Anda di halaman 1dari 81

PEDOMAN

AKSES KE PELAYANAN DAN KONTINUTAS PELAYANAN

A. SKRINING / TRIAGE PASIEN


BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Rumah sakit seharusnya mempertimbangkan bahwa pelayanan di rumah sakit merupakan bagian
dari suatu sistem pelayanan yang terintegrasi dengan para profesional dibidang pelayanan kesehatan
dan tingkat pelayanan yang akan membangun suatu kontinuitas pelayanan. Maksud dan tujuannya
adalah menyelaraskan kebutuhan pasien dibidang pelayanan kesehatan dengan pelayanan yang
tersedia di rumah sakit, mengkoordinasikan pelayanan, kemudian merencanakan pemulangan dan
tindakan selanjutnya. Hasilnya adalah meningkatkan mutu pelayanan pasien dan efisiensi
penggunaan sumber daya yang tersedia di rumah sakit. Informasi diperlukan untuk membuat
keputusan yang benar tentang kebutuhan pasien yang mana yang dapat dilayani rumah sakit,
pemberian pelayanan yang efisien kepada pasien, dan transfer dan pemulangan pasien yang tepat ke
rumah atau ke palayanan lain.
Menyesuaikan kebutuhan pasien dengan misi dan sumber daya rumah sakit tergantung pada
keterangan yang didapat tentang kebutuhan pasien dan kondisinya lewat skrining pada kontak
pertama. Skrining pada unit emergency dilaksanakan melalui kriteria triase, evaluasi visual atau
pengamatan, pemeriksaan fisik atau hasil dari pemeriksaan fisik, psikologik, laboratorium klinik atau
diagnostik imajing sebelumnya.
Skrining dapat terjadi disumber rujukan, pada saat pasien ditransportasi emergensi atau apabila
pasien tiba di rumah sakit. Hal ini sangat penting bahwa keputusan untuk mengobati, mengirim atau
merujuk hanya dibuat setelah ada hasil skrining dan evaluasi. Hanya rumah sakit yang mempunyai
kemampuan menyediakan pelayanan yang dibutuhkan dan konsisten dengan misinya dapat
dipertimbangkan untuk menerima pasien rawat inap atau pasien rawat jalan dan rujukan kepelayanan
kesehatan lainnya yang memiliki fasilitas yang memadai sesuai kebutuhan pasien.
b. Ruang Lingkup

Pelayanan di RS Tarumajaya mempunyai ruang lingkup seperti :


1. Pelayanan Ambulance
2. Pelayanan rawat jalan
3. Pelayanan rawat inap
4. Proses admisi rawat inap dan rawat jalan
5. Proses rujukan
6. Dokter Penanggung jawab Pelayanan (DPJP)

c. Tujuan

1. Perawatan pasien berkesinambungan


2. Kebutuhan pasien sesuai dengan pelayanan
3. Pelayanan terkoordinasi dengan baik
4. Pasien pulang terencana dan di follow up dengan baik.

d. Fokus Area

1. Saat pasien masuk RS


2. Kelanjutan perawatan
3. Pemulangan pasein rujukan dan follow up
4. Perpindahan pasien
5. Transportasi pasien
BAB II
DEFINISI

Gawat darurat adalah suatu keadaan yang mana penderita memerlukan pemeriksaan medis segera,
apabila tidak dilakukan akan berakibat fatal bagi penderita. Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah salah
satu unit di rumah sakit yang harus dapat memberikan pelayanan darurat kepada masyarakat yang
menderita penyakit akut dan mengalami kecelakaan, sesuai dengan standar.
IGD adalah suatu unit integral dalam satu rumah sakit dimana semua pengalaman pasien yang
pernah datang ke IGD tersebut akan dapat menjadi pengaruh yang besar bagi masyarakat tentang
bagaimana gambaran Rumah Sakit itu sebenarnya. Fungsinya adalah untuk menerima, menstabilkan dan
mengatur pasien yang menunjukkan gejala yang bervariasi dan gawat serta juga kondisi-kondisi yang
sifatnya tidak gawat. IGD juga menyediakan sarana penerimaan untuk penatalaksanaan pasien dalam
keadaan bencana, hal ini merupakan bagian dari perannya di dalam membantu keadaan bencana yang
terjadi di tiap daerah.
Rumah sakit merupakan terminal terakhir dalam menanggulangi penderita gawat darurat oleh
karena itu fasilitas rumah sakit, khususnya instalasi gawat darurat harus dilengkapi sedemikian rupa
sehingga dapat menanggulang gawat darurat. Pelayanan keperawatan gawat darurat merupakan
pelayanan profesional yang didasarkan pada ilmu dan metodologi keperawatan gawat darurat berbentuk
Bio-Psiko-Sosio-Spiritual yang komprehensif ditujukan kepada klien atau pasien yang mempunyai
masalah aktual atau potensial mengancam kehidupan tanpa atau terjadinya secara mendadak atau tidak di
perkirakan tanpa atau disertai kondisi lingkungan yang tidak dapat dikendalikan.
Skrining (screening) merupakan pemeriksaan sekelompok orang untuk memisahkan orang yang
sehat dari orang yang mempunyai keadaan patologis yang tidak terdiagnosis atau mempunyai risiko
tinggi. (Kamus Dorland ed. 25 : 974 ). Menurut Rochjati P (2008), skrining merupakan pengenalan dini
secara pro-aktif pada ibu hamil untuk menemukan adanya masalah atau faktor risiko. Sehingga skrining
bisa dikatakan sebagai usaha untuk mengidentifikasi penyakit atau kelainan yang secara klinis belum
jelas, dengan menggunakan tes, pemeriksaan atau prosedur tertentu yang dapat digunakan secara cepat
untuk membedakan orang yang terlihat sehat, atau benar – benar sehat tapi sesungguhnya menderita
kelainan.
Skrining pada unit emergency dilaksanakan melalui kriteria triase, evaluasi visual atau
pengamatan, pemeriksaan fisik atau hasil dari pemeriksaan fisik, psikologik, laboratorium klinik atau
diagnostik imajing sebelumnya.
1. Tujuan Skrining
Untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas dari penyakit dengan pengobatan dini terhadap
kasus-kasus yang ditentukan.
Test skrining dapat dilakukan
a) Pertanyaan/ Quesioner
b) Pemeriksaan fisik
c) Pemeriksaan laboratorium
d) X-ray
e) Diagnostik imaging
BAB III
LANGKAH - LANGKAH SKRINING

Penderita non trauma atau trauma/multitrauma memerlukan penilaian dan pengelolaan yang cepat dan
tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Waktu berperan sangat penting, oleh karena itu diperlukan
cara yang mudah, cepat dan tepat. Proses awal ini dikenal dengan Initial assessment ( penilaian awal
).
Penilaian awal meliputi:
1. Persiapan
2. Triase
3. Primary survey (ABCDE)
4. Resusitasi
5. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi
6. Secondary survey
7. Tambahan terhadap secondary survey
8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinarnbungan
9. Transfer ke pusat rujukan yang lebih baik
Urutan kejadian diatas diterapkan seolah-seolah berurutan namun dalam praktek sehari-hari dapat
dilakukan secara bersamaan dan terus menerus.
I. PERSIAPAN
A. Fase Pra-Rumah Sakit
1. Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dan petugas lapangan
2. Sebaiknya terdapat pemberitahuan terhadap rumah sakit sebelum penderita mulai diangkut
dari tempat kejadian.
3. Pengumpulan keterangan yang akan dibutuhkan di rumah sakit seperti waktu kejadian,
sebab kejadian, mekanisme kejadian dan riwayat penderita.
B. Fase Rumah Sakit
1. Perencanaan sebelum penderita tiba
2. Perlengkapan airway sudah dipersiapkan, dicoba dan diletakkan di tempat yang mudah
dijangkau
3. Cairan kristaloid yang sudah dihangatkan, disiapkan dan diletakkan pada tempat yang
mudah dijangkau
4. Pemberitahuan terhadap tenaga laboratorium dan radiologi apabila sewaktu-waktu
dibutuhkan.
5. Pemakaian alat-alat proteksi diri

