Anda di halaman 1dari 16

UROSEPSIS

1. Pengertian
Urosepsis adalah infeksi sistemik yang berasal dari fokus infeksi di traktus
urinarius sehingga menyebabkan bakteremia dan syok septik. Insiden urosepsis
20-30 % dari seluruh kejadian septikemia dan lebih sering berasal dari komplikasi
infeksi di traktus urinarius.
Tabel 1. Kelainan struktur dan fungsi traktus urinarius yang berhubungan dengan
sepsis
Obstruksi Kongenital: striktur uretra, fimosis, ureterokel,
policystic kidney disease
Didapat: calkulus, hipertrofi prostat, tumor traktus
urinarius, trauma, kehamilan, radioterapi
Instrumentasi Kateter ureter, stent ureter, nephrostomy tube,
prosedur urologik.
Impaired voiding Neurogenic bladder, sistokel, refluk vesikoureteral
Abnormalitas metabolik Nefrokalsinosis, diabetes, azotemia
Imunodefisiensi Pasien dengan obat-obatan imunosupresif,
neutropenia.
Mortalitasnya mencapai 20-49 % bila disertai dengan syok. Oleh karena itu
pertolongan harus cepat dan adekuat untuk mencegah kegagalan organ dan
komplikasi lebih lanjut.

2. Patofisiologi
Patogenesa dari gejala klinis urosepsis adalah akibat dari masuknya
endotoksin, suatu komponen lipopolisakarida dari dinding sel bakteri yang masuk
ke dalam sirkulasi darah. Lipopolisakarida ini terdiri dari komponen lipid yang
akan menyebabkan:
a. Aktivasi sel-sel makrofag atau monosit sehingga menghasilkan beberapa
sitokin, antara lain tumor necrosis factor alfa (TNF α) dan interlaukin I (IL I).
Sitokin inilah yang memacu reaksi berantai yang akhirnya dapat
menimbulkan sepsis dan jika tidak segera dikendalikan akan mengarah pada
sepsis berat, syok sepsis, dan akhirnya mengakibatkan disfungsi multiorgan
atau multi organs dysfunction syndrome (MODS).
b. Rangsangan terhadap sistem komplemen C3a dan C5a menyebabkan
terjadinya agregasi trombosit dan produksi radikal bebas, serta mengaktifkan
faktor-faktor koagulasi.
c. Perubahan dalam metabolisme karbohidrat, lemak, protein, dan oksigen.
Karena terdapatnya resistensi sel terhadap insulin maka glukosa dalam darah
tidak dapat masuk ke dalam jaringan sehingga untuk memenuhi kebutuhan sel
akan glukosa terjadi proses glukoneogenesis yang bahannya berasal dari asam
lemak dan asam amino yang dihasilkan dari katabolisme lemak berupa
lipolisis dan katabolisme protein.

3. Etiologi
Karena merupakan penyebaran infeksi, maka kuman penyebabnya sama
dengan kuman penyebab infeksi primer di traktus urinarius yaitu golongan kuman
coliform gram negatif seperti Eschericia coli (50%), Proteus spp (15%),
Klebsiella dan Enterobacter (15%), dan Pseudomonas aeruginosa (5%). Bakteri
gram positif juga terlibat tetapi frekuensinya lebih kecil yaitu sekitar 15%.
Penelitian The European Study Group on Nosocomial Infections (ESGNI-004
study) dengan membandingkan antara pasien yang menggunakan kateter dan non-
kateter ditemukan bahwa E.coli sebanyak 30,6% pada pasien dengan kateter dan
40,5% pada non-kateter, Candida spp 12,9% pada pasien dengan kateter dan 6,6%
pada non-kateter, P.aeruginosa 8,2% pada pasien dengan kateter dan 4,1% pada
non-kateter.
Pasien yang beresiko tinggi urosepsis adalah pasien berusia lanjut, diabetes
dan immunosupresif seperti penerima transplantasi, pasien dengan AIDS, pasien
yang menerima obat-obatan antikanker dan imunosupresan.
Sejumlah faktor meningkatkan risiko mengembangkan urosepsis. Tidak
semua orang dengan faktor risiko akan mendapatkan urosepsis. Faktor risiko
untuk urosepsis meliputi:
 Tingkat lanjut usia
 Sistem kekebalan tubuh berkompromi karena kondisi seperti HIV dan AIDS,
minum kortikosteroid, transplantasi organ, atau kanker dan pengobatan
kanker.
 Diabetes
 Tinja inkontinensia (ketidakmampuan untuk mengontrol buang air besar)
 Jenis kelamin perempuan
 Imobilitas
 Pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap atau retensi urin
 Penyakit ginjal polikistik
 Kehamilan
 Operasi atau prosedur yang melibatkan saluran kemih
 Obstruksi saluran kemih oleh batu, pembesaran prostat, penyebab uretra
jaringan parut, atau lainnya.
 Penggunaan kateter untuk mengalirkan urin.

4. Tanda dan Gejala


Urosepsis banyak gejala yang sama seperti jenis sepsis lain , termasuk detak
jantung yang cepat, napas cepat, denyut nadi lemah, berkeringat banyak,
kecemasan yang tidak biasa, perubahan status mental atau tingkat kesadaran, dan
penurunan atau output urin absen saham. Sebelum perkembangan gejala ini,
mungkin mengalami gejala infeksi saluran kemih.
Gejala umum dari infeksi saluran kemih. Gejala infeksi saluran kemih
bervariasi dari individu ke individu. Gejala infeksi saluran kemih yang umum
termasuk:
 Nyeri perut, panggul atau punggung atau kram
 Urin berdarah atau merah muda (hematuria)
 Sulit atau buang air kecil sakit, atau rasa panas saat kencing (disuria)
 Demam dan menggigil
 Urin yang berbau busuk
 Sering buang air kecil
 Nyeri selama hubungan seksual
 Mendesak kebutuhan untuk buang air kecil
Gejala infeksi saluran kemih tanpa komplikasi, termasuk rasa panas saat
buang air kecil, kebutuhan untuk pergi ke kamar mandi sering atau mendesak,
urin keruh, dan ketidaknyamanan perut panggul atau lebih rendah. Demam
mungkin ada. Jika pielonefritis (infeksi ginjal) hadir, punggung atau nyeri perut,
mual dan muntah, demam tinggi, menggigil, berkeringat di malam hari, dan
kelelahan juga dapat terjadi. Gejala-gejala tersebut bisa mendahului
pengembangan urosepsis.
Sepsis yang telah lanjut memberikan gejala atau tanda-tanda berupa gangguan
beberapa fungsi organ tubuh, antara lain gangguan pada fungsi kardiovaskuler,
ginjal, pencernaan, pernapasan dan susunan saraf pusat.
Kriteria urosepsis:
Kriteria I : Terbukti bakteremia atau dicurigai sepsis dari keadaan klinik.
Kriteria II : Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS)
 Suhu tubuh ≥38o C atau ≤ 36o C
 Takikardia ≥90 detak per menit
 Tacypnea ≥20 nafas per menit
 Alkalosis respiratorik PaCO2 ≤ 32 mm Hg
 Leukosit ≥ 12.000 /mm3 atau ≤ 4000 /mm3
Kriteria III : Multiple Organ dysfunction syndrome (MODS)
 Jantung, sirkulasi
tekanan darah sistolik arteri ≤ 99 mm Hg atau mean arterial preasure ≤ 70 mm
Hg, selama ≥1 jam walaupun carian adekuat atau resusitasi agen vasopressure
diberikan.
 Ginjal
Produksi urin < 0,5 Ml/kgBB/ jam wlalupun resusitasi cairan adekuat.
 Paru-paru
Tekanan parsial O2 arterial (PaO2) ≤75 mm Hg (udara ruangan) atau
Konsentrasi inspirasi O2 (FiO2) ≤250 (pernapasan bantuan)
 Platelet
Thrombosit < 80.000/ mm3 atau berkurang ≥ 50 % dalam 3 hari
 Asidosis metabolic
Ph darah ≤7,30 atau plasma laktat ≥ 1,5 kali normal.
 Encephalopathy
Somnolen, kebingungan, bergejolak, coma.

5. Manifestasi Klinis
Diagnosis dari urosepsis dibuat berdasarkan dari anamnesa, pemeriksaan
fisik, laboratorium dan rontgenologik. Dari anamnesa, data yang positif adalah
adanya demam, badan panas dan menggigil dengan didahului atau disertai gejala
dan tanda obstruksi aliran urin seperti nyeri pinggang, kolik dan atau benjolan
diperut atau pinggang. Hanya 1/3 pasien yang mengeluh demam dan menggigil
dengan hipotensi. Keluhan febris yang terjadi setelah gejala infeksi saluran
kencing bagian bawah yaitu polakisuria dan disuria juga sangat mencurigakan
terjadinya urosepsis. Demikian pula febris yang menyertai suatu manipulasi
urologik.
Pada pemeriksaan fisik yang ditemukan dapat sangat bervariasi berupa
takipneu, takikardi, dan demam, kemerahan dengan gangguan status mental. Pada
keadaan yang dini, keadaan umum penderita masih baik, tekanan darah masih
normal, nadi biasanya meningkat dan temperatur biasanya meningkat antara 38-
400 C.

6. Penatalaksanaan dan Terapi


Penanganan penderita urosepsis harus cepat dan adekuat. Pada prinsipnya
penanganan terdiri dari:
1. Penanganan gawat (syok) ; resusitasi ABC
2. Pemberian antibiotika
3. Resusitasi cairan dan elektrolit
4. Tindakan definitif (penyebab urologik)
Pemberian antibiotik sebagai penanganan infeksi ditujukan unuk eradikasi
kuman penyebab infeksi serta menghilangkan sumber infeksi. Pemberian
antibiotik harus cepat dan efektif sehingga antibiotika yang diberikan adalah yang
berspektrum luas dan mencakup semua kuman yang sering menyebabkan
urosepsis yaitu golongan aminoglikosida (gentamisin, tobramisin atau amikasin)
golongan ampicilin yang dikombinasi dengan asam klavulanat atau sulbaktam,
golongan sefalosforin generasi ke III atau golongan florokuinolon. Sefalosforin
generasi ke-3 dianjurkan diberikan 2 gr dengan interval 6-8 jam dan untuk
golongan cefoperazone dan ceftriaxone dengan interval 12 jam. Penelitian oleh
Naber et al, membuktikan bahwa pemberian antibiotik injeksi golongan
florokuinolon dan piperacillin/tazobaktam direkomendasikan untuk terapi
urosepsis. Penelitian selanjutnya oleh Concia dan Azzini terhadap levofloksasin
membuktikan bahwa levofloksasin sebagai terapi tambahan memiliki efek pada
ekskresi renal dan tersedia dalam bentuk injeksi intravena dan oral.
Resusitasi cairan, elektrolit dan asam basa adalah mengembalikan keadaan
tersebut menjadi normal. Urosepsis adalah penyakit yang cukup berat sehingga
biasanya “oral intake” menurun. Keadaan demam/febris juga memerlukan cairan
ekstra. Kebutuhan cairan dan terapinya dapat dipantau dari tekanan darah, tekanan
vena sentral dan produksi urine. Bila penderita dengan hipotensi atau syok dan
diberikan larutan kristaloid dengan kecepatan 15-20 ml/menit.
Bila terdapat gangguan elektrolit juga harus dikoreksi. Bila K serum 7 meq/L
atau lebih perlu dilakukan hemodialisa. Hemodialisa juga diperlukan bila terdapat
Kreatinin serum > 10 mg%, BUN > 100 mg% atau terdapat edema paru. Drainase
yang segera perlu dikerjakan bila terdapat timbunan nanah misalnya pyonefrosis
atau hidronefrosis berat (derajat IV). Pyonefrosis dan hidronefrosis yang berat
menyebabkan terjadinya iskemia sehingga mengurangi penetrasi antibiotika.
Drainase dapat dikerjakan secara perkutan atau dengan operasi biasa (lumbotomi).
Penderita yang telah melewati masa kritis dari septikemia maka harus secepatnya
dilakukan tindakan definitif untuk kelainan urologi primernya.
7. Concept Map
8. Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Identitas
Cantumkan biodata klien secara lengkap yang mencakup umur, jenis
kelamin, suku bangsa.
2. Keluhan utama
Klien datang ke Rumah Sakit dengan keluhan menggigil, demam, nyeri
pinggang, kolik dan atau benjolan diperut atau pinggang, polisuria, disuria
dan penurunan kesadaran
3. Riwayat penyakit
Faktor predisposisi timbulnya terdiri dari infeksi bakteri non spesifik
(misalnya E coli, Pseudomonas, Proteus, Klebsiella), PMS (Penyakit
Menular Seksual), virus (misalnya Mumps), TB (Tuberculosis), penyakit
infeksi lain (seperti Brucellosis, Coccidioidomycosis, Blastomycosis,
