Anda di halaman 1dari 79

Bersama Sang Kekasih

(Ibrahim ‘alaihissalaam)
Penyusun :

Zainudin

Ukuran Buku :

21.0 cm x 14.8cm (A5) 79 Halaman

Cetakan ke-1

Tahun 1444H/2023M

Diperbolehkan bahkan dianjurkan


memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku
ini dalam bentuk apapun dengan atau tanpa izin
penerbit selama bukan untuk tujuan komersil.
Mohon koreksi jika ditemukan kesalahan dalam
karya kami. Koreksi dan saran atas karya kami
dapat dilayangkan ke
zainudinayyubi@gmail.com

Jazaakumullahu khairan
Daftar Isi
Muqadimmah ... Hal. 1

Kisah Para Nabi Mukaddimah (bag. 1)... Hal. 8

Kisah Para Nabi Mukaddimah (bag. 2)... Hal. 16

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


(Bag. 1)... Hal. 24

Ibrahim Vs Penyembah Berhala (bag.2)... Hal.


41
‫‪1‬‬

‫‪bismillāhir-raḥmānir-raḥīm‬‬

‫يمِ‬
‫ٱلرحِ ِ‬
‫ن َ‬ ‫ٱلرح َْٰم ِِ‬
‫ٱّلل َ‬
‫بِس ِِْم َِِ‬
‫‪Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi‬‬
‫‪Maha Penyayang‬‬

‫*‪*MUQADDIMAH‬‬

‫ور أنْفُسِنا ومِنِْ‬ ‫ّلل نحْم ُدهُِ ونسْتعِينُهُِ ونسْتغْ ِف ُرهُِ ونعُوذُِ بِ َِِ‬
‫اّلل مِنِْ شُ ُر ِِ‬ ‫ن الْح ْمدِ ِ َِِ‬
‫إ َِ‬
‫ض ِل ِْل فلِ هادِيِ لهُِ وأشْه ُِد أنِْ لِ‬ ‫ّللا فلِ ُم ِض َِل لهُِ ومنِْ ُي ْ‬
‫ت أعْمالِنا منِْ ي ْه ِد ِِه َُِ‬ ‫س ِيئا ِِ‬
‫ن ُمح َمدًا عبْ ُدهُِ ورسُولُهُِ‬‫ّللا وحْدهُِ لِ ش ِريكِ لهُِ وِ أشْه ُِد أ َِ‬ ‫إِلهِ إِ َِل َُِ‬

‫ن ِإ ِلَ وأنتُ ِم ُّم ْ‬


‫س ِل ُمونِ‬ ‫ق تُقاتِ ِِه ولِ ت ُموتُ َِ‬ ‫يا أيُّها الَذِينِ آمنُواِْ اتَقُواِْ ِ‬
‫ّللا ح َِ‬
‫ثِ‬‫اس اتَقُوِاْ ربَكُ ُِم الَذِي خلقكُم مِن نَفْسِ واحِ دةِ وخلقِ ِمنْها زوْ جها وب َ‬ ‫يا أيُّها النَ ُِ‬
‫ّللا‬
‫ن ِ‬ ‫ّللا الَذِي تساءلُونِ بِ ِِه واأل ْرحامِ إِ َِ‬ ‫ِمنْهُما ِرجا ِلً كث ً‬
‫ِيرا ونِِساء واتَقُواِْ ِ‬
‫كانِ عليْكُ ِْم رقِيبًا‬
‫ح لكُ ِْم أعْمالكُ ِْم ويغْف ِِْر لكُ ْمِ‬ ‫ّللا وقُولُوا قوْ ًِل سدِيدًا ‪--‬يُ ْ‬
‫ص ِل ِْ‬ ‫يا أيُّها الَذِينِ آمنُوا اتَقُوا َِ‬
‫ُ‬
‫ّللا ورسُول ِه فق ِْد فازِ فوْ زً ا عظِ ي ًما‬ ‫ُ‬
‫ذنوبكُ ِْم ومن يُطِ عِْ َِ‬ ‫ُ‬

‫ْي ُمح َمدِ‪ ,‬وش َِر األ ُ ُم ِ‬


‫ورِ‬ ‫ّللا‪ ,‬وخيْرِ الْه ْد ِ‬
‫ي ِ هد ُِ‬ ‫اب َِِ‬ ‫ن خيْرِ الْحدِي ِِ‬
‫ث كِت ُِ‬ ‫أ َما بعْ ُِد‪:‬ف ِإ َِ‬
‫ُمحْدثاتُها‪ ,‬وكُ َِل ُمحْدثةِ بِدْعةِ‪ ,‬وكُ َِل بِدْعةِ ضللةِ‪ ,‬وكُ ُِّل ضللةِ فِي النَ ِارِ‬

‫‪Sesungguhnya, segala puji bagi-Allah, kami memuji-Nya dan‬‬


‫‪kami-memohon pertolongan dan ampunan-Nya, Kami‬‬
‫‪berlindung kepada Allah-dari kejahatan diri-diri kami dan‬‬
‫* ‪dari kejahatan amal perbuatan kami‬‬

‫‪*Barangsiapa yang Allah berikan-petunjuk, maka tidak ada‬‬


‫‪yang dapat-menyesatkannya, dan-barangsiapa yang Allah-‬‬
‫‪sesatkan, maka tidak ada yang-dapat memberikan petunjuk‬‬
‫* ‪kepadanya‬‬

‫)‪Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam‬‬


2

Aku bersaksi bahwa tidak ada-Tuhan yang berhak-disembah


kecuali Allah Maha Esa Dia dan tidak ada-sekutu bagi-Nya,
dan aku-bersaksi bahwa Muhammad shalallahu 'alaihi wa
sallam adalah hamba dan Rasul-Nya*

*Allah berfirman, yang artinya: (Wahai orang-orang yang


beriman kepada Allah dan mengikuti Rasul-Nya! takutlah
kalian kepada Rabb kalian dengan sebenar-benarnya takut,
yaitu dengan mengikuti perintah-perintah-Nya, menjauhi
larangan-larangan-Nya dan mensyukuri nikmat-nikmat-Nya
Dan berpegang-teguhlah kalian pada agama kalian sampai
maut menjemput ketika kalian dalam keadaan seperti itu)
(QS Al-Imran : 102)

*Dan juga berfirman, yang artinya (Wahai manusia!


Bertakwalah kalian kepada Rabb kalian Karena Dia lah yang
telah menciptakan kalian dari satu jiwa, yaitu bapak kalian,
Adam Dan dari Adam Dia menciptakan istrinya, Hawa, ibu
kalian Dan dari keduanya Dia menyebarkan banyak
manusia laki-laki dan wanita ke berbagai penjuru bumi

Dan bertakwalah kalian kepada Allah, Żat yang nama-Nya


kalian gunakan sebagai sarana untuk meminta sesuatu
kepada sesama kalian Yaitu dengan mengatakan, “Aku
memintamu dengan nama Allah agar kamu sudi melakukan
hal ini " Dan takutlah kalian terhadap memutus tali
persaudaraan yang mengikat kalian dengan saudara kalian
Sesungguhnya Allah Maha Mengawasi kalian Maka tidak
ada satu pun amal perbuatan kalian yang luput dari
pengawasan-Nya Dia senantiasa menghitungnya dan akan
memberi kalian balasan yang setimpal dengannya) (QS An-
Nisa: 1) *

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


3

*Dan juga berfirman, yang-artinya (Wahai orang-orang yang


beriman kepada Allah dan melaksanakan syariat-Nya,
bertakwalah kepada Allah dengan mengerjakan segala
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya serta
ucapkanlah ucapan yang benar dan jujur Sesungguhnya jika
kalian bertakwa kepada Allah dan mengucapkan ucapan
yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki bagi kalian
amal perbuatan kalian dan menerimanya dari kalian serta
menghapus dari kalian dosa-dosa kalian sehingga Dia tidak
menyiksa kalian karena dosa itu

Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya maka dia


telah mendapatkan kemenangan yang besar, tidak ada
kemenangan yang setara dengannya, yaitu kemenangan
dengan mendapatkan keridaan Allah dan masuk ke dalam
Surga ) (QS Al-Ahzab: 70-71)*

*Amma ba'du,

Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah


Kalamullah,sebaik-baik petunjuk adalah tuntunan
Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah sesuatu yang
diada-adakan dalam agama,setiap yang diada-adakan dalam
agama adalah bid'ah,setiap bid'ah adalah sesat, dan setiap
kesesatan tempatnya di Neraka

Allah mengutus beliau dengan membawa hidayah Dan


agama kebenaran, Maka beliau menyampaikan risalah,
menunaikan amanat, menasehati umat, berjihad di jalan
Allah dengan jihad yang sebenarnya, meninggalkan umat di
atas jalan putih yang malamnya seperti siangnya, tidak ada
yang menyimpang darinya kecuali akan binasa

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


4

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam Dan shalawat


serta salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, serta para pengikutnya
hingga akhir zaman

‫للا الرحمن الرحيم‬


ِ ‫بسم‬
‫للا وبركاته‬
ِ ‫السلم عليكم ورحمة‬
‫ والصلة والسلم على نبيا المصطفى وعلى آله وصحبه ومن‬،‫الحمد هلل وكفى‬
‫اهتدى بهداه أما بعد‬

*Kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allāh Subhānahu wa


Ta'āla Saudara-saudariku seiman, semoga Allāh senantiasa
memberikan taufik-Nya kepada kita semua *

*Alhamdulillāh, puji syukur kepada Allāh Subhānahu wa


Ta'āla, senantiasa kita haturkan, senantiasa kita panjatkan
dan tidak bosan-bosannya kita puji Tuhan kita *

*Dzat Yang Maha Memberi Rezeki, memberikan kehidupan


kepada kita, dan memberikan (tentunya) berbagai ragam
(macam) karunia, kenikmatan, yang salah satunya adalah
kenikmatan diberikan kita kesempatan dan keistiqamahan
belajar agama *

Pada kesempatan ini, kita akan membahas tema yang


berkenaan dengan Bersama Sang Kekasih (Ibrahim
‘alaihissalaam)

Semoga Allah ta'ala menjadikan amalan sederhana ini


menjadi amalan yang ikhlas mengharap wajah Allah semata
dan menjadi pemberat timbangan kebaikan di Yaumul
Mizan

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


5

Inilah, hanya kepada Allah aku memohon agar Dia


menjadikan amalku ini murni mengharap wajah-Nya Yang
Mulia, dan agar ia bermanfaat bagi kaum muslimin, serta
menjadi tabungan untuk hari akhir

Semoga Allah berkenan menjadikan kita termasuk orang-


orang yang membela agama-Nya, Rasul-Nya, serta para
shahabat Dan semoga pula Allah menjadikan kita termasuk
orang-orang yang memberikan nasihat untuk Allah, untuk
agama-Nya, untuk Rasul-Nya, untuk para pemimpin Islam,
dan untuk kaum Muslimin kebanyakan

Sesungguhnya Allah menguasai hal itu Dan akhir seruan


kami ialah bahwa sesungguhnya segala puji kepunyaan
Allah, Rabb seru semesta alam

ِ‫اللَ ُه َِم ص ِِل وس ِل ِْم على ن ِبِِينا ُمح َمدِ وعلى آ ِل ِِه وص ْح ِب ِِه أجْم ِعيْن‬
Semoga Allah menerima amalan-amalan kita dan membuat
dakwah tauhid menjadi tegak dan semarak di bumi
nusantara yang kita cintai ini

Kita memohon kepada Allah agar menambahkan bagi kita


ilmu yang bermanfaat dan menjadikan buku ini bermanfaat
bagi kami pribadi dan umat secara umum Kritik dan saran
sangat kami harapkan dari semua pihak

_*Ya Allah, saksikanlah bahwa kami telah menjelaskan dalil


kepada umat manusia, mengharapkan manusia
mendapatkan-hidayah, melepaskan tanggung jawab
dihadapan Allah Ta’ala, menyampaikan dan menunaikan
kewajiban kami

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


6

Selanjutnya, kepadaMu kami berdoa agar menampakkan


kebenaran kepada kami dan memudahkan kami untuk
mengikutinya*_

_*Itu saja yang dapat Ana sampaikan Jika benar itu datang
dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Kalau ada yang salah itu
dari Ana pribadi, Allah dan RasulNya terbebaskan dari
kesalahan itu *_

Hanya kepada Allah saya memohon agar Dia menjadikan


tulisan ini murni mengharap Wajah-Nya Yang Mulia, dan
agar ia bermanfaat bagi kaum muslimin dan menjadi
tabungan bagi hari akhir

Saya memohon kepada AllahTa’ala Agar menjadikan Tulisan


ini amal soleh saat hidup dan juga setelah mati untuk saya,
kedua orangtua, keluarga saya dan semua kaum muslimin
dihari di mana semua amal baik dipaparkan

Sebarkan, Sampaikan, Bagikan ebook ini jika dirasa


bermanfaat kepada orang-orang terdekat Anda/Grup
Sosmed, dll, Semoga Menjadi Pahala, Kebaikan, Amal Shalih
Pemberat Timbangan Di Akhirat Kelak

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membalas kebaikan


Anda Wa akhiru da’wanā ‘anilhamdulillāhi rabbil ālamīn
Wallāhu-a’lam, Wabillāhittaufiq

_*“Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka


baginya ada pahala yang sama dengan pahala orang yang
mengikutinya dan tidak dikurangi sedikitpun juga dari
pahala-pahala mereka ”* (HR Muslim no 2674)_

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


‫‪7‬‬

‫‪Kita meminta kepada Allah agar Dia selalu membimbing kita‬‬


‫‪ke jalan yang diridhai-Nya dan memberikan kita taufiq‬‬
‫‪untuk dapat menempuhnya, aamin‬‬

‫اللَ ُه َِم ص ِِل على ُمح َمدِ وعلى آ ِِل ُمح َمد‪ ،‬كِما صلَيْتِ على إِبْرا ِهيْمِ وعلى آ ِلِ‬
‫ِإبْرا ِهيْم‪ِ ،‬إنَكِ ح ِميْدِ م ِجيْد‪ ،‬اللَ ُه َِم ب ِاركِْ على ُمح َمدِ وعلى آ ِِل ُمح َمد‪ ،‬كما‬
‫باركْتِ على إِبْرا ِهيْمِ وعلى آ ِِل إِبْرا ِهيْم‪ ،‬إِنَكِ ح ِميْدِ م ِجيْد‬
‫ان ولِ تجْع ِْل فِي قُلُو ِبنا غ ًِ‬
‫ِل ِللَذِينِ‬ ‫ربَنا ا ْغف ِِْر لنا و ِ ِِل ْخوانِنا الَذِينِ سبقُونا ِب ْ ِ‬
‫اِليم ِِ‬
‫يم‬ ‫َ‬
‫آمنوا ربَنا إِنكِ رؤُوفِ َرحِ ِ‬ ‫ُ‬

‫ربَنا آتِنا فِي ال ُّدنْيا حسنةًِ وفِي اآلخِ ر ِِة حسنةًِ وقِنا عذابِ ال َن ِارِ‬
‫‪Penyusun,‬‬

‫‪Kota Besi Rabu, 4 Dzulqa’dah 1444H / 24 Mei 2023 M‬‬

‫‪Zainudin‬‬

‫)‪Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam‬‬


8

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)

Kisah Para Nabi

Mukaddimah (bag 1)

Ikhwati fillah, alangkah seringnya Al Qur’an bercerita


tentang para Nabi dan umat yang terdahulu… saking
seringnya, kisah mereka kadang terulang dalam beberapa
versi, hingga hampir dua pertiga dari Al Qur’an sendiri
adalah kisah

Sungguh memprihatinkan apabila kita lebih suka membaca


kisah-kisah fiktif yang tak lebih dari khayalan penulisnya,
tapi lalai akan kisah para Nabi dan umat terdahulu yang
sarat dengan hikmah dan pelajaran berharga Apalagi bila Al
Qur’an yang mengisahkan, pasti kisah tadi benar semuanya
karena ia merupakan kalamullah yang tak mungkin
mengandung kebatilan… bahkan lebih dari itu, Allah ‘azza
wa jalla telah menyifatinya sebagai kisah terindah:

ِ‫ص بِما أوْ حيْنا إِليْكِ هذا الْقُ ْرآنِ وإِنِْ كُنْتِ مِنِْ قبْ ِل ِه‬
ِ ِ ‫ن نقُصُِّ عليْكِ أحْسنِ الْقص‬
ُِ ‫ن ْح‬
ْ
ِ‫لمِنِ الغافِلِين‬
Kami akan menceritakan kisah-kisah terindah kepadamu
(Muhammad), lewat apa yang Kami wahyukan dari Al
Qur’an ini kepadamu, sedangkan engkau sebelumnya
termasuk orang-orang yang lalai (QS Yusuf: 3)

Menurut beberapa riwayat, ayat ini turun berkenaan


dengan permintaan sebagian sahabat agar Nabi bercerita
kepada mereka[1]

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


9

Bila Allah ‘azza wa jalla telah menyatakan bahwa kisah Al


Qur’an adalah kisah terindah, maka seorang mukmin pasti
tergerak hatinya untuk menggali pelajaran yang terkandung
di dalamnya Ia akan menggali hikmah di balik kisah-kisah
tadi baik melalui kitab tafsir, kaset ceramah dan sebagainya
Atau bahkan membeli semua itu walau harganya cukup
mahal Sebab ia yakin bahwa pelajaran yang akan
didapatnya amatlah berharga Pelajaran itu jauh lebih
berharga dari semua uang yang dibelanjakannya demi
membeli buku dan kaset tersebut…

Selain keindahan susunan, pilihan kata dan kehalusan


bahasa yang diusung oleh kisah-kisah Al Qur’an; ia juga
merupakan kisah yang paling benar karena Allah U sendiri
yang mengisahkan Allah ‘azza wa jalla berfirman:

[87/‫ّللا حدِيثًا ]النساء‬


َِِ ِ‫ق مِن‬
ُِ ‫ومنِْ أصْد‬

Siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?


