin.S, S.Kep

NIP: 19711216 200212 2 004 NIP: 19800731 201101 2 001

Mengetahui,
Kepala UPT Puskesmas Bojonegara

dr. Hj. Sumeri


NIP: 19690515 201001 2 001
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hingga saat ini, HIV merupakan salah atau masalah kesehatan masyarakat
utama di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 sampai dengan tahun
2011, kasus HIV teridentifikasi tersebar di 368 (73,9 %) dari 498 kabupaten / kota
diseluruh provinsi di Indonesia. Provinsi pertama kali ditemukan adanya kasus HIV
tahun 2011 adalah provinsi bali pada tahun 1987, sedangkan yang terakhir melaporkan
adanya Kasus HIV tahun 2011 adalah provinsi Sulawesi Barat.
Berdasarkan data terbaru kejadian penularan infeksi HIV diindonesia terbanyak
melalui hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi tanpa menggunakan kondom.
Diikuti oleh penggunaan alat suntik yang tercemar darah yang mengandung HIV
( karena penggunaan alat suntik secara bergantian diantara para pengguna Napza
suntikan ), dan ditularkan dari ibu pengidap HIV kepada anaknya, baik selama
kehamilan, persalinan atau selama menyusui. Cara penularan lain adalah melalui
transfuse darah yang tercemar, alat tusuk dan peralatan lainnya ( tato, dan lain – lain )
dan adanya infeksi menular seksual seperti sifilis.
Sejak beberapa tahun belakangan ini telah banyak kemajuan dicapai dalam
program pengendalian HIV diindonesia. Berbagai layanan terkait HIV telah
dikembangkan dan dimanfaatkan oleh masyarakat yang membutuhkan yaitu para
populasi kunci dengan jumlah yang terus meningkat. Namun demikian efektifitas
maupun kualitas intervensi dan layanan tersebut masih belum merata dan belum
semuanya saling terkait. Selain itu masih banyak tantangan yang harus dihadapi
seperti jangkauan layanan, cakupan maupun retensi klien pada layanan, termasuk di
wilayah dengan beban yang tinggi.

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Sesuai dengan tujuan pengendalian HIV di Indonesia, yaitu menurunkan angka
kesakitan, kematian dan diskriminasi serta meningkatkan kualitas hidup ODHA,
maka diperlukan upaya pengendalian serta layanan HIV dan IMS yang
kompreherensif di tingkat kabupaten / kota di Indonesia.
2. Tujuan Khusus
 Meningkatkan akses dan cakupan terhadap upaya promosi, pencegahan, dan
pengobatan HIV dan IMS serta rehabilitasi yang berkualitas dengan
memperluas jejaring layanan hingga ke tingkat puskesmas, termasuk layanan
untuk populasi kunci.
 Meningkatkan peng etahuan dan rasa tanggung jawab mengendalikan
epidemi HIV dan IMS di Indonesia dengan memperkuat koordinasi antar
pelaksana layanan HIV dan IMS melalui peningkatan partisipasi komunitas
madani dalam pemberian layanan sebagai cara meningkatkan cakupan dan
kualitas layanan.

C. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup programHIV menekankan pada upaya preventif, promotive, kuratif,
dan rehabilitatif.

D. BATASAN OPERASIONAL
Program penanggulangan AIDS di Indonesia mempunyai 4 pilar, yang semuanya
menuju pada paradigm Zero New Infection, Zero AIDS – Related Death dan Zero
Discrimination.
Empat pilar tersebut adalah :
1. Pencegahan ( preventif )
Meliputi pencegahan penularan HIV melalui transmisi seksual dan alat suntik,
pencegahan dilembaga permasyarakatan dan rumah tahanan, pencegahan HIV
dari ibu ke bayi ( Prevention Mother to Child Transmission,
PMTCT ) ,pencegahan di kalangan pelanggan penjaja seks, dan lain – lain.
2. Perawatan, Dukungan dan Pengobatan ( PDP )
Meliputi penguatan dan pengembangan layanan kesehatan, pencegahan dan
pengobatan infeksi oportunistik, pengobatan antiretroviral dan dukungan serta
pendidikan dan pelatihan bagi ODHA. Program PDP terutama ditujukan untuk
menurunkan angka kesakitan dan rawat inap, angka kematian yang berhubungan
dengan AIDS, dan meningkatkan kualitas hidup orang terinfeksi HIV ( berbagai
stadium ). Pencapaian tujuan tersebut dapat dilakukan antara lain dengan
pemberian terapi antiretroviral ( ARV ).
3. Mitigasi dampak berupa dukungan psikososio – ekonomi
4. Penciptaan lingkungan yang kondusif ( Creating Enable Environment )
Meliputi program peningkatan lungkungan yang kondusif adalah dengan
penguatan kelembagaan dan manajemen program.