Cytomegalovirus, Candidiasis, CMV pada HIV), obstruksi (seperti BPH,
malformasi urogenital), vaskulitis (seperti Henoch-Schönlein purpura pada
anak-anak), penggunaan Amiodarone dosis tinggi, prostatitis, tindakan
pembedahan seperti prostatektomi, kateterisasi dan instrumentasi, dan
blood borne infection.
4. Data fokus :
Data subjektif :
- Klien mengeluh demam dan menggigil.
- Klien mengatakan setiap berkemih dirasakan seperti ada rasa terbakar
dan perih.
- Klien mengatakan frekuensi berkemihnya meningkat
- Klien mengeluh nyeri ketika berkemih
- Klien mengeluh nyeri pada bagian pinggang dan terdapat benjolan di
perut atau pinggang
- Klien mengeluh nyeri saat melakukan hubungan seksual
- Klien mengungkapkan perubahan dalam respon seksual
- Klien mengungkapkan rendahnya batas kemampuan karena penyakit
- Klien mengatakan tidak mengetahui tentang penyakitnya
Data objektif :
- Klien tampak meringis kesakitan
- Klien tampak gelisah
- Skala nyeri klien 1-10
- Suhu tubuh klien > 38 oC
- Denyut nadi klien > 100 x/menit
- Klien tampak menggigil
- Kulit klien teraba hangat
- Frekuensi nafas > 20x/menit
- Terjadi penurunan status mental
5. Pemeriksaan diagnostik
 Pemeriksaan laboratorium yang mendukung diagnosa urosepsis adalah
adanya lekositosis dengan hitung deferensial ke kiri, lekosituria dan
bakteriuria.
 Untuk menegakkan diagnosis urosepsis harus dibuktikan bahwa
bakteri yang berada dalam darah (kultur darah) sama dengan bakteri
yang ada dalam saluran kemih (kultur urin).
 Kultur urin disertai dengan test kepekaan antibiotika sangat penting
untuk menentukan jenis antibiotika yang diberikan.
 Pemeriksaan rontgen yang sederhana yang dapat dikerjakan adalah
foto polos abdomen. Pemeriksaan ini membantu menunjukkan adanya
kalsifikasi, perubahan posisi dan ukuran dari batu saluran kemih yang
mungkin merupakan fokus infeksi. Yang diperhatikan pada hasil foto
adalah adanya bayangan radio opak sepanjang traktus urinarius,
kontur ginjal dan bayangan/garis batas muskulus psoas.
 Pemeriksaan pyelografi intravena (IVP) dapat memberikan data yang
penting dari kaliks, ureter, dan pelvis yang penting untuk menentukan
diagnosis adanya refluk nefropati dan nekrosis papilar. Bila
pemeriksaan IVP tidak dapat dikerjakan karena kreatinin serum terlalu
meningkat, maka pemeriksaan ultrasonografi akan sangat membantu
menentukan adanya obstruksi dan juga dapat untuk membedakan
antara hidro dan pyelonefrosis.
 Pemeriksaan CT scan dan MRI.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermia berhubungan dengan kerusakan kontrol suhu sekunder akibat
epididimitis.
2. Nyeri akut berhubungan dengan adanya pus saat berkemih.
3. Infeksi
4. Disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan fungsi tubuh akibat
proses penyakit akibat epididimitis.
5. Kurang pengetahuan mengenai konsep penyakit dan pengobatan
berhubungan dengan kurang terpapar informasi .
C. Intervensi
1) Hipertermia berhubungan dengan kerusakan kontrol suhu sekunder akibat
epididimitis.
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan suhu
tubuh pasien kembali normal dengan kriteria hasil :
 Suhu tubuh klien dalam rentang normal (36,5 oC-37,5 oC)
 Klie tidak tampak menggigil
 Klien melaporkan panas badannya turun
 Tidak tampak pembengkakan pada skrotum klien
 Tidak terdapat kemerahan di kulit sekitar skrotum klien
 Nadi klien dalam batas normal (60-100 x/menit)
Intervensi:
a. Monitor suhu tubuh, tekanan darah, nadi, dan respirasi secara berkala
(minimal tiap 2 jam).
Suhu diatas 37,5oC menunjukkan proses penyakit infeksius akut.
Menggigil sering mendahului puncak suhu.
b. Pantau suhu lingkungan, batasi penggunaan selimut.
Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan
suhu mendekati normal.
c. Berikan kompres hangat.
Membuat vasodilatasi pembuluh darah sehingga dapat membantu
mengurangi demam.
d. Anjurkan klien untuk mempertahankan asupan cairan adekuat.
Untuk mencegah dehidrasi akibat penguapan cairan karena suhu tubuh
yang tinggi.
e. Berikan antipiretik dan antibiotic sesuai indikasi.
Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada
hipotalamus.