II. TRIASE
Triase adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber daya yang
tersedia. Dua jenis triase :
A. Multiple Casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma tidak melampaui kemampuan rumah sakit. Penderita
dengan masalah yang mengancam jiwa dan multi trauma akan mendapatkan prioritas
penanganan lebih dahulu.
B. Mass Casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma melampaui kemampuan rumah sakit. Penderita dengan
kemungkinan survival yang terbesar dan membutuhkan waktu, perlengkapan dan tenaga yang
paling sedikit akan mendapatkan prioritas penanganan lebih dahulu.
Pemberian label kondisi pasien pada musibah massal :
A. Label hijau
Penderita tidak luka . Ditempatkan di ruang tunggu untuk dipulangkan.
B. Label kuning
Penderita hanya luka ringan. Ditempatkan di kamar bedah minor UGD.
C. Label merah
Penderita dengan cedera berat. Ditempatkan di ruang resusitasi UGD dan disiapkan
dipindahkan ke kamar operasi mayor UGD apabila sewaktu-waktu akan dilakukan operasi
D. Label biru
Penderita dalam keadaan berat terancam jiwanya. Ditempatkan di ruang resusitasi UGD
disiapkan untuk masuk intensive care unit atau masuk kamar operasi.
E. Label hitam
Penderita sudah meninggal. Ditempatkan di kamar jenazah.

III. PRIMARY SURVEY


A. Airway dengan kontrol servikal
1. Penilaian
a. Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi)
b. Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
2. Pengelolaan airway
a. Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line immobilisasi
b. Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat yang rigid
c. - Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal
- Pasang airway definitif sesuai indikasi ( lihat tabel 1 )
3. Fiksasi leher
4. Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada setiap penderita multi
trauma, terlebih bila ada gangguan kesadaran atau perlukaan diatas klavikula.
5. Evaluasi
Tabel 1- Indikasi Airway Definitif
Kebutuhan untuk perlindungan Kebutuhan untuk ventilasi
airway
Tidak sadar Apnea
• Paralisis neuromuskuler
• Tidak sadar
Fraktur maksilofasial Usaha nafas yang tidak adekuat
• Takipnea
• Hipoksia
• Hiperkarbia
• Sianosis
Bahaya aspirasi Cedera kepala tertutup berat yang
• Perdarahan membutuhkan hiperventilasi singkat,
• Muntah - muntah bila terjadi penurunan keadaan neurologis
Bahaya sumbatan
• Hematoma leher
• Cedera laring, trakea
• Stridor

B. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi


1. Penilaian
a. Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan kontrol servikal in-line
immobilisasi
b. Tentukan laju dan dalamnya pernapasan
c. Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan terdapat deviasi
trakhea, ekspansi thoraks simetris atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan tanda-
tanda cedera lainnya.
d. Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
e. Auskultasi thoraks bilateral
2. Pengelolaan
a. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi ( nonrebreather mask 11-12 liter/menit)
b. Ventilasi dengan Bag Valve Mask
c. Menghilangkan tension pneumothorax
d. Menutup open pneumothorax
e. Memasang pulse oxymeter
3. Evaluasi

C. Circulation dengan kontrol perdarahan


1. Penilaian
a. Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
b. Mengetahui sumber perdarahan internal
c. Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus. Tidak
diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi
masif segera.
d. Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
e. Periksa tekanan darah
2. Pengelolaan
a. Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
b. Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta konsultasi pada ahli
bedah.
c. Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah untuk
pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia subur), dan golongan
darah
d. Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.
e. Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasien-pasien fraktur
pelvis yang mengancam nyawa.
f. Cegah hipotermia
3. Evaluasi
D. Disability
1. Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS
2. Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tanda-tanda lateralisasi
3. Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi, ventilasi dan circulation.
E. Exposure/Environment
1. Buka pakaian penderita
2. Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang cukup hangat.

IV. RESUSITASI
A. Re-evaluasi ABCDE
B. Dosis awal pemberian cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml pada dewasa dan 20 mL/kg pada
anak dengan tetesan cepat ( lihat tabel 2 )
C. Evaluasi resusitasi cairan
1. Nilailah respon penderita terhadap pemberian cairan awal ( lihat tabel 3 dan tabel 4 )
2. Nilai perfusi organ ( nadi, warna kulit, kesadaran dan produksi urin ) serta awasi tanda-
tanda syok
D. Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respon terhadap pemberian cairan awal.
1. Respon cepat
- Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan maintenance
- Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau pemberian darah
- Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan
- Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi operatif mungkin masih diperlukan
2. Respon Sementara
- Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambah dengan pemberian darah
- Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan operatif
- Konsultasikan pada ahli bedah ( lihat tabel 5 ).
3. Tanpa respon
- Konsultasikan pada ahli bedah
- Perlu tindakan operatif sangat segera
- Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti tamponade jantung atau
kontusio miokard
- Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya ( lihat tabel 6 )
Tabel 2- Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah,

Berdasarkan Presentasi Penderita Semula


KELAS I Kelas II Kelas III Kelas IV
Kehilangan Darah (mL) Sampai 750 750-1500 1500-2000 >2000
Kehilangan Darah (% Sampai 15% 15%-30% 30%-40% >40%
volume darah)
Denyut Nadi <100 >100 >120 >140
Tekanan Darah Normal Normal Menurun Menurun
Tekanan nadi Normal atau Menurun Menurun Menurun
(mm Hg) Naik
Frekuensi Pernafasan 14-20 20-30 30-40 >35
Produksi Urin >30 20-30 5-15 Tidak berarti
(mL/jam)
CNS/ Status Sedikit cemas Agak cemas Cemas, Bingung,lesu
Mental bingung (lethargic)
Penggantian Cairan Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan Kristaloid dan
(Hukum 3:1) darah darah

Table 3-Penilaian Awal dan Pengelolaan Syok


KONDISI PENILAIAN PENGELOLAAN
(Pemeriksaan Fisik)
Tension • Deviasi Tracheal • Needle decompression
Pneumothorax • Distensi vena leher • Tube thoracostomy
• Hipersonor
• Bising nafas (-)
Massive hemothorax • ± Deviasi Tracheal • Venous access
• Vena leher kolaps • Perbaikan Volume
• Perkusi : dullness • Konsultasi bedah
• Bising nafas (-) • Tube thoracostomy
Cardiac tamponade • Distensi vena leher Pericardiocentesis
• Bunyi jantung jauh • Venous access
• Ultrasound • Perbaikan Volume
• Pericardiotomy
• Thoracotomy

Perdarahan Intraabdominal • Distensi abdomen • Venous access


• Uterine lift, bila hamil • Perbaikan Volume
• DPL/ultrasonography • Konsultasi bedah
• Pemeriksaan Vaginal • Jauhkan uterus dari vena
cava
Perdarahan Luar • Kenali sumber perdarahan Kontrol Perdarahan
• Direct pressure
• Bidai / Splints
• Luka Kulit kepala yang
berdarah : Jahit

Tabel 4-Penilaian Awal dan Pengelolaan Syok


KONDISI IMAGE FINDINGS SIGNIFICANCE INTERVENSI
Fraktur Pelvic x-ray • Kehilangan darah kurang • Perbaikan Volume
Pelvis • Fraktur Ramus dibanding jenis lain • Mungkin Transfuse
Pubic • Mekanisme • Hindari manipulasi
Kompresi Lateral berlebih
• Open book • Pelvic volume ↑ • Perbaikan Volume
• Mungkin Transfusi
• Pelvic volume
• Rotasi Internal Panggul
• PASG
• Vertical shear • Sumber perdarahan • External fixator
banyak • Angiography
• Traksi Skeletal
• Konsultasi Ortopedi
Cedera CT scan • Potensial kehilangan • Perbaikan Volume
Organ Dalam • Perdarahan darah • Mungkin Transfusi
intraabdomimal • Hanya dilakukan bila • Konsultasi Bedah
hemodinamik stabil
Tabel 5-Transient Responder
ETIOLOGI PEM.FISIK PEM.DIAGNOSTIK INTERVENSI
TAMBAHAN
Dugaan Jumlah • Distensi Abdomen • DPL atau • Konsultasi Bedah
perdarahan kurang • Fraktur Pelvis ultrasonografi • Perbaikan Volume
atau • Fraktur Pelvis • Mungkin Transfusi
Perdarahan Berlanjut • Perdarahan Luar • Pasang bidai
Nonhemorrhagic • Distensi vena leher • Pericardiocentesis • Reevaluasi toraks
• Cardiac • Bunyi jantung jauh • Dekompresi jarum
tamponade • Ultrasound Tube thoracostomy
• Bising nafas normal
• Recurrent/ • Deviasi Tracheal
persistent tension • Distensi versa leher
pneumothorax • Hipersonor
• Bising nafas (-)

Tabel 6-Non responder


ETIOLOGI PEM.FISIK PEM.DIAGNOST INTERVENSI
IK
TAMBAHAN
Massive blood loss • Distensi • DPL/USG • Intervensi segera
(Class III atau IV) Abdomen (ahli bedah)
• Intraabdominal •Perbaikan Volume
bleeding • Resusitasi Operatif
Nonhemorrhagic • Distensi Vena • Chest Decompresion
• Tension Leher (Needle
pneumothorax • Trachea tergeser thoracocentesis
• Suara nafas diteruskan
menghilang dengan tube
• Hipersonor thoracostomy)
• Mungkin diperlukan
penggunaan
monitoring
invasive
Nonhemorrhagic • Distensi vena •Pericardiocentesis • Nilai ulang ABCDE
•Cardiac leher • Nilai ulang jantung
tamponade • Bunyi jantung • Pericardiocentesis
jauh
• Ultrasound
• Bising nafas
normal
• Cedera tumpul • Nadi # teratur • EKG : kelainan • Persiapan OK
jantung • Perfusi jelek iskemik • Invasive monitoring
• Transesophageal • Inotropic support
echocardiography • Pertimbangkan
• Ultrasonography operasi
(pericardial)

V. TAMBAHAN PADA PRIMARY SURVEY DAN RESUSITASI


A. Pasang EKG
1. Bila ditemukan bradikardi, konduksi aberan atau ekstrasistole harus dicurigai adanya
hipoksia dan hipoperfusi
2. Hipotermia dapat menampakkan gambaran disritmia
B. Pasang kateter uretra
1. Kecurigaan adanya ruptur uretra merupakan kontra indikasi pemasangan kateter urine
2. Bila terdapat kesulitan pemasangan kateter karena striktur uretra atau BPH, jangan
dilakukan manipulasi atau instrumentasi, segera konsultasikan pada bagian bedah
3. Ambil sampel urine untuk pemeriksaan urine rutine
4. Produksi urine merupakan indikator yang peka untuk menilai perfusi ginjal dan
hemodinamik penderita
5. Output urine normal sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa, 1 ml/kgBB/jam pada
anak-anak dan 2 ml/kgBB/jam pada bayi
C. Pasang kateter lambung
1. Bila terdapat kecurigaan fraktur basis kranii atau trauma maksilofacial yang merupakan
kontraindikasi pemasangan nasogastric tube, gunakan orogastric tube.
2. Selalu tersedia alat suction selama pemasangan kateter lambung, karena bahaya aspirasi
bila pasien muntah.
D. Monitoring hasil resusitasi dan laboratorium
Monitoring didasarkan atas penemuan klinis; nadi, laju nafas, tekanan darah, Analisis Gas
Darah (BGA), suhu tubuh dan output urine dan pemeriksaan laboratorium darah.
E. Pemeriksaan foto rotgen dan atau FAST
1. Segera lakukan foto thoraks, pelvis dan servikal lateral, menggunakan mesin x-ray.
2. Pemeriksaan foto rotgen harus selektif dan jangan sampai menghambat proses resusitasi. Bila
belum memungkinkan, dapat dilakukan pada saat secondary survey.
3. Pada wanita hamil, foto rotgen yang mutlak diperlukan, tetap harus dilakukan.

VI. SECONDARY SURVEY


A. Anamnesis (khusus pasien trauma)
Anamnesis yang harus diingat :
S : Syndrome
A : Alergi
M : Mekanisme dan sebab trauma
M : Medikasi ( obat yang sedang diminum saat ini)
P : Past illness
L : Last meal (makan minum terakhir)
E : Event/Environtment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.
B. Pemeriksaan Fisik ( lihat tabel 7 )
Tabel 7- Pemeriksaan Fisik pada Secondary Survey
Hal yang Identifikasi/ Konfirmasi
Penilaian Penemuan Klinis
dinilai Tentukan dengan
Tingkat • Beratnya • Skor GCS •  8, cedera kepala berat • CT Scan
Kesadaran trauma • 9 -12, cedera kepala sedang • Ulangi tanpa
kapitis • 13-15, cedera kepala ringan relaksasi Otot
Pupil • Jenis cedera • Ukuran • "mass effect" • CT Scan
kepala • Bentuk • Diffuse axional injury
• Luka pada • Reaksi • Perlukaan mata
mata
Kepala • Luka pada • Inspeksi • Luka kulit kepala • CT Scan
kulit kepala adanya • Fraktur impresi
• Fraktur luka dan • Fraktur basis
tulang fraktur
tengkorak • Palpasi
adanya
fraktur
Maksilofas • Luka • Inspeksi : • Fraktur tulang wajah • Foto tulang
ial jaringan deformitas wajah
lunak • Maloklusi • Cedera jaringan lunak
• Fraktur • Palpasi : • CT Scan tulang
• Kerusakan krepitus wajah
syaraf
• Luka dalam
mulut/gigi
Leher • Cedera pada • Inspeksi • Deformitas faring • Foto servikal
faring • Palpasi • Emfisema subkutan • Angiografi/
• Fraktur • Auskultasi • Hematoma Doppler
servikal • Murmur • Esofagoskopi
• Kerusakan • Tembusnya platisma • Laringoskopi
vaskular • Nyeri, nyeri tekan C spine
• Cedera
esofagus
• Gangguan
neurologis
Toraks • Perlukaan • Inspeksi • Jejas, deformitas, gerakan • Foto toraks
dinding • Palpasi • Paradoksal • CT Scan
toraks • Auskultasi • Nyeri tekan dada, krepitus • Angiografi
• Emfisema • Bising nafas berkurang • Bronchoskopi
subkutan • Bunyi jantung jauh • Tube torakostomi
• Pneumo/ • Krepitasi mediastinum • Perikardio
hematotorak • Nyeri punggung hebat sintesis
• Cedera • USG Trans-
bronchus Esofagus
• Kontusio
paru
• Kerusakan
aorta
torakalis

Tabel 7- Pemeriksaan Fisik pada Secondary Survey ( lanjutan )


Hal yang Identifikasi/ Konfirmasi
Penilaian Penemuan klinis
Dinilai tentukan dengan
Abdomen/ • Perlukaan dd. • Inspeksi • Nyeri, nyeri tekan • DPL
pinggang Abdomen • Palpasi abd. • FAST
• Cedera intra- • Auskultasi • Iritasi peritoneal • CT Scan
peritoneal • Tentukan arah • Cedera organ • Laparotomi
• Cedera penetrasi viseral • Foto dengan
retroperitoneal • Cedera kontras
retroperitoneal • Angiografi
Pelvis • Cedera Genito- • Palpasi simfisis • Cedera Genito- • Foto pelvis
urinarius pubis untuk rinarius (hematuria) • Urogram
• Fraktur pelvis pelebaran • Fraktur pelvis • Uretrogram
• Nyeri tekan • Perlukaan • Sistogram
tulang elvis perineum, rektum, • IVP
• Tentukan vagina • CT Scan dengan
instabilitas kontras
pelvis (hanya
satu kali)
• Inspeksi
perineum
• Pem.
Rektum/vagina
Medula • Trauma kapitis • Pemeriksaan • "mass effect" • Foto polos
spinalis • Trauma medulla motorik unilateral • MRI
spinalis • Pemeriksaan • Tetraparesis
• Trauma syaraf sensorik Paraparesis
perifer • Cedera radiks syaraf
Kolumna • Fraktur • Respon verbal • Fraktur atau • Foto polos
vertebralis • lnstabilitas terhadap nyeri, dislokasi • CT Scan
kolumna tanda lateralisasi
Vertebralis • Nyeri tekan
• Kerusakan • Deformitas
syaraf
Ekstremitas • Cedera jaringan • Inspeksi • Jejas, • Foto ronsen
lunak • Palpasi pembengkakan, • Doppler
• Fraktur pucat • Pengukuran
• Kerusakan sendi • Mal-alignment tekanan
• Defisit neuro- • Nyeri, nyeri tekan, kompartemen
vascular Krepitasi • Angiografi
• Pulsasi hilang/
berkurang
• Kompartemen
• Defisit neurologis
VII. TAMBAHAN PADA SECONDARY SURVEY
A. Sebelum dilakukan pemeriksaan tambahan, periksa keadaan penderita dengan teliti dan
pastikan hemodinamik stabil
B. Selalu siapkan perlengkapan resusitasi di dekat penderita karena pemeriksaan tambahan
biasanya dilakukan di ruangan lain
C. Pemeriksaan tambahan yang biasanya diperlukan :
1. CT scan kepala, abdomen
2. USG abdomen, transoesofagus
3. Foto ekstremitas
4. Foto vertebra tambahan
5. Urografi dengan kontras
VIII. RE-EVALUASI PENDERITA
A. Penilaian ulang terhadap penderita, dengan mencatat dan melaporkan setiap perubahan pada
kondisi penderita dan respon terhadap resusitasi.
B. Monitoring tanda-tanda vital dan jumlah urin
C. Pemakaian analgetik yang tepat diperbolehkan
BAB IV

