Anda di halaman 1dari 45

KATA PENGANTAR

Dengan Rasa Syukur atas Rahmat Allah Yang Maha Kuasa atas Berkat dan Karunia-
Nya sehingga Penyusunan Rencana Aksi Kegiatan Sekretariat Direktorat Jenderal Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit tahun 2020-2024 ini dapat diselesaikan.
Penyusunan Rencana Aksi Kegiatan ini bertujuan untuk Meningkatkan Pelayanan
Kekarantinaan di pintu masuk negara/ Meningkatkan Pelayanan Surveilans dan Laboratorium
Kesehatan Masyarakat dengan menjabarkan tujuan dan sasaran strategis, arah kebijakan dan
strategi, target kinerja dan kegiatan.
Sebagai buku Rencana Aksi Kegiatan pertama untuk tahun RPJMN 2020-2024, kami
merasakan buku ini masih memiliki banyak kekurangan karena dukungan data yang belum
memadai terutama data-data yang digunakan sebagai bahan analisis situasi, prioritas program/
kegiatan, dan upaya rencana aksi. Selanjutnya kedepan akan terus disempurnakan dan
disesuaikan dengan perkembangan kegiatan dipintu masuk negara/ wilayah kerja (Regional).
Diharapkan program dan kegiatan dalam RAK tahun 2020-2024 dapat dijadikan dasar dan
acuan dalam melaksanakan upaya mencegah masuk keluarnya penyakit/ pelaksanaan
Surveilans dan laboratorium kesehatan masyarakat. Bagi kepala Bidang dan seksi dibawah
Satuan kerja, diharapkan RAK 2020-2024 dapat digunakan sebagai acuan dalam menyusun
Rencana Kerja dan Sasaran Kerja Pegawai.
Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berproses
bersama dan mendukung tersusunnya Rencana Aksi Kegiatan (RAK) 2020-2024 ini, semoga
buku ini menjadi dokumen bersama dan dijadikan acuan dalam pelaksanaan Dukungan
Manajemen semoga bermanfaat bagi kita semua.
…………, ……Agustus 2020
Direktur P2PML,

……………………………..
NIP. ……………………
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Periode tahun 2020-2024 merupakan tahapan terakhir dari Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, sehingga merupakan periode pembangunan
jangka menengah yang sangat penting dan strategis. RPJMN 2020-2024 akan memengaruhi
pencapaian target pembangunan dalam RPJPN, di mana pendapatan perkapita Indonesia akan
mencapai tingkat kesejahteraan setara dengan negara-negara berpenghasilan menengah atas
(Upper-Middle Income Country) yang memiliki kondisi infrastruktur, kualitas sumber daya
manusia, pelayanan publik, serta kesejahteraan rakyat yang lebih baik.
Sejalan dengan Visi Presiden Republik Indonesia Tahun 2020-2024 yaitu
Terwujudnya Indonesia Maju yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan
Gotong - Royong, dimana peningkatan kualitas manusia Indonesia menjadi prioritas utama
dengan dukungan pembangunan kesehatan yang terarah, terukur, merata dan berkeadilan.
Pembangunan kesehatan bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat tersebut, dibutuhkan program kesehatan
yang bersifat preventif dan promotif salah satunya adalah Program Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit (P2P).
Undang undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional mengamanatkan bahwa Kementerian/Lembaga menyusun Rencana Strategi
(Renstra). Selanjutnya merujuk kepada Keputusan Menteri Kesehatan nomor 21 tahun 2020
tentang Rencana Strategik Kementerian Kesehatan Tahun 2020-2024 bahwa tingkat Eselon I
menjabarkan dalam Rencana Aksi Program (RAP) dan Eselon II atau satuan kerja
menjabarkan Rencana Aksi Kegiatan (RAK).

B. Kondisi Umum
Gambaran kondisi umum, potensi dan permasalahan pengendalian penyakit menular
langsung dipaparkan berdasarkan hasil pencapaian program, kondisi lingkungan strategis,
kependudukan, sumber daya, dan perkembangan baru lainnya. Potensi dan permasalahan
pengendalian penyakit menular langsung menjadi input dalam menentukan arah kebijakan dan
strategi Kementerian Kesehatan dalam bidang Pengendalian Penyakit Menular Langsung.
Program pengendalian HIV/AIDS bertujuan utama untuk menghentikan epidemi AIDS di
Indonesia pada tahun 2030, dengan tujuan khusus (‘three zeros’) untuk menurunkan hingga
meniadakan infeksi HIV baru, menurunkan hingga meniadakan kematian yang disebabkan oleh
keadaan yang berkaitan dengan AIDS dan meniadakan diskriminasi terhadap ODHA.
Untuk mencapai tujuan diterapkan pendekatan 90-90-90 atau ‘fast track’, yaitu menemukan
90% dari perkiraan Odha yang ada melalui tes HIV, mengobati 90% Odha yang ditemukan dan
memastikan 90% dari Odha yang diobati mengalami supresi virus (tidak terdeteksi dengan
pemeriksaan ‘viral load’).
Pendekatan tersebut sedang diterapkan secara intensif di tahun 2018-2020 di 238 kab/kota
terpilih yang ada di 34 provinsi, dengan dukungan dana pemerintah (APBN dan APBD) serta
dukungan berbagai mitra di dalam dan luar negeri, terutama dari ‘the Global Fund’ (GF). Program
Pengendalian HIV AIDS di Indonesia mendapatkan bantuan hibah dari Global Fund sejak tahun
2003 yang berlanjut hingga tahun 2018 – 2020 dengan paket kegiatan New Funding Model
continued AIDS, Tuberculosis and Malaria (NFMc ATM). Hibah ini mendukung pembiayaan
APBN dalam mengatasi mengendalikan HIV AIDS di Indonesia. Kegiatan dukungan GF
memungkinkan juga LSM berperan dalam pencegahan melalui penjangkauan, penyuluhan dan
upaya pencegahan lainnya.
Salah satu indikator utama kegiatan Pengendalian HIV tersebut adalah ODHA sedang dapat
ART dengan target 258,340 Odha (40% estimasi 640.443 Odha) di akhir 2020.
Jumlah kasus HIV yang dilaporkan dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2019 mengalami
kenaikan tiap tahunnya. Jumlah kumulatif kasus HIV yang dilaporkan sampai dengan Desember
tahun 2019 sebanyak 377.564 kasus (65,5% dari target 90% estimasi ODHA tahun 2016 sebanyak
640.443). terdapat 5 provinsi dengan jumlah kasus HIV tertinggi adalah DKI Jakarta (65.578),
diikuti Jawa Timur (57.176), Jawa Barat (40.215), Papua (36.382) dan Jawa Tengah (33.322).
Jumlah kasus AIDS yang dilaporkan dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2019 relatif stabil
setiap tahunnya. Jumlah kumulastif AIDS dari tahun 1987 sampai dengan Desember tahun 2019
sebanyak 121.101 Orang.
Persentase kumulatif AIDS tertinggi pada kelompok umur 20 – 29 tahun (32.1%) kemudian
diikuti kelompok umur 30-39 tahun (31.1%) 40 – 49 tahun (13,8%), 50 – 59 tahun (5,2%) dan 15
– 19 tahun (3,3%). Persentase AIDS pada laki-laki sebanyak 59 % dan perempuan 33 %.
Sementara itu 8% tidak melaporkan jenis kelamin. .Terdapat 5 provinsi dengan jumlah kasus
AIDS terbanyak adalah Papua (23.599), Jawa Timur (20.787), Jawa Tengah (11.724), DKI
Jakarta (10.517) dan Bali (8,230). Faktor risiko penularan terbanyak melalui hubungan seksual
berisiko heteroseksual (70,4%), penggunaan alat suntk tidak steril (8%) diikuti homoseksual
(7,3%) dan penularan melalui perinatal (2,9%). Angka kematian (CFR) AIDS mengalami
penurunan/kenaikan dari 1,03% pada tahun 2018 menjadi 0,59% pada Desember 2019
Layanan HIV AIDS yang aktif melaporkan terdiri dari 8.485 layanan Tes HIV, 1.284 layanan
PDP yang aktif melakukan pengobatan ARV, terdiri dari 1.007 layanan rujukan PDP dan 277
satelit. Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM), 4.291 layanan IMS dan 188 layanan PPIA.
Layanan HIV AIDS yang aktif melaporkan terdiri dari 8.485 layanan Tes HIV, 1.284 layanan
Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan (PDP) yang aktif melakukan pengobatan ARV, terdiri
dari: 1.007 layanan Rujukan PDP dan 277 Satelit, 92 layanan Program Terapi Rumatan Metadon
(PTRM), 4.291 layanan Infeksi Menular Seksual (IMS), dan 188 layanan Pencegahan Penularan
dari Ibu ke Anak (PPIA).
Hingga bulan Desember 2019 terdapat 365.496 ODHA yang pernah masuk perawatan
dimana 270.802 diantaranya pernah mendapatkan pengobatan. Jumlah ODHA hingga bulan
Desember 2019 masih sedang mendapatkan pengobatan ARV sebanyak 127.613 orang. Jumlah
ODHA yang gagal follow up (putus obat) sebanyak 58.179 orang (22%).
Dalam pengendalian HIV, dapat dijelaskan bahwa IMS merupakan pintu masuk infeksi HIV,
terutama sifilis yang sudah menjadi permasalahan global. Sifilis dapat meningkatkan risiko
tertular HIV sampai 300 kali lipat. Maka epidemi HIV khususnya di Indonesia sangat berkaitan
dengan peningkatan kasus sifilis, baik di populasi kunci maupun pada populasi umum.
Konsekuensi akibat IMS cukup banyak, misalnya infertilitas akibat gonore, angka kelahiran mati
meningkat, bayi lahir cacat akibat sifilis serta infeksi human papillomavirus sebagai pencetus
kanker mulut rahim yang juga menjadi penyebab kematian yang cukup besar saat ini.
Jumlah seluruh kasus PIMS dengan penegakan diagnose berdasarkan pendekatan sindrom
dan pemeriksaan laboratorium menurut kelompok risiko tahun 2016 sampai dengan Desember
tahun 2019 tertinggi adalah Wanita Pekerja Seks (110.502); Pasangan Risiko Tinggi (103.830);
LSL (71.494); Pelanggan Pekerja Seks (22.342); Waria (8.012); pengguna napza suntik (2.301);
dan Pria Pekerja Seks (1.137).
Pada tahun 2016 jumlah kasus Duh Tubuh Uretra (DTU) dilaporkan sebanyak 10.672 kasus,
tahun 2017 sebanyak 9.019 kasus, tahun 2018 sebanyak 9.070, dan tahun 2019 sebanyak 8.955
Jumlah kumulatif Kasus DTU dari tahun 2016 sampai dengan Desember 2019 sebanyak 37.716
orang.
Kaskade jumlah kasus Sifilis pada ibu hamil sebagai berikut: jumlah ibu hamil berkunjung
pertama kali ke ANC 872.688 kasus, jumlah ibu hamil yang berkunjung pertama kali ke ANC dan
di tes sifilis746.499 kasus, jumlah ibu hamil yang positif sifilis 16.110 kasus dan jumlah ibu hamil
yang diobati 6.208 kasus.
Sehubungan dengan itu sesuai surat Dirjen P2P semua provinsi, nomor
PR.01.05/I/1822/2019, tanggal 31 Jul 2019, hal Akselerasi ART pada tahun 2019-2020, untuk
melakukan Akselerasi ART dengan mengintensifkan penerapan kebijakan Test & Treat,
penemuan kasus lama yang belum ART dan Loss to Follow Up serta penemuan kasus baru
termasuk pada pasien IMS, TB dan Hepatitis.
Dalam pelaksanaan selama periode 2015-2019, telah banyak terjadi perkembangan dan
kesepakatan baru di tingkat nasional, regional maupun global, yang mempengaruhi arah di
Indonesia untuk tahun 2020-2024, seperti:
- RPJMN: adanya komitmen Indonesia dalam menekan angka insiden HIV diantara 1.000
penduduk yang tidak terinfeksi HIV hingga mencapai 0,18 pada tahun 2024;
- Renstra: komitmen Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan pengobatan ODHA sampai
dengan 60% pada tahun 2024;
- SPM: Skrining HIV wajib dilakukan pada 8 populasi yaitu ibu hamil, pasien TBC, pasien IMS,
WPS, LSL, waria/TG, penasun dan WBP dimana hasil skrining yang reaktif diharapkan dapat
mengakses layanan untuk penegakkan diagnosis;
- Di tingkat global: adanya komitmen politik dan penetapan target global untuk mencapai 95-
95-95 pada tahun 2030;
- Di tingkat regional: disepakatinya “Gettting to Zero: termasuk Universal Access terhadap
pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan terkait HIV dan AIDS pada pertemuan
KTT ASEAN di Bali;
- Berdasarkan bukti ilmiah dari berbagai negara, WHO merekomendasikan inisiasi ART dini
untuk menekan angka kematian terkait AIDS, dan mencegah penularan HIV, (WHO, 2013).
Di Indonesia, rekomendasi WHO ini diadaptasi dengan melakukan akselerasi temuan kasus
HIV, dan memperluas akses untuk inisiasi dini ART, dengan memberikan pengobatan ARV
segera setelah terdiagnosis HIV positif.
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
Tuberculosis. Berdasarkan Global TB Report Tahun 2019 Indonesia merupakan salah satu negara
dengan beban TB terbesar di dunia yaitu dengan urutan perkiraan insiden yaitu India (2.690.000/
27% dari total global), Cina (866.000/ 9% dari total global), (Indonesia 845,000/ 8% dari total
global), Filipina (591.000/ 6% dari total global), Pakistan (562.000/ 6% dari total global), Nigeria,
(429.000/ 4% dari total global), Bangladesh (357.000/ 4% dari total global), Afrika Selatan
(301.000/ 3% dari total global), DR Congo (270.000/ 2,7% dari total global) dan Myanmar
(181.000/ 1,8% dari total global) (Global Tuberculosis Report, 2019; hal. 35-36). Selain itu
terdapat tantangan yang perlu menjadi perhatian yaitu meningkatnya kasus TB-MDR, TB-HIV,
TB dengan DM, TB pada anak dan masyarakat rentan lainnya.
Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
Tuberculosis. Tuberkulosis (TBC) terus menjadi salah satu masalah kesehatan baik di Indonesia
maupun di Dunia. Berdasarkan Global TBC Report Tahun 2019 Indonesia merupakan salah satu
negara dengan beban TBC terbesar di dunia yaitu dengan urutan perkiraan insiden yaitu India
(2.690.000/ 27% dari total global), Cina (866.000/ 9% dari total global), (Indonesia 845,000/ 8%
dari total global), Filipina (591.000/ 6% dari total global), Pakistan (562.000/ 6% dari total
global), Nigeria, (429.000/ 4% dari total global), Bangladesh (357.000/ 4% dari total global),
Afrika Selatan (301.000/ 3% dari total global), DR Congo (270.000/ 2,7% dari total global) dan
Myanmar (181.000/ 1,8% dari total global) (Global Tuberculosis Report, 2019; hal. 35-36). Selain
itu terdapat tantangan yang perlu menjadi perhatian yaitu meningkatnya kasus TBC-MDR, TBC-
HIV, TBC dengan DM, TBC pada anak dan masyarakat rentan lainnya.
Jumlah kasus TBC yang ditemukan dan diobati dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (tahun
2010-2019) ini tercatat mencapai jumlah 3.884.554 orang. Penemuan kasus Tuberkulosis di
Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan notifikasi atau cakupan angka penemuan
kasus TBC yang ditemukan dan diobati dari 35% pada tahun 2015 menjadi 67% pada tahun 2019.
Meskipun demikian, masih terdapat gap antara notifikasi dengan estimasi insiden yang
disebabkan karena kasus TBC yang belum ditemukan dan diobati (underdiagnosis) dan kasus
TBC yang telah diobati di fasilias kesehatan, namun belum terlaporkan kedalam sistem surveilens
TBC (underreporting). Hasil Studi Inventori TBC (Kemkes, 2018), menunjukkan bahwa kasus
tuberkulosis (TBC) yang belum ditemukan dan diobati (missing cases / under-reporting) yang
berasal dari Rumah Sakit mencapai 62% dan dari DPM/Klinik sebesar 96%.
Angka keberhasilan pengobatan/ success rate pada tahun 2018 mencapai 85% dan pada
tahun 2019 mencapai 83% dari pasien yang diobati. Angka keberhasilan pengobatan tahun 2019
jika dilihat dari jenis fasilitas kesehatan yaitu Puskesmas sebesar 90%, DPM/Klinik sebesar
90%, dan Rumah Sakit sebesar 81%, B/BPKPM sebesar 80% dan Lapas sebesar 81%.
Di Indonesia, lebih dari 70% pasien tuberkulosis mencari pengobatan di fasilitas pelayanan
kesehatan swasta. Sebagian besar orang dengan gejala mendatangi apotek/farmasi dan DPM
untuk mencari pengobatan pertama tetapi proporsi pasien yang kemudian diobati di rumah sakit
baik pemerintah maupun swasta meningkat. Hal tersebut menunjukkan bahwa seluruh fasilitas
pelayanan kesehatan termasuk layanan swasta perlu dilibatkan dalam program penanggulangan
TBC. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan pelaporan kasus TBC, serta meningkatkan
kualitas dan menjaga mutu pelayanan TBC di fasyankes khususnya swasta.
Sampai saat ini jumlah fasilitas kesehatan yang aktif melayani dan melaporkan kasus
tuberkulosis sebanyak 9.497 puskesmas (93%), 1.635 rumah sakit (58%), 349 klinik/lapas/DPM.
Adapun jumlah fasilitas laboratorium yang tersedia untuk mendukung diagnosis tuberkulosis
sebanyak 7.471 laboratorium mikroskopis, 946 laboratorium tes cepat molekuler (TCM), 21
laboratorium biakan TBC, 12 laboratorium uji kepekaan obat TBC, dan 7 laboratorium LPA lini
2. Di samping itu terdapat fasilitas kesehatan rujukan tuberkulosis resistan obat (per 5 Agustus
2020) sebanyak 282 Rumah Sakit/Balai Kesehatan yang tersebar di 34 provinsi. Adapun rincian
dari 282 faskes tersebut yakni sebanyak 238 faskes merupakan bagian dari 360 faskes yang
terdapat didalam list KMK Nomor HK.01.07/MENKES/350/2017 tentang rumah sakit dan balai
kesehatan pelaksana layanan tuberkulosis, sedangkan 44 faskes lainnya berasal dari luar KMK.
Indonesia dalam Rencana Strategi Nasional 2016-2020 telah menetapkan 6 strategi utama
untuk menjawab tantangan target Sustainability Development Goals (SDGs) tahun 2030
untuk mengakhiri epidemi TBC, yaitu mencapai penurunan 90% kematian akibat TBC dan
penurunan insidens TBC 80% dibandingkan tahun 2015. Sebagai landasan upaya-upaya
menurunkan beban TBC di Indonesia adalah dengan menyatakan TBC sebagai prioritas
nasional. Strategi TOSS TBC adalah merupakan kunci dari penanggulangan TBC yaitu
menemukan dan menyembuhkan pasien TBC hingga tuntas (sembuh), untuk memutuskan rantai
penularan TBC dan menurunkan insiden TBC di masyarakat. Untuk melaksanakan strategi ini
diperlukan komitmen yang kuat dari pemerintah dan keterlibatan penuh sektor swasta serta stake
holder lainnya untuk penanggulangan TBC. Dukungan tersebut bisa dengan menerapkan
kebijakan baru dan peraturan-peraturan yang kemungkinan besar merupakan strategi paling
berdaya guna, termasuk keharusan pelaporan kasus, standar klinis untuk pelayanan TBC yang
berkualitas, sertifikasi dan akreditasi para pemberi layanan kesehatan, serta memastikan
kepatuhan terhadap pedoman diagnosis secara nasional dan juga pembiayaannya.