2) Nyeri akut berhubungan dengan adanya pus saat berkemih.


Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan nyeri
dapat terkontrol dengan kriteria hasil :
 Klien melaporkan nyeri berkurang atau terkontrol
 Klien tidak tampak meringis
 Klien tidak tampak gelisah
 Klien melaporkan skala nyeri berkurang (skala nyeri 1-3), hilang
(skala nyeri 0), atau dapat dikontrol
 Nadi klien dalam rentang normal (60-100 x/menit).
Intervensi:
a. Kaji karakteristik nyeri meliputi lokasi, waktu, frekuensi, kualitas,
faktor pencetus, dan intensitas nyeri
Untuk mengetahui tingkat rasa nyeri sehingga dapat menentukan jenis
tindakannya.
b. Kaji faktor-faktor yang dapat memperburuk nyeri klien.
Dengan mengetahui faktor-faktor yang dapat memperburuk nyeri
klien, dapat mencegah terjadinya faktor pencetus dan menentukan
intervensi apabila nyeri terjadi.
c. Eliminasi faktor-faktor pencetus nyeri
Dengan mengeliminasi faktor-faktor pencetus nyeri, dapat
mengurangi risiko munculnya nyeri (mengurangi awitan terjadinya
nyeri)
d. Ajarkan teknik non farmakologi (misalnya teknik relaksasi, guided
imagery, terapi music, dan distraksi) yang dapat digunakan saat nyeri
datang.
Dengan teknik manajemen nyeri, klien bisa mengalihkan nyeri
sehingga rasa nyeri yang dirasakan berkurang.
e. Kolaborasi pemberian analgetik.
Pemberian analgetik dapat memblok reseptor nyeri.

3) Infeksi
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak
ada tanda-tanda infeksi dengan kriteria hasil :
Tidak terjadi komplikasi infeksi.
Intervensi:
a. Pantau tanda dan gejala infeksi lanjut
Agar dapat memberikan intervensi yang tepat untuk klien
b. Pantau tanda-tanda vital klien secara berkala
Takikardia, takipnea, demam, nadi cepat dan lemah menunjukkan
terjadi sindroma peradangan sistemik.
c. Pantau tanda-tanda sepsis.
Sepsis menandakan radang sistemik dengan gejala demam, menggigil,
nadi lemah dan cepat, hipotensi, lemah serta gangguan mental.
d. Kolaborasi pemberian antibiotic
Agen antibiotik membantu mengeliminasi bakteri sebagai penyebab
penyakit klien

4) Disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan fungsi tubuh akibat


proses penyakit akibat epididimitis.
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan fungsi
seksual klien efektif dengan kriteria hasil :
Fungsi seksual
 Klien mengungkapkan penerimaan diri terhadap penyakit
 Klien mengungkapkan percaya diri dengan fungsi seksualnya
Adaptasi terhadap ketidakmampuan fisik
 Klien mampu beradaptasi terhadap keterbatasannya
 Mengungkapkan penurunan stress akibat ketidakmampuan fungsi
seksual
Intervensi :
Konseling seksual
a. Bangun hubungan terapeutik dengan klien.
Hubungan terapeutik yang baik dapat membangun kepercayaan klien
terhadap perawat untuk mengungkapkan masalah seksual klien.
b. Berikan privasi dan pastikan kerahasiaan terhadap masalah klien.
Menjaga privasi klien sangat penting karena masalah seksual
merupakan masalah yang sensitive.
c. Mulailah dari topic yang kurang sensitive ke paling sensitive.
Pembicaraan dari topic yang kurang sensitive membantu agar klien
merasa nyaman mengungkapkan masalahnya.
d. Diskusikan efek penyakit terhadap respon seksual.
Pemberian penkes mengenai proses penyakit membantu klien
memahami penyebab disfungsi seksualnya.
e. Diskusikan pengobatan yang diperlukan klien.
Pengobatan pada penyakit klien atau pemilihan pengobatan masalah
seksual perlu didiskusikan agar klien merasa terlibat dan aktif dalam
pengobatannya.
Manajemen perilaku : seksual
a. Berikan sex education tentang hubungan fungsi seksual terhadap
fungsi penyakit.
Pemberian penkes mengenai proses penyakit membantu klien
memahami penyebab disfungsi seksualnya.
b. Diskusikan pada pasien secara privasi mengenai penerimaan kondisi
seksual.
Memfasilitasi klien untuk penerimaan kondisi seksual klien untuk
tidak terlalu stress dan meningkatkan percaya diri klien mengenai
masalh seksualnya.

5) Kurang pengetahuan mengenai konsep penyakit dan pengobatan


berhubungan dengan kurang terpapar informasi mengenai penyakit
epididimitis.
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan klien
memiliki pengetahuan adekuat tentang epididimitis dengan kriteria hasil :
 Klien dapat memahami dan menjelaskan kembali penyakit
epididimitis, tanda dan gejala epididimitis
 Klien dapat menyebutkan penatalaksanaan termasuk pengobatan
epididimitis.
Intervensi:
a. Mulai memberikan penjelasan ketika klien menunjukkan kesiapan
untuk belajar.
Kesiapan klien untuk belajar mempermudah klien dalam proses
pembelajaran.
b. Memberikan klien informasi dasar tentang epididimitis.
Informasi yang diberikan dapat memberikan klien gambaran tentang
anatomi fisiologi serta komplikasi yang potensial terjadi.
c. Berikan kesempatan pada klien untuk bertanya dan diskusi.
Bertujuan untuk mengetahui informasi yang kurang dimengerti oleh
klien.
d. Jawab pertanyaan klien dengan singkat dan jelas.
Untuk mempermudah klien mengerti akan jawaban yang kita berikan.

D. Implementasi
Implementasi disesuaikan dengan intervensi yang tercantum
pada rencana keperawatan yang menetapkan waktu dan respon klien.

E. Evaluasi
Evaluasi adalah bagian terakhir dari proses keperawatan semua tahap
proses keperawatan harus dievaluasi. Hasil asuhan keperawatan dengan sesuai
dengan tujuan yang telah di tetapkan. Evaluasi ini didasarkan pada hasil
yang di harapkan atau perubahan yang terjadi pada klien.

9. Daftar Pustaka
Budi, Kusuma. 2001. Ilmu Patologi..Jakarta: EGC
Carpenito, Lynda Juall. 1995. Diagnosa keperawatan Aplikasi pada Praktek
Klinik Edisi 6. Jakarta: EGC.
Ganong, F. William. 1998.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 17. Jakarta:
EGC.
Marrilyn, E. Doengus. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3.
Jakarta: EGC.
Elizabet J. Corwin, 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
E, Oswari. 2000. Bedah dan Perawatanya. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.
Gale,Danielle RN, MS. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi. Jakarta:
EGC.
Smelster, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol. 2.
Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai