Anda di halaman 1dari 14

Inilah Da'wah Salaf (Side A)

Penulis: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany/Al-manhaj.com


Manhaj, 18 - Juni - 2003, 22:32:48

(Transkrip kaset side A)


Ibrahim: Dengan nama Allah, segala puji hanya bagi Allah, dan shalawat dan salam dari
Allah kepada Rasulullah . Amma ba`d: Sungguh-sungguh, Allah ta`ala telah melimpahkan
atas kita berkah iman, dan dia telah mengaruniakan seluruh ummat Islam dengan pada ulama
yang telah Allah muliakan dengan ilmu- sehingga mereka bisa menunjuki manusia menuju
jalan Allah dan menuju penyembahan kepada Allah Azza wa Jalla.

Dan mereka adalah pewaris para nabi, tanpa ragu. Alasan untuk kedatangan kita ke sini,
InsyaAllah, pertama kali untuk mencari keridhoan Allah, dan kedua untuk mencari ilmu
yang pada akhirnya mengarahkan kita kepada keridhoan Allah.

Sungguh demi Allah, ini adalah saat yang membahagiakan ketika kita bisa berkumpul
dengan Syaikh kita dan Ulama kita, dan guru besar kita, Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albany.

Pertama-tama atas nama masyarakat ini, kami ingin menyambut Syaikh kami yang mulia,
dan demikian juga atas nama orang-orang yang mendengar, terutama mereka para tholabul
`ilmi, mereka juga mengirim ucapan selamat datang dan mereka memiliki keinginan untuk
berkumpul sekarang dengan guru kita yang mulia. Dan tanpa ragu, seluruh kita memiliki
keinginan yang sama untuk mendengar ilmu dan kebijaksanaan yang dia miliki.

Jadi, mari kita dengarkan dia dalam apa-apa yang Allah telah berkahi dia dari ilmu. Dan
ketika Syaikh kita memutuskan untuk menutup pelajaran, forum pertanyaan akan dibuka,
tapi pertanyaan harus ditulis, dan kertas tersedia serta sedang disebarkan, InsyaAllah.

Kami ulangi lagi, ini adalah saat yang membahagiakan dan kami ucapkan, ahlan, selamat
datang, kepada Syaikh kita yang mulia

Syaikh: Ahlan bikum. Sesungguhnya segala puji hanya milik Allah, kita memujiNya, kita
mohon pertolonganNya, dan kita mohon maghfirohNya. Dan kita mohon perlindunganNya,
dari kejahatan diri-diri kita dan kejahatan amal-amal kita. Siapa yang Allah tunjuki, tiada
seorangpun yang dapat menyesatkannya dan siapa yang disesatkanNya, tiada yang dapat
menunjuki. Aku bersaksi bahwa tiada yang berhak untuk disembah melainkan Allah, sendiri
dan tidak bersekutu dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya.

Amma ba`d, sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah, dan sebaik-sebaik


petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shalallahu `alahi wa sallam. Dan seburuk-buruk
perkara adalah perkara yang diada-adakan. Dan setiap perkara yang diada-adakan adalah
bid`ah. Dan setiap bid`ah adalah setiap kesesatan setiap kesesatan ada di neraka .

Saya berterimakasih pada Al-Akh, Ustadz Ibrahim, atas kata-kata dan pujiannya Dan saya
tidak punya apa-apa untuk dikatakan sebagai balasannya, kecuali dengan mengikuti contoh
dari khalifah pertama, Abu Bakr Ash-Shiddiq Radhiyallahu`anhu, yang merupakan khalifah
pertama yang sebenarnya dari Rasulullah dengan hak yang benar.

Tetapi walaupun begitu, ketika dia mendengar seseorang yang memujinya dengan sesuatu
yang baik dan dia percaya bahwa pujian ini, tanpa memandang datang dari siapa, dilakukan
secara berlebihan dan ini ketika dia menjadi khalifah Rasulullah dan berhak
mendapatkannya-walaupun begitu- [terdengar suara tangisan]- walaupun begitu, dia
mengatakan:

“Ya Allah, jangan anggap aku bertanggungjawab atas apa yang mereka ucapkan (tentang
aku), dan buatlah aku lebih baik dari apa yang mereka rasa (aku menjadi seperti itu). Dan
maafkanlah aku atas apa-apa yang tidak mereka tahu (tentangku).”

Aku akan tambahkan pada ini, dengan mengatakan bahwa aku bukanlah apa yang
digambarkan dalam apa-apa yang baru saja kalian dengar sebelumnya dari saudara kita yang
mulia Ibrahim. Melainkan aku hanyalah seorang murid pencari ilmu, bukan yang lainnya.
Dan atas setiap murid untuk tunduk pada hadits nabi : “Sampaikanlah dariku meskipun
hanya satu ayat. Dan ceritakanlah dari (cerita-cerita) suku Isra`il karena yang demikian tidak
berdosa. Dan siapa yang berbohong atas namaku dengan sengaja, biarkanlah dia siapkan
tempat duduknya di dalam neraka.”

Jadi berdasarkan hadits, dan mengikuti teks nabawiyyah agung ini, sebagaimana teks-teks
lain dari kitab Allah dan hadits Rasulullah , kami mengambil tugas untuk mengungkapkan
pada manusia apa yang mereka kurang ketahui. Tapi ini bukan berarti kami telah menjadi
sesuatu seperti yang ditemukan dari pikiran-pikiran baik yang (beberapa) saudara-saudara
kami anggap ada pada kami. Masalahnya bukan itu. Ini adalah kenyataan yang saya rasakan
sangat mendalam di dalam hatiku. Kapanpun saya dengar pembicaraan macam ini, saya
teringat pada ungkapan lama, yang dikenal baik di kalangan ulama:

“Sesungguhnya si burung kecil (bughats) di tanah kami sekarang telah menjadi seekor
elang.”

Beberapa orang tidak waspada akan apa yang dimaksudkan oleh pernyataan ini, atau oleh
ungkapan ini. Si bughats yaitu burung kecil yang tidak berharga tapi burung kecil ini
menjadi seperti seekor elang bagi manusia- karena kebodohannya

Ungkapan ini benar, tentang banyak orang yang berda`wah pada Islam, baik di atas
kebenaran, dan cara yang benar atau di atas kesalahan dan dusta. Tapi Alla mengetahui
bahwa seluruh dunia muslim hampa kecuali untuk sangat sedikit orang, yang mana benar
untuk mengatakan tentang mereka bahwa “si fulan adalah seorang ulama.” Sebagaimana
dinyatakan dalam hadits shahih, yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dalam shahihnya
dari riwayat Abdullah bin `Amr bin Al-`Ash rodhiyAllahu`anhu, yang berkata, Rasulullah
bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak akan merampas ilmu dari dada para Ulama, melainkan
Dia akan mengambil `Ilmu dengan mengambil para Ulama. Sampai tidak ada lagi Ulama ini
intinya- sampai tidak ada lagi Ulama, manusia akan mengambil pemimpin yang bodoh, yang
akan ditanyai pertanyaan-pertanyaan dan kemudian memberi fatwa tanpa ilmu. Sehingga
mereka sesat dan menyesatkan.”

Ketika Alloa hendak mengambil `Ilmu, Dia tidak akan merampasnya dari hati para Ulama,
sehingga Ulama tersebut menjadi seseorang yang tidak pernah belajar apapun pada awalnya,
tidak.
Ini bukanlah Sunnatullah (cara Allah) ketika berurusan dengan hambaNya, khususnya
hambaNya yang shalih mengambil ilmu yang mereka capai untuk Allah `Azza wa Jalla Allah
itu Maha Adil dalam aturan-aturanNya- Dia tidak merampas ilmu dari hati para Ulama sejati.
Melainkan, merupakan sunnatullah dengan makhluk-Nya adalah bahwa Dia mengambil ilmu
dengan mengambil para Ulama [yaitu mematikan mereka] , sebagaimana Dia lakukan
terhadap penghulu semua Ulama, Nabi, dan Rasul, Muhammad. “Sampai tidak tersisa lagi
Ulama, manusia akan mengambil pemimpin-pemimpin bodoh, yang akan ditanyai
pertanyaan-pertanyaan dan kemudian memberi fatwa tanpa ilmu. Sehingga mereka sesat dan
menyesatkan.”

Ini bukan berarti Allah akan meninggalkan bumi dengan hampa akan Ulama, yang mana
bukti dari Allah bisa dilaksanakan atas hambaNya, melainkan artinya bahwa semakin waktu
berlalu, semakin ilmu akan menurun .
Dan kita akan terus-menerus meningkat dalam masalah ini yang mana ilmu sedikit dan
kurang, sampai tidak ada lagi di muka bumi ini orang yang berkata “Allah, Allah.” Kalian
dengar hadits ini berulang kali dan ini adalah hadits shahih: “Kiamat tidak akan terjadi
sementara masih tersisa seorang di muka bumi ini yang berkata: “Allah,Allah”.”
Yang dimaksud dengan manusia yang disebutkan pada bagian akhir dari hadits: “Sampai
tidak ada lagi Ulama, orang-orang akan mengambil pemimpin yang bodoh” adalah para
pemimpin yang memahami Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan pemahaman yang berlawanan
dengan para Ulama. Saya tidak akan katakan mereka di masa lalu saja,tapi juga yang
sekarang- berada di atasnya.

Maka sungguh, mereka menggunakan hadits “Allah, Allah” ini sebagai bukti untuk
pembolehan, dan bukannya rekomendasi berdzikir dengan kata-kata tunggal “Allah, Allah,
Allah, dan seterusnya [sebagaimana dilakukan oleh kaum Sufy] . Sampai tidak seorangpun
tetap tertipu atau tak waspada ketika mereka mendengar hadits ini dengan kesalahan dalam
memahaminya, saya pikir adalah tepat, bahkan jika sambil lalu, mengingatkan
saudara-saudara kita di sini bahwa pemahaman ini salah, pertama karena penjelasan hadits
ini dinyatakan dalam riwayat lain dari Rasulullah . Dan kedua, jika interpretasi ini benar,
maka akan ada petunjuknya dalam tidakan Salafus-Shalih kita, Radhiyallahu`anhum.
Sehingga jika mereka tidak melakukannya.

Penolakan mereka dari beramal berdasarkan pemahaman ini menunjukkan kepalsuan dari
pemahaman semacam ini. Sehingga akan jadi bagaimana bagi kalian jika riwayat lain dari
hadits ditambahkan, dan intisarinya, sebagaimana umumnya dikatakan, bahwa Imam Ahmad
rohimahullah, meriwayatkan hadits ini dalam musnadnya, dengan sanad yang shahih dengan
kata-kata: “Kiamat tidak akan terjadi sementara masih tetap ada seseorang di muka bumi ini
yang berkata “Laa Ilaaha Illallah”.”

Jadi inilah yang diinginkan dalam hadits pertama, di mana kata “Allah” ditunjukkan dalam
pengulangan. Intinya pada sekarang ini, dunia ini sayangnya hampa akan ulama-ulama
semacam itu yang biasa mengisi bumi dengan Ilmu mereka yang luas dan yang mau
menyebarluaskannya di antara manusia. Jadi sekarang ini telah seperti perkataan:

Ketika dihitung mereka sangat sedikit


Tapi sekarang mereka telah menjadi lebih sedikit dari sedikitnya yang dulu

Jadi kita mohon pada Allah `azza wa jalla, supaya Dia menjadikan kita di antara para pencari
ilmu yang benar-benar mengambil dari contoh-contoh para Ulama dan dengan rendah hati
mengikuti jalan mereka. Inilah yang kita harap dari Allah `azza wa jalla bahwa Dia
menjadikan di antara kita dari kalangan para murid yang mengikuti jalan tersebut, seperti
yang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam sabdakan: “Siapa yang menempuh jalan untuk
mencari ilmu, Allah akan memudahkan jalannya ke surga.”
Ini mengarahkan kita pada pembahasan topik pengetahuan ini, yang telah disebutkan dalam
Al-Qur`an pada banyak tempat, seperti firman Allah: “Apakah sama antara orang-orang
yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui.” [Az-Zumar: 9]

Dan firman Allah: “Allah akan meninggikan orang-orang beriman dan berilmu di antaramu
dan orang-orang yang diberi pengetahuan beberapa derajat..” [Al-Mujadilah: 11]

Pengetahuan apakah ini yang Allah telah memberikan pujianNya pada mereka yang
memilikinya dan beramal atasnya dan mereka yang mengikuti jalannya orang-orang ini ?
Jawabnya adalah sebagaimana Imam Ibnu`l Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah, murid dari
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Ilmu adalah Allah berfirman,
Rasulullah bersabda, para shahabat berkata. Dan bukan kesimpangsiuran. Ilmu itu bukanlah
kita terburu-buru pada ketidaksetujuan secara bodoh antara Rasulullah dan antara pendapat
seorang faqih (Ulama). Tidak, dan kami tidak mengingkari dan meniadakan sifat-sifat
(Allah), melainkan karena takut terjatuh kepada tasybih dan tamtsil.”

Jadi kita mengambil pengertian ilmu dari pernyataan dan sajak ini, yang jarang kita dengar
di antara syair-syair puisi, karena puisinya Ulama tidak seperti puisinya penyair. Jadi orang
ini (Ibnul Qayyim) adalah seorang Ulama dan dia juga menulis puisi yang bagus. Jadi dia
katakan: Ilmu itu adalah apa yang Allah firmankan pada tingkat pertama, kemudian apa yang
Rasulullah katakan pada tingkat kedua, kemudian apa yang para shahabat katakan pada
tingkat ketiga. Kata-kata Ibnul Qoyyim mengingatkan kita pada kenyataan yang sangat
penting, yang seringkali diabaikan oleh kebanyakan para da`i yang tersebar di seluruh
daratan sekarang ini atas nama da`wah pada Islam.

Apa kenyataannya ? Apa yang dikenal baik dari para da`i ini adalah bahwa Islam terdiri atas:
Kitabullah, Sunnah Rasulullah. Ini adalah benar dan tidak ada keraguan padanya, akan tetapi
hal ini kurang sempurna. Dan kekurangsempurnaan ini dicatat oleh Ibnul Qayyim dalam
baris puisinya yang baru saja kita sebutkan. Karena itulah kenapa setelah menyebut
Al-Qur`an dan As-Sunnah, dia menyebut para shahabat. “Ilmu adalah Allah berfirman,
Rasulullah bersabda, para Shahabat berkata”.

Sekarang ini sangat jarang kita dengar seseorang menyebut para shahabat setelah menyebut
Al-Qur`an dan As-Sunnah. Dan seperti kita ketahui, mereka berada pada puncak Salaf
As-Shalih (pendahulu yang shalih), yang Nabi katakan dalam sabda beliau, yang telah
diriwayatkan dari banyak shahabat: “Manusia terbaik adalah generasiku”“

Dan jangan katakan seperti kebanyakan para da`i sekarang ini ucapkan: “Generasi terbaik.”
Fase ini “Generasi terbaik” tidak memiliki sumber dalam Sunnah. Sunnah yang shahih, yang
dinyatakan dalam kedua shahih (Bukhary dan Muslim) dan referensi hadits lainnya
meriwayatkan hadits tersebut dengan kata-kata: “Manusia terbaik adalah generasiku,
kemudian yang datang setelahnya, kemudian yang datang setelahnya.”

Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah telah menghubungkan para shahabat yang merupakan
puncak dari 3 generasi yang dipersaksikan keunggulannya- pada Al-Kitab dan As-Sunnah.
Jadi apakah hubungan ini yang dia buat merupakan opininya, atau pengambilan kesimpulan
keulamaan, yang seluruhnya mudah salah. Jawabannya adalah tidak, ini bukanlah dari
pengambilan kesimpulannya yang mungkin terjadi kesalahan padanya, melainkan
berdasarkan Kitabullah, dan hadits Rasulullah . Sedangkan dari Al-Qur`an, maka ini adalah
firman Allah `Azza wa Jalla: “Dan barangsiapa yang menyelisihi Rasul setelah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke
dalam Jahannam, dan Jahannam tu seburuk-buruk tempat kembali.” [Al-Ma`idah: 115]

Saya berharap ayat ini diingat dengan kuat dalam pikiran-pikiranmu dan hati-hatimu, dan
saya harap kalian tidak melupakannya, karena itu adalah kebenaran. Dan dengannya, kalian
akan terselamatkan dari menyimpang ke kanan atau ke kiri dan kalian akan terselamatkan
bahkan dalam salah satu aspek atau beberapa permasalahan- dari terjatuh kepada salah satu
kelompok yang tidak terselamatkan, atau salah satu dari kelompok menyimpang . Ini
dikarenakan Nabi bersabda dalam hadits yang terkenal, yang saya akan singkat supaya
mendapatkan bagian yang relevan dengan pembahasan kita:

“Dan ummatku akan terpecah menjadi 73 golongan “Semuanya berada di neraka, kecuali
satu.” Para shahabat berkata: Siapakah itu wahai Rasulullah ? beliau bersabda: “Mereka
adalah al-Jama`ah.”

Jama`ah yang dimaksud adalah “Jalannya orang-orang mukmin.” Jadi hadits tersebut “jika
bukan wahyu langsung dari Allah kepada Qolbu Nabi , maka itu pasti turunan dari ayat yang
sebelumnya telah disebut. “Dan dia mengikuti jalan selain jalannya orang-orang mukmin.”
Jadi jika orang tersebut yang “menyelisihi Rasul” dan “mengikuti jalan selain jalannya
orang-orang mukmin” diancam dengan neraka, maka yang sebaliknya juga benar.

Maka siapapun yang mengikuti “jalannya orang-orang beriman” maka dia dijanjikan surga,
dan tidak ada keraguan padanya. Jadi ketika Rasulullah menjawab pertanyaan tentang
golongan mana yang merupakan golongan yang terselamatkan, beliau bersabda:
“Al-Jama`ah.”

Dengan demikian Al-Jama`ah adalah kelompok muslim tersebut. Kemudian dinyatakan


dalam riwayat lain dari hadits ini, yang mendukung pengertian ini, bahkan, menambah
penjelasan dan keterangan yang lebih padanya. Nabi bersabda: “Yaitu apa-apa yang aku dan
para Shahabatku ada di atasnya.”
Maka dengan begitu “Para shahabatku” adalah “jalannya orang-orang mukmin.” Jadi ketika
Ibnu`l Qoyyim menyebutkan para shahabat dalam baris puisinya yang baru saja kita
sebutkan sebelumnya, dia hanya mengambil pemahaman itu dari ayat yang baru saja kita
sebut dan hadits ini.

Juga dikenal baik hadits Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu`anhu, yang juga akan saya
perpendek untuk menyebut bagian yang relevan dengan diskusi kita, sehingga kita punya
cukup waktu untuk menjawab pertanyaan nanti. Beliau bersabda: “Maka peganglah erat-erat
Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku.”

Disini kita temukan contoh yang sama seperti hadits yang kita sebut sebelum ini danjuga
ayat sebelumnya. Rasul tidak menyatakan “peganglah erat-erat Sunnahku” saja, melainkan
beliau hubungkan kepada Sunnah beliau, Sunnahnya Khulafaur rosyidin yang mendapatkan
petunjuk .

Maka kami katakan, khususnya di saat ini di mana kita temukan pandangan-pandangan yang
berselisih, dan ideologi-ideologi, dan madzhab-madzhab dan banyaknya hizb-hizb dan
kelompok-kelompok, yang membuat banyak pemuda muslim mulai hidup dalam
kebingungan.

Dia tidak tahu pada kelompok mana dia harus menisbatkan dirinya. Jadi disini kami telah
memberikan jawaban dari ayat dan dua hadtis yang baru saja kita sebutkan. “Ikutilah
jalannya orang-orang mukmin!” Jalan orang-orang mukmin dari masa kini Jawabnya tidak,
yang kami maksudkan di sini adalah orang-orang mukmin di masa lalu “generasi pertama -
generasi para shahabat Salafus Shalih (pendahulu yang shalih)- . Mereka adalah orang-orang
yang harus kita ambil sebagai contoh dan orang-orang yang harus kita ikuti. Dan tidak sama
sekali tak ada yang menyamai mereka di muka bumi. Karena itu, inti dari da`wah kami
adalah berdasarkan tiga pilar “Al-Qur`an, As-Sunnah, dan mengikuti Salafus Shalih
(pendahulu yang shalih).

Jadi siapapun yang mengaku mengikuti Al-Qur`an dan As-Sunnah, namun dia tidak
mengikuti Salafus Shalih, dan dia menyatakan baik dalam perkataan dan perbuatan: “Mereka
manusia dan kita juga menusia” [maksudnya, para shahabat dan mereka adalah sama], maka
orang ini berada dalam penyimpangan dan kesesatan. Kenapa” Karena dia tidak mengikuti
teks ini, yang baru saja kami ceritakan pada kalian. Apakah dia mengikuti jalannya
orang-orang mukmin ? Tidak. Apakah dia mengikuti para shahabat Rasulullah? Tidak. Apa
yang dia ikuti ? Dia ikuti hawa nafsunya dan dia mengikuti akalnya. Apakah akal seseorang
sempurna dan terbebas dari kesalahan ? Jawabannya tidak. Maka dengan begitu, dia itu
berada di atas kesesatan yang nyata.

Saya percaya bahwa alasan bagi banyak terwarisinya perbedaan yang ditemukan pada
golongan-golongan yang dikenal dengan baik di masa lalu dan perbedaan yang muncul
saat-saat ini adalah karena kurang kembalinya pada sumber ketiga ini, yaitu Salafus Shalih.

Jadi siapapun yang mengaku mengikuti Al-Qur`an dan As-Sunnah, dan bagaimana seringnya
telah kita dengar perkataan semacam ini dari para pemuda yang kebingungan, ketika mereka
berkata: “Ya akhi, wahai saudara, orang ini mengaku mengikuti Al-Qur`an dan As-Sunnah
dan orang itu mengaku mengikuti Al-Qur`an dan As-Sunnah.” Jadi apa pembeda yang jelas
dan menentukan” Adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah dan manhaj (metodologi) Salafus
Shalih. Jadi siapapun yang mengikuti Al-Qur`an dan As-Sunnah tanpa mengikuti Salafus
Shalih, dia sebenarnya tidak mengikuti Al-Qur`an dan As-Sunnah, melainkan dia hanya
mengikuti akalnya, jika bukan hawa nafsunya .

Sumber: Sebuah Kaset yang berjudul Hadzihi Da`watuna (ini da`wah kami), yang direkam
dalam bahasa Arab dan didistribusi oleh Syuur Lil Intaaj Al-Islamy, dan kemudian
diterjemahkan dan ditulis ke dalam bahasa Inggris oleh al-manhaj.com. Artikel ini
merupakan terjemahan yang telah diedit dari kaset sebenarnya untuk bacaan yang lebih baik.
(Diterjemahkan: ke dalam format artikel (bahasa Inggris) oleh Abu Maryam).Diproduksi
oleh al-manhaj.com. Alih bahasa Indonesia, Rasyid)

Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=28
Inilah Da'wah Salaf (Side B)
Penulis: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany/Al-manhaj.com
Manhaj, 19 - Juni - 2003, 01:07:20

Lanjutan (Side B)
Saya akan menghadirkan beberapa contoh untuk menjelaskan pembicaraan ini, yang mana
ini merupakan poin penting, yang mana hal itu adalah (mengikuti) manhaj Salafus Shalih.
Ada sebuah pernyataan yang diriwayatkan dari Al-Faruq Umar ibn`l Khatthab
Radhiyallahu`anhu, yang mengatakan: Jika orang-orang ahlul bid`ah dan ahlul ahwa`
mendebatmu dengan Al-Qur`an, maka debatlah mereka dengan sunnah. Apa yang
menjadikan Umar Radhiyallahu`anhu membuat pernyataan demikian, ini karena firman
Allah yang mana Dia berbicara pada Nabi : “Dan Kami telah turunkan Adz-Dzikr (Sunnah)
agar kamu (Wahai Muhammad) memberi penjelasan pada orang-orang terhadap apa yang
telah diturunkan pada mereka dan supaya mereka memikirkan.” [An-Nahl: 44]

Apakah seorang muslim, yang mengetahui secara mendalam bahasa Arab, mengetahui tata
bahasa dan aturannya, apakah orang ini mampu memahami Al-Qur`an tanpa menggunakan
cara Rasul kita (Shalallahu ‘alaihi wasallam) ? Jawabannya adalah tidak. Dan jika ini bukan
begitu, maka firman Allah “Supaya kamu (wahai Muhammad) memberikan penjelasan pada
manusia akan apa-apa yang telah diturunkan pada mereka”, tidak akan memiliki makna
apa-apa. Dan ucapan Allah hampa dari ketidakbermaknaan padanya. Maka dari itu, siapapun
yang ingin memahami Al-Qur`an dengan cara selain cara Rasulullah (Shalallahu “alaihi
wasallam), dia telah sesat dengan jauh.

Lebih jauh lagi, apakah orang yang sama ini (yang disebutkan di atas) mampu untuk
mengerti Al-Qur`an dan As-Sunnah melalui selain cara para shahabat Rasulullah.
Jawabannya adalah tidak. Ini dikarenakan, mereka (para shahabat) adalah orang-orang yang
meneruskan pada kita, pertama ayat-ayat Al-Qur`an, kedua, mereka meneruskan pada kita,
penjelasan Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wasallam) (terhadap Al-Qur`an), yang telah disebut
di ayat yang sebelumnya sebagaimana juga pengamalan beliau terhadap Al-Qur`an Al-Karim
ini.

Penjelasan Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wasallam) (terhadap Al-Qur`an) dapat dibagi


menjadi 3 kategori:
1) ucapan,
2) perbuatan, dan
3) persetujuan (dengan diam).
Siapa orang-orang yang meneruskan (pada kita) ucapan beliau (Shalallahu ‘alaihi
wasallam)shahabatnya. Siapa orang yang meneruskan (pada kita) perbuatan beliau
(Shalallahu ‘alaihi wasallam) shahabat beliau. Siapa yang meneruskan (pada kita)
persetujuan dengan diamnya beliau (Shalallahu ‘alaihi wasallam)shahabat beliau. Jadi
karena itulah, tidak mungkin bagi kita untuk tergantung semata-mata pada kemampuan
linguistik untuk memahami Al-Qur`an. Tapi ini bukanlah berarti kita tidak membutuhkan
bahasa (Arab) dalam masalah ini, bukan.

Inilah mengapa kita yakin dengan sangat bahwa orang-orang yang berbicara dalam bahasa
non-Arab, yang tidak menguasai bahasa Arab, jatuh pada banyak, banyak kesalahan. Hal ini
juga terutama, mereka jatuh kepada kesalahan fundamental ini, karena tidak kembali pada
Salafus Shalih dalam memahami Al-Qur`an dan As-Sunnah.

Saya tidak memaksudkan dengan perkataan saya tadi bahwa kita tidak bisa bergantung pada
bahasa (Arab) dalam menjelaskan Al-Qur`an. Bagaimana bisa karena jika kita mau
memahami kata-kata bahasa Arab, maka tanpa ragu, kita harus memahami bahasa Arab.
Begitu pula, untuk memahami Al-Qur`an dan As-Sunnah, seseorang harus mengetahui
bahasa Arab.

Jadi kami katakan bahwa penjelasan Rasul , yang disebutkan dalam ayat sebelumnya, dibagi
menjadi 3 kategori: ucapan, perbuatan, dan persetujuan dengan diam. Kami akan hadirkan
satu contoh, untuk memahamkan bahwa pembagian ini adalah kenyataan yang ada, yang
tidak bisa diingkari. Allah berfirman: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya “ [Al-Ma`idah: 38]”

Lihatlah sekarang bagaimana tak mungkin bagi kita menjelaskan Al-Qur`ann berdasarkan
bahasa saja. Pencuri, menurut bahasa adalah seseorang yang mencuri harta benda dari
tempat-tempat terlarang, tak memandang apakah benda tersebut bernilai atau tidak. Misalnya
seseorang mencuri sebutir telur dan sepotong roti ini menurut bahasa (Arab) dianggap
sebagai pencuri. Allah berfirman “Dan (bagi) pencuri laki-laki dan pencuri perempuan,
potonglah tangan keduanya.”

Apakah setiap orang yang mencuri harus dipotong tangannya ? Jawabnya tidak. Kenapa ? Ini
karena orang yang menjelaskannya (yaitu Nabi), yang bertugas menjelaskan yang sedang
dijelaskan adalah Al-Qur`an. Beliau bersabda: “Jangan potong tangan kecuali untuk
(seseorang yang mencuri) seperempat dinar dan apa yang di atasnya.”
Jadi siapapun yang mencuri sesuatu yang kurang dari seperempat dinar, meskipun menurut
bahasa dia disebut pencuri, tapi dia tidak dianggap pencuri menurut definisi Syar`i.

Jadi di sini, kita sampai pada realita yang berdasarkan `Ilmu, yang banyak tholabul `Ilmi
tidak waspada. Pada satu sisi kita punya bahasa Arab, yang telah diturunkan dari generasi ke
generasi. Dan pada sisi lain, kita punya bahasa syar`i, yang Allah sendiri telah
mengistilahkannya, dan menjelaskannya, yang orang-orang Arab berbicara dalam bahasa
Al-Qur`an (yaitu bahasa Arab), dan Al-Qur`an yang diturunkan pada mereka- tidak waspada
sebelumnya.

Apabila pencuri ini diterapkan menurut bahasa (Arab), ini mencakup semua pencuri. Tapi
jika pencuri ini disebutkan menurut istilah syar`i, maka tak semua pencuri termasuk,
melainkan hanya mereka yang mencuri apa yang setara dengan seperempat dinar dan
apa-apa yang ada di atasnya.

Maka ini adalah sebuah contoh aktual yang tidak mungkin bagi kita untuk tergantung
semata-mata dengan pengetahuan bahasa Arab dalam memahami Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Ini adalah kesalahan yang banyak penulis-penulis kontemporer terjatuh padanya sekarang
ini.
Mereka meletakkan pengetahuan bahasa Arab di atas ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits nabi.
Jadi mereka memahami teks-teks syar`i ini dan datang dengan pemahaman bid`ah, yang
ummat Islam belum pernah dengar di masa lalu.

Karena ini kami katakan, adalah kewajiban, untuk mengerti bahwa da`wah yang sebenarnya
kepada Islam, berdasarkan 3 prinsip dan dasar fundamental, yaitu 1) Al-Qur`an,
2) As-Sunnah, dan
3) Jalan pemahaman Salafus Shalih.
Sehingga ayat “Dan (bagi) tiap pencuri laki-laki dan pencuri perempuan” bukan untuk
dipahami menurut persyaratan bahasa, melainkan persyaratan bahasa syar`i, yang
menyatakan: “Jangan potong tangan kecuali untuk (seseorang yang mencuri) seperempat
dinar dan apa-apa yang ada di atasnya.”

Kalimat berikutnya dari ayat tersebut menyatakan: “Potonglah tangan-tangan mereka.” Apa
itu tangan menurut bahasa” Semua ini dianggap tangan “ Dari ujung jari sampai ketiak-
semua ini adalah tangan. Jadi apakah tangan tersebut harus dipotong dari sini atau dari sini
atau dari sini”

Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wasallam) telah menjelaskan ini pada kita dengan perbuatan
beliau [yaitu untuk dipotong dari pergelangan tangannya]. Kita tidak punya hadits yang
secara jelas mendefinisikan dari tempat mana kita harus memotong, dari penjelasan Rasul
lewat ucapan. Namun, diungkapkan penjelasan beliau lewat perbuatan aplikasi fisik beliau.

Bagaimana kita bisa tahu penerapan ini ? Yakni dari Salafus Shalih kita para shahabat nabi.
Ini adalah kategori kedua, yakni penjelasan oleh perbuatan.
Yang ketiga adalah persetujuan Rasul untuk sesuatu yg tidak dia tolak atau larang.
Persetujuan ini bukanlah ucapan beliau atau perbuatan yang datang dari beliau, melainkan
perbuatan orang lain, yang beliau lihat dan setujui.

Jadi jika Rasul melihat sesuatu dan beliau tetap diam tentangnya, menyetujuinya, hal itu
menjadi sesuatu yang disetujui dan diizinkan. Tapi jika beliau melihat sesuatu dan
menolaknya, walaupun hal ini dilakukan oleh beberapa shahabat beliau, akan secara shahih
tercantum dalam teks bahwa beliau melarangnya, maka larangan ini mendahului apa yang
telah beliau setujui.

Saya akan memberi contoh untuk dua hal ini, berdasarkan hadits-hadits.

`Abdullah Ibn Umar Ibn`l Khatthab radhiyallahu`anhu berkata: “Kami biasa minum ketika
berdiri dan makan ketika berjalan selama hidup Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wasallam) .”
Jadi di dalam hadits ini, `Abdullah telah menginformasikan kita 2 hal: 1) Minum sambil
berdiri, dan
2) Makan sambil jalan.

Dan dia menyatakan bahwa kedua hal ini dilakukan ketika masa Nabi . Jadi apa fiqih
terhadap 2 masalah ini: minum sambil berdiri dan makan sambil berjalan.
Jika kita terapkan poin-poin yang telah kita sebut sebelumnya, kita mampu menurunkan
hukumnya tentu saja- dengan penambahan yang diperlukan padanya, yang mana seseorang
tahu tentang apa yang Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wasallam) telah larang, melalui ucapan,
perbuatan, dan persetujuan (dengan diam).

Jadi jika kita kembali pada sunnah shahih, mengenai apa yang berkaitan dengan masalah
pertama (minum sambil berdiri), yang banyak muslim, jika bukan mayoritasnya mereka,
melakukannya sekarang ini. Dan ini berlawanan dengan ucapan Rasulullah (Shalallahu
‘alaihi wasallam) tentang minum sambil berdiri. Mereka minum sambil berdiri, mereka
(yakni manusia) memakai emas, dan sutra. Ini adalah fakta yang tidak bisa diingkari.

Tapi apakah Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wasallam) setuju dengan semua ini ? Jawabannya
adalah beliau beberapa dan melarang beberapa. Jadi apapun yang beliau larang maka jatuh
pada batas kejahatan (munkar) dan apapun yang beliau setujui, maka masuk ke dalam batas
kebaikan (ma`ruf). Beliau melarang minum sambil berdiri dalam banyak hadits. Dan saya
tidak mau terlalu jauh dalam menyebutkan semuanya, jadi pertama-tama, kita tidak beralih
dari waktu yang kita batasi bagi kita untuk mendiskusikan topik ini sehingga kita bisa
menjawab beberapa pertanyaan pada akhir acara dan kedua, permasalahan ini butuh majlis
khusus untuknya.

Cukup untuk menghadirkan satu hadits shahih, yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim
dalam shahihnya, diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu`anhu, yang berkata:
“Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wasallam) melarang minum sambil berdiri.”

Dan pada riwayat lain [dari hadits], dia berkata: “Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wasallam)
melarang dari minum sambil berdiri.”

Maka dari itu, hal yang biasa dilakukan selama masa Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi
wasallam), sebagaimana oleh Ibnu `Umar, adalah terabaikan dan terlarang. Jadi hal yang
biasa mereka lakukan menjadi terlarang, berdasarkan pelarangan nabi terhadapnya . Tapi
bagian kedua dari hadits (Ibnu `Umar), yang menyatakan bahwa mereka biasa makan sambil
berdiri, kami tidak mendapatkan riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah (Shalallahu
‘alaihi wasallam) melarangnya.

Jadi kami turunkan dari persetujuan (dengan diam) ini, sebuah fiqih (aturan syar`i). Sampai
disini, kita telah menyadari kebutuhan yang sangat untuk bergantung pada jalannya Salafus
Shalih untuk memahami Al-Qur`an dan As-Sunnah. Dan tidak seorangpun dapat bergantung
pada pengetahuannya, jika ini tidak bisa dikatakan kebodohannya, dalam memahami
Al-Qur`an dan As-Sunnah.

Setelah memperjelas permasalahan penting di atas manhaj Salafus Shalih ini, saya harus
memberi kalian beberapa contoh. Di masa lalu, muslimin terpecah menjadi banyak sekte.
Kalian dengar tentang Mu`tazilah , kalian dengar tentang Murji`ah, kalian dengar tentang
Khawarij , kalian dengar tentang Zaidiyyah, belum lagi Syi`ah dan Rafidhah , dan lain-lain.
Tidak ada di antara kelompok-kelompok ini, tanpa memandang seberapa dalam kesesatan
mereka, bahwa tidaklah berbagi ucapan yang sama sebagaimana muslimin yang lainnya,
yaitu: “Kami berada di atas Al-Qur`an dan As-Sunnah.” Tidak seorangpun di antara mereka
mengatakan: “Kami tidak mengikuti Al-Qur`an dan As-Sunnah.” Dan jika satu dari mereka
mengatakannya, dia akan benar-benar keluar dari lipatan Islam.

Jadi kenapa mereka berpecah belah selama mereka berpegang pada Al-Qur`an dan
As-Sunnah dan saya bersaksi bahwa mereka bersandar pada Al-Qur`an dan As-Sunnah
sebagai pendukung. Tapi bagaimana penyandaran ini dilakukan ? Penyandaran ini dilakukan
tanpa bersandar pada dasar ketiga, yang para Salafus Shalih ada di atasnya.

Dan ada poin tambahan lain yang perlu dicatat di sini dan itu adalah bahwa As-Sunnah
sangat berbeda dari Al-Qur`an Al-Karim dalam hal bahwa Al-Qur`an Al-Karim berupa
mushaf, dan ini seperti yang dikenal baik oleh semua orang. Dalam masalah sunnah, maka
untuk banyak bagiannya, tersebar dalam ratusan, kalau bukan ribuan buku, di antaranya
berada dalam bagian yang paling banyak yang tetap tersembunyi manuskrip yang tidak
tercetak.

Lebih jauh lagi, bahkan buku-buku dari mereka ini yang dicetak sekarang ini, ada
hadits-hadits yang shahih dan lemah. Jadi siapa yang berpegang pada As-Sunnah sebagai
penyokong, baik mereka yang menisbatkan diri pada Ahlus Sunnah wal Jama`ah dan
metodologi Salafus Shalih atau mereka dari kelompok lain kebanyakan mereka tidak bisa
membedakan hadits shahih dari yang lemah. Mereka terjatuh kepada pertentangan dan
kontradiksi Al-Qur`an dan As-Sunnah karena penyandaran mereka pada hadits-hadits lemah
dan palsu. Intinya bahwa kelompok ini yang baru saja kita sebutkan, menolak arti literal
yang tercantum dalam Al-Qur`an dan Hadits Nabawy, di masa lalu dan juga masa kini.

[Sebagai contoh] Al-Qur`an menetapkan dan memberikan pahala pada orang-orang mukmin
dari nikmat yang sangat besar yang akan mereka terima di surga, yaitu Robb semesta alam
akan memperlihatkan DiriNya pada mereka dan mereka akan melihatNya.
Sebagaimana dinyatakan seorang Ulama Salaf: “Orang-orang mukmin akan melihatNya,
(kami percaya ini) tanpa berkata bagaimana itu bisa dilakukan atau membuat permisalannya
atau memberi contohnya.”
Bukti-bukti tekstual dari Al-Qur`an dan As-Sunnah menyatakannya. Jadi bagaimana
beberapa firqoh masa lalu dan sekarang ini, mengingkari berkah yang besar ini ? Dan untuk
kelompok-kelompok di masa lalu yang menolak melihat (Allah) ini, adalah mu`tazilah.

Sekarang ini, menurut apa yang saya ketahui, tidak ditemukan kelompok apapun di muka
bumi ini yang berkata “Kami adalah mu`tazilah, kami mengikuti iman mu`tazilah.”
Bagaimanapun, saya melihat seorang bodoh yang mengumumkan bahwa dialah mu`tazily.
Dan dia menolak banyak fakta-fakta yang ada dari agama karena dia tergesa-gesa. Jadi
mu`tazilah ini menolak berkah terbesar ini dan mereka berkata dengan akal mereka yang
lemah: “Tidak mungkin Allah dapat dilihat!” Jadi apa yang mereka lakukan” Apakah mereka
menolak Al-Qur`an Allah berfirman dalam Al-Qur`an : “Wajah-wajah (orang-orang
mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya-lah mereka melihat.” [Al-Qiyamah:
22-23]

Apakah mereka menolak ayat ini ? Tidak, mereka tidak menolaknya atau mengingkarinya
atau tida mempercayainya.

Sampai sekarang, aturan Ahlus Sunnah sejati adalah bahwa mu`tazilah berada di atas
kesesatan tapi tidak menyebabkan mereka keluar dari Islam. Ini karena tidak menolak ayat
ini, tapi mereka menolak makna sebenarnya, yang mana penjelasannya telah dinyatakan
dalam As-Sunnah, jika kita ingat. Allah berfirman tentang orang-orang mukmin yang akan
memmasuki surga: “Wajah-wajah (orang orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada
Tuhannya-lah mereka melihat.”
Kemudian mereka mengubah maknanya mereka percaya pada perkataan ayat tapi
mengingkari maknanya. Dan perkataan, sebagaimana dikatakan oleh para Ulama, adalah
pembentuk makna. Jadi kita percaya pada perkataan tapi tidak percaya pada maknanya,
maka Iman yang seperti ini tidak mengenyangkan terhadap rasa lapar [yakni tidak memberi
bermanfaat].

Jadi kenapa orang-orang ini menolak melihat Allah Pikiran mereka tersempitkan dari
pembayangan dan penggambaran bahwa hamba ini, yang diciptakan dan terbatas, mampu
melihat Allah secara terang-terangan, sama dengan ketika Yahudi meminta Mussa (untuk
melihat Allah), sehingga Allah mencegah mereka, sebagaimana ditemukan di dalam kisah
yang terkenal [lihat surat Al-Baqoroh: 55-59, Allah berfirman pada Musa] : “Lihatlah
kepada bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala), niscaya kamu dapat
melihatKu.” [Al-A`rof: 143]

Akal mereka tersempitkan sehingga mereka merasa harus bermain-main dengan teks
Qur`any dan mengubah maknanya. Kenapa (?) karena iman mereka terhadap yang ghaib itu
lemah dan iman mereka terhadap akal mereka lebih kuat daripada iman mereka terhadap
yang ghaib yang mana mereka diperintahkan untuk beriman padanya, di permulaan surat
Al-Baqoroh: “Alif Lam Mim. Ini adalah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya,
petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa “(siapa mereka”)- Mereka yang beriman pada
yang ghaib.” [Al-Baqoroh: 1-3]

Allah itu ghaib, jadi kapanpun Robb kita berkata tentang DiriNya, kita harus menegaskan
bahwa itu benar dan kita harus percaya padanya, karena akal kita sangat terbatas.
Mu`tazilah tidak mengakui poin ini, sehingga itulah kenapa mereka mengingkari dan
menolak banyak fakta yang ada dalam agama, seperti firman Allah: wajah-wajah pada hari
itu akan cerah, memandang Robb mereka.

Ini juga sama untuk ayat lain, yang lebih tidak jelas dengan orang-orang ini daripada ayat
pertama, dan ini adalah perkataan Allah: “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala
yang terbaik (Al-Husna) dan tambahannya (Az-Ziyadah).” [Yunus: 26]

Al-Husna di sini merujuk pada surga, dan ziyadah di sini berarti, melihat Allah di hari akhir.
Inilah apa yang dinyatakan dalam hadits yang diriwayatkan dari shahih Muslim, dengan
isnad yang shahih dari Sa`id Ibn Abi Waqqash radhiyallahu`anhu, yang berkata: Rasulullah
(Shalallahu ‘alaihi wasallam) bersabda: “Untuk mereka yang melakukan kebaikan, mereka
akan menerima Al-Husna (berarti) surga- dan ziyadah (berarti) melihat Allah.”

Mu`tazilah dan juga syi`ah, yang mu`tazilah dalam aqidahnya, menolak bahwa Allah akan
dilihat, yang telah ditegaskan pada ayat pertama dan dijelaskan oleh Rasulullah (Shalallahu
‘alaihi wasallam) di ayat kedua. Dan ada banyak hadits (mencapai tingkatan mutawatir) dari
Nabi tentang ini.
Tamtsil (pengalihan makna sebenarnya) mereka dari Al-Qur`an telah membawa mereka
kepada menolak hadits-hadits shahih dari Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wasallam) .

Jadi mereka meninggalkan dari batasan-batasan untuk dianggap sebagai Firqoh Najiyah
“yang aku dan shahabatku ada di atasnya. Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wasallam) percaya
dan memiliki keimanan yang kokoh bahwa mukminin akan melihat Rabb mereka, karena
diriwayatkan dalam 2 shahih dari riwayat banyak shahabat, seperti Abu Sa`id Al-Khudry,
Anas bin Malik dan di luar 2 shahih- ada Abu Bakr Ash-Shiddiq dan seterusnya. Rasulullah
(Shalallahu ‘alaihi wasallam) bersabda: “Sesungguhnya kalian akan melihat Robb kalian di
hari pembalasan, seperti kalian melihat bulan di langit (yang cerah) yang mana bulan
purnama kalian tidak akan kesulitan melihatnya.”

Apa yang dimaksud di sini adalah kalian tidak akan kesulitan melihat Allah sebagaimana
tidak kesulitan melihat bulan pada malam cerah yang mana ada bulan purnama, tanpa awan.
Mereka menolak hadits-hadits ini berdasarkan akal-akal mereka, sehingga mereka memiliki
iman yang lemah.

Inilah satu contoh dari perkara-perkara yang beberapa firqoh di masa lalu terjatuh padanya
juga. Dari tingkatan mereka adalah Ibadiyyah yang sekarang ini aktif menyeru orang-orang
kepada kesesatan mereka. Mereka memiliki artikel-artikel dan risalah-risalah yang
disebarkan dan dibagikan, yang mana mereka menghidupkan kembali banyak kesesatan,
yang khawarij diketahui karena (melakukan)nya di masa lalu, seperti penolakan mereka
bahwa Allah akan nampak di surga .

Sekarang kami akan menghadirkan kalian dengan contoh masa kini, yaitu Qadiyany .
Mungkin kalian pernah mendengar mereka. Orang-orang ini mengatakan sebagaimana kita
berkata: “Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah, dan
Muhammad itu utusan Allah.” Mereka shalat 5 kali dalam sehari, mereka mengadakan shalat
Jum`at, mereka berhaji dan umroh ke rumah suci Allah. Tidak ada beda antara kita dengan
mereka mereka seperti halnya muslim. Tetapi, mereka berbeda dengan kita dalam banyak
perkara aqidah, seperti kepercayaan mereka bahwa kenabian tidak berakhir. Mereka percaya
bahwa nabi-nabi akan datang setelah Muhammad dan mereka mengklain bahwa seorang dari
mereka telah datang ke Qadiyan, suatu negeri di India. Sehingga (mereka berkata bahwa)
seseorang yang tidak percaya pada nabi ini yang datang pada mereka, maka dia adalah
seorang kafir. Bagaimana mereka bisa berkata begini, sedangkan ayatnya jelas: “Muhammad
itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah
Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wasallam) dan penutup nabi-nabi.” [Al-Ahzab: 40]

Bagaimana mereka mengatakannya, sementara hadits-hadits telah mencapai tingkatan


tawatir, (menyatakan): “tidak ada nabi setelahku.” Jadi mereka mengubah makna Al-Qur`an
dan As-Sunnah dan mereka tidak menafsirkan Al-Qur`an dan As-Sunnah sebagaimana para
Salafus Shalih menafsirkan keduanya.

Maka muslimin juga mengikuti mereka dalam perkara itu tanpa ketaksetujuan apapun yang
terjadi di antara mereka, sampai datang orang menyimpang dan sesat ini, bernama Mirza
Ghulam Ahmad Al-Qadiyany yang mengaku sebagai nabi. Dan dia memiliki kisah yang
panjang, yang bukan merupakan fokus dari subjek kita sekarang. Sehingga dia menipu
banyak orang yang tidak berilmu terhadap fakta-fakta ini, yang melindungi muslimin dari
tersesat, sebagaimana Qadiyany ini menyimpang dengan Dajjal ini yang mengakui kenabian
untuknya.

Apa yang mereka lakukan dengan firman Allah: “tetapi dia adalah Rasulullah (Shalallahu
‘alaihi wasallam) dan penutup nabi-nabi.” Mereka berkata bahwa ini bukan berarti tidak ada
nabi setelah beliau, melainkan ucapan khatam merujuk pada perhiasan nabi.

Seperti halnya khatam ini (segel atau cincin) adalah hiasan jari, maka seperti itu pula,
Muhammad adalah perhiasan para nabi. Maka dengan begitu mereka tidak mengkufuri ayat
tersebut. Mereka tidak berkata bahwa Allah tidak mewahyukan ayat ini ke dalam hati
Muhammad. Melainkan mereka kufur terhadap makna aslinya. Jadi apa yang baik adalah
beriman dalam perkataan jika tidak ada keimanan dalam makna aslinya.

Jika kamu tidak ragu terhadap fakta ini, maka apa jalan untuk mengetahui makna Al-Qur`an
dan As-Sunnah. Kalian telah tahu jalannya. Bukanlah bagi kita untuk bersandar pada
pengetahuan bahasa Arab, atau untuk menafsirkan Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan
keinginan kita atau tradisi kita, atau taklid kita, atau madzhab kita, atau perintah (Sufy) kita,
melainkan, satu-satunya jalan adalah sebagaimana dikatakan secara umum, dan aku akan
menutup ceramahku dengan ini: “Dan setiap kebaikan adalah dalam mengikuti Salaf.
Sedangkan setiap keburukan adalah bid`ahnya khalaf.”
Kami harap ini sebagai suatu pengingat terhadap mereka yang memiliki hati atau yang
menggunakan pendengarannya sementara mereka menyaksikan. [Qaf: 37] (Sumber: Sebuah
Kaset yang berjudul Hadzihi Da`watuna (ini da`wah kami), yang direkam dalam bahasa
Arab dan didistribusi oleh Syuur Lil Intaaj Al-Islamy, dan kemudian diterjemahkan dan
ditulis ke dalam bahasa Inggris oleh al-manhaj.com. Artikel ini merupakan terjemahan yang
telah diedit dari kaset sebenarnya untuk bacaan yang lebih baik. Diterjemahkan: ke dalam
format artikel (bahasa Inggris) oleh Abu Maryam. Diproduksi oleh al-manhaj.com. Alih
bahasa oleh Rasyid.)

Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=29

Anda mungkin juga menyukai