Hepatitis adalah peradangan hati yang bisa berkembang menjadi fibrosis (jaringan parut),
sirosis atau kanker hati. Hepatitis disebabkan oleh berbagai faktor seperti infeksi virus, zat
beracun (misalnya alkohol, obat-obatan tertentu), dan penyakit autoimun. Penyebab paling
umum sirosis hati dan kanker adalah Hepatitis yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B dan C.
Virus Hepatitis masih merupakan masalah kesehatan di dunia termasuk Indonesia. Menurut
Badan kesehatan Dunia (WHO) di wilayah Asia Tenggara terdapat sekitar 39,4 juta (28,8 -76,5)
juta orang hidup dengan hepatitis B kronis dan 10,3 juta (8.0-17,8) juta orang hidup dengan
penyakit hepatitis Chronis. Setiap tahun, virus hepatitis mengakibatkan kematian sekitar 410.000
kematian dengan 78% dari total kematian berkaitan dengan kanker hati dan sirosis akibat hepatitis
B dan C. Prevalensi hepatitis B dan cara penyebaran infeksi virus hepatitis bervariasi di setiap
negara. Prevalensi tertinggi di asia tenggara di atas 8% yaitu Republik Rakyat Demokratik Korea,
Myanmar dan Timor-Leste. Indonesia, Bangladesh, India dan Thailand masuk dalam kategori
endemisitas menengah Virus Hepatitis B yaitu berkisar 2%-7%. Bhutan, Nepal dan Sri Lanka
mempunyai endemis rendah virus Hepatitis B yaitu di bawah 2%
Hasil RISKESDAS tahun 2013 memperlihatkan proporsi pengidap Hepatitis B sebesar 7,1%,
menurut jenis kelamin (laki-laki 8,0% dan perempuan 6,4%), menurut lokasi tempat tinggal
(perkotaan 6,3% dan pedesaan 7,8%) Proporsi pengidap Hepatitis C sebesar 1%, menurut jenis
kelamin (laki-laki 1,1% dan perempuan 0,9%).
Secara umum penularan virus hepatitis B bisa terjadi secara vertikal dan horizontal, dimana
penularan terbesar adalah secara vertical yaitu sebesar 95%. Penularan secara vertical adalah
penularan Virus hepatitis B dari ibu yang positif menderita Hepatitis B ke bayinya saat persalinan.
Untuk mencegah terjadinya penularan dari ibu yang menderita Hepatitis B ke bayinya maka
dilakukan deteksi dini Hepatitis B (DDHB) pada ibu hamil. Semua bayi baru lahir harus segera
dapat immunisasi hepatitis B < 24 jam, sedangkan bayi yang lahir dari ibu hasil DDHB HBsAg
nya reaktif harus segera diberikan juga HBIG < 24 jam.
Tahun 2019 kegiatan DDHB telah dilaksanakan di 458 kabupaten/kota yang tersebar di 34
provinsi di Indonesia dengan capaian sebesar 89,11% dari target 80%. Capaian deteksi dini
hepatitis B pada tahun 2019 mengalami peningkatan. Jumlah ibu hamil yang sudah melaksanakan
DDHB sebanyak 2.576.980 (48,95%) dari jumlah sasaran ibu hamil. Dari pemeriksaan DDHB
tersebut diperoleh hasil sebanyak 46.064 orang (1,81 %) bumil reaktif HBsAg. Ada sebanyak
26.390 bayi dari 30.113 bayi lahir hidup dari ibu reaktif HBsAg (87,64%) yang sudah diberi
HBIG < 24 jam. Hasil pemeriksaan bayi pada usia 9-12 bulan pada tahun 2019 sebagai hasil out
put dari pelaksanaan deteksi dini hepatitis B pada ibu hamil diperoleh hasil yang Non reaktif
HBsAg sebesar 3.923 orang (99%) dari jumlah bayi 9-12 bulan yang diperiksa sebanyak 3961
orang.
Dalam hal capaian jumlah kabupaten kota yang melaksanakan deteksi dini Hepatitis B, sudah
mencapai target nasional tahun 2019 yaitu 80%, namun dalam capaian persentase jumlah ibu
hamil yang melaksanakan deteksi dini hepatitis B masih kurang. Target tahun persentase ibu
hamil melaksanakan deteksi dini hepatitis B tahun 2019 minimal sebesar 70%. Hal ini perlu
ditingkatkan untuk mecapai target eliminasi penularan hepatitis b dari ibu ke anak minimal mulai
tahun 2022. Target persentase deteksi dini hepatitis B pada ibu hamil 2024 sebesar 100%.
Disamping hepatitis, penyakit infeksi saluran pencernaan terutama penyakit diare masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia terutama pada kelompok usia bayi dan balita.
Kajian morbiditas diare 2014 menghasilkan insidens rate diare 270/1000 penduduk untuk
kelompok semua umur dan 843/1000 balita untuk kelompok umur balita. RISKESDAS tahun
2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal
(31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan penyebab kematian nomor empat (13,2%) pada
kelompok semua umur. Kajian Masalah Kesehatan berdasarkan siklus kehidupan di 15
Kabupaten/Kota oleh Litbangkes tahun 2011 penyakit diare menjadi penyebab kematian nomor
dua pada bayi post neonatal (17,4%) dan pada anak balita (13,3%). RISKESDAS tahun 2013
menghasilkan period prevalens diare balita sebesar 6,7% dan semua umur 3,5%.
Prevalensi diare berdasarkan diagnosis nakes dan gejala menurut provinsi pada RISKESDAS
2018 sebesar 8,0 % atau naik daritahun 2017 sebesar 1 %. Prevalensi diare pada balita
berdasarkan diagnosis nakes dan gejala menurut provinsi pada RISKESDAS 2018 sebesar 12,3 %
atau turun dari tahun 2013 sebesar 6,2 %. Selain itu, setiap 1-2 kali per tahun, balita di Indonesia
menderita diare.
Penyakit diare merupakan masalah kesehatan di dunia termasuk Indonesia. Menurut WHO
dan UNICEF, terjadi sekitar 2 milyar kasus diare di seluruh dunia setiap tahun, dan sekitar 1,9
juta anak balita meninggal karena Diare setiap tahun, sebagian besar terjadi di negara
berkembang. Dari semua kematian anak balita karena Diare, 78% terjadi di wilayah Afrika dan
Asia Tenggara. Insiden diare untuk seluruh kelompok umur di Indonesia adalah 3,5%.
Hasil Indonesia Sample Registration System tahun 2014 yang dilakukan oleh Balitbangkes
Kemenkes RI juga menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian utama nomor tiga
pada bayi dan nomor satu pada balita usia 1 – 4 tahun.
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2019, proporsi penyebab kematian post neonatal
adalah pneumonia sebesar 15,9 % atau 979 kasus dan diare sebesar 12,1 % atau 746 kasus.
Sedangkan proporsi penyebab kematian anak balita (12 -59 bulan), diare menempati urutan
pertama yaitu sebesar 10,7 % atau 314 kasus dan pneumonia sebesar 9,5 % atau 277 kasus.