(An Nisa: 87)

Hal ini tentu berbeda dengan kisah-kisah indah lainnya,


karena bagaimanapun indahnya, toh kebenarannya tidaklah
mutlak seratus persen… ia tak terlepas dari kekeliruan
karena yang bercerita adalah manusia; si tempat salah dan
lupa

Lebih dari itu, kisah-kisah Al Qur’an adalah kisah yang


paling bermanfaat karena banyak mengandung hikmah dan
pelajaran berharga Allah ‘azza wa jalla berfirman:

ِ ‫صد‬
‫ِيق‬ ِِ ‫لق ِْد كانِ فِي قص ِص ِه ِْم ِعبْرةِ ِألُولِي ْاأللْبا‬
ْ ‫ب ما كانِ حدِيثًا يُفْترى ولكِنِْ ت‬
[111/‫يءِ وهُدًى ورحْمةًِ لِقوْ مِ يُ ْؤ ِمنُونِ ]يوسف‬ ْ ‫الَذِي بيْنِ يديْ ِِه وتفْ ِصيلِ ك ُِِل ش‬

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


10

Sungguh, dalam kisah mereka benar-benar terdapat


pelajaran yang berharga bagi orang yang berakal Kisah
tersebut bukanlah ucapan yang dibuat-buat, akan tetapi
sebagai pembenaran akan (kitab-kitab) yang diturunkan
sebelumnya, dan penjelasan akan segala sesuatu serta
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman (Yusuf: 111)

Maha benar Allah… tidak semua orang mampu menangkap


pelajaran dan hikmah tersebut Akan tetapi itulah ‘pesan-
pesan’ dan ‘kode-kode rahasia’ yang hanya difahami oleh
mereka yang mau memutar otak dan mencurahkan
fikirannya… ia bukanlah barang murah yang bisa didapat
siapa saja, kapan saja dan di mana saja… ada harga mahal
yang harus dibayar untuk mendapatkannya Ia
membutuhkan pengorbanan dari kita; korban harta, tenaga
dan waktu… semakin besar pengorbanannya, semakin
banyak pula keuntungannya…

Mudah-mudahan Allah menjadikan kita termasuk orang-


orang berakal yang mengambil pelajaran dari kisah-kisah
tersebut… Allahumma aamien

Hikmah di balik kisah-kisah Al Qur’an

Ada banyak keunikan dalam kisah-kisah Al Qur’an Salah


satu keunikan tersebut ialah bahwa kisah-kisah tadi
demikian menyatu dengan tema yang diusung oleh
suratnya Ibarat anggota badan, setiap tema tidak bisa
dipisahkan dari tema lainnya dalam surat itu Karenanya,
bila kita mencoba untuk mencomot suatu kisah dari
tempatnya, pastilah maknanya akan kacau; sebab kisah tadi
berperan besar dalam menjelaskan kandungan surat
tersebut

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


11

Umpamanya, jika kita singkirkan kisah burung gagak yang


muncul saat Al Qur’an bercerita tentang kejadian antara dua
putera Adam ‘alaihissalaam (Qabil dan Habil), pasti
maknanya tidak akan pas Sebab ada hikmah ilahiah dalam
kisah kedua burung gagak tadi, yaitu bagaimana cara
menguburkan jenazah

Demikian pula sebaliknya, suatu kisah tidak akan muncul


dalam Al Qur’an kecuali di tempat dan waktu yang
diperlukan, dan hanya bagian tertentu saja dari kisah
tersebut yang disebutkan, sesuai dengan konteks dan
temanya Karenanya, kisah Nabi Ibrahim u tidak disebutkan
dalam surat Al A’raf meski ia bercerita tentang para Nabi

Kadang kala suatu kisah disebutkan dalam rangka


menjelaskan kehebatan dan kekuasaan Sang Pencipta,
seperti cerita ashabul kahfi (para penghuni gua) dan orang
mati yang hidup kembali Jadi, kisah tersebut muncul ketika
alur pembicaraan mengajak kita untuk mengingat
kekuasaan Allah dalam sebuah rangkaian yang amat sesuai
dengan tema suratnya

Kalau kita perhatikan awal cerita dalam Al Qur’an, kita akan


dapati bahwa sebagian besarnya ditujukan kepada
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam; hal ini
menunjukkan bahwa kisah tersebut diceritakan demi beliau
dan dakwah yang diembannya Baik demi memantapkan
dakwah beliau lewat mukjizat baru yang disebut dalam
surat itu; atau demi menakut-nakuti para pembangkangnya
Kemudian, bertolak dari kisah tadi, Nabi memberi
penyuluhan kepada umatnya [2]

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


12

Sebuah kisah biasanya berkisar seputar kejadian atau tokoh


tertentu Dalam kisah-kisah historis, kita perhatikan bahwa
alurnya lebih menitikberatkan pada Sang tokoh Karenanya,
saat kita membaca kisah apa pun, kita akan merasakan
bahwa inti kisah tersebut dari awal hingga akhir adalah
tokoh tersebut Namun kisah Al Qur’an tidaklah demikian…
ia mengandung sebuah mukjizat –di samping segudang
mukjizat lainnya-, yang berupa keselarasan antara kejadian
dengan tokohnya Karenanya, pengulangan yang terjadi
bukanlah maksud yang sebenarnya, akan tetapi demi
menghadirkan makna lain dalam alur cerita tadi [3]

Keunikan lain yang tersirat dalam kisah-kisah Al Qur’an ialah


gaya pengisahannya yang bermacam-macam, dan
pengulangan sebuah kisah dengan bahasa yang berbeda di
berbagai tempat Namun tidak semua kisah tadi diulang
dalam Al Qur’an; ada beberapa kisah yang hanya disebutkan
sekali saja, seperti kisah ashabul kahfi dan kisah Luqman

Kisah-kisah yang diulang tadi sengaja diulang demi tujuan


dan kemaslahatan tertentu, dan pengulangannya tidak
sama persis namun berbeda dari segi panjang pendeknya,
atau kelembutan dan ketegasannya, atau penekanan akan
beberapa sisi cerita dalam tempat tertentu yang berbeda di
tempat lainnya

Ada beberapa hikmah yang mungkin bisa kita tangkap dari


pengulangan suatu kisah dalam Al Qur’an, diantaranya:

Menjelaskan balaghah (keindahan bahasa) Al Qur’an;


karena diantara ciri khusus ilmu balaghah ialah
kemampuannya menuangkan satu makna dalam berbagai
rupa

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


13

Kisah yang berulang tadi disebutkan di tiap-tiap tempat


dengan gaya yang berbeda dan dituturkan dalam nuansa
yang beda pula, hingga orang yang membacanya tidak
merasa jenuh, namun senantiasa menangkap makna-makna
baru yang tidak ia dapatkan ketika membaca kisah tersebut
di tempat lainnya [4]

Lebih menunjukkan kemukjizatan Al Qur’an secara bahasa,


karena sebuah makna dapat disampaikan dalam berbagai
rupa sedangkan bangsa Arab tak mampu mendatangkan
satu pun darinya; maka jelaslah cara yang demikian lebih
menantang bagi mereka

Agar kisah tersebut mendapat perhatian lebih hingga nilai-


nilainya meresap dalam hati; karena dengan diulang
sesuatu akan semakin mantap dan menarik perhatian
Sebagaimana kisah Musa ‘alaihissalaam dan Fir’aun yang
merupakan drama perseteruan antara kebenaran dan
kebatilan yang pengisahannya demikian dramatis; padahal
kisah tersebut tidak terulang dalam surat yang sama meski
demikian sering diulang-ulang

Adanya tujuan yang berbeda dalam penuturan sebuah


kisah Karenanya, suatu ketika kisah tersebut hanya
menyebutkan sebagian makna yang dikehendaki di tempat
itu, kemudian menyebutkan makna-makna lainnya di
tempat lain sesuai dengan tuntutan kondisi yang
berbeda [5]

Menjelaskan urgensi kisah tersebut; karena


pengulangannya merupakan tanda bahwa ia harus
diperhatikan

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


14

Memperhatikan waktu dan kondisi pihak yang diajak bicara


lewat kisah tersebut Karenanya, mayoritas surat-surat
makkiyyah mengandung unsur keras dan ringkas, sedangkan
surat-surat madaniyyah sebaliknya

Menampakkan kebenaran Al Qur’an dan bahwasanya ia


berasal dari Allah; karena kisah tersebut meski terulang
dalam beberapa versi tetap tidak mengandung
kontradiksi [6]

Tidak semua orang hafal Al Qur’an Karenanya, dengan


adanya pengulangan kisah di berbagai surat, orang yang
hafal sebagian surat tadi tetap bisa menghayati dan
mengetahui kisah tersebut, meski ia tidak hafal surat
lainnya [7]

Demikianlah ikhwati fillah, saya rasa untuk bagian pertama


dari mukaddimah Kisah Para Nabi cukup sampai di sini dulu
Inysa Allah saya lanjutkan dalam tulisan berikutnya, wass

[1] Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/366

[2] Disadur dari “Al Qisshah fil Qur’anil Kariem” tulisan Dr


Ibrahim Ash Sha’bi

[3] “Surah Al Qashash, dirasah tahliliyyah” oleh Dr


Muhammad Mathniy hal 47

[4] Lihat: Ushulut Tafsir, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih


al Utsaimin hal 54-55

[5] Mabahits fi ‘ulumil qur’an, oleh syaikh manna’ al qatthan


hal 318-319

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


15

[6] Ushulut Tafsir, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al


Utsaimin hal 54-55 Ketiga nukilan ini (no 3-4-5) kami sadur
secara bebas dari buku: “Al Qashash fil Qur’anil Kariem”
tulisan Islam Mahmud Derbalah

[7] Lihat: “Surah Al Qashash, dirasah tahliliyyah”, oleh Dr


Muhammad Mathniy hal 48

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


16

(mukaddimah bag 2 – habis)

Ikhwati fillah, melanjutkan tulisan sebelumnya, kali ini saya


akan berbicara tentang macam-macam kisah dalam Al
Qur’an, faidah dari kisah-kisah tersebut dan beberapa
masalah lainnya

Secara garis besar, kisah-kisah Al Qur’an terbagi menjadi


tiga:

Pertama: kisah para Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam,

Kisah semacam ini berisi dakwah mereka kepada kaumnya,


mukjizat-mukjizat yang Allah berikan kepada mereka, sikap
orang-orang yang menentang dakwah mereka, tahapan-
tahapan mereka dalam berdakwah dan perkembangan
dakwah mereka serta akhir dari golongan yang
membenarkan dan yang mendustakan

Contohnya kisah Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, Isa,


Muhammad serta para Nabi dan Rasul lainnya shallallaahu
‘alaihim wasallam

Kedua: kisah yang berkaitan dengan kejadian masa lalu,


atau pribadi-pribadi tertentu yang tidak setangguh para
Nabi

Seperti kisah ribuan orang yang keluar dari negerinya


karena takut mati (Al Baqarah: 243), kisah Jalut dan Thalut,
kedua putera Adam, ashabul kahfi, Dzul Qarnain, Qarun,
Maryam, ashabul ukhdud (Al Buruj: 4-9), pasukan gajah (Al
Fiil), dan yang semisalnya

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


17

Ketiga: kisah yang berkaitan dengan kejadian-kejadian di


zaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam

Seperti perang Badar dan Uhud dalam surat Aali Imran, atau
perang Hunain dan Tabuk dalam surat At Taubah, dan
perang Ahzab dalam surat Al Ahzab Demikian pula kisah
hijrah Beliau, kisah mi’raj dan lain sebagainya [1]

Faidah dari kisah-kisah Al Qur’an

Kisah-kisah Al Qur’an tentu mengandung selaksa faidah,


namun yang paling penting diantaranya ialah:

Menjelaskan pilar-pilar dakwah dan pokok-pokok syariat


yang diemban oleh setiap Nabi, yaitu:

ِ ‫وما أ ْرسلْنا مِنِْ قبْلِكِ مِنِْ رسُولِ إِ َِل نُوحِ ي إِليْ ِِه أنَهُِ لِ إِلهِ إِ َِل أنا فا ْعبُد‬
ِ‫ُون‬
[25/‫]األنبياء‬

Tidaklah kami mengutus seorang rasul pun sebelummu,


kecuali kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada yang
patut disembah kecuali Aku, maka beribadahlah kepada-Ku”
(Al Anbiya': 25)

Meneguhkan hati Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam


dan hati umat beliau agar tetap berada dalam agama Allah,
disamping memupuk kepercayaan diri orang beriman untuk
selalu menolong kebenaran dan setiap pengikutnya, serta
meninggalkan kebatilan dan para pengikutnya

ُّ ‫الرسُ ِِل ما نُثبِتُِ بِ ِِه فُؤادكِ وجاءكِ فِي ه ِذ ِِه الْح‬


ِ‫ق‬ ُّ ِِ‫ُل نقُصُِّ عليْكِ مِنِْ أنْباء‬
ًِ ‫وك‬
[120/‫ومِوْ عِظةِ و ِذكْرى ِللْ ُم ْؤ ِمنِينِ ]هود‬

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


18

Kisah-kisah rasul itu Kami ceritakan semuanya kepadamu


(Muhammad), agar dengan itu Kami teguhkan hatimu; dan
telah datang darinya segala kebenaran, nasihat dan
peringatan bagi orang-orang yang beriman” (Hud: 120)

Membenarkan para Nabi yang terdahulu, menghidupkan


kembali kisah mereka sekaligus mengabadikan ‘warisan’
mereka

Menampakkan kebenaran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi


wasallam dalam dakwah beliau lewat kisah umat terdahulu
yang beliau sampaikan

Mengungkapkan kebenaran yang disembunyikan oleh Ahli


Kitab (kaum Yahudi dan Nasrani) dalam kitab mereka, dan
bukti akan adanya penggantian dan penyelewengan dalam
kitab tersebut Seperti firman Allah:

ِ ْ‫ل لِبنِي إِسْرائِيلِ إِ َِل ما ح َرمِ إِسْرائِي ُِل على نف‬


ِْ‫س ِِه مِنِْ قبْ ِِل أن‬ ِِ ‫كُ ُِّل الطَع‬
ًِ ِ‫ام كانِ ح‬
[93/‫تُنزَ لِ التَوْ راةُِ قُ ِْل فأْتُوا ِبالتَوْ را ِِة فاتْلُوها ِإنِْ كُنْتُ ِْم صا ِدقِينِ ]آل عمران‬

Semua makanan itu halal bagi Bani Israil, kecuali makanan


yang diharamkan oleh Israil (Ya’kub) atas dirinya sebelum
Taurat diturunkan Katakanlah (hai Muhammad): “Bawalah
Taurat itu lalu bacalah, jika kamu adalah orang-orang yang
benar” (Aali Imran: 93)

Kisah merupakan salah satu bentuk karya sastra yang enak


didengar dan pelajarannya meresap dalam hati (lihat
kembali QS Yusuf: 111) [2]

Menjelaskan hikmah (kebijaksanaan) Allah lewat apa-apa


yang terkandung dalam kisah tersebut; Allah berfirman
yang artinya:

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


19

“Sungguh telah datang kepada mereka beberapa kisah yang


di dalamnya terdapat ancaman (bagi kekafiran) Itulah suatu
hikmah yang sempurna, tetapi peringatan-peringatan itu
tidak berguna (bagi mereka)” (Al Qamar: 4-5)

Menjelaskan keadilan Allah lewat hukuman yang Dia


timpakan atas mereka yang mendustakan “Kami tidak
menzhalimi mereka, tetapi merekalah yang menzhalimi diri
sendiri Karena itu, tidaklah bermanfaat sedikitpun bagi
mereka sesembahan-sesembahan yang mereka sembah
selain Allah ketika siksa Tuhanmu datang…” (Hud: 101)

Menjelaskan keutamaan Allah lewat pahala yang Dia


berikan bagi orang-orang beriman “… kecuali keluarga Luth,
Kami selamatkan mereka sebelum fajar menyingsing;
sebagai nikmat dari Kami Demikianlah Kami memberi
balasan kepada orang-orang yang bersyukur” (Al Qamar: 34-
35)

Pelipur lara bagi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam


atas gangguan yang Beliau terima dari musuh-musuhnya
“Jika mereka mendustakanmu, maka sungguh orang-orang
yang sebelum mereka pun telah mendustakan (para rasul)
ketika para rasul itu datang dengan membawa bukti yang
nyata (mukjizat), zubur, dan kitab yang memberi penjelasan
yang sempurna Kemudian Aku adzab orang-orang yang
kafir; maka (lihatlah) bagaimana akibat kemurkaan-Ku”
(Faathir: 25-26)

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


20

Mendorong orang-orang beriman agar teguh dalam


keimanannya serta berupaya meningkatkan iman mereka,
karena dengan kedua hal itulah orang-orang beriman yang
terdahulu selamat dan mendapat kemenangan dalam
jihadnya “Maka Kami kabulkan doanya dan Kami
selamatkan dia dari kedukaan Dan demikianlah Kami
menyelamatkan orang-orang yang beriman” (Al Anbiya':
88)

Peringatan atas orang kafir agar tidak tetap berada dalam


kekafiran “Maka apakah mereka tidak pernah mengadakan
perjalanan di muka bumi, sehingga dapat memperhatikan
bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka
Allah telah membinasakan mereka, dan bahwasanya adzab
yang serupa akan menimpa orang-orang kafir”
(Muhammad: 10)

Bukti akan kebenaran risalah Nabi shallallaahu ‘alaihi


wasallam, karena kisah-kisah umat terdahulu hanya
diketahui oleh Allah “Itulah sebagian dari berita-berita
ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), tidak
pernah kamu mengetahuinya dan tidak pula kaummu
sebelum ini; maka bersabarlah, sungguh kesudahan yang
baik adalah bagi orang yang bertakwa” (Hud: 49) Dalam
ayat lainnya disebutkan: “Apakah belum sampai kepadamu
berita orang-orang sebelum kamu, yaitu kaum Nuh, Ad,
Tsamud dan orang-orang setelah mereka; tidak ada yang
mengetahui mereka selain Allah…” (Ibrahim: 9) [3]

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


21

Demikianlah secara garis besar faidah-faidah dari kisah-


kisah Al Qur’an Tentunya sekian banyak faidah tadi harus
kita manfaatkan dalam kehidupan, terutama untuk
mendidik generasi muda kita Sebab dalam pendidikan
Islam, kisah memiliki misi khusus yang tidak dapat diwakili
oleh alat komunikasi lingual lainnya, terutama kisah
Qur’ani Hal itu karena kisah Qur’ani memiliki beberapa
keistimewaan yang membuatnya sangat berkesan,
mendidik, dan lama pengaruhnya Selain itu, ia juga
memancing simpati dan menghidupkan perasaan, kemudian
mendorong seseorang untuk mengubah perilakunya dan
memperbaharui tekadnya sesuai dengan misi dan visi yang
diemban kisah tadi

Ingatkah kita akan kisah-kisah yang sering dibacakan orang


tua menjelang tidur? Kisah tersebut demikian melekat di
benak kita meski kita tak lagi mendengarnya… ya, meski
umurnya hampir seusia kita, namun kita mudah
mengingatnya kembali Nah, seperti itulah pengaruh kisah
yang kita bacakan ke anak-anak kita Kalau tiap menjelang
tidur kita bacakan sepenggal kisah dari kisah-kisah Al
Qur’an, kelak kisah tersebut akan mewarnai kepribadian
mereka selama bertahun-tahun kemudian…

Sayangnya, mayoritas orang tua jarang bercerita tentang


para Nabi atau orang-orang shalih kepada putera-puterinya,
namun justeru cerita-cerita fiksi saja… andai dahulu mereka
mengisahkan kisah-kisah Al Qur’an, pasti akan lebih
bermanfaat bagi kita

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


22

Di antara berbagai kisah tadi, kisah Ibrahim ‘alaihissallam


termasuk yang paling sering disebutkan Kisahnya tertuang
dalam 25 surat, dan namanya terulang sebanyak 69 kali
Adapun jumlah ayat yang berkisah tentangnya mencapai
200 ayat Hal ini jelas menunjukkan bahwa kisah beliau
patut mendapat perhatian khusus dari kita

Kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissallam yang tertuang dalam Al


Qur’an berbicara tentang kehidupan dan perjuangan Beliau
Kisah ini meliputi berbagai sikap yang beliau ambil tatkala
berhadapan dengan keluarga dan kaumnya dalam berbagai
kesempatan Setiap sikap tadi menampakkan kepada kita
sosok Ibrahim ‘alaihissallam Sang kekasih Allah, yang
memberi suri tauladan dalam bersikap dan menentukan
langkah pada berbagai situasi yang mungkin kita alami
dalam perjalanan hidup ini

[4/‫ق ِْد كانتِْ لكُ ِْم أُسْوةِ حسنةِ فِي ِإبْراهِيمِ والَذِينِ معهُِ ]الممتحنة‬

Sungguh telah ada suri tauladan yang baik bagi kalian pada
Nabi Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya… (Al
Mumtahanah: 4)

Anda akan dapati bagaimana sikap Beliau sebagai anak


terhadap bapaknya, atau beliau sebagai bapak terhadap
puteranya, atau suami terhadap isterinya, atau seorang
suami di dalam rumah bersama tamu-tamunya, atau
Ibrahim sebagai hamba Allah terhadap Rabbnya, atau sikap
beliau sebagai seorang da’i terhadap kaumnya

Demikianlah sepak terjang beliau yang bermacam-macam,


yang setiap saat membiaskan secercah cahaya imani yang
menyinari langkah kita dalam kehidupan

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


23

Benar… inilah sosok teladan… teladan nan luhur yang patut


dikenalkan ke seluruh manusia, terutama di zaman yang
krisis teladan seperti ini… saat kebanyakan orang
terombang-ambing kesana kemari mencari sosok panutan
namun tak mendapatkannya…

Padahal Al Qur’an ada diantara kita, dan memuat di


dalamnya berbagai kisah para Nabi…

[90/‫ّللا فبِهُداهُ ُِم اقْت ِد ِهِ ]األنعام‬


َُِ ‫أُولئِكِ اِلَذِينِ هدى‬

Mereka (para Nabi) itulah orang-orang yang Allah beri


petunjuk, maka ikutilah mereka…

(Al An’am: 90)

Bertolak dari sini, kami ingin mengajak pendengar sekalian


untuk mengkaji kisah Khalielullah alias Sang kekasih Allah,
Ibrahim ‘alaihissallam Dalam beberapa seri mendatang,
kami akan lebih menitik beratkan pada faidah-faidah dan
pelajaran berharga dalam kisah Ibrahim ‘alaihissallam, baik
yang tercantum dalam Al Qur’an maupun Sunnah Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam

[1] Lihat: Al Qashash fil Qur’anil Kariem, tulisan Islam


Mahmud Derbalah

[2] Lihat: Mabahits fie ‘ulumil Qur’an, oleh Syaikh Manna’


Al Qaththan hal 317-318

[3] Lihat: Al Qashash fil Qur’anil Kariem, tulisan Islam


Mahmud Derbalah

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


24

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam) Bag 1

Ikhwati fillah, sungguh, tiada kitab yang lebih indah dari Al


Qur’an… kitab yang menjelaskan segalanya dengan penuh
hikmah Ketika mengabarkan sesuatu, maka kabarnya
adalah yang paling benar dan nyata… lalu ketika menyebut
suatu perintah atau larangan, maka itulah perintah dan
larangan yang paling utama dan relevan… dan ketika
menyebut janji atau ancaman, maka itulah yang paling
sesuai dengan hikmah Allah serta fadhilah-Nya

Demikian halnya saat Al Qur’an bercerita tentang para nabi


dan rasul, pastilah mereka yang diceritakan lebih sempurna
dan mulia dari yang lain Karenanya, Al Qur’an sering kali
mengulang-ulang kisah sebagian Nabi yang dinilai lebih
afdhal dari lainnya… ia mengangkat kedudukan mereka
lewat ketekunan dalam beribadah, ketulusan cinta mereka
kepada Allah dan kegigihan mereka dalam menyeru
manusia kepada-Nya dengan penuh kesabaran…

Setelah dalam dua tulisan sebelumnya saya berbicara


tentang berbagai masalah seputar kisah-kisah Al Qur’an,
maka dalam tulisan kali ini saya akan memulai dengan kisah
pertama yaitu tentang Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam Saya
sengaja tidak memulainya dengan kisah Nabi Adam, karena
satu dan lain hal Akan tetapi saya dahulukan kisah Ibrahim
mengingat saratnya kisah beliau dengan pelajaran penting,
terutama masalah tauhid yang merupakan azas diterimanya
amalan kita

Agar tidak bertele-tele, marilah kita mulai perkenalan kita


dengan Sang Kekasih Allah…

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


25

Nama beliau

Nama Ibrahim, dalam bahasa Arab dapat diucapkan dalam


beberapa lafazh: (‫ ِإبْره ُِِِ م‬-‫ ِإبْراه ُِِِ م‬-‫ ِإبْرِاهُوْ ُِم‬-‫ ِإبْراها ُِم‬-‫ ) ِإبْرا ِهيْ ُِم‬Jika
dijumlah, maka seluruhnya ada 9 nama Nama ini berasal
dari bahasa Suryani yang maknanya ialah: (‫ )أب رحيم‬atau
Bapak yang penyayang[1] Konon nama beliau sebelumnya
ialah Ãbrãm yang artinya Bapak sekalian umat Allah
menamainya dengan ‘Ibrahim’ karena sifatnya yang lembut,
sering menangis dan bersimpuh di hadapan Allah [2]

Nasab beliau

Menurut sejarawan Islam terkenal Al Hafizh Ibnu Katsier,


silsilah nasab Nabi Ibrahim sebagai berikut: Ibrahim bin
Tãrikh (250 th) –alias Azar- bin Nãhũr (148 th) bin Sãrũgh
(230 th) bin Rãghu (239 th) bin Fãligh (439 th) bin ‘Ãbir (464
th) bin Syãlih (433 th) bin Arfakhsyadz (438 th) bin Sãm (600
th) bin Nuh ‘alaihissalaam

Keterangan ini beliau nukil dari Ahli Kitab sebagaimana yang


dinyatakan dalam kitab-kita mereka Sedangkan angka-
angka yang tertera di akhir setiap nama adalah umur
mereka masing-masing, sebagaimana yang disebutkan
dalam kitab-kitab tersebut[3] Jadi, ayah Nabi Ibrahim
‘alaihissalaam bernama Ãzar atau Tãrikh, dan beliau
merupakan generasi ke sepuluh dari keturunan Nabi Nuh
‘alaihissalaam

Sedangkan ibunya konon bernama Amielah, dan menurut


riwayat lain ia bernama Buna binti Karbata bin Kartsa dari
Bani Arfakhzyadz bin Sãm bin Nuh ‘alaihissalaam [4]

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


26

Terlepas dari benar tidaknya silsilah nasab di atas, Nabi


Ibrahim tetap memiliki hubungan yang erat dengan Nabi
Nuh ‘alaihissalaam, Allah ‘azza wa jalla berfirman:

‫ِيم‬ َِ ِ‫وإ‬
ِ ‫ن مِن شِيعتِ ِِه ِِلبْراه‬
Sungguh, Ibrahim termasuk golongannya (Nuh) (Ash Shãffãt:
83)

Kata syi’ah dalam ayat ini maknanya orang yang


mendukung, artinya Allah menggolongkan Ibrahim
‘alaihissalaam ke dalam pendukung Nabi Nuh
‘alaihissalaam

Bagaimana bisa demikian, sedangkan antara Ibrahim dan


Nuh terdapat rentang waktu yang begitu lama? Benar…
betapa pun lamanya rentang waktu tersebut, Nabi Ibrahim
‘alaihissalaam merupakan pendukung dan penolong Nabi
Nuh ‘alaihissalaam karena dia menolong agama yang
dibawa oleh Nuh ‘alaihissalaam, dan meninggikan kalimat
tauhid ‘lã ilãha illallãh’ [5]

Julukan (kun-yah) beliau ‘alaihissalaam

Dalam Tarikh-nya, Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dari berbagai


jalur dari ‘Ikrimah, bahwa Nabi Ibrahim konon dijuluki Abu
adh Dhaifaan [6]

Kelahiran beliau ‘alaihissalaam

Beliau lahir sebelah selatan Irak, kemudian menetap di kota


Uur yang terletak di negeri Kaldan Bapaknya berasal dari
Kutsa atau Babilonia, sebuah desa di Kufah [7]

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


27

Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam lahir ketika Tãrikh berumur 75


tahun Di usia itu pula terlahir kedua saudara Nabi Ibrahim
‘alaihissalaam yang bernama Tãhur dan Hãrãn; kemudian
Hãrãn dikaruniai anak yaitu Nabi Luth ‘alaihissalaam Jadi,
Nabi Luth ‘alaihissalaam adalah kemenakan Nabi Ibrahim
‘alaihissalaam

Menurut ahli sejarah, Nabi Ibrahim adalah anak tengah dari


tiga bersaudara Mereka juga mengatakan bahwa Hãrãn
akhirnya wafat ketika ayahnya masih hidup; ia wafat di
tanah kelahirannya, yaitu Negeri Kaldan yang terletak di
Babilonia Inilah riwayat yang shahih dan masyhur menurut
ahli sirah dan sejarawan Riwayat ini juga dishahihkan oleh
Ibnu ‘Asakir [8]

Kehidupan Ibrahim ‘alaihissalaam dan manusia di zamannya

Setelah beranjak dewasa, Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam


menikahi Sarah yang konon seorang wanita mandul Suatu
ketika, Tarikh beserta puteranya Ibrahim yang didampingi
Sarah dan Luth pergi meninggalkan negeri Kaldan menuju
negeri Kan’an Di tengah perjalanan, mereka singgah di
daerah Harran dan di sanalah Tãrikh menemui ajalnya
setelah berumur 250 tahun

Mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju negeri Kan’an


yang tak lain adalah Baitul Maqdis (Al Quds) Mereka
sempat menetap di Harran yang merupakan negeri bangsa
Kasydan ketika itu Setelah itu mereka singgah pula di
daerah Jazirah dan Syam yang penduduknya menyembah
tujuh bintang [9]

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


28

Konon seluruh penduduk Damaskus adalah penyembah


bintang Mereka menghadap kutub utara dan melakukan
pemujaan terhadap bintang yang tujuh dengan ucapan dan
gerakan tertentu Karenanya, dahulu di tujuh gerbang kota
Damaskus masing-masing terpahat gambar salah satu
bintang tadi Di samping itu, mereka juga senantiasa
mengadakan hari raya untuknya dan mempersembahkan
berbagai kurban di sana Selain menyembah bintang,
mereka juga membikin berhala-berhala yang
melambangkan bintang-bintang tadi Berhala mereka yang
terbesar bernama Ba’al dan melambangkan matahari yang
merupakan bintang terbesar Jadi, mereka menyembah
bintang tatkala melihatnya, kemudian bila bintang tadi
tenggelam mereka beralih kepada berhala [10]

Demikianlah kehidupan penduduk Harran penyembah


bintang dan berhala Di zaman itu, semua orang di belahan
bumi manapun masih berada dalam kekafiran, kecuali
Ibrahim Al Khalil, isterinya dan Luth ‘alaihissalaam
keponakannya

Melalui Ibrahim lah Allah menumpas segala kebatilan dan


syirik tersebut Yang demikian itu karena Allah telah
memberinya petunjuk sejak kanak-kanak, kemudian
mengutusnya sebagai Rasul dan memilihnya sebagai
kekasih-Nya setelah dewasa Allah ‘azza wa jalla berfirman:

[51/‫ولق ِْد آتيْنا إِبْراهِيمِ ُرشْدهُِ مِنِْ قبْ ُِل وكُنَا بِ ِِه عا ِلمِينِ ]األنبياء‬

Sungguh sebelum dia (Musa & Harun) telah Kami berikan


petunjuk kepada Ibrahim ‘alaihissalaam, dan Kami telah
mengetahuinya (sebelum itu)” (Al Anbiya': 51)

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


29

Maksudnya ialah bahwa Ibrahim memang layak


mendapatkan itu semua [11]

Setelah perkenalan singkat kita akan jati diri Sang kekasih


Allah, tibalah saatnya untuk menghayati seluk beluk
kisahnya yang menakjubkan itu…

Marilah kita mulai babak pertama dari kisah beliau, yaitu


Ibrahim ‘alaihissalaam sebagai anak yang berbakti…

Dalam surat Maryam, Allah mengisahkan beberapa orang


Nabi… Allah memerintahkan Rasulul-Nya shallallaahu ‘alaihi
wasallam untuk mengingat kisah mereka, agar dengan
mengingatnya terbayanglah betapa besar karunia Allah
yang mengiring perjalanan hidup mereka… kemudian
mendorong kita agar senantiasa memohon taufik dari-Nya
untuk meneladani keimanan mereka dan mencintai mereka
sepenuh hati Allah ‘azza wa jalla berfirman:
ْ ‫و‬
ِِ ‫اذك ُِْر فِي الْكِتا‬
‫ب ِإبْراهِيمِ ِإنَهُِ كانِ ِصدِيقًا ن ِبيًا‬
dan ceritakanlah (Muhammad) kisah Ibrahim dalam kitab
(Al Qur’an), sesungguhnya ia seorang yang sangat mencintai
kebenaran dan seorang nabi”

Dalam ayat ini, Allah menyifati Ibrahim sebagai ‘shiddieq’


dan ‘nabi’ Shiddieq artinya senantiasa jujur dan mencintai
kebenaran Dialah orang yang benar dalam berkata, berbuat
dan bersikap; sekaligus membenarkan semua hal yang
harus dibenarkan Konsekuensi dari semua ini berarti ia
memiliki ilmu agung yang meresap dalam hati dan amat
berkesan hingga mewariskan rasa yakin dan amalan yang
sempurna…

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


30

Selain itu, Ibrahim ‘alaihissalaam adalah Nabi yang paling


mulia secara mutlak setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam Dialah Nabi yang keturunannya mendapat
warisan nubuwat dan Al Kitab… dan dialah yang menyeru
umat manusia ke jalan Allah Dialah Nabi yang sabar walau
disiksa sedemikian rupa… [12]

ِ‫…إِ ِْذ قالِ ِألبِي ِه‬

Ingatlah ketika dia berkata kepada ayahnya…

Demikianlah Ibrahim al Khalil memulai dakwahnya dengan


mengajak Sang ayah ke jalan Allah ‘azza wa jalla Begitulah
seharusnya dakwah dimulai… mulai dari orang tua, yang
merupakan orang terdekat kepada kita Merekalah orang
yang paling berhak mendapatkan kebaikan dari sang anak…

Demikian gigih Ibrahim berusaha agar ayahnya mendapat


hidayah… ia mengajak ayahnya berulang kali dengan bahasa
yang amat halus…

Dalam mendakwahi ayahnya, ia begitu mengindahkan tata


krama seorang anak terhadap orang tua, dan dengan
argumentasi yang kuat, ia sabar menghadapi segala
gangguan yang diterimanya selama berdakwah…

Inilah yang mesti dicontoh oleh para da’i Islam hari ini
Alangkah butuhnya kita kepada para da’i yang bermanhaj
lurus namun berbudi luhur dan pandai bergaul… Tak
sekedar menghafal ayat, hadits dan perkataan syaikh Fulan
atau fulan… atau berpenampilan multazim dengan celana di
atas mata kaki dan jenggot panjang…

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


31

Namun lebih dari itu, ia juga seorang yang amat halus


perkataannya dan santun terhadap orang tua dan
masyarakat…

Ia sangat baik dalam berdiskusi dengan orang tua saat


berbeda pendapat dengannya… Bahkan lebih dari itu,
Ibrahim si anak berbakti tidak sekedar beda pendapat
dengan ayahnya, namun beda akidah![13]

Ibrahim ‘alaihissalaamberkata kepada ayahnya;

…‫ت لِمِ تعْبُ ُِد ما لِ يسْم ُِع ولِ يُب ِْص ُِر ولِ يُغْنِي عنْكِ شيْئًا‬
ِِ ‫يا أب‬

Wahai ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang


tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat
menolongmu sedikit pun?” (Maryam: 42)

Ia memanggil sang ayah dengan kata ‘wahai ayahku’ untuk


menunjukkan bahwa dirinya adalah puteranya Demikianlah
anak yang berbakti, ia demikian antusias terhadap segala
sesuatu yang bermanfaat bagi orang tua Perhatikan… ia
tidak langsung menyalahkan ayahnya atau mengritiknya,
akan tetapi mengritik apa yang disembahnya dan
menampakkan kelemahan sesembahan tersebut bahwa ia
tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat
menolongmu sedikit pun… ia tuli, buta dan tiada berguna…
lantas apa manfaatnya untuk disembah sedangkan ia jauh
lebih lemah dari yang menyembahnya??

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


32

Inilah argumentasi yang tak terkalahkan… yang menjelaskan


bahwa penyembahan terhadap sesuatu yang cacat secara
fisik dan mental adalah perbuatan yang sangat tercela
menurut akal, sekaligus mengisyaratkan bahwa yang pantas
untuk disembah ialah Dzat yang maha sempurna…

Inilah semestinya yang dilakukan oleh seorang da’i dan


pemuda muslim ketika melihat ayah atau ibunya atau siapa
saja berbuat mungkar Janganlah ia tergesa-gesa mengritik
mereka atau mempermalukannya, akan tetapi lakukan
sesuatu yang menunjukkan bahwa maksiat tersebut jelek…
dan bahwa perbuatan tersebut tidak layak bagi mereka
sama sekali Dengan begitu, mereka akan terkesan dan mau
mendengarkan nasehat si pemuda atau da’i tadi [14]

‫ت ِإنِي ق ِْد جاءنِي مِنِ الْ ِعلْ ِِم ما ل ِْم يأْتِكِ فاتَ ِبعْنِي أ ْهدِكِ ِصراطًا س ِويًا‬
ِِ ‫يا أب‬
Wahai ayahku, sungguh telah sampai kepadaku sebagian
ilmu yang tidak diberikan kepadamu, maka ikutilah aku
niscaya akan kutunjukkan kepadamu jalan yang lurus
(Maryam: 43)

Ibrahim seakan mengatakan: “Janganlah engkau


meremehkanku dan menganggapku sok tahu, sebab
perkataan ini sebenarnya bukan berasal dariku melainkan
dari Dzat yang lebih tahu dari aku maupun kamu… maka
janganlah engkau besar hati dan gengsi untuk
mendengarkannya, karena aku telah diperintah untuk
menyampaikan risalah ini kepadamu, dan inilah ilmu yang
tidak diberikan kepadamu”

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


33

Dalam hal ini, Ibrahim masih saja berlemah-lembut kepada


ayahnya… ia tidak menyifati ayahnya sebagai orang bodoh
yang tidak tahu apa-apa sedangkan dirinya orang berilmu
yang tahu segalanya, namun ia mengisyaratkan bahwa “Aku
memiliki sebagian ilmu yang tidak ada padamu, maka
ikutilah aku” (alias kita sama-sama berilmu, akan tetapi aku
memiliki suatu ilmu yang tidak kau miliki); karenanya, demi
kebaikan bersama, hendaknya kamu mengikutiku agar
terhindar dari kesesatan

Inilah pelajaran kedua dari Ibrahim si anak budiman, yang


mengajarkan kepada semua juru dakwah dan generasi
muda Islam agar jangan bersikap ‘sok tahu’ terhadap orang
yang didakwahi, namun hendaknya bersikap tawadhu’ dan
rendah hati…[15]

‫ن ع ِصيًا‬
ِِ ‫ِلرحْم‬ َِ ِ‫ت لِ تعْبُ ِِد الشَيْطانِ إ‬
َ ‫ن الشَيْطانِ كانِ ل‬ ِِ ‫يا أب‬
Wahai ayahku, janganlah engkau menyembah Syaithan,
sungguh Syaithan itu telah durhaka kepada Allah yang Maha
Pengasih (Maryam: 44)

Meski si ayah tidak mengaku sebagai penyembah Syaithan,


akan tetapi Ibrahim ‘alaihissalaamtelah menjelaskan bahwa
peribadatan yang dilakukannya terhadap selain Allah itu
merupakan peribadatan kepada Syaithan, karena
Syaithanlah yang memerintahkan dan mengajaknya untuk
itu

Janganlah engkau menyembah Syaithan’ … Menyembah


Syaithan?? Bayangan yang terlintas dari kata-kata ini
pastilah diingkari oleh setiap orang berakal Bagaimana
tidak, sedangkan Syaithan adalah musuh manusia?

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


34

Bagaimana mungkin seseorang hendak menyembah


musuhnya sendiri!? Ibrahim seakan menyampaikan sebuah
pesan yang maknanya: “Engkau tidak sepantasnya menuruti
kemauan Syaithan, sebab dia telah durhaka kepada Allah…
Dan ini sungguh tidak layak bagi orang berakal
sepertimu” [16]

‫ان و ِليًا‬
ِِ ‫ن فتكُونِ لِلشَيْط‬
ِِ ‫الرحْم‬
َ ِ‫اف أنِْ يمسَكِ عذابِ مِن‬
ُِ ‫ت إِنِي أخ‬
ِِ ‫يا أب‬
Wahai ayahku, aku sungguh khawatir bila engkau terkena
adzab dari Allah yang Maha Pengasih hingga engkau
menjadi sekutu Syaithan (Maryam: 45)

Masih saja Ibrahim mengulang-ulang panggilan yang penuh


kasih sayang ini; Ya abati… ia seakan hendak
membangkitkan naluri kasih sayang seorang ayah kepada
anaknya… seakan ia mengatakan bahwa pembicaraanku
denganmu adalah pembicaraan antara anak dengan
ayahnya…

Namun kali ini Ibrahim mengubah strategi dakwahnya dari


persuasi (membujuk) menjadi menakut-nakuti Pun
demikian, cara yang ditempuhnya tetap mengindahkan
sopan santun dan tata krama terhadap orang tua Ia
menakut-nakuti ayahnya akan akibat yang buruk tanpa
berterus terang bahwa keburukan atau siksa tersebut akan
menimpa sang ayah Ia mengatakan: “Aku sungguh khawatir
bila engkau terkena suatu adzab…” Ia menyebutkan tiga
hal: rasa khawatir, terkena, dan suatu adzab… dan ini adalah
pelajaran lain bagi pemuda-pemuda kita yang suka tergesa-
gesa dalam memvonis seseorang yang bersalah

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


35

Mereka terlalu bersemangat dan menggebu-gebu dalam


mentahdzir dan menakut-nakuti orang yang bersalah tanpa
memperhatikan kejiwaannya, hingga akhirnya orang
tersebut justeru putus asa dari rahmat Allah

Kita perhatikan pula bahwa dalam hal ini Ibrahim


‘alaihissalaammemulai setiap nasehatnya dengan kata
‘wahai ayahku’… ini merupakan wasilah untuk mencari
simpati sang ayah, padahal Ibrahim berada di pihak yang
benar sedang ayahnya dalam kebatilan yang nyata

Akan tetapi, demikianlah adab dalam mengingatkan dan


menasehati yang harus diperhatikan setiap da’i di zaman
ini

Mereka harus membuat orang yang didakwahi merasa


bahwa para da’i tersebut menginginkan kebaikan dan
keselamatan bagi mereka Para da’i harus mengemas
dakwah mereka dengan kemasan rasa kasih sayang; inilah
yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalaamdan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam setelahnya
Sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla:

ِِ ْ‫ولوِْ كُنْتِ فظًا غلِيظِ الْقل‬


ِ‫ب لنْفضُّوا مِنِْ حوْ لِك‬
Seandainya engkau bersikap kaku dan kasar, pastilah
mereka lari darimu… (Aali Imran: 159)

Memang… alangkah pentingnya sikap pemaaf dan kasih


sayang bagi seorang da’i…

Namun… bagaimanakah jawaban Sang ayah kepada


anaknya yang berbakti ini?

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


36

‫قالِ أراغِبِ أنْتِ عنِْ آلِهتِي يا إِبْراهِي ُِم لئِنِْ ل ِْم تنْت ِِه أل ْرجُمنَكِ وا ْهج ُْرنِي م ِليًا‬
Sang ayah menjawab: “Bencikah engkau kepada tuhan-
tuhanku wahai Ibrahim? Jika engkau tidak berhenti pastilah
engkau akan kurajam, maka tinggalkanlah aku untuk waktu
yang lama!!” (Maryam: 46)

Sang ayah bersikap ketus kepadanya sambil memanggilnya


dengan menyebut namanya: ‘Ibrahim!’ … ia tidak
memanggilnya dengan sebutan ‘hai anakku’, dan ia
mengingkari sikap anaknya yang tidak suka kepada
sesembahannya

Tak cukup sampai di sini, bahkan sang ayah mengancam


akan merajam sang anak dengan batu, kemudian
menyuruhnya agar meninggalkan dirinya dalam waktu yang
lama…!!

Subhanallah… semarah itukah ia terhadap Ibrahim


‘alaihissalaam? Mengapa sampai begitu?? Namun demikian,
Ibrahim tidak membalas sikap ketus sang ayah dengan sikap
yang sama… ia bahkan tak menjawab bantahan ayahnya
yang ketus tadi dan tidak melanjutkan perdebatan Ia
justeru membalasnya dengan sangat lemah lembut…ya,
sangat lemah lembut!!

ِ‫… قالِ سلمِ عليْك‬

Ibrahim berkata: “Salaamun ‘alaik…” (semoga keselamatan


dilimpahkan kepadamu

Artinya, aku takkan melakukan sesuatu yang tidak


menyenangkanmu… salaamun ‘alaik, aku takkan
mengganggumu…

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


37

Sungguh… benar-benar keluhuran budi yang tiada tara


Bahkan lebih dari itu…!

ِ‫سأسْتغْ ِف ُِر لكِ ر ِبي ِإنَهُِ كانِ ِبي ح ِف ًيا‬


Aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Rabb-ku;
sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku…(Maryam: 47)

Lalu Ibrahim memenuhi janjinya tadi… ia benar-benar


memintakan ampun bagi ayahnya… hingga tatkala jelas
baginya bahwa sang ayah adalah musuh Allah, ia pun
berlepas diri darinya

Ringkasnya, Ibrahim ‘alaihissalaamsebagai anak telah


bersikap luar biasa dengan membalas kemarahan dan
kekasaran ayahnya dengan sangat lemah lembut… (adakah
diantara anak kita yang bersikap seperti itu kepada ayahnya
meski si anak yang bersalah ketika itu??)

Akan tetapi, meski perangainya yang demikian lemah


lembut, Ibrahim tetap menyatakan jati dirinya yang Islami
dengan penuh ketegasan:

‫ّللا‬ ِِ ‫… وأعْت ِزلُكُ ِْم وما ت ْدعُونِ مِنِْ د‬


َِِ ‫ُون‬

Aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kau
sembah selain Allah…

Artinya, aku akan menjauhimu dan berlepas diri dari semua


sesembahanmu selain Allah

Demikianlah… semakin dalam celupan nilai-nilai keislaman


dalam diri seseorang, semakin jelas pula identitas
Islaminya…

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


38

Inilah Ibrahim ‘alaihissalaamsang kekasih Allah yang tetap


menjaga sikap tawadhu’nya… ia berkata kepada ayahnya:

‫وأ ْدعُو ر ِبي عسى أ َِل أكُونِ ِبدُعاءِِ ر ِبي ش ِقيًا‬


aku akan berdoa kepada Rabb-ku; semoga aku tidak akan
kecewa dengan berdoa kepada-Nya (Maryam: 48)

Ia juga bertawadhu’ kepada Allah dengan mengatakan


‘semoga’, sebuah kata yang menunjukkan kesopan
santunan, sekaligus mengingatkan bahwa yang
memperkenankan doa adalah Allah ‘azza wa jalla berkat
karunia-Nya semata

Sebelum mengakhiri, berikut ini adalah sebagian mutiara


hikmah dari kisah di atas yang sangat bermanfaat bagi da’i
Islam seperti Anda, maka camkanlah baik-baik…

Mulailah berdakwah dari kerabat Anda yang terdekat

Bersikaplah yang santun, lembut dan tawadhu’, terutama


kepada orang yang lebih tua atau lebih terhormat dari
Anda

Anda harus lebih sabar menghadapi hal-hal yang tidak


mengenakkan dari mereka, karena mereka memiliki hak
yang lebih atas diri Anda

Membalas kejahatan dengan kebaikan merupakan senjata


utama seorang anak budiman; maka janganlah
mengucapkan sesuatu selain yang baik dan enak di dengar

Terakhir… ingatlah bahwa seorang muslim sejati tidaklah


terpengaruh dengan lingkungan yang rusak di sekitarnya,
akan tetapi justeru berusaha memperbaikinya [17]

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


39

bersambung ke tulisan berikutnya…

[1] Lihat: Taajul ‘Aruus 31/280 oleh Murtadha Az Zabidy


dan Kitab Al Kulliyaat hal 27, oleh Al Kafmawy

[2] Ma’ani Asma-il Anbiya’, hal 3 Sifat-sifat tersebut Allah


sebutkan dalam surat Hud ayat 75

[3] Lihat: Qashashul Anbiya’ hal 167 oleh Ibnu Katsier


rahimahullah

[4] Idem, hal 167

[5] Lihat: Qisshatu adz dzabh, hal 3 oleh Dr Yasir Al


Burhamy

[6] Idem, hal 167

[7] Lihat: Atlas Al Qur’an hal 41, oleh Syauqi Abu Khalil
Konon di Babilonia lah terjadinya percobaan pembunuhan
beliau dengan dibakar namun tidak terbakar

[8] Idem, hal 167

[9] Lihat gambar 1

[10] Lihat: At Tahrir wat Tanwir (Tafsir Ibnu ‘Asyur) 19/141


oleh Ath Thahir ibnu ‘Asyur

[11] Idem, hal 168-169 secara ringkas

[12] Lihat: Tafsir As Sa’dy hal 494

[13] Lihat: Mawaqif Imaniah min Qisshah al Khalil Ibrahim u


hal 5-6, tulisan Syaikh Mahab Muhammad Utsman

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


40

[14] Lihat: Mawaqif Imaniah min Qisshah al Khalil Ibrahim u


hal 6-7, dan Tafsir As Sa’dy hal 494

[15] Lihat: Tafsir Al Kasysyaf 4/23-24 oleh Az Zamakhsyari

[16] Idem, hal 6-7 dengan penyesuaian, lihat juga: Tafsir Al


Wasith oleh Muhammad Sayyid Thanthawy

[17] Lihat: Mawaqif Imaniah min Qisshah al Khalil Ibrahim u


hal 7-8 dan Tafsir Asy Sya’rawi dengan penyesuaian dari
kami

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


41

Ibrahim Vs Penyembah Berhala (bag 2)

Orang beriman, jiwa raganya tidak tersibukkan kecuali oleh


satu masalah, yaitu tauhid Mereka berusaha mati-matian
untuk menegakkannya dan menumbangkan kekufuran,
meski harus menempuh berbagai cara Mereka adalah
manusia yang menghambakan segenap jiwa raganya untuk
Allah ‘azza wa jalla, dan mencita-citakan agar semua orang
benar-benar menjadi hamba Allah

Demikian halnya dengan Sang kekasih Allah, Ibrahim


‘alaihissalaam… Berbagai cara ditempuhnya demi
merealisasikan cita-cita nan luhur tersebut Tak henti-
hentinya Beliau mengajak para penyembah berhala itu
untuk mengesakan Allah ‘azza wa jalla… terkadang dengan
menjelaskan betapa buruknya dosa syirik tersebut, atau
mengingatkan mereka kepada Allah ‘azza wa jalla, atau
menjelaskan dengan hujjah bahwa seluruh sesembahan tadi
adalah batu yang tiada bermanfaat, dan terkadang dengan
mengenalkan mereka kepada Allah sebagai satu-satunya
ilah yang haq Demikianlah yang dijelaskan dalam surat Asy
Syu’araa’ berikut:

ِ‫( قالُوا نعْ ُب ُد‬70) ِ‫( إِ ِْذ قالِ ِألبِي ِِه وقوْ ِم ِِه ما تعْبُ ُِدون‬69) ِ‫واتْ ُِل علي ِْه ِْم نبأِ إِبْراهِيم‬
(71) ِ‫أصْنا ًما فنظ ُِّل لها عا ِكفِين‬

Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim Ketika ia


berkata kepada ayahnya dan kaumnya: “Apa yang kalian
sembah?” Mereka menjawab: “Kami menyembah berhala-
berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya!” (Asy
Syu’araa': 69-71) [1]

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


42

Yakni bacakanlah –hai Muhammad- kisah Ibrahim kepada


kaummu (orang-orang musyrik) yang mengaku sebagai
keturunan Ibrahim dan penerus ajarannya… ceritakanlah
bagaimana Ibrahim mengingkari berhala-berhala yang
disembah oleh ayah dan kaumnya dengan dalih mengikuti
ajaran leluhur, sebagaimana praktik kaum musyrikin
Mekkah… ceritakan bagaimana Ibrahim menentang upacara
sesat tersebut, lalu bertanya dengan nada keheranan: “Apa
yang kalian sembah…??”[2]

Sebenarnya, Ibrahim ‘alaihissalaam sudah tahu bahwa


mereka adalah penyembah berhala, akan tetapi ia bertanya
dalam rangka menampakkan bagi mereka bahwa apa yang
mereka sembah tadi pada hakikatnya tidak berhak sama
sekali untuk disembah Namun… mereka menjawab
sembari menggambarkan kondisi mereka; “kami
menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun
menyembahnya…!” sebuah jawaban yang berangkat dari
kebodohan yang luar biasa, yang sekaligus menyiratkan
suatu kebanggaan… Ya, kebanggaan menjadi penyembah
berhala!! [3]

Perhatikan, mereka tak sekedar mengatakan: “Kami


menyembah berhala” titik Akan tetapi menambahnya
dengan kata-kata “dan kami senantiasa tekun
meyembahnya!” Hal ini mengingatkan kita bahwa tatkala
kesesatan telah bercokol di hati seseorang, ia tak lagi
mampu membedakan antara haq dan batil… bahkan
kebatilan yang digelutinya pun menjadi suatu kebanggaan
tersendiri baginya Sebab itulah mereka senantiasa tekun
menyembahnya siang dan malam

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


43

Benar, kalian jujur dalam hal ini… karena mereka adalah


sesembahan yang tidak membebani kalian apa-apa dan
kalian menyembahnya tanpa kesulitan dan konsekuensi apa
pun Mereka tak ubahnya seperti fantasi bagi kalian… kalian
senang karenanya, lalu berbuat semaunya atas mereka

Namun Ibrahim hendak mengingatkan mereka dari


kelalaian tersebut… dan menggugah akal mereka yang bebal
agar menyadari kekonyolan yang selama ini mereka tekuni…

(73) ِ‫( أوِْ ينْفعُونكُ ِْم أوِْ يض ُُّرون‬72) ِ‫قالِ ه ِْل يسْمعُونكُ ِْم إِ ِْذ ت ْدعُون‬

Ibrahim berkata: “Apakah mereka mendengar saat kalian


panggil? Atau dapat memberi manfaat dan mencelakakan
kalian?” (Asy Syu’araa': 72-73)

Yakni cobalah kalian ingat, adakah selama ini mereka


pernah menjawab seruan kalian? Jawablah… pernah kah
mereka mendengar atau menjawab panggilan kalian walau
sekali saja?? Bukankah syarat minimal yang harus dimiliki
oleh ‘tuhan’ ialah mendengar seruan hambanya…?

Benar-benar pertanyaan yang menjadikan mereka diam


seribu bahasa…

Namun percayakah Anda bahwa praktek tolol (baca: syirik


akbar) semacam ini masih diamalkan oleh jutaan, bahkan
ratusan juta kaum muslimin hari ini? Mereka mungkin tidak
menyembah berhala berupa patung & arca… berhala yang
mereka sembah telah berubah bentuk meski maknanya
tetap sama… alangkah pandainya Iblis menyesatkan
mereka! Mengagungkan patung tentu merupakan kekufuran
yang ditolak oleh seluruh kaum muslimin…

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


44

Karenanya, patung tadi tidak lagi dalam tiga dimensi… ia


kini berupa gambar Gambar siapa? Tentunya gambar tadi
tidak boleh berwajah seram… ia harus bisa memberi
‘kenyamanan’ bagi orang yang memandangnya, sekaligus
menyiratkan bahwa si empunya foto adalah seorang ‘alim’,
‘shalih’, bahkan ‘wali Allah’ yang konon memiliki segudang
karamah! Dengan kepala yang dililit serban, jenggot lebat,
jubah putih dan tasbih di tangan; gambar mereka telah
menghiasi banyak rumah pengikutnya Mereka lebih
mencintai gambar-gambar tersebut dari pada malaikat yang
membawa rahmat[4]; bahkan yang lebih mengenaskan,
demi itu semua mereka rela menjadi manusia terjahat di
hari kiamat!![5]

Atau… praktek berhalaisme tadi muncul sepeninggal ‘Sang


Wali’ Bagaimana bisa begitu? Karena naluri seorang muslim
akan menolak ketika melihat ada manusia yang menyembah
sesamanya Namun apa lacur… yang terjadi justeru lebih
parah! Mereka mungkin malu untuk bersimpuh di hadapan
Sang Wali ketika hidupnya[6]… namun tatkala Sang Wali
telah mati, muncullah ide jenius Iblis untuk menyesatkan
manusia Tubuh si wali kini mulai membusuk, otomatis ia
tidak akan ‘laku’ dijadikan berhala… maka segeralah Iblis
‘mewahyukan’ kepada bala tentaranya dari kalangan
manusia, agar mengubur wali tadi di tempat khusus…

Di manakah gerangan… Di makam pahlawan… ? pusat


kota… ? tempat rekreasi…?

Bukan bukan… tempatnya harus cocok menjadi tempat


peribadatan, dan memberikan ‘nuansa Islami’ untuk
menutupi praktek berhalaisme itu…

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


45

Ia harus dikubur di area mesjid atau kalau perlu di dalam


mesjid sekalian!!

Tak cukup sampai di sini, bahkan kuburan tadi harus


menarik perhatian orang… harus memberi kesan agung
terhadap yang dikubur… harus besar, megah dan indah!

Itu pun belum cukup, bahkan harus diadakan berbagai acara


dan peringatan yang menarik bagi para ‘peziarah’… harus
ada haul [7], tour ziarah[8], nyadran [9] dan lain
sebagainya… [10]

Mereka seakan hendak menyatakan bahwa ini merupakan


budaya warisan nenek moyang yang sudah turun temurun
dan ‘wajib’ dilestarikan…

Mengapa demikian? Bukankah ini semua adalah kesesatan


dan budaya Jahiliyah? Bukankah ini semua yang
menyebabkan keterpurukan umat??

ِ‫قالُوا ب ِْل وجدْنا آباءنا كذلِكِ يفْعلُون‬


Mereka menjawab: (Iya benar), tapi kami mendapati nenek
moyang kami melakukan yang seperti itu (Asy Syu’araa':
74)[11]

Memang berhala-berhala ini tidak mendengar, tidak


bermanfaat maupun mencelakakan… tapi, orang tua kami
dahulu menyembahnya; maka kami pun ikut-ikutan
menyembahnya… mereka dahulu membangun dan
mengkeramatkan kuburan ini, maka kami pun ikut
mengkeramatkannya… dst!

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


46

Benar-benar jawaban yang memalukan… tapi, apa boleh


buat kalau orang-orang musyrik itu memang tidak tahu
malu? Mereka tidak malu sedikitpun menyembah batu…
sebagaimana musyrikin zaman ini pun tidak malu
menyembah kuburan, yang tidak lain adalah gundukan
tanah…

Bagi mereka, jika sesuatu telah mendapat restu dari nenek


moyang, kyai, sesepuh, habib atau siapa pun namanya,
maka cukuplah itu sebagai alasan untuk diamalkan tanpa
harus diteliti lebih lanjut…

Mereka memang ‘kawakan’ dalam kesesatan, dan di saat


yang sama mereka ibarat kerbau yang dicocok hidungnya;
sekedar mengikuti tanpa berpikir sedikit pun…

Kita sekedar mengikuti… inilah hujjah dan senjata utama


mereka Inilah alasan setiap orang yang terjerumus dalam
khurafat dan kemusyrikan

Untuk mengubah pola pikir yang beku semacam ini


membutuhkan gebrakan keras dan tekad yang bulat
Karenanya, Ibrahim ‘alaihissalaam yang penyabar pun kini
harus menggertak kaumnya dan menyatakan
permusuhannya terhadap berhala dan keyakinan rusak
mereka…

ِ‫( ف ِإنَ ُه ِْم عدُوِ لِي ِإ َل‬76) ِ‫األقْد ُمون‬


ِْ ‫( أنْتُ ِْم وآبا ُؤكُ ُِم‬75) ِ‫قالِ أفرأيْتُ ِْم ما كُنْتُ ِْم تعْبُدُون‬
(77) ِ‫ب الْعالمِين‬ َِ ‫ر‬

Ibrahim ‘alaihissalaam berkata: “Tidakkah kalian perhatikan


apa yang kalian sembah itu? (yaitu sesembahan) kalian dan
orang tua kalian yang terdahulu?

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


47

Sesungguhnya mereka adalah musuhku, kecuali (Allah)


Rabbul ‘alamien (Asy Syu’araa': 75-77)

Begitulah masalah akidah… kadang mengharuskan


seseorang untuk berhadapan dengan orang tua dan
masyarakat sendiri, bahkan harus memusuhi mereka secara
terang-terangan dalam kondisi seperti ini… Iya, walau
mereka adalah sesepuh dan nenek moyang kita…

Demikianlah Al Qur’an mengajarkan agar seorang mukmin


tidak kompromi dalam masalah akidah… walau demi ayah
dan kaum sendiri Lantas bagaimana jika yang diajak
kompromi adalah orang yang jauh dan musuh bebuyutan??

Bagaimana pula jika akidah dan prinsip dikorbankan demi


partai… demi meraih suara terbanyak dalam Pilkada,
Pemilu, dan ‘pesta demokrasi’ lainnya?? Semurah itukah
akidah di mata kaum muslimin hari ini?

Kalaulah kita harus mengingat satu hal dari kisah diatas,


maka ingatlah bahwa ikatan yang sesungguhnya ialah ikatan
akidah, bukan kebangsaan, kekerabatan, kesukuan,
kepartaian dan lain sebagainya… ingatlah bahwa nilai
utama yang harus diperjuangkan adalah tauhid, sedangkan
nilai-nilai lainnya haruslah tunduk kepadanya

Setelah melontarkan argumentasi yang demikian kuat,


mereka tetap saja bersikukuh dengan kesesatannya;
karenanya, Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam kini harus
mengambil sikap tegas… sikap seorang mukmin sejati dalam
mempertahankan prinsip dan akidah, meski harus
mengorbankan persatuan dan kesatuan… bahkan lebih dari
itu, keluarga dan kaum kerabat pun siap dikorbankan!

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


48

Dengan lantang beliau mengatakan: “Sesungguhnya mereka


adalah musuhku, kecuali (Allah) Rabbul ‘alamien”

Mengapa ia menganggap berhala-berhala batu itu sebagai


musuh? Adakah mereka mampu mencelakainya? Tentu
tidak… akan tetapi Ibrahim hendak menggambarkan pabila
beliau sampai menyembah berhala tersebut, berarti telah
menyembah musuh sendiri[12], atau menyembah syaithan
yang mengajak manusia kepada kemusyrikan, dan dialah
musuh yang sesungguhnya

Dengan pernyataannya tersebut, Ibrahim ‘alaihissalaam


seakan menujukan nasehat itu kepada dirinya terlebih
dahulu, lalu bertolak dari sana ia mengatur langkah
berikutnya… ia hendak mengajak mereka untuk berfikir dan
sadar bahwa Ibrahim hendak menasehati mereka
sebagaimana menasehati diri sendiri, dan menginginkan
bagi mereka apa yang ia inginkan bagi dirinya Hal ini tentu
lebih mudah mereka terima dan lebih enak didengar… lain
halnya jika Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam mengatakan:
“Sesungguhnya mereka adalah musuh kalian“, tentu akan
berbeda kesannya Karenanya, ia sekedar menyindir tanpa
berterus terang… sebab sindiran kadang lebih mengena dari
pada sikap blak-blakan

Ini merupakan pelajaran penting bagi setiap juru dakwah…


hendaknya jangan langsung menyalahkan, memvonis dan
blak-blakan dalam masalah tertentu; namun pakailah
sindiran yang mengajak pendengarnya untuk berfikir dan
merenung, karena yang demikian lebih mudah diterima
mereka Sebagaimana yang konon dikatakan Imam Syafi’i
tatkala ada orang yang bersikap kasar kepadanya…

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


49

“Kalaulah perbuatanmu ini aku yang melakukannya,


pastilah aku pantas diberi pelajaran…” Contoh lainnya
seperti ketika Anda lewat di samping orang-orang yang ribut
ngobrol dalam mesjid, katakanlah: “Ini bukan rumahku
maupun rumah kalian…” [13]

Adapun perkataan beliau: “kecuali Allah Rabbul ‘alamien…”,


menurut mayoritas ahli nahwu ini merupakan pengecualian
yang terputus (istisna’ munqathi’), yang maknanya: “kecuali
Allah Rabbul ‘alamien, maka Dia lah pelindungku dan
sesembahan yang sesungguhnya” Ada juga yang
menafsirkan bahwa mereka selain menyembah berhala juga
menyembah Allah (musyrik), karenanya Ibrahim
menganggap bahwa sesembahan mereka seluruhnya adalah
musuh kecuali Allah [14] [15]

ُِ‫( وإِذا م ِرضْت‬79) ‫ِين‬ ِِ ‫سق‬ ْ ‫( والَذِي هُوِ يُ ْط ِع ُمنِي وي‬78) ‫ِين‬
ِِ ‫الَذِي خلقنِي فهُوِ ي ْهد‬
(81) ‫ين‬ ِِ ‫( والَذِي ُيمِيتُنِي ثُ َِم ُي ْح ِي‬80) ‫ِين‬ ِِ ‫شف‬ْ ‫فهُوِ ي‬

Yaitu Yang telah menciptakanku kemudian Dia memberiku


petunjuk; Dia lah Yang memberiku makan dan minum… Dan
pabila aku sakit, Dia lah yang menyembuhkanku (Dia lah)
Yang akan mematikanku kemudian menghidupkanku
kembali (Asy Syu’araa':78-81)

Dalam rangkaian ayat di atas, Allah ‘azza wa jalla seakan


mengatakan kepada mereka: “Hai orang-orang bodoh…
tidakkah kalian tahu bahwa ibadah itu memiliki alasan dan
sebab-sebab?”, lalu Ibrahim ‘alaihissalaam menjelaskan
alasan dan sebab-sebab mengapa ia beribadah kepada
Tuhannya… Yaitu (Dzat) yang telah menciptakanku dari
ketiadaan dan memberiku segalanya setelah sebelumnya
aku tak memiliki apa-apa

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


50

Dari-Nya lah turun segala aturan yang memelihara dan


menjaga keselamatanku lewat perintah dan larangan-Nya…
sedangkan Dia sedikitpun tak mengambil manfaat dari itu
semua, akan tetapi manfaatnya kembali kepada kita

Adakah berhala-berhala kalian mampu melakukan salah


satu darinya? Jikalau tidak, maka hanya Allah lah yang
berhak kalian sembah…

Kemudian Dia memberiku hidayah[16], yakni terhadap


segala yang menjadi kebaikanku… Ya, sebab Dia lah
penciptaku maka Dia lah yang paling tahu akan diriku
Semuanya telah tertulis dalam ‘undang-undang’ yang
diturunkan-Nya Karenanya, jadikanlah ia sebagai rujukan
dalam memecahkan setiap masalahmu dan jangan merujuk
ke selain-Nya yang tidak mengetahui apa-apa tentang
dirimu… sungguh tidak layak jika Allah yang menciptakan
namun kalian yang membikin aturan…

Tak sekedar itu, bahkan setiap hal yang menjamin


kelangsungan hidup telah diberikan-Nya… Dia lah Yang
memberiku makan dan minum; dan pabila aku sakit[17],
maka Dia lah yang menyembuhkanku…

Sekarang marilah kita renungi ada apa di balik kata ( ِ‫= هُو‬
‘dia’ ) yang disebutkan berulang kali dalam ayat-ayat ini?
Kata ini dalam bahasa Arab berfungsi sebagai penegas
(taukid) yang tidak muncul begitu saja, akan tetapi sesuai
dengan kadar pengingkaran

Dalam ayat-ayat di atas, Allah ‘azza wa jalla menegaskan


bahwa petunjuk, makan, minum dan kesembuhan
semuanya berasal dari-Nya

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


51

Mengapa demikian? Karena keempat hal tadi kadang kala


diklaim oleh selain-Nya Misalnya ada sebagian orang yang
mengira bahwa kesembuhan itu dari dokter dan rezeki itu
dari orang tua Demikian pula hidayah (petunjuk) yang
sering diklaim oleh tokoh-tokoh pemikiran yang meletakkan
ajaran/sistem tertentu seperti kapitalisme, komunisme,
liberalisme, demokrasi dan lain-lain… masing-masing
mengklaim bahwa sistemnya lah yang paling cocok untuk
mengatur manusia, dan masing-masing mengklaim sebagai
yang paling baik dalam membimbing manusia…

Karenanya, Allah menegaskan bahwa masalah hidayah


semata berasal dari-Nya dan hanya terdapat dalam syariat-
Nya

Mungkin ada yang bertanya: “Kalaulah kesembuhan itu dari


Allah semata, lantas untuk apa kita ke dokter?” Jawabnya
ialah bahwa dokter sekedar mengobati dan mengusahakan
sebab-sebab kesembuhan, sedangkan kesembuhan itu
sendiri adalah dari Allah Buktinya dokter juga bisa sakit,
dan ketika itu dia tidak dapat menyembuhkan dirinya… atau
ia keliru memberi obat hingga si pasien malah celaka!

Demikian pula dengan rezeki makan dan minum, pada


hakikatnya semuanya berasal dari Allah dan orang tua
hanyalah perantara Sebab itu mereka juga merasakan lapar
dan dahaga, dan tidak bisa menghilangkan keduanya
dengan sendirinya… bahkan suatu ketika mereka justeru
mati karena kelaparan atau kehausan

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


52

Akan tetapi ketika masalahnya mutlak milik Allah dan tidak


seorang pun pernah mengklaimnya, kata ( ِ‫‘ = هُو‬dia’ ) tidak
muncul lagi; seperti pada ayat-ayat berikutnya yang
berbicara tentang mematikan, menghidupkan dan
mengampuni [18]

ِِ ‫والَذِي أ ْطم ُِع أنِْ يِغْفِرِ لِي خطِ يئتِي يوْ مِ الد‬
(82) ‫ِين‬

dan (Dia lah) Yang sangat kuharap akan mengampuni


kesalahku pada hari kiamat

(Asy Syu’araa': 82)

Sungguh ajaib ketika Ibrahim ‘alaihissalaam berdoa seperti


itu… tahukah Anda siapa Ibrahim ‘alaihissalaam? Dialah
bapak para nabi yang oleh Allah disifati sebagai pemimpin
yang taat kepada Allah dan tidak pernah menyekutukan-
Nya… dialah hamba yang diuji oleh Allah dengan beberapa
perintah maka dilakukannya dengan sempurna… akan
tetapi, pun demikian beliau masih mengatakan: “(Dia lah)
Yang sangat kuharap akan mengampuni kesalahku pada hari
kiamat…”

Demikianlah Ibrahim ‘alaihissalaam mengajarkan kepada


kita bagaimana beretika di hadapan Allah ‘azza wa jalla
Semua amalnya ia anggap tak berarti… sebab seberapa pun
besarnya, toh ia masih belum memenuhi hak Allah atas
dirinya, karenanya ia tamak terhadap maghfirah Allah

Namun ada yang harus kita perhatikan di sini; kapan


Ibrahim berdoa dan merendah seperti ini di hadapan Allah?

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


53

Jawabnya ialah setelah menyebutkan alasan harusnya


menyembah Allah semata, dan pengakuannya atas segenap
karunia Allah sebelumnya… benar, Dia lah yang
menciptakannya dan menyediakan baginya semua sarana
penunjang kehidupan

Pabila seorang hamba telah mengakui segala karunia Allah,


maka sirnalah kesombongan dirinya dan bersihlah jiwa
raganya… nah, saat itulah ia layak untuk bermunajat dan
memohon kepada Allah Setelah Anda mengakui segala
kenikmatan Allah sebelumnya, baru Allah akan memberikan
kenikmatan berikutnya yang Anda minta

Lain halnya dengan orang yang tidak pernah menyebut


kenikmatan Allah sebelumnya dan tidak mengakuinya…
bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan? Kemudian
dengan alasan apa ia memohon kenikmatan lebih banyak?

Karenanya, Ibrahim yang merupakan bapaknya para nabi


tidak berani meminta kenikmatan apa pun berikutnya
sebelum menyebut kenikmatan-kenikmatan sebelumnya
dan mensyukurinya Persis seperti firman Allah yang
artinya: “Jika kalian bersyukur, maka pasti akan kutambah
(nikmat-Ku) untuk kalian” (Ibrahim: 7)

Sebab itu, sebagian ahli ma’rifah mengatakan: “Bagaimana


pun kesungguhan seorang hamba dalam berdoa, ia tetap
saja berdoa berdasarkan pemahaman dan bahasanya yang
sesuai dengan kadar ilmunya Seandainya ia menyebut
karunia pertama Allah atas dirinya dan mengakui
keutamaan-Nya, kemudian menyerahkan persoalan dirinya
kepada Allah sesuai dengan pilihan-Nya

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


54

Pastilah Allah akan memberinya yang terbaik, karena Allah


akan memberi sesuai dengan kemampuan dan hikmah-
Nya”

Jelas, sebab karunia Allah pasti lebih luas dan pilihan-Nya


pasti lebih baik dari pada pilihan seseorang bagi dirinya
Demikian halnya tatkala Anda hendak ke luar negeri… kalau
Anda tawarkan kepada putera Anda: “Nak, kamu mau oleh-
oleh apa dari luar negeri?” dan ia menjawab: “Aku mau ini
dan itu…”, berarti ia telah membatasi dirinya sendiri Lain
halnya jika ia menyerahkan oleh-oleh itu kepada Anda, pasti
Anda akan membelikan yang lebih baik baginya dari pada
yang ia minta tadi [19]

Kesimpulannya, janganlah memohon kepada Allah sebelum


membersihkan diri dan memurnikan tauhid kepada-Nya,
kemudian akuilah segala kenikmatan yang Ia berikan
kepada Anda, lalu serahkanlah segala persoalan kepada-Nya
dan yakinlah bahwa Dia akan memberikan yang terbaik
untuk Anda

Setelah menghaturkan puji-pujian kepada Allah, barulah


Ibrahim berdoa untuk dirinya…[20]

‫( واجْع ِْل لِي لِسانِ ِصدْقِ فِي‬83) ِ‫ب هبِْ لِي ُح ْك ًما وألْحِ قْنِي بِالصَالِحِ ين‬ ِِ ‫ر‬
ِ‫( وا ْغف ِِْر ِأل ِبي ِإنَهُِ كانِ مِن‬85) ‫ِيم‬
ِِ ‫( واجْعلْنِي مِنِْ ورث ِِة جنَ ِِة النَع‬84) ِ‫ْاآلخِ ِرين‬
‫( إِ َِل‬88) ِ‫( يوْ مِ لِ ينْف ُِع مالِ ولِ بنُون‬87) ِ‫( ولِ تُ ْخ ِزنِي يوْ مِ يُبْعثُون‬86) ِ‫الضَالِين‬
[89-69/‫( ]الشعراء‬89) ِ‫ّللا ِبقلْبِ سلِيم‬ َِ ‫منِْ أتى‬

(Ibrahim berdoa): “Ya Rabbi berilah aku ilmu dan ikutkan


aku ke dalam golongan orang-orang shalih Jadikanlah aku
buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang)
kemudian

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


55

Jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mewarisi Surga


yang penuh kenikmatan… dan ampunilah ayahku,
sesungguhnya ia termasuk orang yang sesat, serta janganlah
Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan; yaitu
pada hari ketika harta dan anak-anak tiada berguna (lagi),
kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati
yang bersih (Asy Syu’araa': 75-89)

Ibrahim ‘alaihissalaam mengatakan: “Ya Rabbi”… yakni:


wahai Dzat yang senantiasa berbuat baik dan mengurusku;
“berilah aku ilmu dan ikutkan aku ke dalam golongan orang-
orang shalih…”

Perhatikan, Ibrahim ‘alaihissalaam tidaklah meminta


sesuatu yang sifatnya duniawi… akan tetapi ia meminta
(‫ ) ُح ْك ًما‬yakni ilmu yang bermanfaat, pemahaman dan
kekuatan untuk mengamalkannya[21] Lalu meminta agar
dirinya ‘diikutkan’ ke dalam golongan orang-orang shalih…
aneh! Bukankah dia seorang Nabi yang levelnya jauh di atas
itu? bahkan bukan cuma Nabi, tapi satu diantara lima ulul
‘azmi[22]… bahkan satu diantara dua kekasih Allah??[23]
Mengapa hanya minta ‘diikutkan’…?