E. LANDASAN HUKUM
Sebagai dasar penyelenggaraan program HIV di puskesmas diperlukan perundang-
undangan pendukung. Beberapa ketentuan perundang-undangan adalah sebagai
berikut :
1. UU no. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan
2. PP No. 075 Tahun 2006 tentang komisi Penanggulangan AIDS Nasional
3. Permenkokesra No. 02/MENKO/I/2007 mengenai Harm Reduction
4. Pergub No.37 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Penanggulangan HIV
BAB II
STANDART KETENAGAAN

A. KUALIFIKASI SUMBER DAYA MANUSIA


Sumber daya manusia yang melakukan pelayanan program HIV adalah tenaga medis
dan paramedic yang sesuai dengan kompetensinya yang telah mendapat pelatihan
yaitu dokter, perawat, petugas laboratorium, apoteker / asisten apoteker, petugas RR
dan kader muda.

B. DISTRIBUSI KETENAGAAN
Pengaturan dan penjadwalan tugas tenaga program HIV diatur oleh Satuan Pelaksana
program HIV, mengetahui kepala Puskesmas yang sudah diatur sesuai dengan Tupoksi
kerja masing-masing unit.

C. JADWAL KEGIATAN
Pelayanan Program HIV dilaksanakan setiap hari kamis pukul 08.00 – 14.00
BAB III
STANDART FASILITAS

A. SARANA DAN PRASARANA


Dalam melakukan program HIV, dibutuhkan perlengkapan sebagai berikut :
1. Alat dan Bahan Penunjang
 Reagen
 Tabung EDTA
 Spuit 3 cc
 Spuit 5 cc
 Handschoon

2. Tempat
Tempat pelaksanaan program HIV didalam gedung Puskesmas Kecamatan
Bojonegara dan diluar gedung yang masih termasuk wilayah kecamatan
Bojonegara.

3. Obat-obatan
 Obat-obatan IMS

4. Alat Promkes
 Materi Penyuluhan
 Media KIE
 Kondom

B. STANDART FASILITAS
Fasilitas yang diperlukan dalam pelaksanaan program HIV meliputi :
Poli IMS / VCT / PITC
Laboratorium
BAB IV
TATALAKSANA PELAYANAN

Mengingat batasan operasional diatas maka disepakati perlunya mengembangkan


suatu kerangka kerja standart bagi tingkat kabupaten / kota. Kerangka kerja ini
dimaksudkan untuk memberikan pedoman bagi para pengelola program, pelaksana layanan
dan semua mitra terkait dalam penerapan layanan pencegahan, perawatan dan pengobatan
HIV dan IMS yang berkesinambungan di kabupaten / kota.
Layanan HIV & IMS tersebut menggunakan pendekatan sistematis dan kompreherensif,
serta dengan perhatian khusus pada kelompok kunci dan kelompok populasi yang sulit
dijangkau.
Kerangka kerja tersebut merupakan panduan standart untuk merencanakan layanan
secara efisien dan konsisten serta menyelaraskan penyelenggaraan layanan secara lokal
maupun nasional.
Kerangka kerja dikembangkan melalui proses konsultasi yang melibatkan para pemangku
kepentingan secara luas dibawah koordinasi kementrian kesehatan RI, dengan dukungan
WHO, yang dilandasi oleh prinsip dasar :
 Hak asasi manusia
 Kesetaraan akses layanan
 Penyelenggaraan layanan HIV & IMS yang berkualitas
 Mengutamakan kebutuhan ODHA dan keluarganya
 Memperhatikan kebutuhan kelompok populasi kunci dan populasi rentan
lainnya
 Keterlibatan ODHA dan keluarganya
 Penerapan perawatan kronik
 Mengurangi hambatan dalam mengakses layanan
 Menciptakan lingkungan yang mendukung untuk mengurangi stigma dan
diskriminasi, salah satunya dengan peraturan perindangan yang melindungi
serta mengutamakan aspek gender.
Desentralisasi layanan kompreherensif HIV dan IMS yang berkesinambungan (
LKB ) di tingkat kabupaten perlu didahulukan dengan pemetaan dan analisi situasi
setempat, yang mencakup pemetaan populasi kunci dan lokasi layanan terkait HIV yang
tersebar serta analisis factor yang mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku pencarian
layanan pengobatan (Health Seeking Behavior), yang dipengaruhi tatanan non fisik yang
ada di lingkungan masyarakat. Analisis situasi ini perlu dilakukan agar populasi kunci /
masyarakat mau memanfaatkan jejaring LKB yang dibangun ( feeding in ) sehingga
program berdampak bagi pengendalian epidemic secara luas.
Didaerah dengan prevalensi tinggi maka RS ditingkat kabupaten sebaiknya
dikembangkan menjadi pusat layanan HIV didaerah tersebut. Dengan pertimbangan bahwa
RS ditingkat kabupaten pada umumnya :
 Memiliki cukup kapasitas untuk memberikan tata laksana klinis infeksi menular
seksual, infeksi oportunistik pasien HIV, bagi Penasun dan terapi ARV
 Dapat melayani jumlah ODHA dan populasi kunci yang cukup untuk membentuk
kelompok.
 Jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal ODHA dank klien lainnya.
Sesuai prinsip dasar diatas maka LKB ditingkat kabupaten dikembangkan atas
dasar 6 pilar berikut :
Pilar 1 : Koordinasi dan kemitraan dengan semua pemangku kepentingan disetiap lini
Pilar 2 : peran aktif komunitas termasuk ODHA dan keluarga
Pilar 3 : Layanan terintegrasi dan terdesentralisasi sesuai kondisi setempat
Pilar 4 : Paket layanan HIV kompreherensif dan berkesinambungan
Pilar 5 : Sistem rujukan dan jejaring kerja
Pilar 6 : Akses layanan terjamin
Komponen LKB terdiri dari 5 komponen utama dalam pengendalian HIV di
Indonesia yaitu :
1. Pencegahan
2. Perawatan
3. Pengobatan
4. Dukungan
5. Konseling