Disamping masih tingginya angka kesakitan dan angka kematian diare, Case Fatality Rate
(CFR) diare saat terjadi KLB menunjukan peningkatan dari 2,39% (2015) menjadi 3,03% (2016)
kemudian meningkat menjadi 4,7 % dimana target CFR Diare saat KLB adalah <1%. Pada tahun
2018 terjadi delapan (8) kali KLB diare di delapan (8) Provinsi. KLB Hepatitis A di tahun 2018
terjadi Sembilan (9) kali di lima (5) Provinsi dengan 564 kasus.
Diare sangat erat kaitannya dengan terjadinya kasus stunting. Kejadian diare berulang pada
bayi dan balita dapat menyebabkan stunting. Zat mikro dalam tubuh yang seharusnya untuk
pertumbuhan dan perkembang, habis untuk melawan infeksi berulang termasuk diare. Data dari
Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2018, tingkat stunting di Indonesia adalah 30,8%. Diare
merupakan ancaman bagi kualitas hidup anak.
Kajian Analisis Determinan Faktor Penyebab Stunting di Indonesia (Beal, Tumilowicz,
Sutrisna, Izwardy, Neufeld, 2018) satu studi menunjukkan adanya hubungan yang cukup kuat
antara kejadian diare dalam 7 hari terakhir dengan kejadian stunting terutama didaerah pedesaan.
Penyakit infeksi saluran pencernaan yang juga masih menjadi masalah kesehatan masyarakat
adalah Tifoid, menyebabkan angka absensi pada anak usia sekolah maupun kelompok produktif
lainnya. RISKESDAS tahun 2007 menunjukkan bahwa penyakit Tifoid merupakan penyebab
kematian nomor dua (13,0%) pada kelompok umur 5-14 tahun di daerah perkotaan dan pada
golongan semua umur menduduki peringkat nomor lima (13,2%) diantara kelompok penyakit
menular.
Penderita tifoid mempunyai potensi untuk menjadi carrier atau pembawa menahun. Era
sebelum antibiotika digunakan, diperkirakan sedikitnya 5% penderita tifoid menjadi pembawa
menahun. Pada saat terjadi bencana alam, yang menyebabkan terjadinya pengungsian penduduk
harus diwaspadai terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit tifoid karena masalah
kebersihan diri, sanitasi dan kebersihan lingkungan.
Interpretasi hasil pemeriksaan penunjang tifoid tidak mudah. Permasalahannya sebagai
negara endemis kita masih memiliki angka morbiditas dan mortalitas tinggi. Penemuan kasus
belum optimal karena adanya kendala pada penunjang diagnosis, adanya variasi gejala klinis,
pemeriksaan penunjang standar baku yang sulit dilaksanakan sampai ke lini terdepan. Salah satu
faktor yang memberatkan penyakit demam tifoid apabila terjadi komplikasi seperti perforasi, yang
mungkin disebabkan resistensi antibiotika (0,8%). Berdasarkan alasan di atas, maka penyakit
tifoid harus mendapat perhatian yang serius, dan terpadu dalam pengendaliannya di masyarakat.
Hand Foot and Mouth Disease (HFMD) merupakan penyakit infeksi saluran pencernaan
lainnya yang sering ditemukan pada kelompok usia prasekolah dan meresahkan masyarakat.
KLB Penyakit Infeksi Saluran Cerna (Diare, Hepatitis A, Tifoid, HFMD) yang sering muncul
dan menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor antara
lain kondisi sarana sanitasi lingkungan, bencana alam, dan perilaku masyarakat yang masih belum
menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Data dari Program Hepatitis dan Penyakit Infeksi
Saluran Pencernaan Kemenkes RI, pada tahun 2019 terjadi 3421 kasus Hepatitis A di sejumlah
Kabupaten/Kota di Indonesia.
Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) harus dilaksanakan terus - menerus dan memperkuat
jejaringnya sehingga daerah rawan KLB dapat selalu mewaspadai akan terjadinya KLB. Apabila
terjadi KLB di suatu tempat dapat membatasi jumlah penderita dan kematian serta penyebaran ke
wilayah lain melalui intervensi terhadap faktor risiko. Kualitas dan kemampuan petugas pengelola
HPISP perlu mendapat perhatian dalam menyelenggarakan program pengendalian HPISP
termasuk pelaksanaan SKD KLB HPISP dan Penyelidikan Epidemiologi (PE) pada situasi KLB.
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak.
Insidens menurut kelompok umur Balita diperkirakan 0,29 episode per anak/tahun di negara
berkembang dan 0,05 episode per anak/tahun di negara maju. Ini menunjukkan bahwa terdapat
156 juta episode baru di dunia per tahun dimana 151 juta episode (96,7%) terjadi di negara
berkembang. Kasus terbanyak terjadi di India (43 juta), China (21 juta) dan Pakistan (10 juta) dan
Bangladesh, Indonesia, Nigeria masing-masing 6 juta episode. Dari semua kasus yang terjadi di
masyarakat, 7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. Episode batuk-pilek pada
Balita di Indonesia diperkirakan 2-3 kali per tahun (Rudan et al Bulletin WHO 2008). ISPA
merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di Puskesmas (40% - 60%) dan rumah
sakit (15% - 30%).
Pneumonia merupakan penyebab utama kematian balita di dunia. Penyakit ini menyumbang 16%
dari seluruh kematian anak di bawah 5 tahun, yang menyebabkan kematian pada 920.136 balita,
atau lebih dari 2.500 per hari, atau di perkirakan 2 anak Balita meninggal setiap menit pada tahun
2015. (WHO, 2016).
Di Indonesia, Data Riskesdas (2007) menyebutkan bahwa Pneumonia menduduki peringkat
kedua sebagai penyebab kematian bayi (23,8%) dan balita (15,5%). Menurut data Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) 2013 digambarkan bahwa period prevalence Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA) berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan keluhan penduduk sebesar 25,0%. Lima
propinsi dengan ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur, Papua, Nusa Tenggara Barat, dan
Jawa Timur. Diketahui juga period prevalens dan prevalensi dari pneumonia tahun 2013 adalah
1,8% dan 4,5%. Lima propinsi yang mempunyai period prevalen dan prevalensi pneumonia
tertinggi untuk semua umur adalah Nusa Tenggara Timur, Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Barat, dan Sulawesi Selatan. Berdasarkan laporan dari fasyankes primer angka insiden kasus
pneumonia pada tahun 2017 adalah 2.05%, angka insiden ini cenderung menurun 3 tahun terakhir.
Banyak faktor yang berkontribusi terhadap kejadian pneumonia, dan tidak ada intervensi tunggal
yang secara efektif dapat mencegah, mengobati dan mengendalikan. Ada 3 intervensi sederhana
namun efektif jika dilaksanakan secara tepat, yang dapat menurunkan beban penyakit ini yaitu:
1. Lindungi (Protect) melalui
- Pemberian ASI ekslusif selama 6 bulan dan dilanjutkan dengan
- Pemberian makanan tambahan padat bergizi sampai umur 2 tahun
- Perbaikan gizi pada bayi dan balita sehingga tidak mengalami malnutrisi
2. Cegah (prevent) melalui
- Vaksinasi batuk rejan/pertusis, campak dan Hib dan pneumokokus
- Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, khususnya cuci tangan pakai sabun (CTPS) dan
menerapkan etika batuk yang benar.
- Menurunkan polusi udara khususnya dalam ruangan
3. Obati (Treat)
- Deteksi dini
- Pengobatan yang adekuat

Selain pneumonia Balita, pengendalian ISPA juga dihadapkan dengan penyakit saluran
pernapasan lain yang dapat mengakibatkan kedaruratan masyarakat dan menjadi perhatian dunia
(Public Health Emergency International Concern-PHEIC) seperti Influenza.

Influenza adalah penyakit infeksi saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh virus
Influenza, dimana tipe (strain) virusnya cepat bermutasi, bila muncul tipe baru dan manusia belum
mempunyai kekebalan, akan mengakibatkan dampak yang besar sampai kematian. Sehingga
dibutuhkan kesiapsiagaan dan respon terhadap terjadinya pandemi Influenza.

Kusta dan frambusia masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia karena menimbulkan
masalah yang cukup kompleks. Penyakit tersebut cenderung terfokus pada kantong-kantong
wilayah tertentu, terutama di Indonesia bagian timur. Kedua penyakit ini paling sering
bermanifestasi pada jaringan kulit. Apabila tidak mendapat pengobatan yang tepat, penyakit
tersebut dapat menimbulkan kecacatan. Kecacatan yang terjadi dapat menimbulkan masalah
bukan hanya dari segi medis tetapi meluas hingga masalah sosial, ekonomi, dan budaya, terutama
kusta yang sampai saat ini masih merupakan stigma di masyarakat, termasuk sebagian petugas
kesehatan.

Kusta dan frambusia seringkali disebut sebagai Penyakit Tropis Terabaikan (NTD), namun di
skala nasional program pencegahan dan pengendalian P2 Kusta dan frambusia di Indonesia
mendapatkan perhatian besar dari pemerintah. Penetapan Program P2 kusta sebagai Program
Prioritas Nasional melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 79 tahun 2017 tentang
Rencana Kerja Pemerintah 2018 dan sebagai salah satu indikator yang ingin dicapai dalam
Rencana Jangka Menengah 2015-2019 dan 2020-2024, merupakan bentuk komitmen pemerintah
terhadap penanggulangan penyakit tersebut. Sesuai dengan Peta Jalan Program Pengendalian
Kusta: Menuju Eliminasi Tingkat Provinsi, target Eliminasi Kusta untuk tingkat provinsi pada
tahun 2019 dan tingkat kabupaten/kota pada tahun 2024, dengan indikator pencapaian target
Eliminasi Kusta berupa angka prevalensi <1/10.000 (kurang dari satu per sepuluh ribu) penduduk.
Situasi epidemiologi kusta di Indonesia cenderung statis dengan angka penemuan kasus baru
berkisar 16.000-20.000 kasus baru per tahunnya. Hal tersebut terus berlangsung sejak tercapainya
status eliminasi kusta di tingkat nasional pada tahun 2000. Proporsi kasus kusta anak juga cukup
tinggi yaitu di atas 10%, yang mengindikasikan masih berlangsungnya penularan kasus kusta di
masyarakat. Tahun 2019, tercatat sebanyak 8 provinsi dan 146 kabupaten/kota di Indonesia
memiliki angka prevalensi lebih dari 1 kasus per 10.000 penduduk.
Sementara itu, setiap tahunnya masih terus ditemukan kasus frambusia pada lokus-lokus
daerah tertentu yang sebagian besar tersebar di wilayah timur Indonesia. Meskipun jumlah kasus
baru hanya berkisar 1000-3000 kasus, namun adanya kasus frambusia di suatu wilayah dapat
mengindikasikan adanya wilayah di Indonesia yang memiliki keterbatasan akses dalam bidang
sarana prasarana pembangunan, khususnya pelayanan kesehatan, serta penyediaan air bersih.
Sanitasi lingkungan dan higiene perorangan yang buruk juga turut mempermudah penularan kasus
frambusia di masyarakat. Data tahun 2019 menunjukan bahwa masih terdapat laporan kasus
frambusia berjumlah 673 orang yang tersebar di 35 Kabupaten/ Kota pada 4 Provinsi.
Upaya promotif, preventif, kuratif, hingga rehabilitatif dilakukan dalam rangka
penanggulangan kedua penyakit tersebut. Upaya promotif yang dilakukan mencakup penyebaran
media KIE dan diseminasi informasi tentang kusta dan frambusia serta Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat; upaya preventif meliputi penemuan kasus secara aktif dan pemeriksaan kontak, serta
implementasi kegiatan inovasi pemberian obat pencegahan (kemoprofilaksis) khusus kusta dan
Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) khusus frambusia; upaya kuratif berupa pengobatan
secara tepat dan segera; sementara upaya rehabilitatif berupa pemberian alat bantu protesa,
rekonstruksi medis, konseling, hingga pemberian motivasi untuk melakukan perawatan diri.
Upaya di atas diikuti dengan peningkatan kapasitas petugas, pelayanan kesehatan yang
terintegrasi, hingga upaya memperkuat kesinambungan komitmen Pemerintah daerah dan pusat.
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung mempunyai tugas
melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan
kriteria, dan pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pemantauan, evaluasi, dan pelaporan
di bidang pencegahan dan pengendalian penyakit menular langsung sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung menyelenggarakan fungsi:
a. penyiapan perumusan kebijakan di bidang pencegahan dan pengendalian tuberkulosis, infeksi
saluran pernapasan akut, HIV AIDS dan penyakit infeksi menular seksual, hepatitis dan
penyakit infeksi saluran pencernaan, dan penyakit tropis menular langsung;
b. penyiapan pelaksanaan kebijakan di bidang pencegahan dan pengendalian tuberkulosis,
infeksi saluran pernapasan akut, HIV AIDS dan penyakit infeksi menular seksual, hepatitis dan
penyakit infeksi saluran pencernaan, dan penyakit tropis menular langsung;
c. penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pencegahan dan
pengendalian tuberkulosis, infeksi saluran pernapasan akut, HIV AIDS dan penyakit infeksi
menular seksual, hepatitis dan penyakit infeksi saluran pencernaan, dan penyakit tropis
menular langsung;
d. penyiapan pemberian bimbingan teknisdan supervisi di bidang pencegahan dan pengendalian
tuberkulosis, infeksi saluran pernapasan akut, HIV AIDS dan penyakit infeksi menular
seksual, hepatitis dan penyakit infeksi saluran pencernaan, dan penyakit tropis menular
langsung;
e. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang pencegahan dan pengendalian tuberkulosis,
infeksi saluran pernapasan akut, HIV AIDS dan penyakit infeksi menular seksual, hepatitis dan
penyakit infeksi saluran pencernaan, dan penyakit tropis menular langsung; dan pelaksanaan
urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat.

C. Potensi dan Permasalahan


Untuk tahun 2019 Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung dapat
melaksanakan tugas utama/TUPOKSI yang menjadi tanggung jawab unit organisasi. Uraian
kinerja dari masing-masing indikator adalah sebagai berikut:
1. Persentase Cakupan Penemuan Kasus Baru Kusta tanpa Cacat
Keterlambatan dalam penemuan kasus dan penanganan pasien kusta dapat mengakibatkan
kecacatan tubuh permanen pada pasien kusta. Kecacatan tubuh akandapat mengarah kepada
stigmatisasi dan diskriminasi orang yang mengalami kusta dalam aspek sosial, ekonomi dan
budaya.
Salah satu strategi nasional dalam program pengendalian penyakit kusta adalah menemukan
kasus kusta baru sedini mungkin tanpa cacat, dan mengobati sampai sembuh sesuai obat yang
terstandar secara global dengan prinsip Multidrugtherapy.Untuk dapat memonitoring dan
mengevaluasi keberhasilan program tersebut, digunakan indikator persentase cakupan
penemuan kasus baru tanpa cacat yang dapat merefleksikan perbaikan dalam kegiatan
penemuan kasus yang dilakukan secara lebih dini, sehingga dapat menekan angka
keterlambatan penemuan kasus dan angka cacat serendah mungkin.
Target dari indikator proporsi kasus baru kusta tanpa cacat pada tahun 2019 adalah sebesar 95%.
Hingga tribulan IV (14 Februari 2020) tahun 2019, diketahui capaian proporsi kasus baru kusta
tanpa cacat adalah sebesar 86,77% (pencapaian target 91,3%).
Meskipun capaian indikator tersebut berada di bawah target yang ditetapkan, namun trend yang
ditunjukkan tiap tahunnya mengalami kecenderungan meningkat, dari 78,1% pada tahun 2015,
menjadi 86,77% pada tahun 2019.
Trend indikator “Proporsi Kasus Kusta Tanpa Cacat” mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Hal tersebut mengindikasikan adanya perubahan penemuan kasus kusta ke arah dini.
Komitmen pemerintah terhadap program P2 Kusta dengan penetapan program P2 kusta
sebagai salah satu program prioritas nasional (Pro PN) pada tahun 2017, dijabarkan dalam
pengalokasian sumber daya terutama dana dekonsentrasi ke daerah endemis tinggi kusta.
Bentuk kegiatan yang dilakukan di antaranya advokasi penguatan komitmen pemerintah
daerah, sosialisasi ke masyarakat umum, pelatihan petugas, kampanye penurunan stigma
hingga penemuan kasus kusta secara aktif dan kontinu dalam beberapa tahun terakhir.
Kegiatan-kegiatan tersebut berdampak positif pada peningkatan kesadaran masyarakat
terhadap kusta, kemampuan petugas kesehatan mengenali tanda dini kusta dan kualitas layanan
tatalaksana kusta, yang secara tidak langsung berpengaruh pada penemuan kasus secara dini.
Meskipun tren proporsi kasus baru kusta tanpa cacat mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun, namun belum dapat mencapai target yang ditetapkan.Tantangan utama berasal dari
daerah endemis rendah dan daerah yang sudah mencapai eliminasi.Beberapa dari daerah
tersebut tidak lagi menganggap kusta sebagai program yang perlu mendapatkan perhatian
lebih.Akibatnya pelaksanaan surveilans kasus menjadi kurang optimal.Banyak kasus cacat
yang ditemukan akibat adanya keterlambatan penemuan kasus. Selain itu, faktor lain yang
menyebabkan keterlambatan penemuan kasus adalah adanya stigma dan diskriminasi terhadap
Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) yang menghambat pasien mendapat
pengobatan sedini mungkin, sehingga kecacatan tidak dapat dihindari.
Beberapa upaya pemecahan masalah program P2 kusta adalah sebagai berikut:
a) Meningkatkan kegiatan advokasi dan sosialisasi program terhadappemangku kepentingan
terkait.
b) Sosialisasi Permenkes No. 11 Tahun 2019 tetang Penanggulangan Kusta dan Kepmenkes
RI No. HK.01.07/MENKES/308/2019 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
(PNPK) Tatalaksana Kusta
c) Memperkuat jejaring kemitraan dengan lintas program, lintas sektor, organisasi profesi agar
memperoleh dukungan dalam pelaksanaan program sesuai dengan tupoksi masing-masing
d) Mulai melibatkan OYPMK dalam program P2 Kusta mulai dari perencanaan, pelaksanaan
hingga evaluasi program
e) Penguatan surveilans kusta baik di daerah endemis tinggi maupun rendah.
f) Memperluas cakupan kegiatan pelaksanaan intensifikasi penemuan kasus kusta secara aktif
serta memperluas sasaran pengobatan pencegahan kusta (kemoprofilaksis), terutama di
daerah endemis lokus kusta.
g) Menganggarkan dan melaksanakan on the job training secara rutin kepada pengelola
program.
h) Meningkatkan kegiatan promosi serta penyebaran media KIE dalam rangka menghilangkan
stigma kusta di masyarakat.
i) Mempererat integrasi program dengan penyakit lain, misalnya kusta-frambusia, kusta-
filariasis, kusta-ispa, dan lain-lain.
j) Melaksanakan pengembangan kegiatan inovasi seperti pengembangan pelatihan e-learning,
pilot pengembangan kemoprofilaksis plus pemeriksaan serologi, pengembangan skin-apps,
dan lain-lain.
2. Persentase kasus TB yang ditatalaksana sesuai standar
Persentase kasus TB yang ditatalaksana sesuai standar adalah indikator yang sangat bermanfaat
untuk memberikan gambaran layanan pengobatan pasien TB serta dalam rangka memutus mata
rantai penularan dan mencegah terjadinya kebal obat. Angka ini menggambarkan jumlah kasus
TB yang mendapat layanan pengobatan sesuai standar yang dilaporkan ke program.

Persentase kasus TB yang ditatalaksana sesuai standar tahun 2015 sebesar 97,3%, pada tahun
2016 sebesar 97,2%, pada tahun 2017 sebesar 95,1%, pada tahun 2018 sebesar 97% dan pada
tahun 2019 sebesar 92%. Indikator ini adalah indikator positif yang artinya jika semakin besar
capaian semakin baik kinerjanya dan sebaliknya jika semakin kecil capaian maka semakin
buruk kinerjanya. Dengan demikian pada tahun 2019, indikator persentase kasus TB yang
ditatalaksana sesuai standar sudah mencapai target dengan capaian sebesar 115%.Jika
dibandingkan capaian persentase kasus TB yang ditatalaksana sesuai standar dari tahun 2015 –
2018 terlihat seperti menurun. Namun demikian capaian pada tahun 2019 hasilnya lebih
rendah dari tahun-tahun sebelumnya karena pembaginya/ denominatornya lebih besar, yaitu
sudah mengikutkan hasil kegiatan penyisiran kasus TB dari rumah sakit karena belum
terintegrasinya Sistem Informasi Tuberkulosis Terpadu (SITT) dan Sistem Informasi
Manajemen Rumah Sakit (SIM RS), dalam artian kita sudah mulai ekspansi agar notifikasi
kasus TB juga dapat dilaporkan di RS pemerintah dan swasta (mandatory notifikasi kasus).
Dengan demikian walaupun persentase lebih rendah dari sebelumnya, tapi tingkat
kehandalannya sudah lebih baik karena notifikasi kasus sudah lebih baik lagi.