Demikianlah puncak ketawadhu’an yang dicontohkan Nabi


Ibrahim ‘alaihissalaam… betapapun besarnya pengabdian
beliau demi menegakkan tauhid dan sederet ‘gelar
kehormatan’ yang telah beliau raih seperti: abul anbiya’,
khalilullah, ummatan qaanitan lillah, haniefan[24]…dll; toh
beliau tetap menganggap dirinya belum mencapai derajat
keshalihan yang sempurna, makanya minta agar diikutkan
saja kepada mereka…[25]

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


56

Maka Allah pun mengabulkan doanya, Dia berfirman:

ِ‫وإِنَهُِ فِى الْخِ ر ِِة لمِنِ الصَالِحِ ين‬


Sesungguhnya dia (Ibrahim) termasuk orang-orang yang
shalih di akhirat (Al Baqarah: 130)

Subhanallaah… lantas di manakah posisi manusia macam


kita yang berlumuran dosa ini?? Pantaskah kita merasa
telah menjadi orang ‘shalih’? Dengan modal apakah kita
hendak mendapatkan predikat ‘shalih’ tadi?

Kemudian beliau mengatakan: “Jadikanlah aku buah tutur


yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian”, dan
Allah ‘azza wa jalla pun memperkenankan doanya lewat
firman-Nya:

ِ‫وتركْنا عليْ ِِه فِى آلخِ ِرين‬


Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di
kalangan orang-orang yang datang kemudian (Ash
Shaaffaat: 108)

Sebab itulah seluruh umat beragama baik Yahudi, Nasrani


maupun Islam menaruh hormat pada beliau dan
menyanjungnya Bahkan lebih dari itu, beliau menjadi
bapak para nabi, karena setiap nabi yang diutus setelah
beliau adalah dari keturunannya… Bahkan dari sulbi beliau
lah Allah mengutus manusia yang paling dicintai-Nya, yaitu
Rasulullah Muhammad e Beliau bersabda:

‫…أنا دعْو ِةُ أبِي إِبْرا ِهي ِْم‬

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


57

Akulah yang dimaksud dalam doa ayahku Ibrahim


‘alaihissalaam …[26]

Usai meminta kebahagiaan duniawi berupa ilmu dan buah


tutur yang baik, beliau mengharap kebahagiaan ukhrawi
dengan mengatakan: “Jadikanlah aku termasuk orang-orang
yang mewarisi Surga yang penuh kenikmatan…”, artinya
yang menghuni surga tersebut dan kekal di dalamnya
Beliau ‘alaihissalaam menyerupakannya dengan warisan
yang didapat semata-mata karena karunia Allah tanpa jerih
payah dari si ahli waris… dan memang seperti itulah
hakikatnya Betapa pun besar dan banyaknya amalan
seorang hamba, tetaplah terlalu murah untuk ‘membeli’
Jannah… ia takkan mendapatkannya kecuali dengan
‘subsidi’ rahmat yang tak terhingga dari Allah ‘azza wa jalla

Atau, Beliau menyerupakan masuk Jannah dengan


mendapat warisan ialah karena Jannah tadi didapat setelah
amalnya terputus dan pelakunya wafat, sebagaimana ahli
waris menerima warisan sepeninggal yang mewariskan[27],
wallahu a’lam

Kemudian, usai meminta kebahagiaan dunia dan akhirat


bagi dirinya, Ibrahim berdoa untuk orang yang paling dekat
dengan dirinya, yaitu ayah kandungnya… beliau
mengatakan:

dan ampunilah ayahku, sesungguhnya ia termasuk orang


yang sesat,

Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa doa tersebut beliau


ucapkan karena telah berjanji sebelumnya untuk
memohonkan ampun bagi ayahnya, yaitu sebelum beliau

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


58

tahu bahwa sang ayah adalah musuh Allah Akan tetapi


setelah jelas baginya bahwa ayahnya adalah musuh Allah,
beliau pun berlepas diri darinya

Namun ada juga yang menafsirkan bahwa doa ini


mengandung permintaan secara tidak langsung agar
ayahnya diberi hidayah untuk masuk Islam, sebab ampunan
Allah tidak akan diberikan kepada orang musyrik [28]

serta janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka


dibangkitkan;

Yakni janganlah Engkau siksa ayahku, atau


membangkitkannya di hari kiamat bersama orang-orang
sesat[29]… jangan pula Kau menyiksaku karena sedikitnya
amalku, atau memberiku kedudukan lebih rendah
dibanding orang lain, karena itu semua akan menghinakan
dan mempermalukanku di hari Kiamat

Benar, tak seorangpun tahu bagaimana akhir dari segalanya


dan akankah ia lolos dari siksa Allah kelak… karenanya, tak
heran jika Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam berdoa seperti itu
agar menjadi tauladan bagi kita [30]

Kemudian Allah menggambarkan secuil dari kedahsyatan


hari kebangkitan tersebut dengan mengatakan:

(yaitu) hari ketika harta dan anak-anak tiada berguna (lagi),


kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati
yang bersih

Benar, hari itu harta dan keluarga tiada berguna lagi… harta
telah sirna dan keluarga tak lagi bersua, masing-masing
tersibukkan dengan urusan dirinya Anak yang selama ini

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


59

selalu bersama kelak akan lari dari kita, demikian pula orang
tua, saudara, kerabat, suku maupun bangsa

Hari itu hanya satu yang akan bermanfaat bagi kita di


hadapan Allah kelak, yaitu hati yang selamat… yang
mendorong orangnya untuk menginfakkan harta di jalan
Allah dan mendidik diri dan anak-anaknya agar mengesakan
Allah… yang selamat dari segala bentuk kemunafikan dan
kekafiran, yang bersih dari keyakinan sesat dan
kecenderungan terhadap dunia dan syahwatnya, kemudian
membuktikannya dengan amal shalih, kelak itulah yang
akan bermanfaat baginya [31]

Sebelum mengakhiri kisah di atas, marilah kita renungi


beberapa hikmah yang terkandung di dalamnya lewat poin-
poin berikut:

Sebagai seorang Nabi, Ibrahim ‘alaihissalaam tidak kecil hati


melihat kenyataan bahwa ayah dan kaumnya adalah
penyembah berhala… ia memisahkan diri dari kesesatan
kaumnya, dan terang-terangan menyatakan permusuhannya
terhadap sesembahan mereka yang batil tersebut

Demikianlah Al Qur’an mengajarkan kepada orang-orang


yang beriman agar jangan kompromi dalam masalah akidah,
walau terhadap ayah sendiri! Karena ikatan yang pertama
harus dijaga adalah ikatan akidah, dan harta yang paling
berharga adalah keimanan

Seorang mukmin dan da’i sejati mestilah hati-hati dalam


berbicara Ia harus teliti tatkala bicara masalah akidah
terutama yang berkenaan dengan Allah ‘azza wa jalla Hal
ini dicontohkan oleh Ibrahim ‘alaihissalaam ketika

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


60

mengecualikan Allah dari sesembahan kaumnya yang ia


musuhi, sebab boleh jadi ada diantara leluhur kaumnya
yang menyembah Allah semata

Sama halnya ketika menisbatkan penyakit kepada dirinya


dan kesembuhan kepada Allah; demikian pula ketika
menggunakan kata ‘dia’ untuk menegaskan keesaan Allah
dalam masalah hidayah, makan, minum dan penyembuhan

Kita dapat merasakan betapa kuat hubungan antara Ibrahim


dengan Allah tatkala ia menceritakan sifat-sifat Allah tadi
kepada kaumnya… hubungan yang senantiasa erat di setiap
waktu, tempat, hajat dan tujuan… ini merupakan pelajaran
besar bagi orang beriman agar memperkuat hubungannya
dengan Allah ‘azza wa jalla di setiap sisi kehidupan, dan
merasa bahwa Allah senantiasa mengawasinya setiap saat

Ibrahim ‘alaihissalaam mengajarkan kepada kita bagaimana


semestinya bersikap di hadapan Allah Beliau yang telah
menjadi kekasih Allah, Rasul-Nya, Nabi-Nya dan orang yang
demikian mengenal-Nya, ternyata harapan terbesarnya
cuma agar Allah mengampuni segala kesalahannya di hari
kiamat… ia sama sekali tidak pernah menganggap dirinya
suci, namun senantiasa khawatir akan dosa yang tersisa… ia
tak pernah bersandar kepada amal shalihnya, bahkan tidak
memandang bahwa dirinya pantas mendapat apa pun atas
amalan tersebut selain karunia Allah dan rahmat-Nya

Demikianlah puncak ketawadhu’an dan kerendahan diri…


sebuah pelajaran nyata yang amat berharga bagi setiap da’i
yang ‘mengobral’ Surga dan rahmat Allah dalam
dakwahnya… tidak, sama sekali tidak semudah itu! Kita
haruslah jujur terhadap diri sendiri dan tahu diri, agar benar

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


61

ketika bermuamalah dengan Allah… yaitu muamalah yang


dilandasi sikap takwa, sopan santun dan muraqabah[32]

Seorang mukmin sejati hatinya hanya tertuju ke akhirat


meski dunia di tangannya Karenanya, Ibrahim
‘alaihissalaam tidak menyebut nilai-nilai duniawi dalam
doanya, akan tetapi sesuatu yang jauh lebih tinggi… ia
memohon ilmu, keshalihan, buah tutur yang baik hingga
akhir zaman, Surga dan ampunan Allah… sebuah doa yang
muncul dari hati yang demikian mengenal Tuhannya lalu
pasrah dan meninggalkan dunia…[33]

To be continue…

[1] Kisah serupa juga disebutkan dalam surat Al Anbiya’


yang diawali dengan pujian Allah kepada Nabi Ibrahim
‘alaihissalaam lewat firman-Nya: “Sunnguh Kami telah
memberinya hidayah kebenaran sebelumnya, dan Kami
benar-benar mengenalnya” (ayat 51) Ayat ini menyiratkan
bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam memang pantas untuk
mendapatkan karunia tersebut, dan hal ini terbias tatkala ia
berkata kepada ayah dan kaumnya: “Patung-patung apa ini
yang kalian selalu tekun menyembahnya?!” (ayat 52)
Sebuah pertanyaan sindiran yang menggugah kesadaran…
Beliau pura-pura tidak tahu terhadap patung-patung tadi,
padahal beliau faham bahwa mereka amat
mengagungkannya; demikianlah cara beliau melecehkan
sesembahan batil mereka… kemudian Beliau menyatakan
dengan terus terang: “Sungguh, kalian dan nenek moyang
kalian benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (ayat 53) ,
yakni baik pengikut maupun yang diikuti semuanya sesat

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


62

karena sekedar mengikuti hawa nafsu tanpa dalil (lihat: Al


Kasysyaf 3/122-123)

Sedangkan dalam surat Al An’am Allah U berfirman:


“Ingatlah tatkala Ibrahim berkata kepada Azar ayahnya;
Apakah kau hendak menjadikan patung-patung ini sebagai
ilah (sesembahan)? Sungguh jika demikian, aku memandang
kamu dan kaummu berada dalam kesesatan yang nyata”
(ayat 74)

[2] Lihat: Nadhmud Durar, 5/90 dengan perubahan

[3] Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa jumlah berhala


tersebut adalah 72 buah Sedang yang dimaksud dengan
berhala (ِ‫ )صنم‬ialah patung dengan rupa manusia (Lihat:
Hadaaiqur Ruuhi war Raihaan 20/218)

[4] Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits berikut:

ِ ‫ْن عب‬
‫َاس‬ ِِ ‫ ع‬radhiyallaahu ‘anha ‫ دخلِ الَنِبُّي‬:‫ قال‬shallallaahu
ِِ ‫ن اب‬
‘alaihi wasallam ‫البيْتِ فوجدِ ِف ْي ِِه صُوْ رةِ ِإبْرا ِهيْمِ وصُوْ رةِ م ْريمِ فقال ) أ َما‬
ُِ‫ هذا إِبْرا ِهيْ ُِم ُمص َورِ فما له‬،‫ن الملئِكةِ لِ ت ْد ُخ ُِل بيْتِا ً فِيْ ِِه صُوْ رة‬
َِ ‫هُ ِْم فق ِْد س ِمعُوْ ا أ‬
‫س ُِم ( أخرجه البخاري‬ ْ
ِ ‫يسْتق‬

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anha katanya, Nabi


shallallaahu ‘alaihi wasallam suatu ketika masuk ke dalam
Ka’bah lalu mendapati ada gambar Ibrahim dan Maryam di
dalamnya Maka beliau bersabda: “Adapun mereka
(musyrikin), sebenarnya telah mendengar bahwa para
malaikat tidak akan masuk ke rumah yang ada gambar
(makhluk bernyawa)nya (Namun) ini Ibrahim ‘alaihissalaam
digambarkan sedang mengundi nasib (dengan anak panah),
padahal beliau tidak pernah melakukannya” (HR Bukhari

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


63

3351) Dalam hadits muttafaq ‘alaih beliau mengatakan:


“Sesungguhnya para malaikat tidak akan masuk ke rumah
yang ada gambarnya”

(HR Bukhari no 5958 dan Muslim no 2106) Al Munawi


mengatakan bahwa malaikat di sini adalah malaikat
pembawa rahmat dan berkah, atau malaikat yang keliling
untuk menghadiri majelis ilmu dan semisalnya, dan
bukannya malaikat pencatat amal yang selalu hadir atau
malakul maut (Faidhul Qadir 2/499) Sedangkan gambar
yang dimaksud adalah gambar wajah makhluk bernyawa
seperti manusia dan hewan, sebagaimana dijelaskan dalam
hadits-hadits lainnya

[5] Alangkah miripnya kondisi mereka dengan yang


digambarkan oleh hadits berikut;

ِ‫ن أُ َِم حبِيبةِ وأُ َِم سلمةِ ذكرتا كنِيس ِةً رأيْنها بِالْحبش ِِة – فِيها تصا ِوي ُر‬ َِ ‫– عنِْ عائِشةِ أ‬
‫ّللا‬
َِِ ‫سو ِِل‬ ُ ‫ِر‬
‫ل‬ shallallaahu ‘alaihi wasallam ‫ّللا‬
ِ ِ
‫ل‬
َِ ُ ُ ‫و‬ ‫س‬ ‫ر‬ ‫ال‬
ِ ‫ق‬ ‫ف‬
shallallaahu ‘alaihi wasallam « ‫الر ُج ُِل‬ َ ‫ِيه ُِم‬ ِ ‫ن أُولئِكِِ إِذا كانِ ف‬ َِ ِ‫إ‬
ُ ْ
‫ح فماتِ بنوْ ا على قب ِْر ِِه مس ِْجدًا وص َو ُروا فِي ِِه تِلكِ الصُّورِ أولئِكِِ شِرا ُِر‬ ُِ ‫الصَا ِل‬
‫ّللا يوْ مِ الْقِيام ِِة « متفق عليه‬ َِِ ِ‫ق ِعنْد‬
ِِ ْ‫الْخل‬

Dari Aisyah radhiyallaahu ‘anha, bahwa Ummu Habibah dan


Ummu Salamah pernah menceritakan keindahan gereja
yang mereka lihat di Habasyah (Ethiopia) kepada Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam, yang di dalamnya ada gambar-
gambar Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Mereka itu, kalau ada orang shalih diantara
mereka yang wafat, mereka bangun mesjid (tempat ibadah)
di atas kuburnya dan menghiasinya dengan gambar-gambar
Mereka itulah sejahat-jahat manusia menurut Allah di hari

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


64

kiamat!” (HR Bukhari no 427, 434, 1341 & 3873; Muslim no


528)

Dalam syarahnya, Al Hafizh Ibnu Rajab Al Hanbaly


mengatakan:

‫فتصوير الصور على مثل صور األنبياء والصالحين ؛ للتبرك بها والستشفاع بها‬
‫ وهو الذي أخبر النبي‬، ‫ وهو من جنس عبادة األوثان‬، ‫( محرم في دين اِلسلم‬
‫للا يوم القيامة ( وتصوير الصور للتآنس برؤيتها أو‬
ِ ‫أن أهله شرار الخلق عند‬
‫ وهو من الكبائر وفاعله من أشد الناس عذابا يوم‬، ‫للتنزه بذلك والتلهي محرم‬
‫للا تعالى‬
ِ ‫ و‬، ‫للا التي ل يقدر على فعلها غيره‬
ِ ‫ فإنه ظالم ممثل بأفعال‬، ‫( القيامة‬
‫ [ ل في ذاته ول في صفاته ول في أفعاله‬11 : ‫يءِ ) ] الشورى‬ ْ ‫ليْسِ ك ِمثْ ِل ِِه ش‬
‫سبحانه وتعالى‬

Menggambar (wajah) para Nabi dan orang-orang shalih


dalam rangka tabarruk (cari berkah) atau mengharapkan
syafaat adalah haram menurut ajaran Islam Perbuatan ini
termasuk praktik penyembahan terhadap berhala, dan
inilah yang dimaksud oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
dalam sabdanya: “Mereka itu sejahat-jahat manusia
menurut Allah di hari kiamat” Sedangkan menggambar
(makhluk bernyawa) untuk merasakan ketentraman saat
melihatnya, atau sekedar hiburan dan main-main juga
diharamkan, bahkan termasuk dosa besar dan pelakunya
termasuk orang yang paling keras siksanya di hari kiamat,
karena ia telah berlaku zhalim dan hendak menyerupai
perbuatan Allah yang tak ada seorang pun mampu
melakukannya selain Dia Karena Dia lah yang “Tiada
sesuatupun yang menyerupai-Nya…” (Asy-Syuro: 11); baik
dalam hal dzat, sifat-sifat, maupun perbuatan-Nya (Fathul
Bari Syarh Shahih Al Bukhari 2/405)

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


65

[6] Meski kenyataanya ada juga sebagian orang yang


menuhankan orang yang dianggap wali tersebut! Ia sujud di
hadapannya dan mengusap-usap tubuh si ‘wali’ demi
mengais berkah… tapi yang kami maksudkan ialah
fenomena lain yang lebih marak di masyarakat kita

[7] Yaitu peringatan tahunan atas wafatnya seorang habib,


ulama, kyai dan semisalnya yang dilakukan di area
pemakaman orang yang bersangkutan

[8] Seperti tour ziarah ke kuburan Wali Songo

[9] Yaitu kebiasaan orang Jawa yang mengunjungi makam


orang tua di awal bulan Ramadhan

[10] Bahkan ironisnya, sebagian dari mereka yang


melestarikan praktik-praktik tadi mengaku sebagai
keturunan Ali bin Abi Thalib (baca: ahlul bait)… mereka lupa
atau masa bodoh terhadap wasiat leluhur mereka sendiri,
yaitu Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anha…

‫ن أبِى طالِبِ أ ِلَ أبْعثُكِ على ما‬ ُِ ْ‫ِى ب‬


ُِّ ‫ِى قالِ قالِ لِى عل‬
ِِ ‫َاج األسد‬ِِ ‫عنِْ أبِى الْهي‬
ُ‫ أنِْ لِ تدع تِ ْمثا ِلً إِ ِلَ طمسْت ِه‬-‫للا عليه وسلم‬ ِ ‫صلى‬- ‫ّللا‬ َِِ ‫بعثنِى عليْ ِِه رسُو ُِل‬
ُِ‫ولِ قب ًْرا ُمش ِْرفًا إِ ِلَ س َويْته‬

Dari Abul Hayyaj al Asady katanya; Ali bin Abi Thalib pernah
berkata kepadaku: “Maukah kamu kuutus untuk
melaksanakan misi yang pernah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam perintahkan atasku?” (yaitu): “Jangan kau
biarkan patung apapun melainkan kau hapus (hancurkan),
dan jangan ada sebuah kubur pun yang ditinggikan
melainkan kau ratakan” (HR Muslim 3/61 nomor 2287)

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


66

[11] Dalam surat Al Anbiya’, jawabannya mirip dengan ini


Mereka mengatakan: “Kami mendapati nenek moyang kami
menyembah patung-patung ini” (ayat 53) Duh, alangkah
jeleknya taklid buta yang mereka lakukan… alangkah
konyolnya orang yang mengikuti pendapat tanpa dalil…

Alangkah hebatnya tipu daya syaithan terhadap ahli taklid


yang pelan-pelan menghasung mereka sampai mengikuti
‘leluhur’ dalam menyembah berhala… cukuplah celaan bagi
ahli taklid karena penyembah berhala itu adalah manusia
tipe mereka!! (lihat: Al Kasysyaf 3/122)

[12] Maksudnya sesembahan tersebut akan berbalik


menjadi penentang orang yang menyembahnya di hari
kiamat kelak, laksana musuh Sebagaimana firman Allah
yang artinya: “…Sungguh tidaklah demikian, kelak mereka
(sesembahan tersebut) akan mengingkari perbuatan orang
yang menyembahnya dan berbalik menjadi lawan”
(Maryam: 82)

[13] Lihat: Tafsir Al Kasysyaf 3/324 oleh Az Zamakhsyari

[14] Lihat: Tafsir Al Baghawy 6/117

[15] Sedangkan dalam surat Al Anbiya’ (ayat 54-55) Beliau


‘alaihissalaam mengatakan:

{… ِ‫ق أ ِْم أنْتِ مِن‬


ِِ ‫لق ِْد كُنْتُ ِْم أنْتُ ِْم وآبا ُؤكُ ِْم فِي ضللِ ُم ِبينِ @ قِالُوا أ ِجئْتنا ِبالْح‬
َ
ِ‫}الل ِعبِين‬

Kalian dan nenek moyang kalian benar-benar dalam


kesesatan yang nyata (jika demikian) Mereka menjawab:
“Apakah engkau datang kepada kami membawa kebenaran,
ataukah engkau hanya main-main?”

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


67

Maksudnya, begitu mereka melihat pelecehan Ibrahim


terhadap sesembahan mereka dan vonisnya atas mereka
sebagai orang-orang sesat, mereka yakin bahwa Ibrahim
memang serius dalam hal ini dan sikapnya sangat tegas tak
kenal kompromi…

Karenanya mereka pun minta bukti akan kebenarannya


Namun mereka segera meralatnya dan menganggapnya
sekedar main-main seperti biasa, alias tidak bermaksud
menunjukkan kebenaran

Memang, kisah ini mengandung pelajaran bahwa pabila


para da’i dan ahli ibadah memandang ahli dunia sebagai
orang yang main-main dan dunia sebagai tempat bermain;
demikian pula ahli dunia memandang para da’i dan ahli
ibadah sebagai orang yang main-main, dan agama mereka
sekedar permainan Namun Ibrahim langsung menyanggah
ucapan mereka dan beralih dari memvonis mereka dengan
kesesatan kepada penjelasan tentang Tuhan yang
sebenarnya, tanpa mempedulikan taklid mereka
sebelumnya Beliau mengatakan: “Bukan begitu -yakni aku
sungguh membawa kebenaran, bukan main-main- namun
Tuhan kalian (yang sesungguhnya) ialah Tuhan langit dan
bumi yang telah menciptakan keduanya, -kemudian beliau
menafikan tuduhan main-main tersebut dengan
mengatakan:- dan aku menjadi saksi akan hal itu” (ayat 56)
(lihat: hadaaiqur ruuhi war raihan, 18/122 dengan
penyesuaian)

[16] Adapun dalam surat Az Zukhruf (ayat 26-27) Beliau


‘alaihissalaam mengatakan :

ِِ ‫}إِنَنِي براءِ ِم َما تعْبُدُونِ إِ َِل الَذِي فطرنِي ف ِإنَ ِهُ سي ْهد‬
{ …‫ِين‬

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


68

Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian


sembah, kecuali Dia yang telah menciptakanku maka Dia
yang akan memberiku hidayah”

Syaikh Muhammad Amien Al Harary mengatakan bahwa


setelah merenungkan dengan seksama ayat ini dengan yang
di surat Asy Syu’araa’, beliau menyimpulkan bahwa
penambahan huruf sin (‫ = س‬akan) dalam ayat ini ialah
sebagai ta’kid (penegas) karena Ibrahim tengah menyatakan
sikap bara’ (berlepas diri)nya terhadap penyembahan
berhala, dan hal ini sangat membutuhkan penegasan
Sedangkan yang di Asy Syu’araa’ beliau sekedar
menjelaskan permusuhannya terhadap berhala hingga tidak
perlu menggunakan ta’kid, wallahu a’lam (lihat: Hadaaiqur
ruuhi warraihaan, 26/236)

[17] Beliau ‘alaihissalaam sengaja menisbatkan sakit pada


dirinya dan tidak mengatakan: “Pabila Allah
menyakitkanku” Ini mengisyaratkan bahwa meski penyakit
juga karena takdir Allah, akan tetapi tidak seyogyanya
sesuatu yang jelek disandarkan kepada Allah

[18] Lihat: Tafsir Asy Sya’rawi

[19] Idem

[20] Ini merupakan teladan bagi kita agar mendahulukan


dzikir (puji-pujian) sebelum berdoa Hal ini sangat
berpengaruh bagi terkabulnya doa tersebut, apalagi jika
doanya menyangkut keselamatan di hari pembalasan…
sesuatu yang besar dan amat penting bukan? Sehingga
otomatis pengaruhnya amat besar jika dikabulkan
Karenanya Beliau memohon dengan bahasa yang demikian

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


69

mengesankan… (lihat: Nadhmud durar 5/370 oleh Al Biqa-


‘iy)

[21] Ada juga yang menafsirkannya dengan kenabian atau


hikmah (kebijaksanaan) dalam mengatur manusia (lihat:
Tafsir Al Qurthuby 13/111)

[22] Yaitu rasul-rasul yang dinilai memiliki ketabahan ekstra


dan semangat luar biasa dalam berdakwah, yaitu: Nabi Nuh
‘alaihissalaam, Ibrahim ‘alaihissalaam, Musa ‘alaihissalaam,
‘Isa ‘alaihissalaam dan Muhammad shallallaahu ‘alaihi
wasallam Lihat ayat terakhir dari surat Al Ahqaf

[23] Yang pertama ialah Rasulullah Muhammad shallallaahu


‘alaihi wasallam, beliaulah manusia yang paling dicintai oleh
Allah U dan paling mulia Berikutnya ialah Nabi Ibrahim
‘alaihissalaam dan keduanya dijuluki khalilullah (kekasih
Allah)

[24] Artinya: Bapak para nabi, Kekasih Allah, Pemimpin


yang taat dan Orang yang lurus akidahnya

[25] Sebagian mufassirin mengatakan bahwa beliau


(Ibrahim ‘alaihissalaam) memohon ilmu baru minta
diikutkan kepada orang-orang shalih ialah karena yang
pertama merupakan kekuatan teoritis, sedangkan yang
kedua adalah praktiknya (amal) Ilmu haruslah ada terlebih
dahulu tapi tidak harus melahirkan amal, karenanya beliau
minta diberi kekuatan untuk beramal; akan tapi amal tidak
mungkin ada sebelum adanya ilmu Dari sini jelaslah bahwa
menuntut ilmu merupakan syarat utama menjadi orang
shalih

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


70

[26] HR Al Hakim dan yang lainnya, beliau mengatakan


bahwa hadits ini sanadnya shahih Hal ini juga disepakati
oleh Adz Dzahabi dan Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash
Shahihah 4/59 nomor 1545

Kata ‘ayah’ dalam konteks ini bukan berarti ayah kandung


akan tetapi kakek yang paling atas

[27] Lihat: Hadaaiqur Ruuhi war Raihaan, 20/246

[28] Lihat: Al Lubab fie ‘Ulumil Kitab 15/47-48

[29] Imam Al Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah


radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda:

ِ‫عن أبي هريرة عن النبي قال ) يلْقى إِبْرا ِهيْ ُِم أباهُِ آزرِ يوْ مِ الْقِيام ِِة وعلى و ْج ِه‬
ُِ‫ أل ِْم أقُ ِْل لكِ لِ تع ِْصنِي؟! فيقُو ُِل أبُوه‬:‫آزرِ قتْرةِ وغبْرةِ فيقُو ُِل لهُِ ِإبْراهِي ُِم‬:
‫ب إِنَكِ وعدْتنِي أنِْ لِ تُ ْخ ِزينِي‬ ِِ ‫ يا ر‬:‫ فيقُو ُِل إِبْراهِي ُِم‬،‫ْصيك‬ ِ ‫فالْيوْ مِ لِ أع‬
ُِ‫ ِإنِي ح َر ْمت‬:ِ‫للا تعالى‬ ُِ ‫ي خِ ْزيِ أ ْخزى مِنِْ أ ِبي األبْع ِِد ؟ فيقُو ُِل‬ ُِّ ‫يوْ مِ ُيبْعثُونِ فأ‬
ِ‫ يا إِبْراهِي ُِم ما ت ْحتِ ِرجْليْكِ ؟ فينْظُ ُِر ف ِإذا هُوِ بِ ِذيْخ‬:‫ ثُ َِم يُقا ُِل‬،‫الْجنَةِ علِى الْكاف ِِريْن‬
(1223 ‫ ص‬/ 3 ‫ار ( صحيح البخاري – )ج‬ ِِ َ‫ُمتل ِطخِ فيُؤْخ ِذُ بِقوائِ ِم ِِه فيُلْقى فِي الن‬

Di hari kiamat, Ibrahim ‘alaihissalaam akan bertemu dengan


bapaknya Azar, yang mukanya hitam legam berdebu
Ibrahim pun berkata kepadanya:

Bukankah sudah kubilang kau jangan mendurhakaiku?!”

Baiklah, hari ini aku takkan mendurhakaimu” jawab Azar

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


71

Maka Ibrahim ‘alaihissalaam memohon kepada Allah: “Ya


Rabbi, bukankah Engkau pernah berjanji untuk tidak
menghinakanku di hari Kiamat…

Lantas kehinaan apa yang lebih besar dari pada melihat


ayahku yang demikian jauh (dari rahmat-Mu)??”

Maka Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku telah


mengharamkan Surga atas orang-orang kafir” Lalu
dikatakan kepadanya: “Hai Ibrahim, lihatlah apa yang ada di
bawahmu…”, Ibrahim pun melongok dan tiba-tiba ia melihat
ayahnya berubah menjadi sejenis anjing liar berbulu lebat
yang berlumuran darah… lalu keempat kakinya dipegang
dan dicampakkan ke dalam Neraka” (Shahih Bukhari
3/1223)

[30] Lihat Tafsir Al Alusi (Ruuhul Ma’ani) 19/100

[31] Idem, 19/101 Yang bercetak tebal adalah penafsiran


Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, Ibnu Sirin dan lainnya; dan
inilah yang dirajihkan oleh Al Alusi

[32] Yaitu rasa senantiasa diawasi Allah

[33] Lihat: Mawaqif Imaniah min Qisshah al Khalil Ibrahim


‘alaihissalaam hal 12-14, dengan penyesuaian

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


72

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)


73

Bersama Sang Kekasih (Ibrahim ‘alaihissalaam)

Anda mungkin juga menyukai