Jenis Layanan Komprehensif HIV :


1. Promosi dan pencegahan
 Promosi Kesehatan ( KIE )
 Ketersediaan dan akses alat pencegahan ( kondom, alat suntik steril )
 Life Skill Education
 Dukungan Kepatuhan Berobat ( Adherence )
 PPIA
 Layanan IMS, KIA, KB dan kesehatan reproduksi remaja
 Tatalaksana IMS
 Vaksin Hepatitis B bagi bayi dan para penasun ( jika tersedia )
 Pencegahan Pasca Pajanan
2. Tatalaksana Klinis HIV
 Tatalaksana Medis Dasar
 Diagnosis IO dan komorbid terkait ahiv dan pengobatan termasuk TB paru
 Profilaksis IO
 Perawatan Paliatif, termasuk tatalaksana nyeri
 Dukungan Gizi

3. Dukungan Psikososial Ekonomi dan Legal


 Dukungan Psikososial
 Dukungan Sebaya
 Dukungan Spiritual
 Dukungan Sosial
 Dukungan Ekonomi : Latihan kerja, kredit mikro, kegiatan peningkatan
pendapatan
BAB V
LOGISTIK

Kebutuhan dana logistic untuk program pencegahan dan pengendalian penyakit


menular direncanakan dalam pertemuan lokakarya mini lintas sector sesuai dengan
tahapan kegiatan dan metode pemberdayaan yang akan dilaksanakan.
BAB VI
KESELAMATAN PASIEN

Dalam setiap program pencegahan dan pengendalian penyakit menular perlu


diperhatikan keselamatan pasien, yaitu dengan melakukan identifikasi resiko terhadap
segala kemungkinan yang dapat terjadi pada saat pelaksanaan kegiatan. Upaya pencegahan
resiko terhadap pasien harus dilakukan untuk tiap – tiap kegiatan yang akan dilaksanakan.
BAB VII
KESELAMATAN KERJA

Dalam setiap program pencegahan dan pengendalian penyakit menular perlu


diperhatikan keselamatan kerja karyawan puskesmas, yaitu dengan melakukan identifikasi
resiko terhadap segala kemungkinan yang dapat terjadi pada saat pelaksanaan kegiatan.
Upaya pencegahan resiko terhadap pasien harus dilakukan untuk tiap – tiap kegiatan yang
akan dilaksanakan.
BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU

Untuk mengukur kinerja petugas medis dalam pelayanan sehari – hari harus ada
indicator yang digunakan, indicator yang digunakan dalam mengukur tingkat keberhasilan
edukasi dalam pelayanan di puskesmas dan diluar puskesmas, antara lain :

1. Tingkat kepuasan pelanggan : dilakukan dengan survei angket, kotak saran


2. Kelengkapan rekam medis
BAB IX

PENUTUP

Pedoman ini dibuat sebagai acuan bagi petugas tenaga medis dalam menjalankan
pelayanan kesehatan di UPT Puskesmas Bojonegara di kabupaten serang.

Keberhasilan kegiatan petugas tenaga medis dan pelayanan kesehatan tergantung


pada komitmen semua petugas kesehatan yang bekerja secara professional.
DAFTAR PUSTAKA

Pedoman penerapan layanan komprehensif HIV dan IMS berkesinambungan, 2012,


Jakarta
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2012. Jakarta. Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai