615.1
Ind
m
MODUL PELATIHAN
PELAYANAN KEFARMASIAN BAGI APOTEKER
DI PUSKESMAS
KATA SAMBUTAN
Jakarta,
Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan
ttd
Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D
NIP.19580503 198303 2 001
Modul
iv Modul Pelatihan Pelayanan Pelatihanbagi
Kefarmasian Pelayanan Kefarmasian
Apoteker bagi Apoteker di Puskesmas
di Puskesmas ii
TIM PENYUSUN
DAFTAR ISI
3. 81
URAIAN MATERI.......................................................................................................................759
.. 82
Pokok Bahasan 1 : Perkenalan dan Pencairan Antara Peserta............... 80
Pokok Bahasan 2 : Perumusan Harapan, Kekhawatiran dan
804
Komitmen Terhadap Proses Pelatihan.........................86
Pokok Bahasan 3 : Kesepakatan Nilai, Norma, dan Kontrol Kolektif
Belajar Bersama.........................................................................815
89
MATERI PENUNJANG II : ANTIKORUPSI..................................................................................847
89
1.
Deskripsi........................................................................................................................................848
90
2.
Tujuan Pembelajaran...........................................................................................................848
90
3.
Uraian Materi.............................................................................................................................859
91
Pokok Bahasan 1 : Konsep Korupsi...........................................................................859
91
.. 95
Pokok Bahasan 2 : Konsep Anti Korupsi................................................................ 93
Pokok Bahasan 3 : Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Korupsi
98
....................................................................... 926
Pokok Bahasan 4 : Tatacara Pelaporan Dugaan Pelanggaran TPK . 100
102
pokok Bahasan 5 : Gratifikasi ....................................................... 103
105
MATERI PENUNJANG III : RENCANA TINDAK LANJUT .......................... .. 1059
111
1. DESKRIPSI SINGKAT................................................................. 10510
112
2. TUJUAN PEMBELAJARAN ......................................................... 10510
112
3. URAIAN MATERI........................................................................ 10510
112
PENUGASAN.......................................................................................... ....114
116
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 119
...117
Modul
ModulPelatihan Pelayanan
Pelatihan Kefarmasian
Pelayanan bagi
Kefarmasian Apoteker
bagi didi
Apoteker Puskesmas 1 1
Puskesmas
MATERI DASAR I :
KEBIJAKAN PELAYANAN KEFARMASIAN DALAM
SISTEM KESEHATAN NASIONAL
2 Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian
Modul bagi
Pelatihan ApotekerKefarmasian
Pelayanan di Puskesmas
bagi Apoteker di Puskesmas 2
1. Deskripsi
Pelayanan Kefarmasian merupakan bagian integral dari Sistem Kesehatan
Nasional dalam rangka mendukung terwujudnya tujuan pembangunan
kesehatan nasional.
2. Tujuan Pembelajaran
A. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti materi ini peserta mampu memahami Kebijakan
Pelayanan Kefarmasian dalam Sistem Kesehatan Nasional.
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah mengikuti materi ini peserta mampu:
1) Menjelaskan konsep Sistem Kesehatan Nasional
2) Menjelaskan kebijakan Pelayanan Kefarmasian
3) Menjelaskan Etika Profesi Apoteker
Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian bagi Apoteker di Puskesmas 33
3. Uraian Materi
POKOK BAHASAN 1 : KONSEP SISTEM KESEHATAN NASIONAL (SKN)
1) Pengertian Sistem Kesehatan Nasional
Sistem Kesehatan Nasional, yang selanjutnya disingkat SKN adalah
pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen bangsa
Indonesia secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin
tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan, seluruh unsur penyusun
dalam SKN merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan saling terkait
satu sama lain dalam.
2) Tujuan SKN
Tujuan SKN adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua
komponen bangsa, baik Pemerintah, Pemerintah Daerah,dan/atau
masyarakat termasuk badan hukum, badan usaha, danlembaga swasta
secara sinergis, berhasil guna dan berdaya guna, sehingga terwujud derajat
kesehatan masyarakat yang setinggitingginya.
3) Fungsi SKN
a. Kebijakan dan regulasi
b. Manajemen dan administrasi
c. Pemberdayaan dan informasi kesehatan
d. Tata hubungan antar sub sistem dan lingkungan
4 Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian
Modul bagi
Pelatihan ApotekerKefarmasian
Pelayanan di Puskesmas
bagi Apoteker di Puskesmas 4
MATERI DASAR II :
1. Deskripsi
Kebijakan Obat Nasional dimaksudkan untuk meningkatkan ketersediaan,
keterjangkauan, pemerataan obat secara berkelanjutan dalam rangka
mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi tingginya.
2. Tujuan Pembelajaran
A. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti materi ini peserta mampu memahami tujuan Kebijakan
Obat Nasional.
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah mengikuti materi ini peserta mampu:
1) Menjelaskan konsep Kebijakan Obat Nasional.
2) Menjelaskan implementasi Kebijakan Obat Nasional
Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian bagi Apoteker di Puskesmas 11
10
3. Uraian Materi
2) Tujuan KONAS
KONAS dalam pengertian luas dimaksudkan untuk meningkatkan
pemerataan dan keterjangkauan obat secara berkelanjutan, agar tercapai
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi tingginya. Keterjangkauan dan
penggunaan obat yang rasional merupakan bagian dari tujuan yang hendak
dicapai. Pemilihan obat yang tepat dengan mengutamakan penyediaan obat
esensial dapat meningkatkan akses serta kerasionalan penggunaan obat.
Dengan demikian tujuan KONAS adalah menjamin:
1) Ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat terutama obat esensial
2) Keamanan, khasiat dan mutu semua obat yang beredar serta melindungi
masyarakat dari penggunaan yang salah dan penyalahgunaan obat
3) Penggunaan obat yang rasional
MATERI INTI 1 :
2. Tujuan Pembelajaran
A. Tujuan Pembelajaran Umum
2. Tujuan Pembelajaran
Peserta mampu melakukan pengelolaan Sediaan Farmasi dan BMHP di
A. Tujuan Pembelajaran Umum
Puskesmas.
Peserta mampu melakukan pengelolaan Sediaan Farmasi dan BMHP di
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
Puskesmas.
Setelah mengikuti materi ini peserta dapat melakukan pengelolaan Sediaan
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
Farmasi dan BMHP, yang terdiri dari :
Setelah mengikuti materi ini peserta dapat melakukan pengelolaan Sediaan
1) Perencanaan
Farmasi dan BMHP, yang terdiri dari :
2) Pengadaan
1) Perencanaan
3) Penerimaan
2) Pengadaan
4) Penyimpanan
3) Penerimaan
5) Distribusi
4) Penyimpanan
6) Pemusnahan dan Penarikan
5) Distribusi
7) Pengendalian
6) Pemusnahan dan Penarikan
8) Pemantuan Dan Evaluasi
7) Pengendalian
8) Pemantuan Dan Evaluasi
Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian bagi Apoteker di Puskesmas 17
15
3. Uraian Materi
iii. Bila terdapat lebih dari satu pilihan yang memiliki manfaat yang
serupa maka pilihan diberikan kepada perbekalan kesehatan
yang :
Kemanfaatannya paling banyak diketahui berdasarkan data
ilmiah.
Kualitas dan stabilitas perbekalan kesehatan setelah
diedarkan yang paling baik.
Telah terregistrasi.
Paling mudah diperoleh.
Harga terjangkau.
Pemilihan perbekalan kesehatan berpedoman pada daftar dan harga
yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan yang masih berlaku melalui
E-Katalog Alkes.
b. Tahap Kompilasi Pemakaian Perbekalan Kesehatan.
Kompilasi pemakaian perbekalan kesehatan adalah rekapitulasi data
pemakaian perbekalan kesehatan di unit pelayanan kesehatan yang
bersumber dari Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat
(LPLPO). Kompilasi pemakaian perbekalan kesehatan dapat
digunakan sebagai dasar untuk menghitung stok optimum. Informasi
yang diperoleh adalah :
Pemakaian tiap jenis perbekalan kesehatan di Puskesmas
pertahun.
Persentase pemakaian tiap jenis perbekalan kesehatan terhadap
total pemakaian setahun di Puskesmas.
Pemakaian rata-rata untuk setiap jenis perbekalan kesehatan
secara periodik. Pengisian formulir kompilasi pemakaian
perbekalan kesehatan dengan cara seperti pada formulir kompilasi
pemakaian obat (formulir 3).
c. Tahap Perhitungan Kebutuhan Perbekalan Kesehatan.
Perencanaan kebutuhan perbekalan kesehatan perlu dilakukan
perhitungan secara tepat. Perhitungan kebutuhan perbekalan
kesehatan dapat dilakukan dengan menggunakan metode konsumsi.
Metode Konsumsi Metode konsumsi adalah metode yang didasarkan
atas analisa data konsumsi perbekalan kesehatan tahun sebelumnya.
Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian bagi Apoteker di Puskesmas 23
21
B. PENGADAAN OBAT
SO = SK + SWK + SWT+ SP
Bentuk
Aspek yang Diperiksa
Sediaan
Bila terjadi keraguan terhadap mutu obat dapat dilakukan pemeriksaan mutu di
Laboratorium yang ditunjuk pada saat pengadaan dan merupakan tanggung
jawab pemasok yang menyediakan. Petugas penerima obat bertanggung jawab
atas pemeriksaan fisik, penyimpanan, pemindahan, pemeliharaan dan
penggunaan obat berikut kelengkan pencatatan yang menyertainya
Obat dan perbekalan kesehatan hasil permintaan dapat dilakukan penerimaan
setelah mendapatkan persetujuan dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
atau pejabat yang diberi wewenang untuk itu. Petugas penerima obat wajib
melakukan pengecekan terhadap obat yang diserahterimakan sesuai dengan isi
dokumen (LPLPO), dan ditandatangani oleh petugas penerima serta diketahui
oleh Kepala Puskesmas. Petugas penerima dapat menolak apabila terdapat
kekurangan dan kerusakan obat. Setiap penambahan obat, dicatat dan
dibukukan pada buku penerimaan obat dan kartu stok.
Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian bagi Apoteker di Puskesmas 31
29
E. PENYIMPANAN OBAT
e. Pencegahan Kontaminasi
Wadah obat harus selalu tertutup rapat. Apabila wadah terbuka, maka
obat mudah tercemar oleh bakteri atau jamur.
f. Pemeliharaan Kebersihan
Ruangan yang kotor dapat mengundang tikus dan serangga lain yang
kemudian merusak obat.Etiket dapat menjadi kotor dan sulit terbaca.
Oleh karena itu bersihkan ruangan setiap hari. Lantai disapu dan dipel,
dinding dan rak dibersihkan.
3) Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyimpanan
a. Pemindahan harus hati-hati supaya obat tidak pecah/rusak.
b. Golongan antibiotik harus disimpan dalam wadah tertutup
rapat, terhindar dari cahaya matahari, disimpan di tempat
kering.
c. Vaksin dan serum harus dalam wadah yang tertutup rapat,
terlindung dari cahaya dan disimpan dalam Cold Chain (suhu 4–
o
8 C). Kartu temperatur yang ada harus selalu diisi setiap pagi
dan sore.
d. Obat injeksi disimpan dalam tempat yang terhindar dari cahaya
matahari langsung.
e. Bentuk dragee (tablet salut) disimpan dalam wadah tertutup
rapat dan pengambilannya menggunakan sendok.
f. Untuk obat dengan waktu kadaluwarsa yang sudah dekat
supaya diberi tanda khusus, misalnya dengan menuliskan
waktu kadaluarsa menggunakan spidol pada dus luar atau
menempelkan label warna sesuai dengan klasifikasi tahun
kadaluarsa. Kemudian obat disimpan terpisah (dikarantina) dari
obat-obat lain ketika menginjak 3 bulan sebelum masa
kadaluarsa. Setelah menginjak masa kadaluarsa obat kemudian
dimusnahkan sesuai dengan prosedur dan peraturan yang
berlaku.
g. Penyimpanan obat dengan kondisi khusus, seperti lemari
tertutup rapat, lemari pendingin, kotak kedap udara dan lain
sebagainya.
h. Cairan diletakkan di rak bagian bawah.
Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian bagi Apoteker di Puskesmas 35
33
F. DISTRIBUSI OBAT
H. PENGENDALIAN
Medication error dapat terjadi dimana saja dalam rantai pelayanan obat kepada
pasien mulai dari produksi dalam peresepan, pembacaan resep, peracikan,
penyerahan dan monitoring pasien. Di dalam setiap mata rantai ada beberapa
tindakan, sebab tindakan mempunyai potensi sebagai sumber kesalahan.
Setiap tenaga kesehatan dalam mata rantai ini dapat memberikan kontribusi
terhadap kesalahan ( Cohen, 1999).
Pengelolaan medication error sangat penting dilakukan dimanapun medikasi
diberikan, adapun tujuannya adalah sebagai berikut :
Menurunkan Insiden Keselamatan Pasien dalam medication error
Meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien.
Meminimalkan potensi terjadinya kerugian
Menanggapi pihak yang mengalami cedera dengan segera dan selayaknya
Mengantisipasi dan merencanakan pertanggungjawaban jika terjadi
kerugian.
Membantu praktisi kesehatan dan lembaga terkait untuk dapat menelusuri
kesalahan obat
Proses identifikasi kesalahan obat dalam hal ini termasuk :
Mendefinisikan suatu kesalahan obat dan KNC
Definisi-definisi dan proses-proses dikembangkan melalui proses
kerjasama yang mengikutsertakan semua yang terlibat di berbagai langkah
dalam manajemen obat.
Menggunakan format pelaporan yang ditentukan
Proses pelaporan adalah bagian dari program mutu dan program
keselamatan pasien di Puskesmas.
Serta mengedukasi petugas tentang proses dan pentingnya pelaporan
Pelaporan penting untuk perbaikan dalam proses pengobatan dan
pelatihan petugas digunakan untuk mencegah kesalahan di kemudian hari.
Identifikasi medication error dapat menggunakan rekam medis pasien selama
dirawat. Disadari bahwa rekam kesehatan mempunyai peran yang penting
dalam telusur medication error. Telusur ini dapat dilakukan dengan analisis
kuantitatif dan kualitatif.
44 Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian
Modul bagi
Pelatihan ApotekerKefarmasian
Pelayanan di Puskesmas
bagi Apoteker di Puskesmas 42
Beberapa istilah terkait dengan patient safety dan medikasi adalah sebagai
berikut :
1) Efek buruk obat (adverse drug event): cidera akibat kesalahan dalam
proses penggunaan obat.
2) Ceroboh (near miss): kesalahan penggunaan obat yang tak timbulkan
cidera.
3) Salah comot (slip): salah emban tak sengaja.
4) Misalnya, maksud mau suntikan heparin, tetapi yang terambil adalah
insulin
5) Lupa (lapse): salah/tak emban tugas karena lupa.
6) Keliru (mistake) salah terap karena kurang pengetahuan.
7) Misal : tak berikan Amikasin intravena dosis tunggal, melainkan dalam
dosis terbagi atau infus berlanjut.
8) Lalai (error of omission) : tak emban tugas, sesuai rencana/permintaan.
9) Berlebihan (error of comission) : penggunaan obat lebih banyak dari yang
diperlukan.
Misal : Ciprofloxacin oral diberikan 4 kali sehari, yang seharusnya cukup 2
kali sehari
Langkah – langkah yang dijalankan :
1) Pengelola obat mengidentifikasi kesalahan yang terjadi.
2) Pengelola obat berkoordinasi dengan koordinator pelayanan pendaftaran
untuk mencari alamat lengkap pasien.
Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian bagi Apoteker di Puskesmas 45
43
MATERI INTI 2 :
1. Deskripsi
Praktik farmasi klinik adalah praktik kefarmasian dimana apoteker adalah bagian
dari tim multidisiplin tenaga kesehatan yang dimaksudkan untuk mencapai
penggunaan obat yang berkualitas, termasuk didalamnya adalah :
Berpartisipasi dalam pengelolaan obat individual pasien
Pemanfaatan evidence based medicine dalam keseharian pelayanan
kefarmasian
Berkontribusi dalam bentuk pengetahuan dan keterampilan klinis
Identifikasi dan mengurangi risiko dalam penggunaan obat
Terlibat dalam edukasi pasien, keluarga pasien dan tenaga kesehatan lain
Terlibat dalam riset
2. Tujuan Pembelajaran
3. Uraian Materi
C. KEBUTUHAN PASIEN
Perlu penetapan prioritas pada pasien yang paling berisiko mengalami
masalah terkait obat, diantaranya :
1) Diduga mengalami masalah kesehatan terkait penggunaan obat
2) Berusia diatas 65 tahun
3) Menerima 5 atau lebih jenis obat
4) Menerima lebih dari 12 dosis obat perhari
5) Menerima obat yang membutuhkan pematauan terapetik atau obat
berisiko tinggi
6) Menunjukkan respon yang kurang optimal terhadap terapi
7) Mengalami masalah dalam penggunaan obat, misalnya karena buta huruf,
kesulitan berbicara, ketidakpahaman dalam bahasa Indonesia, mengalami
masalah penglihatan, dimensia, atau masalah kognitif lain
8) Mengalami gangguan fungsi ginjal atau hepatik
9) Mengalami masalah dalam kepatuhan penggunaan obat
10) Baru saja sebelumnya dirawat kurang dari 4 minggu atau sering
mengalami rawat inap.
52 Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian
Modul bagi
Pelatihan ApotekerKefarmasian
Pelayanan di Puskesmas
bagi Apoteker di Puskesmas 49
Pemberian obat kepada pasien adalah kegiatan penyerahan obat kepada pasien
disertai dengan informasi obat yang memadai meliputi indikasi, dosis, cara
penggunaan obat dan efek samping obat yang mungkin terjadi.
A. PENGKAJIAN RESEP
Penggunaan obat secara rasional menurut WHO (1985) adalah jika pasien
menerima obat yang sesuai dengan kebutuhannya untuk periode yang
adekuat dengan harga yang terjangkau untuknya dan masyarakat.
Penggunaan obat yang tidak rasional merupakan masalah penting yang
dapat menimbulkan dampak cukup besar dalam penurunan mutu
pelayanan kesehatan, misalnya peningkatan resistensi akibat penggunaan
antibiotik yang tidak rasional.
Penggunaan obat dikatakan tidak rasional jika tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara medik (medically inappropriate), baik
menyangkut ketepatan jenis, dosis, dan cara pemberian obat.
Kriteria Penggunaan Obat Rasional
1) Tepat Diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang
tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar maka pemilihan
obat tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya.
56 Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian
Modul bagi
Pelatihan ApotekerKefarmasian
Pelayanan di Puskesmas
bagi Apoteker di Puskesmas 53
Contoh I :
Anamnesis Diagnosis Terapi
- Diare
- Disertai darah dan lendir
- Serta gejala tenesmus
Amoebiasis Metronidazol
Contoh II :
Anamnesis Diagnosis Terapi
- Diare
- Disertai gejala tenesmus
Bukan Amoebiasis
Bukan Metronidazol
Pada contoh II, jika pemeriksa tidak jeli untuk menanyakan adanya
darah dalam feses, maka bisa saja diagnosis yang dibuat menjadi
kolera. Untuk yang terakhir ini obat yang diperlukan adalah tetrasiklin.
Akibatnya penderita amoebiasis di atas terpaksa mendapat tetrasiklin
yang sama sekali bukan antibiotik pilihan untuk amoebiasis.
4) Tepat Dosis
Agar suatu obat dapat memberikan efek terapi yang maksimal
diperlukan penentuan dosis, cara dan lama pemberian yang tepat.
Besar dosis, cara dan frekuensi pemberian umumnya didasarkan pada
umur dan/atau berat badan pasien.
Contoh :
Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat dengan rentang
terapi yang sempit misalnya Teofilin, Digitalis dan Aminoglikosida akan
sangat berisiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu
kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan.
6) Tepat Pasien
Mengingat respon individu terhadap efek obat sangat beragam maka
diperlukan pertimbangan yang seksama, mencakup kemungkinan
adanya kontraindikasi, terjadinya efek samping, atau adanya penyakit
lain yang menyertai. Hal ini lebih jelas terlihat pada beberapa jenis obat
seperti teofilin dan aminoglikosida. Pada penderita dengan kelainan
ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya dihindarkan karena risiko
terjadinya nefrotoksik pada kelompok ini meningkat secara bermakna.
Beberapa kondisi berikut harus dipertimbangkan sebelum memutuskan
pemberian obat.
58 Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian
Modul bagi
Pelatihan ApotekerKefarmasian
Pelayanan di Puskesmas
bagi Apoteker di Puskesmas 55
7) Tepat Informasi
Kejelasan informasi tentang obat yang harus diminum atau digunakan
pasien akan sangat mempengaruhi ketaatan pasien dan keberhasilan
pengobatan. Tenaga kefarmasian harus mampu menyediakan dan
memberikan informasi kepada pasien dan tenaga kesehatan lain untuk
menunjang penggunaan obat yang rasional dalam rangka mencapai
keberhasilan terapi. Informasi yang diberikan meliputi nama obat,
aturan pakai, lama pemakaian, efek samping yang ditimbulkan oleh
obat tertentu, dan interaksi obat tertentu dengan makanan.
Contoh :
Peresepan rifampisin akan mengakibatkan urin penderita berwarna
merah. Jika hal ini tidak diinformasikan, penderita kemungkinan
besar akan menghentikan minum obat karena menduga obat
tersebut menyebabkan kencing disertai darah. Padahal untuk
penderita tuberkulosis terapi dengan rifampisin harus diberikan
dalam jangka panjang.
Peresepan antibiotik harus disertai informasi bahwa obat tersebut
harus diminum sampai habis selama satu kurun waktu
pengobatan (1 course of treatment), meskipun gejala-gejala klinik
sudah mereda atau hilang sama sekali. Interval waktu minum obat
juga harus tepat, bila 4 kali sehari berarti tiap 6 jam.
Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian bagi Apoteker di Puskesmas 59
56
Untuk antibiotik hal ini sangat penting agar kadar obat dalamdarah
berada diatas kadar minimal yang dapat membunuh bakteri penyebab
penyakit.
9) Cost effectiveness
Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas, atau pemberian obat untuk
keadaan yang sama sekali tidak memerlukan terapi obat, jelas
merupakan pemborosan dan sangat membebani pasien.
Disini termasuk pula peresepan obat yang mahal padahal alternatif
obat yang lain dengan manfaat dan keamanan sama dan harga lebih
murah tersedia.
Contoh :
Pemberian antibiotik pada pasien ISPA non pneumonia dan diare non
spesifik, serta penggunaan injeksi pada pasien myalgia.
Hal ini merupakan pemborosan karena sebenarnya pasien tidak
memerlukan antibiotik dan injeksi.
60 Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian
Modul bagi
Pelatihan ApotekerKefarmasian
Pelayanan di Puskesmas
bagi Apoteker di Puskesmas 57
Pemantauan terapi bagi pasien rawat inap dapat dilakukan melalui visite.
Ronde/Visite Pasien Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap
yang dilakukan secara mandiri atau bersama tim profesi kesehatan lainnya
terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi, dan lain-lain.
Tujuan:
Memeriksa obat pasien.
Memberikan rekomendasi kepada dokter dalam pemilihan Obat dengan
mempertimbangkan diagnosis dan kondisi klinis pasien.
Memantau perkembangan klinis pasien yang terkait dengan
penggunaan obat.
Berperan aktif dalam pengambilan keputusan tim profesi kesehatan
dalam terapi pasien. Kegiatan yang dilakukan meliputi persiapan,
pelaksanaan, pembuatan dokumentasi dan rekomendasi.
DiagramAlir:
DATA
RESE
SOSIAL
P
PASIEN
PETUGAS
KAMAR OBAT BERKOORDINASI
MENGIDENTIFIK DENGAN ADA PETUGAS
MUL Y
ASI KESALAHAN KOORD.PENDAFTAR NO.TELP MENGHUBUNG
AI A
AN UNTUK ? I PASIEN DAN
MENDAPATKAN
ALAMAT LENGKAP
TIDA
K
PETUGAS
BUKU NOTULEN
MENDATANGI
TIND. PERBAIKAN
ALAMAT
BERKESINAMBUN
RUMAH
GAN
PASIEN
PETUGAS
PETUGAS
MENCATAT DAN
MEMBERIKAN
MENDOKUMENTAS
SELES OBAT YANG
IK AN TINDAKAN
AI SEHARUSNYA
PERBAIKAN YANG
DIAMBIL
Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian bagi Apoteker di Puskesmas 69
66
C. KOLABORASI INTERPROFESIONAL
3) Membuat buletin, leaflet, label Obat, poster, majalah dinding dan lain-
lain.
4) Melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap,
serta masyarakat.
5) Melakukan pendidikan dan/atau pelatihan bagi tenaga kefarmasian dan
tenaga kesehatan lainnya terkait dengan Obat dan Bahan Medis Habis
Pakai.
6) Mengoordinasikan penelitian terkait Obat dan kegiatan Pelayanan
Kefarmasian.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan:
1) Sumber informasi Obat
2) Tempat
3) Tenaga
4) Perlengkapan.
B. Petugas PIO
Pemberian Informasi Obat (PIO) dilakukan oleh apoteker yang memiliki Surat
Izin Praktik (SIP) yang berlaku dan telah memperoleh pelatihan farmasi klinik
lanjutan. Kegiatan PIO terkait dengan keputusan klinis pasien dilakukan oleh
apoteker utama.
C. Persiapan
Sebelum melakukan kegiatan PIO, petugas harus menyiapkan :
- buku referensi
- Formulir PIO
- Software Interaksi Obat.
D. Pelaksanaan
Tahapan pelaksanaan PIO meliputi :
1) Apoteker Instalasi Farmasi menerima pertanyaan lewat telepon, pesan
tertulis atau tatap muka.
2) Mengidentifikasi penanya: nama, status (dokter, perawat, apoteker, asisten
apoteker, pasien/keluarga pasien, dietisien, umum), asal unit kerja
penanya
Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian bagi Apoteker di Puskesmas 73
70
E. Evaluasi
Dilakukan evaluasi setiap akhir bulan dengan merekapitulasi jumlah
pertanyaan, penanya, jenis pertanyaan, ruangan, dan tujuan permintaan
informasi.
74 Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian bagi Apoteker di Puskesmas
e. Lama penggunaan
f. ESO yang umumterjadi
g. Interaksi dengan obat lain ( resep / OTC )
h. Interaksi dengan makanan - minuman
i. Pengaruh terhadap gaya hidup
j. Cara penyimpanan & pembuangan sisa obat / obat rusak
k. Interpretasi hasil lab, dll.
4) Pengujian (Verifikasi)
Tujuan :
- Untuk memastikan apakah pasien memahami informasi yang
sudah disampaikan.
- Mengulang hal-hal penting.
Teknik : fill in the gaps
- Pasien diminta untuk mengulang kembali informasi penting yang
telah diberikan.
- Pasien dapat juga diberi informasi tertulis berupa etiket, label,
brosur, leaflet
5) Penutup
a. Ingatkan waktu untuk kontrol
b. Berikan salam dan ucapkan :
- “semoga lekas sembuh”
- “senang melayani Anda”
- “jika adahal yang kurang jelas silakan datang kembali
(atau memberi nomor kontak)”
c. Lakukan pencatatan pada kartu konseling/ PMR.
6) Pencatatan, Pelaporan & Dokumentasi Konseling
a. Pelaksanaan konseling dicatat di form khusus konseling (kartu
konseling/PMR) dan log book, serta didokumentasikan.
b. Pelaporan :triwulan & tahunan.
7) Evaluasi Konseling Apoteker
a. Evaluasi kegiatan pelayanan konseling, meliputi :
- infrastruktur (kebijakan, protap, SDM)
- kuesioner kepuasan pelanggan.
76 Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian bagi Apoteker di Puskesmas
MATERI PENUNJANG I :
MEMBANGUN KOMITMEN BELAJAR (BUILDING
LEARNING COMMITMENT/BLC)
78 Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian
Modul bagi
Pelatihan ApotekerKefarmasian
Pelayanan di Puskesmas
bagi Apoteker di Puskesmas 74
1. DESKRIPSI SINGKAT
2. TUJUAN PEMBELAJARAN
A. Tujuan Pembelajaran Umum:
Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu melaksanakan Building
Learning Commitment (BLC) dalam proses pelatihan.
B. Tujuan Pembelajaran Khusus:
Setelah mengikuti materi ini peserta mampu:
1) Melakukan perkenalan dan pencairan antara peserta, fasilitator dan
panitia.
2) Merumuskan harapan, kekhawatiran dan komitmen terhadap proses
pelatihan.
3) Membuat kesepakatan nilai, norma, dan kontrol kolektif.
4) Menetapkan organisasi kelas.
3. URAIAN MATERI
Perkenalan dan pencairan antara peserta, fasilitator dan panitia dapat dilakukan
dengan metode berikut:
Langkah-langkah:
B. Komitmen
Adalah keterikatan, keterpanggilan seseorang terhadap apa yang dijanjikan atau
yang menjadi tujuan dirinya atau kelompoknya yang telah disepakati dan
terdorong berupaya sekuat tenaga untuk mengaktualisasikannya dengan
berbagai macam cara yang baik, efektif dan efisien. Komitmen
belajar/pembelajaran adalah keterpanggilan seseorang/kelompok/kelas untuk
berupaya dengan penuh kesungguhan mengaktualisasikan apa yang menjadi
tujuan pelatihan/pembelajaran. Keadaan ini sangat menguntungkan dalam
mencapai keberhasilan individu/kelompok/kelas, karena dalam diri setiap
orang yang memiliki komitmen tersebut akan terjadi niat baik dan tulus untuk
memberikan yang terbaik kepada individu lain, kelompok dan kelas secara
keseluruhan.
Dengan terbangunnya BLC, juga akan mendukung terwujudnya saling percaya,
saling kerja sama, saling membantu, saling memberi dan menerima, sehingga
tercipta suasana/ lingkungan pembelajaran yang kondusif.
Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian bagi Apoteker di Puskesmas 85
81
A. Kesepakatan Nilai
Kesepakatan (commitment) adalah sebuah kata yang memiliki makna yang
sangat penting dalam sebuah kelompok/komunitas. Kesepatan dibangun
berdasarkan nilai-nilai yang diyakini secara pribadi. Margaret Thatcher
menyatakan bahwa “…seseorang dapat mengubah taktik, strategi dan program-
programnya sesuai perubahan situasi namun tidak mengubah prinsip dan nilai
(value) yang diyakini pribadinya”.
Nilai-nilai pribadi peserta latih, mungkin berbeda mungkin pula sama. Melalui
proses diskusi dan interaksi dalam kelompok, peserta didorong untuk
memberikan pendapat/argumentasi atas pilihannya dan belajar saling
menghargai serta saling memahami akan nilai-nilai yang diyakini peserta
lainnya. Perbedaan haruslah dipahami sebagai kekayaan cara setiap individu
memandang sesuatu. Semakin banyak perbedaan semakin kaya dan luas kita
memandang sesuatu. Meskipun demikian semakin banyak perbedaan semakin
rentan terjadi konflik dan friksi, sehingga peserta latih belajar untuk tenggang
rasa. Melalui proses interaksi dalam diskusi peserta belajar untuk mencari
solusi untuk mensinergikan perbedaan diantara kelompok.
B. Kesepakatan Norma
Agar nilai-nilai yang telah disepakati tetap terjaga, maka diperlukan norma
belajar yang mengatur tata pergaulan selama proses belajar sehingga semua
memperoleh kesempatan untuk sukses. Nilai-nilai yang sudah ditetapkan
bersama dijabarkan dalam norma yang terukur dan jelas operasionalisasinya.
Norma merupakan nilai yang diyakini oleh suatu kelompok atau masyarakat,
kemudian menjadi kebiasaan serta dipatuhi sebagai patokan dalam perilaku
kehidupan sehari-hari kelompok/masyarakat tersebut. Norma adalah gagasan,
kepercayaan tentang kegiatan, instruksi, perilaku yang seharusnya dipatuhi
oleh suatu kelompok.
86 Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian
Modul bagi
Pelatihan ApotekerKefarmasian
Pelayanan di Puskesmas
bagi Apoteker di Puskesmas 82
MATERI PENUNJANG II :
ANTIKORUPSI
88 Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian
Modul bagi
Pelatihan ApotekerKefarmasian
Pelayanan di Puskesmas
bagi Apoteker di Puskesmas 84
ANTIKORUPSI
1. Deskripsi
2. Tujuan Pembelajaran
3. Uraian Materi
Dengan demikian arti kata korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat dan
merusak, berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan korupsi menyangkut:
sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan keadaan yang busuk, menyangkut
jabatan instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam
jabatan karena pemberian, menyangkut faktor ekonomi dan politik dan
penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan
jabatan.
90 Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian
Modul bagi
Pelatihan ApotekerKefarmasian
Pelayanan di Puskesmas
bagi Apoteker di Puskesmas 86
Berikut ini adalah berbagai bentuk korupsi yang diambil dari Buku Saku
yang dikeluarkan oleh KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK:
2006)
Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik lang-sung maupun tidak langsung
dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau perse-waan
yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk se-luruh atau sebagian ditugaskan
untuk mengurus atau mengawasinya.
7. Gratifikasi
1) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1);
2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi;
3) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XI/ MPR/ 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
4) UU no. 28 Th. 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3851);
5) UU no. 31 Th. 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan UU no. 20 Th. 2001;
Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian bagi Apoteker di Puskesmas 93
89
2) Transparansi
Salah satu prinsip penting anti korupsi lainnya adalah transparansi.
Prinsip transparansi ini penting karena pemberantasan korupsi
dimulai dari transparansi dan mengharuskan semua proses kebijakan
dilakukan secara terbuka, sehingga segala bentuk penyimpangan
dapat diketahui oleh publik (Prasojo: 2007).
Selain itu transparansi menjadi pintu masuk sekaligus kontrol bagi
seluruh proses dinamika struktural kelembagaan. Dalam bentuk yang
paling sederhana, transparansi mengacu pada keterbukaan dan
kejujuran untuk saling menjunjung tinggi kepercayaan (trust) karena
kepercayaan, keterbukaan, dan kejujuran ini merupakan modal awal
yang sangat berharga bagi para pegawai untuk dapat melanjutkan
tugas dan tanggungjawabnya pada masa kini dan masa mendatang
(Kurniawan: 2010).
Dalam prosesnya, transparansi dibagi menjadi lima yaitu 1) proses
penganggaran, 2) proses penyusunan kegiatan, 3) proses pembahasan,
4) proses pengawasan, dan 5) proses evaluasi.
Proses penganggaran bersifat bottom up, mulai dari perencanaan,
implementasi, laporan pertanggung-jawaban dan penilaian (evaluasi)
terhadap kinerja anggaran.
Proses penyusunan kegiatan atau proyek pembangunan terkait
dengan proses pembahasan tentang sumber-sumber pendanaan
(anggaran pendapatan) dan alokasi anggaran (anggaran belanja).
Proses pembahasan membahas tentang pembuatan rancangan
peraturan yang berkaitan dengan strategi penggalangan (pemungutan)
dana, mekanisme pengelolaan proyek mulai dari pelaksanaan tender,
pengerjaan teknis, pelaporan finansial dan pertanggungjawaban secara
teknis.
Proses pengawasan dalam pelaksanaan program dan proyek
pembangunan berkaitan dengan kepentingan publik dan yang lebih
khusus lagi adalah proyek-proyek yang diusulkan oleh masyarakat
sendiri. Proses lainnya yang penting adalah proses evaluasi.
Proses evaluasi ini berlaku terhadap penyelenggaraan proyek
dijalankan secara terbuka dan bukan hanya pertanggungjawaban
secara administratif, tapi juga secara teknis dan fisik dari setiap out
Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian bagi Apoteker di Puskesmas 95
91
3) Kewajaran
Prinsip fairness atau kewajaran ini ditujukan untuk mencegah
terjadinya manipulasi (ketidakwajaran) dalam penganggaran, baik
dalam bentuk mark up maupun ketidakwajaran lainnya. Sifat-sifat
prinsip kewajaran ini terdiri dari lima hal penting yaitu komprehensif
dan disiplin, fleksibilitas, terprediksi, kejujuran, dan informatif.
Komprehensif dan disiplin berarti mempertimbangkan keseluruhan
aspek, berkesinam-bungan, taat asas, prinsip pembebanan,
pengeluaran dan tidak melampaui batas (off budget), sedangkan
fleksibilitas artinya adalah adanya kebijakan tertentu untuk mencapai
efisiensi dan efektifitas. Terprediksi berarti adanya ketetapan dalam
perencanaan atas dasar asas value for money untuk menghindari
defisit dalam tahun anggaran berjalan. Anggaran yang terprediksi
merupakan cerminan dari adanya prinsip fairness.
Prinsip kewajaran dapat mulai diterapkan oleh pegawai dalam
kehidupan di dunia kerja. Misalnya, dalam penyusunan anggaran
program kegiatan kepegawaian harus dilakukan secara wajar.
Demikian pula dalam menyusun Laporan pertanggung-jawaban, harus
disusun dengan penuh tanggung-jawab.
4) Kebijakan
Prinsip anti korupsi yang keempat adalah prinsip kebijakan.
Pembahasan mengenai prinsip ini ditujukan agar pegawai dapat
mengetahui dan memahami kebijakan anti korupsi. Kebijakan ini
berperan untuk mengatur tata interaksi agar tidak terjadi
penyimpangan yang dapat merugikan negara dan masyarakat. Aspek-
aspek kebijakan terdiri dari isi kebijakan, pembuat kebijakan,
pelaksana kebijakan, kultur kebijakan. Kebijakan anti-korupsi akan
efektif apabila di dalamnya terkandung unsur-unsur yang terkait
dengan persoalan korupsi dan kualitas dari isi kebijakan tergantung
pada kualitas dan integritas pembuatnya.
Kebijakan yang telah dibuat dapat berfungsi apabila didukung oleh
aktor-aktor penegak kebijakan yaitu keKemenkesan, kejaksaan,
96 Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian
Modul bagi
Pelatihan ApotekerKefarmasian
Pelayanan di Puskesmas
bagi Apoteker di Puskesmas 92
5) Kontrol kebijakan
Prinsip terakhir anti korupsi adalah kontrol kebijakan. Kontrol
kebijakan merupakan upaya agar kebijakan yang dibuat betul-betul
efektif dan mengeliminasi semua bentuk korupsi. Pada prinsip ini,
akan dibahas mengenai lembaga-lembaga pengawasan di Indonesia,
self-evaluating organization, reformasi sistem pengawasan di Indonesia,
problematika pengawasan di Indonesia. Bentuk kontrol kebijakan
berupa partisipasi, evolusi dan reformasi. Kontrol kebijakan berupa
partisipasi yaitu melakukan kontrol terhadap kebijakan dengan ikut
serta dalam penyusunan dan pelaksanaannya dan kontrol kebijakan
berupa oposisi.
2) Perbaikan sistem
Memperbaiki peraturan perundangan yang berlaku, untuk
mengantisipasi perkembangan korupsi dan menutup celah hukum
atau pasal-pasal karet yang sering digunakan koruptor
melepaskan diri dari jerat hukum.
Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian bagi Apoteker di Puskesmas 99
95
5) Pencatatan Pengaduan
Pada dasarnya pengaduan disampaikan secara tertulis. Walaupun peraturan
yang ada menyebutkan bahwa pengaduan dapat dilakukan secara lisan,
tetapi untuk lebih meningkatkan efektifitas tindak lanjut atas suatu
perkara, maka pengaduan yang diterima masyarakat hanya berupa
pengaduan tertulis.
Pencatatan pengaduan masyarakat oleh Tim Dumasdu dilakukan sebagai
berikut:
a. Pengaduan masyarakat (dumas) yang diterima oleh Tim Dumasdu pada
Unit Eselon I berasal dari organisasi masyarakat, partai politik,
perorangan atau penerusan pengaduan oleh Kementerian/ Lembaga/
Komisi Negara dalam bentuk surat, fax, atau email, dicatat dalam
agenda surat masuk secara manual atau menggunakan aplikasi sesuai
dengan prosedur pengadministrasian/ tata persuratan yang berlaku.
Pengaduan yang disampaikan secara lisan agar dituangkan ke dalam
formulir yang disediakan.
b. Pencatatan dumas tersebut sekurang-kurangnya memuat informasi
tentang nomor dan tanggal surat pengaduan, tanggal diterima, identitas
pengadu, identitas terlapor, dan inti pengaduan.
c. Pengaduan yang alamatnya jelas, segera dijawab secara tertulis dalam
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak surat pengaduan
diterima, dengan tembusan disampaikan kepada Sekretariat Tim
Dumasdu pada Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan.
Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat
(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri
dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa
sarana elektronik.
Pengecualian
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 C ayat (1):
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika
penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
1) Aspek Hukum
Aspek hukum gratifikasi meliputi tiga unsur yaitu: (1) dasar hukum, (2)
subyek hukum, (3) obyek hukum. Ada dua Dasar Hukum dalam gratifikasi
yaitu: (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 dan (2) Undang2-undang
No 20 Tahun 2001. Menurut undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 16: “setiap PNS atau
Penyelenggara Negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada
KPK”.
Undang-undang nomor 20 tahun 2001, menurut UU No 20 tahun 2001
tentang pemberantasan tindak korupsi pasal 12 C Ayat (1) tidak berlaku,
jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK. Ayat 2
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 wajib dilakukan
oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal
gratifikasi tersebut diterima.
Subyek hukum terdiri dari: (1) penyelenggara negara, dan (2) pegawai
negeri.
Penyelenggara negara meliputi: pejabat negara pada lembaga tertinggi
negara, pejabata negara pada lembaga tinggi negara, menteri, gubernur,
hakim, pejabat lain yang memilikifungsi startegis dalam kaitannya dalam
Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian bagi Apoteker di Puskesmas 105
101
3) Contoh Gratifikasi
Contoh pemberian yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi,antara lain:
Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah
dibantu;
Hadiah atau sumbangan dari rekanan yang diterima pejabat pada saat
perkawinan anaknya;
Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat/ pegawai negeri atau
keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma;
Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat/ pegawai negeri untuk
pembelian barang atau jasa dari rekanan;
106 Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian
Modul bagi
Pelatihan ApotekerKefarmasian
Pelayanan di Puskesmas
bagi Apoteker di Puskesmas 102
4) Sanksi Gratifikasi
Sanksi pidana yang menerima gratifikasi dapat dijatuhkan bagi pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang:
1. DESKRIPSI SINGKAT
Mata ajar ini membahas tentang konsep dasar RTL, dan mempraktekkan
teknik penyusunan RTL sesuai dengan kaidah yang telah ditentukan dengan
baik dan benar.
2. TUJUAN PEMBELAJARAN
A. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta mampu menyusun Rencana
Tindak Lanjut sesuai dengan kaidah yang telah ditentukan dengan baik dan
benar.
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah selesai mengikuti proses pembelajaran, peserta mampu:
1) Menjelaskan konsep dasar Rencana Tindak Lanjut.
2) Mempraktekkan teknik penyusunan Rencana Tindak Lanjut sesuai
dengan kaidah yang telah ditentukan dengan baik dan benar.
3. URAIAN MATERI
Rencana Tindak Lanjut (RTL) merupakan sebuah rencana kerja yang dibuat
secara individual oleh Peserta diklat setelah peserta diklat mengikuti seluruh
mata diklat yang telah diberikan, merupakan proses sistematis untuk
mempersiapkan kegiatan-kegiatan dalam rangka mengukur evaluasi paska
pelatihan yang idealnya dilakukan pada setiap akhir pelatihan.
Manfaat bagi peserta diklat adalah lebih meningkatkan kemampuan
mengidentifikasi, menganalisis, serta memecahkan masalah dalam rangka
meningkatkan kinerja unit kerja. Tujuan RTL meliputi :
Mengetahui sejauh manakah tingkat penyerapan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap perilaku peserta diklat setelah mengikuti diklat.
Mengetahui kemampuan peserta diklat dalam menuangkan ide, gagasan
melalui lisan dan tulisan secara sistematis.
Salah satu rencana pengembangan unit kerja agar dapat mencapai visi dan
misinya.
Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian bagi Apoteker di Puskesmas 111
106
PENUGASAN
B. Penyimpanan Obat
Peserta diberikan foto mengenai kondisi suatu ruangan penyimpanan obat
di Puskesmas, kemudian diminta untuk mendiskusikan masalah yang
ditemukan pada gambar, serta mencari solusi terhadap masalah yang
timbul. (1 JP)
B. PIO
Dalam rangka mempersiapkan Hari Kesehatan Nasional di wilayah sekitar
Puskesmas Anda diminta untuk mengisi acara penyuluhan terkait
penggunaan obat TB, Diabetes, dan hipertensi. Serta diminta menyiapkan
leaflet yang akan diberikan kepada masyarakat. (2 JP)
C. Pengkajian Resep
D. Konseling
E. Dispensing Obat
Pasien bayi 9 bulan mendapatkan resep antibiotik dan antipirektik, hal apa
yang harus diperhatikan dalam penyiapan obat tersebut? (1 JP)
Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian bagi Apoteker di Puskesmas 117
111
DAFTAR PUSTAKA
Adi Soemarmo, Icebreaker, Permainan Atraktif Efektif, Penerbit: Andi, Yogyakarta,
2006.
Departemen Kesehatan R.I, Ditjen Binfar dan Alkes, Dit. Bina Obat Publik dan
perbekkes, Pedoman Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan, 2005.
Departemen Kesehatan R.I, Ditjen Binfar dan Alkes, Dit. Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik, Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas,
2006.
Departemen Kesehatan R.I, Ditjen Binfar dan Alkes, Dit. Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik, Modul TOT Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas, 2008.
Departemen Kesehatan R.I, Ditjen Binfar dan Alkes, Dit. Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik, Pedoman Pelayanan Informasi Obat di Rumah
Sakit, 2006.
Departemen Kesehatan R.I, Ditjen Binfar dan Alkes, Dit. Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik, Pedoman Konseling Pelayanan Kefarmasian di
Sarana Kesehatan, 2007.
Departemen Kesehatan R.I, Ditjen Binfar dan Alkes, Dit. Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik, Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Rumah
(Home Pharmacy Care), 2007.
Departemen Kesehatan R.I, Ditjen Binfar dan Alkes, Dit. Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik, Petunjuk Teknis Pelaksanaan Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek, 2008.
Departemen Kesehatan R.I, Ditjen Binfar dan Alkes, Dit. Bina Penggunaan Obat
Rasional, Modul Pelatihan Peggunaan Obat Rasional, 2006.
Departemen Kesehatan R.I, Ditjen Binfar dan Alkes, Dit. Bina Obat Publik dan
Perbekkes, Materi Pelatihan Pengelolaan Obat Kabupaten/Kota, 2003.
118 Modul Pelatihan Pelayanan Kefarmasian
Modul bagi
Pelatihan ApotekerKefarmasian
Pelayanan di Puskesmas
bagi Apoteker di Puskesmas 112
Dr. Uhar Suharsaputra, M.Pd Budaya Korupsi dan Pendidikan Tantangan bagi
Dunia Pendidikan.
Ir. Sri Ratna, MM dan Dra Sri Murtini, MPA, Dinamika Kelompok, Bahan Ajar
Diklat Prajabatan Golongan III, Lembaga Administrasi Negara RI, 2006.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 232/ Menkes/ SK/ VI/ 2013 Tentang
Strategi Komunikasi Penkerjaan dan Budaya Anti Korupsi.
LAN RI. Rencana Tindak Lanjut (Action Plan). Bahan Diklat bagi Pengelola Diklat,
2009.
Lynas, Kathie. 2010. A Step Forward for Medication Safety:Stakehol ders Agree to a
Common
Standard for Barcoding Pharmaceutica ls. CPJ/RPC, March/ April 2010:Vol 143
(2). Proquest Database.
World Health Organization, National Drug Policy and Rational Drug Use : A
Model Curriculum. Report DAP/85.6 Geneva.