Untuk mencapai target, Program TB melaksanakan kegiatan yang berdasarkan 6 strategi yaitu:
1) Penguatan Kepemimpinan Program TB di Kabupaten/Kota
- Promosi: Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial
- Regulasi dan peningkatan pembiayaan
- Koordinasi dan sinergi program
2) Peningkatan Akses Layanan “TOSS-TB” yang Bermutu
- Peningkatan jejaring layanan TB melalui PPM (public-private mix)
- Penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat
- Peningkatan kolaborasi layanan melalui TB-HIV, TB-DM, MTBS, PAL, dan lain
sebagainya
- Inovasi diagnosis TB sesuai dengan alat / saran diagnostik yang baru
- Kepatuhan dan Kelangsungan pengobatan pasien atau Case holding
- Bekerjasama dengan asuransi kesehatan dalam rangka Cakupan Layanan Semesta
(health universal coverage).
3) Pengendalian Faktor Risiko
- Promosi lingkungan dan hidup sehat.
- Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TB.
- Pengobatan pencegahan dan imunisasiTB.
- Memaksimalkan penemuan TB secara dini, mempertahankan cakupan dan
keberhasilan pengobatan yang tinggi.
4) Peningkatan Kemitraan melalui Forum Koordinasi TB
- Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di pusat
- Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di daerah
5) Peningkatan Kemandirian Masyarakat dalam Penanggulangan TB
- Peningkatan partisipasi pasien, mantan pasien, keluarga dan masyarakat.
- Pelibatan peran masyarakat dalam promosi, penemuan kasus, dan dukungan
pengobatan TB.
- Pemberdayan masyarakat melalui integrasi TB di upaya kesehatan berbasis
keluarga dan masyarakat.
6) Penguatan Sistem kesehatan
- Sumber Daya Manusia yang memadai dan kompeten.
- Mengelola logistik secara efektif.
- Meningkatkan pembiayaan, advokasi dan regulasi.
- Memperkuat Sistem Informasi Startegis, surveilans proaktif termasuk kewajiban
melaporkan(mandatory notification).
- Jaringan dalam penelitian dan pengembangan inovasi program.
3. Persentase Kasus HIV yang diobati sebesar 50%
Dalam upaya mengendalikan prevalensi tetap dibawah 5% sehingga penularan pada populasi
umum tetap rendah maka Kementerian Kesehatan mengembangkan kebijakan ARV sebagai
pengobatan sekaligus pencegahan. Peningkatan jumlah ODHA (orang dengan HIV AIDS) yang
dapat mengakses dan tetap dalam terapi ARV diharapkan dapat menurunkan penularan dan
meningkatkan lama dan produktivitas hidup ODHA.
Capaian indikator presentase kasus HIV yang diobati tahun 2019 sebesar 55,61% dari target
55%. Data didapatkan melalui sistem informasi HIV AIDS dan IMS yang diinput oleh layanan
PDP (Perawatan, Dukungan dan Pengobatan) HIV AIDS di seluruh Indonesia. Ada sebanyak
127.613 ODHA yang mendapatkan terapi ARV dibandingkan tahun 2018 sebanyak 108.479
ODHA. Pada tahun ini, penerapan kebijakan test and treat tanpa memandang nilai CD4, telah
meningkatkan hasil capaian pengobatan. Kebijakan obat ARV sebagai pengobatan dan
pencegahan diharapkan dapat menurunkan tingkat penularan HIV sehingga peningkatan jumlah
ODHA yang dapat mengakses dan tetap dalam terapi ARV setiap tahunnya dapat mendukung
pengendalian prevalensi HIV tetap di bawah 5% pada populasi umum.
Peningkatan jumlah ODHA yang mengetahui status HIV nya sejalan dengan peningkatan
jumlah inisiasi ARV pada ODHA. Penerapan SUFA (strategic use of ARV) dengan tujuan
memperluas inisiasi dini ART, untuk segera mendapatkan pengobatan ARV berapapun jumlah
CD4 nyapada kelompok populasi kunci (WPS, Penasun, Waria, LSL) dan kelompok khusus (ibu
hamil, pasien ko-infeksi TB-HIV, pasien ko-infeksi Hepatitis B-HIV, dan ODHA yang pasangan
tetapnya HIV negatif), semakin diperluas dengan implementasi kebijakan baru yakni member
pengobatan ARV tanpa memandang jumlah CD4, sehingga jumlah yang mendapatkan terapi
ARV juga meningkat. Selain itu upaya dalam meningkatan jumlah petugas kesehatan dan
layanan terlatih PDP (Pengobatan Dukungan dan Perawatan) HIV sehingga telah ada 953 UPK
Rujukan ARV dan 275 UPK Satelit ARV yang tersebar di 322 Kabupaten/Kota di seluruh
Provinsi Indonesia sampai dengan tahun 2019.
Beberapa upaya pemecahan masalah P2 HIV AIDS dan PIMS:
1. meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS melalui
kerjasama nasional, regional, dan global dalam aspek legal, organisasi, pembiayaan,
fasilitas pelayanan kesehatan dan sumber daya manusia;
2. meningkatkan advokasi, sosialisasi, dan mengembangkan kapasitas;
3. meningkatkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang merata, terjangkau, bermutu,
dan berkeadilan serta berbasis bukti, dengan mengutamakan pada upaya preventif dan
promotif;
4. meningkatkan jangkauan pelayanan pada kelompok masyarakat berisiko tinggi, dengan
berfokus pada daerah yang memiliki risiko tertinggi dan beban tertinggi
5. meningkatkan pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS;
6. meningkatkan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia yang merata dan
bermutu dalam penanggulangan HIV dan AIDS;
7. meningkatkan ketersediaan, dan keterjangkauan pengobatan, pemeriksaan penunjang HIV
dan AIDS serta menjamin keamanan, kemanfaatan, dan mutu sediaan obat dan bahan/alat
yang diperlukan dalam penanggulangan HIV dan AIDS; dan
8. revitalisasi pengendalian IMS di Puskesmas dan RS,
9. penguatan surveilans IMS dan HIV di kabupaten/kota prioritas,
10. peningkatan keterlibatan komunitas/LSM peduli AIDS, populasi kunci dan kader
masyarakat dalam upaya penjangkauan,
11. penguatan distribusi kondom dan layanan alat suntik steril (LASS) di Fasyankes,
12. perluasan jangkauan pengobatan ARV sampai ke tingkat Puskesmas,
13. perluasan kampanye tentang HIV dan AIDS dan bahaya Napza di lingkungan pendidikan
formal dan non-formal.
14. Meningkatkan peranan KDS dan keluarga sebagai petugas pendamping ODHA, terutama
dalam hal pendampingan terapi ARV.
15. Mendukung peningkatan sumber daya di kabupaten/kota untuk meningkatkan cakupan
program terutama tes dan pengobatan.
16. Meningkatkan sistem informasi data dan pemanfaatannya termasuk aplikasi sistem
informasi logistik.
4. Persentase kabupaten/Kota yang 50% Puskesmasnya Melakukan Tatalaksana
Pneumonia sesuai standar
Pengendalian ISPA dititik beratkan pada pengendalian penyakit pneumonia, karena penyakit
pneumonia yang memiliki kontribusi cukup besar terhadap angka kesakitan dan kematian
Balita.Kegiatannya meliputi deteksi dini dan tatalaksana kasus pneumonia pada balita.
Balita yang datang atau berobat dengan keluhan batuk atau kesukaran bernapas harus diberikan
tatalaksana pneumonia, dengan menghitung napas selama 1 menit penuh dan melihat ada
tidaknya Tarikan Dinding Dada bagian bawah Kedalam (TDDK), baru kemudian di klasifikasi
menjadi pneumonia, pneumonia berat dan batuk bukan pneumonia, serta diberikan tindakan
sesuai klasifikasi yang telah ditentukan.
Prosentase Kab/Kota yang 50% Puskesmasnya melakukan Tatalaksana Standar Pneumonia
adalah angka prosentase kabupaten/kota yang 50% dari seluruh puskesmas yang ada
diwilayahnya melaksanakan tatalaksana standar pneumonia minimal 60%.
Puskesmas yang melaksanakan tatalaksana standar pneumonia adalah angka persentase kasus
pneumonia balita yang diberikan tatalaksana standar yaitu dihitung napas dalam waktu satu
menit penuh atau dilihat ada tidaknya Tarikan Dinding Dada bagian bawah Kedalam (TDDK)
minimal 60% dari seluruh kunjungan balita dengan keluhan batuk atau kesukaran bernapas.
Capaian indikator Persentase Kabupaten/Kota yang 50% Puskesmasnya melakukan
tatalaksana standar Pneumonia pada tahun 2019 sebesar 57,20% dari target, capaian ini
hamper tercapai dari target yang di harapkan sebesar 60%. Capaian ini lebih besar dari capaian
tahun lalu, naik sebesar 14,2%. Bila di bandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya terlihat
tren kenaikan angka cakupan indikator tersebut walaupun peningkatan capaiannya tidak terlalu
besar.
Beberapa hal yang berpengaruh terhadap tercapainya indikator program tersebut antara lain :
- Tatalaksana standar belum optimal dilaksanakan di seluruh puskesmas, hal ini selain
karena tenaga kesehatan belum tersosialisasi/ terlatih, hal ini diperberat dengan angka
tingkat mutasi yang tinggi di puskesmas, sehingga nakes yang sudah terlatih atau
mendapat sosialisasi bisa saja di pindah menajadi pengelola program yang lain, mau
tidak mau kegiatan sosialisasi ini perlu dilakukan secara terus menerus, selain itu
peralatan guna deteksi dini kasus pneumonia sudah banyak yang tidak tersedia di
puskesmas. Dari beberapa kunjungan ke puskesmas alat Ari Sound Timer yang
digunakan untuk membantu menghitung napas cepat tidak tersedia di sebagianbesar
puskesmas, bila ada kondisinya sudah rusak. Alat tersebut terakhir di sediakan
prototipnya oleh kementerian Kesehatan terakhir tahun 2016, sedang umur penggunaan
alat tersebut di perkirakan hanya 2 tahun sehingga kemungkinan besar alat yang ada
sudah dalam kondisi tidak bagus/ rusak. Puls oksimetri sebagai salah satu alat untuk
deteksi dini pneumonia berat juga banyak puskesmas yang belum memilik.
- Kebanyakan puskesmas tidak memiliki hasil pencatatan terkait variabel dalam indikator
yang baru, sehingga banyak puskesmas tidak melakukan pengisian data khususnya pada
variabel yang digunakan dalam perhitungan indikator tersebut.
Upaya yang akan dilakukan guna mengatasi permasalah yang dihadapi antara lain
- Lebih intens dalam melaksanakan sosialisasi ditingkat provinsi, kabupaten/kota dan
puskesmas dalam aplikasi sistem pelaporan terkait dengan adanya penambahan variabel
pengukuran indikator.
- Mengupayakan modifikasi register yang di terapkan di puskesmas agar mendukung
dalam pembuatan laporan P2 ISPA, melalui kegiatan bimbingan teknis ke beberapa
puskesmas terpilih.
- Melakukan peningkatan kualitas tatalaksana standar di tingkat puskesmas, pustu dan
polindes dengan kegiatan layanan sosialisasi standar tatalaksana yang di adakan di
beberapa kabupaten/kota terpilih sesuai dengan prioritas program dengan melibatkan
petugas puskesmas.
- Mengadakan alat untuk deteksi dini, seperti ARI Sound Timer dan Pulse Oxymetri
sebagai prototipe dan pelengkap kekurangan yang ada puskesmas.
5. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan Deteksi Dini Hepatitis B pada kelompok
berisiko.
Pengendalian penyakit Hepatitis B akan sangat efektif bila dilakukan pemutusan dan
pencegahan penularan serta pengobatan pada kelompok berisiko. Kelompok berisiko yang
dimaksud terutama adalah ibu hamil, kemudian petugas kesehatan, mahasiswa/pelajar
kesehatan, perempuan penjaja seks, penasun, waria, LSL/Gay, warga binaan penjara, pasien
klinik IMS, orang dengan terinveksi HIV, penderita cuci darah, keluarga yang tinggal serumah
dengan penderita hepatitis B, dan orang dengan riwayat keluarga terinfeksi hepatitis B. Saat ini
deteksi dini Hepatitis B diprioritaskan kepada ibu hamil karena resiko tertular hepatitis B paling
besar adalah dari Ibu ke anak sebesar 90%.
Pada Tahun 2018 Jumlah Kabupaten Kota yang melaksanakan Deteksi Dini Hepatitis B
sebanyak 358 kabupaten/kota (69,65%) dan pada tahun 2019 terdapat penambahan 86
kabupaten/kota yang melaksanakan Deteksi Dini Hepatitis B (DDHB) sehingga total kabupaten
yang melaksanakan DDHB sampai dengan tahun 2019 sebanyak 444 kabupaten/kota atau
sebesar 86,38% yang tersebar di 34 Provinsi.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja terkait dengan tenaga, pengetahuan dan
ketrampilan, dana, dan data.
Tenaga. Hampir semua level baik di propinsi hingga kabupaten/kota termasuk puskesmas
mengalami masalah ketenagaan. Kurangnya jumlah SDM, kualifikasi pendidikan yang belum
sesuai, perpindahan yang begitu cepat,beban kerja yang tinggi merupakan masalah yang hampir
ditemukan disemua tingkatan, bahkan ada provinsi yaitu provinsi Maluku yang tidak memiliki
petugas Hepatitis sehingga pusat berusaha melakukan koordinasi langsung dengan dinas
Kesehatan kabupaten.

Pengetahuan dan ketrampilan. Kurangnya pengetahuan tentang penyakit Hepatitis dan bahaya
Hepatitis serta ketrampilan yang dimiliki oleh petugas dalam penegakan diagnosa.

Dana. Permasalahan dana terutama berkaitan dengan efisiensi dana di saat kegiatan sedang
berjalan sehingga berpengaruh terhadap kelancaran pelaksanaan program.

Data. Ketepatan dan kelengkapan laporan dari provinsi masih rendah. Data yang ada belum
dilakukan analisis, baik tingkat propinsi maupun kabupaten (baru bersifat pengumpulan data).
Beberapa upaya pemecahan masalah yang ada di P2 Hepatitis dan Infeksi Saluran Pencernaan:
a. Deteksi Dini Hepatitis B pada Ibu hamil, bekerjasama dengan subdit HIV dan
maternal Neonatal melalui Program Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA)
HIV, Sifilis dan Hepatitis B (Triple Eliminasi)
b. Deteksi Dini dan tatalaksana Hepatitis C dengan obat oral DAA (Direct Acting
Antivirus) pada populasi berisiko.
c. Kolaborasi Subdit Hepatitis dan PISP untuk menjangkau populasi Berisiko Hepatitis
B dan C dan melakukan Survey bersama dengan subdit HIV-AIDS dan PIMS untuk
mengetahui gambaran masalah Hepatitis B dan C.
d. Melakukan persiapan pelaksanan sentinel surveilans untuk mengetahui besaran
masalah prevalensi Hepatitis B dan C pada kelompok populasi berisiko
e. Melakukan persiapan studi pelaksanaan mikroeliminasi Hepatitis B pada Ibu Hamil
sebagai akselerasi eliminasi penularan Hepatitis B dari Ibu ke Anak
f. Peningkatan Kapasitas Pengelola program dalam Deteksi dini termasuk dalam
Pencatatan dan Pelaporan.
g. Peningkatan kapasitas Dokter Spesialis Dalam dalam tatalaksana Hepatitis
h. Penggerakan dan peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang
Hepatitis Virus melalui peringatan hari Hepatitis Sedunia (HHS)
i. Peningkatan kemitraan dengan LSM, akademisi, mitra dalam dan luar negeri, ahli,
UN, lintas program dalam penanggulangan Hepatitis
j. Mobilisasi pendanaan, dan bantuan teknis
BAB II
VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI

A. Visi dan Misi


Dalam rangka mencapai terwujudnya Visi Presiden yakni: “Terwujudnya Indonesia
Maju yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian, Berlandaskan Gotong Royong”, maka
telah ditetapkan 9 (sembilan) Misi Presiden 2020-2024, yakni: Peningkatan Kualitas Manusia
Indonesia, Penguatan Struktur Ekonomi yang Produktif, Mandiri dan Berdaya Saing,
Pembangunan yang Merata dan Berkeadilan, Mencapai Lingkungan Hidup yang
Berkelanjutan, Kemajuan Budaya yang Mencerminkan Kepribadian Bangsa, Penegakan
Sistem Hukum yang Bebas Korupsi, Bermartabat, dan Terpercaya, Perlindungan bagi Segenap
Bangsa dan Memberikan Rasa Aman pada Seluruh Warga, Pengelolaan Pemerintahan yang
Bersih, Efektif, dan Terpercaya dan Sinergi Pemerintah Daerah dalam Kerangka Negara
Kesatuan.
Guna mendukung peningkatan kualitas manusia Indonesia, termasuk penguatan
struktur ekonomi yang produktif, mandiri dan berdaya saing, Kementerian Kesehatan telah
menjabarkan Misi Presiden Tahun 2020-2024, melalui Menurunkan angka kematian ibu dan
bayi, Menurunkan angka stunting pada balita, Memperbaiki pengelolaan Jaminan Kesehatan
Nasional dan Meningkatkan kemandirian dan penggunaan produk farmasi dan alat kesehatan
dalam negeri.

B. Tujuan
Guna mencapai tujuan Kementerian Kesehatan khususnya Ditjen pencegahan dan
Pengendalian penyakit dalam Peningkatan pencegahan dan pengendalian penyakit dan
pengelolaan kedaruratan kesehatan masyarakat.
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung memiliki tujuan
strategis Peningkatan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung.

C. SASARAN STRATEGIS
Sasaran Strategis Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung dalam
Rencana Aksi Kegiatan P2PML merupakan sasaran strategis dalam Renstra Kemenkes yang
disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi Direktorat P2PML. Sasaran tersebut adalah
menurunnya angka kesakitan dan kecacatan akibat penyakit menular langsung pada akhir tahun
2024 yang ditandai dengan:
1. Cakupan penemuan dan pengobatan TBC (TBC treatment coverage) sebesar 90%.
2. Proporsi kasus kusta baru tanpa cacat sebesar >90%.
3. Persentase ODHA baru ditemukan yang memulai pengobatan ARV sebesar 95%.
4. Persentase kabupaten/kota yang 50% puskesmasnya melaksanakan tatalaksana standar
pneumonia sebesar 60%.
5. Persentase kabupaten/ kota yang 80% puskesmasnya melaksanakan tatalaksana diare sesuai
standar sebesar 80%.
6. Persentase kabupaten/ kota yang melaksanakan deteksi dini hepatitis B dan C pada populasi
berisiko sebesar 100%.
7. Jumlah kabupaten/ kota dengan eradikasi frambusia sebesar 514 kabupaten/ kota.
BAB III
ARAH KEBIJAKAN, STRATEGI DAN KERANGAKA REGULASI

Arah kebijakan dan strategi pembangunan kesehatan nasional 2020-2024 merupakan bagian
dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang bidang Kesehatan (RPJPK) 2005-2025, yang
bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan, kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar
peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud, melalui
terciptanya masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya yang hidup
dengan perilaku dan dalam lingkungan sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan
kesehatan yang bermutu, secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya di seluruh wilayah Republik lndonesia.

Sasaran pembangunan kesehatan yang akan dicapai pada tahun 2025 adalah meningkatnya
derajat kesehatan masyarakat yang ditunjukkan oleh meningkatnya Umur Harapan Hidup,
menurunnya Angka Kematian Bayi, menurunnya Angka Kematian Ibu, menurunnya prevalensi
gizi kurang pada balita.

Untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan kesehatan, maka strategi pembangunan
kesehatan 2005- 2025 adalah: 1) pembangunan nasional berwawasan kesehatan; 2) pemberdayaan
masyarakat dan daerah; 3) pengembangan upaya dan pembiayaan kesehatan; 4) pengembangan
dan dan pemberdayaan sumber daya manusia kesehatan; dan 5) penanggulangan keadaan darurat
kesehatan.

Arah Kebijakan program P2PML untuk mendukung arah kebijakan Kementerian Kesehatan
adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan surveilans epidemiologi faktor risiko dan penyakit menular langsung.
2. Peningkatan perlindungan kelompok berisiko.
3. Penatalaksanaan epidemiologi kasus dan pemutusan rantai penularan.
4. Pencegahan dan penanggulangan KLB / wabah termasuk yang berdimensi internasional.
5. Pemberdayaan dan peningkatan peran swasta dan masyarakat.
6. Peningkatan keterpaduan program promotif & preventif dlm pengendalian penyakit menular
langsung.

Perlu diskusi dengan pimpinan


STRATEGI
Seperti yang telah ditetapkan di Bab sebelumnya, bahwa Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Menular Langsung telah menatapkan tujuan strategis yang mendukung
strategi program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2020 - 2024 serta mengacu
pada strategi Kementerian Kesehatan yang kemudian dijabarkan melalui strategi aksi kegiatan
sebagai berikut:
1. Melaksanakan review dan memperkuat aspek legal
2. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi
3. Melaksanakan intensifikasi, akselerasidan inovasi program
4. Meningkatkan kompetensi sumberdaya manusia di bidang Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit
5. Memperkuat Jejaring kerja dan kemitraan
6. Memperkuat manajemen logistik
7. Meningkatkan surveilans dan aplikasi teknologi pendukung (SKDR)
8. Melaksanakan monitoring, evaluasi dan pendampingan teknis
9. Mengembangkan dan memperkuat sistem pembiayaan program
10. Meningkatkan pengembangan teknologi preventif

Perlu diskusi dengan pimpinan

D. Kerangka regulasi
Dalam penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi sebagai pelaksana pelayanan. Sebagai
pelaksana pemerintah berkewajiban menyediakan pelayanan yang bermutu. Dalam
menjalankan peran pemerintah ini tentunya membutuhkan dukungan regulasi yang menjadi
landasan dan dasar hukum sehingga tidak salah arah dan mempunyai aspek perlindungan yang
kuat.
Disamping peraturan perundang-undangan yang disusun oleh pusat juga diperlukan
peraturan dalam bentuk Standar Operating Procedur (SOP) yang dibuat oleh satuan Kerja.
Dukungan regulasi yang baik akan menjamin standar dan mutu dalam pelayanan.
Saat ini sudah tersedia regulasi, antara lain:
1. Permenkes No 11 Tahun 2019 Tentang Penanggulangan Kusta
2. Keputusan Menteri Kesehatan No HK.01.07/ Menkes/ 308/ 2019 Tentang
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Kusta
3. Peraturan Menteri Kesehatan No 8 Tahun 2017 Tentang Eradikasi Frambusia
4. Permenkes no 53 tahun 2015 tentang Pengendalian hepatitis Virus
5. Permenkes no 52 tahun 2017 tentang eliminasi penularan HIV, Sifilis dan hepatitis
B dari ibu ke bayi
6. KMK No. 364/MENKES/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam
Tifoid
7. Peraturan Menteri Kesehatan No 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan TBC
8. Peraturan Menteri Kesehatan no HK.01.07. /MENKES/735/2019 tentang Pedoman
Nasional Pelayanan kedokteran Tatalaksana Tuberkulosis

Dalam rangka mendukung tercapainya sasaran strategis Program Pencegahan dan


Pengendalian Penyakit Menular Langsung dan sasaran strategis Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Menular Langsung, beberapa kebutuhan regulasi yang dibutuhkan
antara lain:
1. Regulasi dalam Pelaksanaan P2 Kusta dan Frambusia :
a. Petunjuk Teknis Kemoprofilaksis Kusta
b. Petunjuk Teknis Surveilans Kusta
c. Petunjuk Teknis Surveilans Resistensi Obat Kusta
d. Petunjuk Teknis Pemberian Sertifikat Bebas Frambusia Bagi Kabupaten/ Kota
di Indonesia
e. Petunjuk Teknis Sistem Informasi Kusta dan Frambusia
2. Regulasi dalam Pelaksanaan Program Penanggulangan TBC:
a. Peraturan Presiden Percepatan Eliminasi TBC Tahun 2030
b. Update Permenkes 67 Tahun 2019 tentang penanggulangan TBC terkait alur
diagnosis, pengobatan dan pengobtana pencegahan, mandatory notifikasi TBC
c. Petunjuk teknis pengobatan pencegahan tuberkulosis dan TB laten
d. Update Petunjuk teknis pelayanan TBC pada era Jamina Pelayanan Kesehatan
(JKN)
e. Update petunjuk teknis investigasi kontak TBC
f. Update petujuk teknis kolaborasi layanan TBC HIV
g. Update petunjuk teknis pelayanan TB Resistan Obat
h. Update petunjuk teknis Distric Base Public/ Private Mix (DPPM) termasuk
konsep branding layanan
i. Update petunjuk teknis sistem informasi tuberkulosis (SITB) sekaligus
integrasi dengan sistem informasi lainnya
3. Revisi Permenkes no 53 tahun 2015 tentang Pengendalian hepatitis Virus, untuk
memasukkan hasil kajian/ penelitian terbaru dalam pengendalian dan tatalaksana
hepatitis virus.
4. Regulasi dalam P2 Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan
5. Regulasi dalam Program Pencegahan dan Pengendalian ISPA
a. Petunjuk Teknis Manajemen Resiko Pandemi Influenza
b. Petunjuk Teknis Surveilans ILI dan SARI
c. Petunjuk Teknis Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ISPA di Wilayah
Terdampak Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan
BAB IV
TARGET KINERJA DAN KEGIATAN

Memperhatikan Rencana Aksi Program Direktorat Pencegahan dan Pengendalan


Penyakit tahun 2020-2024, Tujuan, Arah Kebijakan, Strategi dan Sasaran Strategis
sebagaimana diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka target kinerja dan kerangka
pendanaan program dan kegiatan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular
Langsung 2020-2024.
A. Target Kinerja
Target kinerja merupakan penilaian dari pencapaian program yang diukur secara
berkala dan dievaluasi pada akhir tahun 2024. Sasaran kinerja dihitung secara kumulatif
selama lima tahun dan berakhir pada tahun 2024.
Tabel..
Tujuan Strategis, Sasaran Strategis, dan Indikator Sasaran Strategis RAK Direktorat
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung 2020-2024

No Tujuan Strategis Sasaran Strategis Indikator


Peningkatan Menurunnya angka 1. Cakupan penemuan dan
Pencegahan dan kesakitan dan kecacatan pengobatan TBC (TBC
Pengendalian akibat penyakit menular treatment coverage)
Penyakit langsung sebesar 90%
2. Proporsi kasus kusta baru
tanpa cacat sebesar >90%
3. Persentase ODHA baru
ditemukan yang memulai
pengobatan ARV sebesar
95%
4. Persentase kabupaten/
kota yang 50%
puskesmasnya
melaksanakan tatalaksana
pneumonia standar
sebesar 60%
5. Persentase kabupaten/
kota yang 80%
puskesmasnya
melaksanakan tatalaksana
diare sesuai standar
sebesar 80%
6. Persentase kabupaten/
kota yang melaksanakan
deteksi dini hepatitis B
dan atau C pada populasi
berisiko sebesar 100%
7. Jumlah kabupaten/ kota
dengan eradikasi
frambusia sebesar 514
kabupaten/ kota

B. Kegiatan
Dalam rangka menjamin tercapainya Tujuan Strategis, Sasaran
Strategis, dan Indikator Sasaran Strategis, maka ditetapkan Sasaran
Program, Indikator Kinerja Program, Sasaran Kegiatan, dan Indikator
Kinerja Kegiatan Rencana Aksi kegiatan 2020-2024.
Sasaran Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung
Menurunnya angka kesakitan dan kecacatan akibat penyakit menular langsung, Untuk
mencapai sasaran hasil, maka kegiatan yang akan dilakukan adalah:
1. Cakupan penemuan dan pengobatan TBC (TBC treatment coverage)
Kegiatan yang dilakukan:
a. Mengoptimalkan upaya penemuan kasus TBC secara aktif, massif dan pasif intensif
melalui skrining TBC pada populasi khusus (lapas, pondok pesantren), penyandanng
DM, ODHA, dan lansia serta kegiatan investigasi kontak.
- Pertemuan koordinasi & konsolidasi dalam mengintegrasikan skrining
tuberkulosis dengan Dit PTM, Ditjen Kesmas, melalui kolaborasi TB DM,
Posyandu PTM/Posyandu lansia, ANC terpadu, pelayanan kesehatan neonatal
esensial, MTBS, MTPKR,
- Pertemuan joint planning dan monitoring evaluasi kolaborasi TB HIV
- Implementasi skirining menggunakan Xray dengan sasaran penyandang DM,
Warga binaan lapas pada beberapa kabupaten/kota/provinsi terpilih
- Investigasi kontak pasien TB menggunakan dana BOK dan dekon provinsi
- Monitoring dan Evalausi Impelmentasi IK
b. Melakukan ekspansi pelayanan TB Resistan Obat dengan target tahun 2024 tiap
kabupaten kota memiliki satu rumah sakit rujukan TB Resistan Obat
- Asesmen beban TB RO dan kesiapan layanan TB RO di Puskesmas maupun
layanan swasta
- Advokasi pada fasilitas pelayanan khususunya untuk Rumah Skait rujukan TB RO
yang belum mmeberikan pelayanan
- Renovasi fasilitas pelayanan kesehatan untuk persiapan pemberian pelayanan TB
RO di 207 faskes terpilih
- Workshop pada pengelola program atau petugas kesehatan terkait managemen,
tatalaksana dan pengobatan TB RO
- Supervisi, monitoring dan evaluasi implementasi pengobatan pasien TB RO
c. Melakukan ekspansi penempatan alat tes cepat molekuler (TCM) untuk mempercepat
akses diangnostik dengan target tahun 2024 sebanyak 2107 faskes menjadi rujukan
diangnostik TBC menggunakan TCM,
- Pengadaan mesin TCM secara bertahap
- Workshop implementasi penggunaan TCM
d. Mengoptimalkan dan memperluas terapi pengobatan pencegahan dengan sasaran anak
usia 0-15 tahun, ODHA, kontak serumah dengan pasien TBC dan kelompok risiko
tinggi lainnya
- Sosialiasi petunjuk teknis terapi pengobatan pencegahan (TPT) TBC pada 34
provinsi
- Workshop terkait implementasi TPT di tangkat kab/kota dan faskes secra bertahap
e. Memastikan ketersediaan bahan habis pakai dalam diagnostik, pemantauan
pengontakan dan pencegahan TBC
- Penyediaan cartridge TCM, reagen, pot dahak, kaca slide, tuberkulin, masker N95,
APD full shet
f. Mengoptimalkan implementasi Public dan Private Mix (PPM)
- Pertemuan kooridnasi melibatkan organisasi profesi/ Koalisi Organisasi profesi
(KOPI) TBC, asosiasi fasilitas pelaynan kesehatan (PERSI, ARSI, ARSSI,
ARSADA, ARSABAPI, PKFI, ASKLIN)
- Advokasi pada Managemen Rumah Sakit Swasta yang memiliki jejaring rumah
sakit terbesar misalkan RS Siloam, RS Hermina, dan yang lainnya agar dapat
mendukung program TBC
- Pertemuan kooridinasi penysusunan konspe branding layanan TBC dan mutu
pelayanana TBC (Akreditasi, sertifikasi, dll)
- Pertemuan evaluasi implementasi PPM di tiap tingkatan (Pusat, Provinsi dan
kabupaten/Kota)
- Pertemuan lintas program dan sektor terkait (KOMLI, KOPI, Program terkait
lainnya dan Kementerian Lembaga lainnya)
g. Penguatan surveilans TBC
- Pertemuan kooridinasi integrasi SITB dnegan sistem Informasi lainnya seperti
di JKN (P Crae. Vclaim), SIMRS, ASDK, dll
- Workshop integrasi SITB dengan sistem informasi lainnya SIMRS, JKN
- Bimbingan teknis manajemen dan program TBC
- Pertemuan Monev Nasional TBC
h. Pertemuan koordinasi dan pembinaan wilayah di Provinsi Sulawesi Barat
i. Peningkatan kampanye tuberkulosis melalui media sosial, TV, radio dan cetakan KIE
j. Penyusunan dan sosialisasi NSPK TBC
- Sosialisasi Strategi Nasional Program TBC 2020 – 2024
- Sosialisasi dan harmonisasi Peraturan Presiden dalam percepatan elimiansi TBC
- Penyusunana update Permenkes TB No 67 Tahun 2016 terkait alur diagnosis,
TPT, pengobatan dna pencegahan TB
- Penyusunan beberapa juknis TBC (TB anak, TB HIV, TB RO, DPPM, surveilans,
T B laten, laboratorium, IK, dan lain-lain)
2. Proporsi kasus kusta baru tanpa cacat sebesar >90%
Kegiatan yang dilakukan:
a. Peningkatan SDM Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kusta:
- Penetapan Dokter Rujukan Kusta dan Frambusia di Kab/Kota (Orientasi Dokter
Rujukan)
- Orientasi Pengelola Program (Wasor) Kusta dalam P2 Kusta
- Orientasi LS Termasuk Institusi Pendidikan dan CSO dalam P2 Kusta
b. Orientasi Sistem Informasi ( Pencatatan dan Pelaporan Elektronik) Program Nasional
P2P Kusta - SI TASIA untuk Dinkes Prov, Dinkes Kab/Kota dan Puskesmas
c. Sosialisasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kusta:
- Sosialisasi Juknis Deteksi Dini, Pengobatan dan Pemberian Obat pada Kelompok
Berisiko Kusta (Kemoprofilaksis) Bagi Dinkes Prov dan Kab/Kota (Daring)
- Sosialisasi Juknis Drug Resistensi Surveilans Kusta Bagi Dinkes Prov dan
Kab/Kota (Daring)
- Sosialisasi Juknis Surveilans Kusta Bagi Dinkes Prov dan Kab/Kota (Daring)
- Webinar Sosialisasi Sistem Informasi ( Pencatatan dan Pelaporan Elektronik)
Program Nasional P2P Kusta - SI TASIA untuk Dinkes Prov, Dinkes Kab/Kota dan
Puskesmas
- Kegiatan Gerakan Masyarakat Kampanye Eliminasi Kusta dan Eradikasi Frambusia
d. Pertemuan Rutin Pokja/ Komite Ahli Eliminasi Kusta
e. Pendampingan Kegiatan Intensifikasi Penemuan Kasus
f. Assesment Eliminasi Kusta
g. Pengadaan Media KIE Kusta
h. Kegiatan Koordinasi dan Kemitraan Program P2P Kusta
i. Pertemuan Koordinasi LS/LP dalam Percepatan Eliminasi Kusta dan Eradikasi
Frambusia di Indonesia
j. Pertemuan Integrasi Evaluasi, Validasi Data dan Perencanaan Direktorat P2PML
k. Monitoring MDT
3. Persentase ODHA baru ditemukan yang memulai pengobatan ARV
Kegiatan yang dilakukan:

1. Mengupayakan tersedianya layanan pemerintah dan swasta untuk pencegahan dan


pemeriksaan dan pengobatan HIV AIDS dan PIMS yang dapat diakses oleh seluruh
masyarakat di 514 Kab/Kota oleh pemerintah daerah. Kegiatan utama yang
mendukung intervensi ini adalah:
1.1.1. Peningkatan kapasitas dan kompetensi layanan Mampu Pemeriksaan dan
pengobatan HIV AIDS dan PIMS untuk masyarakat
1.1.2. Memastikan ibu hamil mendapatkan pelayanan sesuai standar HIV, Sifilis dan
Hepatitis B secara inclusive di fasyankes pemerintah maupun swasta untuk
mencapai triple eliminasi
1.1.3. Deteksi dini HIV pada balita melalui Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM)
dan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
1.1.4. Perluasan layanan pencegahan HIV AIDS dan PIMS pada Remaja
1.1.5. Notifikasi pasangan risiko tinggi (risti)
1.1.6. Meningkatkan akses populasi kunci dan khusus pada pelayanan kesehatan
HIV AIDS dan IMS melalui penjangkauan oleh komunitas
1.1.7. Pelaksanaan pengurangan dampak buruk

2. Mengupayakan tersedianya layanan pemerintah dan swasta untuk diagnosis dan


pengobatan HIV AIDS dan PIMS yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat di 514
Kab/Kota oleh pemerintah daerah. Kegiatan utama yang mendukung intervensi ini
adalah:
2.2.1. Penambahan layanan tes dan pengobatan HIV-IMS
2.2.2. Penguatan proses rujukan internal dan eksternal terutama untuk TB,
Sifilis/IMS, dan Hepatitis
2.2.3. Penguatan ketersediaan logistik untuk melakukan diagnosis dan pengobatan
HIV AIDS dan PIMS
2.2.4. Penanganan pada orang terinfeksi HIV dan atau PIMS
2.2.5. Meningkatkan retensi ODHA yang mendapat pengobatan ARV
2.2.6. Revitalisasi program dan layanan IMS diseluruh Fasyankes
2.2.7. Memperkuat layanan HIV AIDS & PIMS sesuai standar diseluruh Puskesmas
dan Fasyankes lainnya
2.2.8. Memastikan ibu hamil mendapatkan pelayanan sesuai standar termasuk tes dan
pengobatan HIV dan Sifilis secara inclusive di fasyankes pemerintah maupun
swasta
2.2.9. Mempercepat diagnosa pada bayi yang lahir dari ibu ODHA
2.2.10. Memperkuat akses diagnosis HIV/Sifilis/Hepatitis B pada bayi dari ibu yang
terinfeksi
2.2.11. Penguatan Kolaborasi TB HIV
2.2.12. Pengembangan laboratorium diagnostik HIV AIDS dan PIMS
2.2.13. Pengembangan kepesertaan laboratorium dalam pemantapan mutu

3. Mengupayakan tersedianya akses pemeriksaan laboratorium dalam rangka monitoring


pengobatan HIV AIDS di 514 Kab/Kota
2.4.1.
2.3.1 Pengembangan jumlah laboratorium pemantauan hasil pengobatan
2.3.2 Pengembangan laboratorium untuk pemantapan mutu

3.4 Mengupayakan tersedianya pelayanan uji saring darah dan tindak lanjutnya di setiap
Kab/Kota yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat oleh pemerintah daerah bersama
PMI
2.4.2. Meningkatkan tata kelola UTD (termasuk penanganan darah donor, rujukan)
2.4.3. Penguatan Jejaring rujukan kasus reaktif HIV antara UTD dan Fasyankes
4. Persentase kabupaten/ kota yang 50% puskesmasnya melaksanakan tatalaksana
pneumonia standar
Kegiatan yang dilakukan:
a. Peningkatan Kapasitas SDM Program P2P ISPA
- Workshop Deteksi Dini Pneumonia Balita dalam Rangka Hari Pneumonia
Sedunia
- Workshop Petugas Puskesmas dalam Deteksi Dini Pneumonia di Papua dan
Papua Barat
- Orientasi Penemuan dan Tata Laksana Kasus Pneumonia untuk Petugas
Puskesmas secara Daring
b. Koordinasi Pelaksanaan P2P ISPA
- Koordinasi, Fasilitasi dan Kemitraan Program P2P ISPA
- Pengumpulan, Pengolahan, Analisa Data dan Reviu Buletin Sentinel
- Pertemuan Komite Ahli Penyakit ISPA
c. Sosialisasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ISPA
- Advokasi dan Sosialisasi Program P2P ISPA
- Sosialisasi Protokol Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ISPA di Wilayah
Terdampak Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan
d. Pengadaan Media KIE Program P2P ISPA
e. Pengadaan Alat dan Bahan Kesehatan P2P ISPA
f. Bimbingan Teknis P2P ISPA
5. Persentase kabupaten/ kota yang 80% puskesmasnya melaksanakan tatalaksana diare
sesuai standar
Kegiatan yang dilakukan:
a. Koordinasi Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ISP

b. Pertemuan Komli Penyakit ISP


c. Koordinasi LP/LS P2 Penyakit ISP
d. NSPK Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ISP
e. Penyusunan / Review / Update NSPK Penyakit ISP
f. Layanan Respon / Verikasi Rumor / Penyelidikan Epidemiologi Potensial KLB
Penyakit ISP
g. Manajemen Zinc dalam Lokus Stunting
h. Pelaksanaan Sistem Kewaspadaan Dini, Respon Cepat KLB dan Penyakit ISP
i. Media Komunikasi, Informasi, Edukasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ISP
j. Media KIE Program Penyakit ISP
k. Pengadaan Alat dan Bahan Kesehatan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ISP
l. Sarana dan Prasarana Penyakit ISP
m. Peningkatan Kapasitas SDM Program Penyakit ISP
n. Orientasi Program Penyakit ISP
o. Bimbingan Teknis Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ISP
p. Pendampingan Kegiatan P2 Penyakit ISP
6. Persentase kabupaten/ kota yang melaksanakan deteksi dini hepatitis B dan atau C pada
populasi berisiko
Kegiatan yang dilakukan:
a. Penyusunan/revisi NSPK (Permenkes, Pedoman, Juknis) tentang pengendalian
hepatitis virus
b. Sosialisasi dan advokasi pencegahan dan pengendalian hepatitis Virus
c. Pertemuan koordinasi dalam rangka peningkatan dukungan lintas program dan sektor
dalam pengendalian hepatitis virus
d. Peningkatan kapasitas petugas dalam rangka pengendalian hepatitis virus
e. Pertemuan komite ahli pengendalian hepatitis
f. Pelaksanaan sentinel surveilans secara rutin
g. Pelaksanaan kajian operasional untuk akselerasi pencapaian target program hepatitis
h. Penyediaan logistik dan peralatan untuk pengendalian hepatitis virus
i. Pengembangan dan penyediaan media KIE dalam rangka pencegahan dan
pengendalian hepatitis virus
j. Surveilans dan deteksi dini Hepatitis virus
k. Pertemuan perencanaan dan evaluasi kinerha program pengendalian hepatitis virus
l. Pengembangan Sistem Informasi, Pencatatan dan Pelaporan dalam rangka
pengendalian hepatitis virus
m. Bimbingan teknis program pengendalian hepatitis virus
7. Jumlah kabupaten/ kota dengan eradikasi frambusia
Kegiatan yang dilakukan:
a. Jumpa Pokja/Komite Ahli Eradikasi Frambusia
b. Pertemuan Virtual Pokja/ Komite Ahli Eradikasi Frambusia
c. Monev Pencatatan dan Pelaporan Elektronik Program Nasional P2P Kusta dan
Frambusia (SI TASIA)
d. Verifikasi Kasus Frambusia
e. Pendampingan Pelaksanaan POPM pada daerah endemis Frambusia
f. Pendampingan Kegiatan Evaluasi Daerah Endemis/ Riwayat Frambusia (Survei
Serologi Frambusia)
g. Assesment Eradikasi Frambusia
h. Sosialisasi Virtual Juknis Pemberian Sertifikat Bebas Frambusia Bagi Kab/Kota di
Indonesia
i. Pendampingan persiapan dan pelaksanaan pemberian Sertifikasi Bebas Frambusia
bagi Kab/Kota.
j. Pengadaan Alat dan Bahan Kesehatan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Frambusia
k. Pengadaan Bahan KIE dan Advokasi Program Pengendalian Frambusia

C. Kerangka Pendanaan
Guna memenuhi kebutuhan pendanaan secara keseluruhan untuk mencapai target
Sasaran Kegiatan sebagaimana tersebut diatas dapat bersumber dari APBN baik yang
bersumber dari Rupiah Murni, Pendapatan Nasional Bukan Pajak (PNBP), Pinjaman dan/atau
Hibah Luar Negeri (PHLN), serta sumber/skema lainnya seperti Kerjasama Pemerintah dan
Badan Usaha (KPBU) dan Corporate Social Responsibility (CSR).
Pendanaan Bersumber APBN
Tahun 2020-2024
Sasaran Program Target ALokasi (dalam juta rupiah)
(Outcome)/Sasara
N
n Kegiatan
o 2020 2021 2022 2023 2024 2020 2021 2022 2023 2024
(Output)/Indikato
r
Direktorat Pencegahan
dan Pengendalian
Penyakit Menular
Langsung
1 Cakupan 80 85 90 90 90 124.276 205.884 227.599 247.383 252.493
penemuan dan
pengobatan TBC
(TBC treatment
coverage)

2 Proporsi kasus 87 88 89 90 >90 28.494 55.252 58.239 62.230 62.219


kusta baru tanpa
cacat
3 Persentase ODHA 77 80 85 90 95 94.438 103.881 103.881 103.881 103.881
baru ditemukan
yang memulai
pengobatan ARV
4 Persentase kab/ 50 52 55 57 60 8.369 15.892 23.424 30.947 38.470
kota yang 50%
puskesmasnya
melaksanakan
tatalaksana
pneumonia sesuai
standar
5 Persentase kab/ 51 58 66 73 80 9.985 17.485 25.285 33.085 50.585
kota yang 80%
puskesmasnya
melaksanakan
tatalaksana diare
sesuai standar
6 Persentase kab/ 85 90 95 100 100 260.887 314.488 409.696 499.865 582.815
kota yang
melaksanakan
deteksi dini
hepatitis B dan
atau C pada
populasi berisiko
7 Jumlah kab/ kota 42 172 283 383 514 3.447 8.751 8.822 8.951 8.997
dengan eradikasi
frambusia
BAB V
PENUTUP

Rencana Aksi Kegiatan (RAK) Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit


Menular Langsung Tahun 2020-2024 ini disusun untuk menjadi acuan dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan penilaian upaya Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular
Langsung dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Dengan demikian, Sub Direktorat di
Direktorat P2PML mempunyai target kinerja yang telah disusun dan akan dievaluasi pada
pertengahan periode (2022) dan akhir periode 5 tahun (2024) sesuai ketentuan yang berlaku.
Penyusunan dokumen ini melibatkan semua Subdit Direktorat P2PML, Oleh karena itu
kepada semua pihak yang telah berkontribusi disampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya.
Diharapkan melalui penyusunan Rencana Aksi Kegiatan (RAK) Direktorat
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, upaya dukungan manajemen
memberikan kontribusi yang bermakna dalam Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
khususnya dan umumnya pembangunan kesehatan untuk menurunkan angka kematian,
kesakitan dan kecacatan akibat penyakit serta pencapaian sasaran program berdasarkan
komitmen nasional dan internasional.
Apabila di kemudian hari diperlukan adanya perubahan pada dokumen ini, maka akan
dilakukan penyempurnaan sebagaimana mestinya.
PENANGGUNGJAWAB KEGIATAN

NO SASARAN KEGIATAN NO INDIKATOR KINERJA PENANGGUNG JAWAB


1 2 3 4 5 6
1 Meningkatnya dukungan 1 Nilai reformasi birokrasi Kepala Bagian Hukum Ka. Sub Bag Organisasi dan
manajemen dan pada program pembinaan dan Birokrasi Tata Laksana, Ka. Sub Bag
pelaksanaan tugas teknis Pencegahan dan Peraturan Perundang-
lainnya pada Program Pengendalian Penyakit Undangan, Ka. Sub Bag
Pencegahan dan Advokasi Hukum dan
Pengendalian Penyakit Hubungan Masyarakat

Kepala Bagian Program Kepala Subbag Program, Ka


dan Informasi Subbag Informasi dan Evaluasi
Kepala Bagian Umum Kasubag Kepegawaian,
dan Kepegawaian Kasubag Layanan Pengadaan
Kepala Bagian Kepala Subbagian Verifikasi
Keuangan dan Barang dan Akuntansi Ditjen P2P,
Milik Negara Ditjen P2P Kepala Subbagian
Perbendaharaan Ditjen P2P,
Kepala Subbagian Pengelolaan
Barang Milik Negara

2 Persentase kinerja RKA- Bagian Program dan Kepala Subbagian Pengelolaan


K/L Program Pencegahan Informasi Barang Milik Negara, Kepala
dan Pengendalian Penyakit subbag Anggaran, Ka. Subagian
yang efektif dan efisien Informasi dan Evaluasi
adalah hasil penilaian
kinerja RKA KL dengan
menngunakan tools aplikasi
SMART DJA Kementerian
Keuangan
MATRIKS RENCANA AKSI KEGIATAN
TAHUN 2020 – 2024

TARGET
DEFINISI CARA
NO INDIKATOR
OPERASIONAL (DO) PERHITUNGAN
2020 2021 2022 2023 2024
1 Cakupan penemuan Jumlah semua kasus TBC Jumlah semua 80 85 90 90 90
dan pengobatan TBC yang diobati dan kasus TBC yang
(TBC treatment dilaporkan diantara diobati dan
coverage) perkiraan insiden TBC. dilaporkan dibagi
perkiraan insiden
TBC.
2 Proporsi kasus kusta Persentase Jumlah Jumlah kasus 87 88 89 90 >90
baru tanpa cacat Penderita Kusta baru kusta baru tanpa
tanpa cacat (cacat tingkat cacat (cacat
0) di antara total tingkat 0) dibagi
Penderita Kusta baru dengan total kasus
yang ditemukan di suatu kusta baru pada
wilayah dalam periode periode tertentu
waktu satu tahun dalam persentase
3 Persentase ODHA Perbandingan dari jumlah jumlah Odha yang 77 80 85 90 95
baru ditemukan yang Odha yang baru baru ditemukan
memulai pengobatan ditemukan dan memulai dan memulai ART
ARV ART selama satu tahun selama satu tahun
kalender terhadap jumlah kalender) dibagi
Odha yang baru (jumlah Odha
ditemukan pada tahun yang baru
kalender yang sama ditemukan pada
tahun kalender
yang sama) dikali
100%
4 Persentase kab/ kota Persentase Jumlah 50 52 55 57 60
yang 50% kabupaten/kota yang kabupaten / kota
puskesmasnya minimal 50% dari seluruh yang minimal
melaksanakan puskesmas yang ada 50%
tatalaksana diwilayahnya puskesmasnya
pneumonia sesuai melaksanakan standar melakukan
standar pneumonia balita tatalaksana
pneumonia balita
sesuai standar
dibagi dengan
jumlah seluruh
kabupaten kota
pada tahun yang
sama
5 Persentase kab/ kota Jumlah kab/kota yang Jumlah Kabupaten 51 58 66 73 80
yang 80% 80% Puskesmasnya / Kota yang 80%
puskesmasnya melaksanakan tatalaksana Puskesmasnya
melaksanakan diare sesuai standar yaitu melaksanakan
tatalaksana diare setiap penderita diare tatalaksana diare
sesuai standar balita diberikan oralit dan sesuai standar
zinc dibagi jumlah
seluruh kab/kota
dikali 100%
6 Persentase kab/ kota Jumlah Kabupaten / Kota Jumlah Kabupaten 85 90 95 100 100
yang melaksanakan yang melaksanakan / Kota yang
deteksi dini hepatitis Deteksi Dini Hepatitis B melaksanakan
B dan atau C pada dan atau C pada Ibu hamil Deteksi Dini
populasi berisiko dan kelompok risiko Hepatitis B dan
tinggi lainnya (seperti: atau C pada Ibu
Tenaga Kesehatan, hamil dan
Pelajar/Mahasiswa, kelompok risiko
Sekolah tinggi lainnya di
Kesehatan/Keperawatan/ bagi jumlah
Kebidanan/ Kedokteran/ seluruh kab/kota
Laboratorium/ WPS/ dikali 100%
Waria/ LSL/ODHA,
WBP, pasangan dengan
Hepatitis B atau C,
keluarga dekat, pasien
klinik IMS) di antara
jumlah seluruh kab/kota
7 Jumlah kab/ kota Kab/kota yang telah Jumlah Kab/kota 42 172 283 383 514
dengan eradikasi memenuhi kriteria yang melaporkan
frambusia eradikasi (nol kasus) nol kasus

Anda mungkin juga menyukai