PROSES PENERIMAAN PASIEN RAWAT INAP DAN PENDAFTARAN RAWAT JALAN

Pada waktu proses penerimaan pendaftaran pasien rawat inap, pasien dan keluarga diberikan
penjelasan yang cukup untuk membuat keputusan berkenaan dengan pelayanan yang dianjurkan.
Penjelasan mencakup tentang pelayanan yang dianjurkan, hasil yang diharapkan dan perkiraan biaya dari
pelayanan tersebut. Penjelasan tersebut dapat dalam bentuk lisan dan dipertegas dalam bentuk tertulis
yang di perkuat dengan tanda tangan petugas dan pasien / keluarga pasien sebagai bukti bahwa penjelasan
tersebut telah di berikan oleh petugas dan diterima dengan baik oleh pasien/ keluarga.
Bukti tertulis diikut sertakan dalam rekam medis pasien.

Proses pendaftaran pasien rawat inap tersebut adalah sebagai berikut:


1. Pasien / keluarga pasien datang ke bagian admision didampingi oleh perawat rawat jalan
untuk proses administrasi pendaftaran rawat inap sebelum pasien mendapatkan pelayanan
rawat inap di Rumah Sakit Tarumajaya.
2. Perawat melakukan transfer informasi pasien dan dokumen kepada petugas admission.
3. Dokumen yang diserahkan oleh perawat rawat jalan ke petugas admission adalah:
a. Surat pengantar rawat
b. Formulir atau hasil pemeriksaan penunjang
c. Surat pengantar dan persetujuan operasi (jika pasien rencana akan dilakukan tindakan
operasi).
d. Formulir atau hasil konsultasi spesialis lain
4. Pasian dan keluarganya diberikan informasi pada waktu proses admisi tentang:
a. Pelayanan yang ditawarkan.
b. Hasil pelayanan yang diharapkan.
c. Perkiraan biaya pengobatan dan tindakan.
d. Pengambilan keputusan yang benar dari pasien dan keluarga pasien.
5. Berikan formulir surat pernyataan untuk diisi oleh pasien / keluarga.
6. Petugas admission meminta pasien / keluarga menunjukan kartu berobat / surat jaminan
perusahaan / asuransi sebagai bukti penjamin pengobatan pasien.
7. Petugas admission memproses adminstrasi pasien berdasarkan klasifikasi penjaminan
Tunai / Perusahaan / Asuransi / BPJS.
a. Penjaminan Tunai.
 Petugas admission memperlihatkan menu ruang rawat, menjelaskan fasilitas,
harga masing-masing ruang rawat dan mempersilahkan pasien / keluarga
pasien memilih kamar / ruang rawat yang diinginkan.
 Apabila pasien terencana untuk dilakukan tindakan pembedahan / operasi,
petugas admission menjelaskan perkiraan biaya pembedahan / operasi
tersebut.
 Petugas admission memesankan ruang / kamar rawat sesuai permintaan
pasien / keluarga.
 Petugas admission menginput data pasien kedalam sistem KHANZA
 Petugas admission menjelaskan tata tertib pasien selama mendapatkan
perawatan di Rumah Sakit Tarumajaya
 Pasien / keluarga pasien mengisi dan menadatangani Surat pernyataan
kesanggupan biaya
 Petugas admission memberikan kartu tunggu pasien rawat kepada keluarga
pasien
 Petugas admisi mengarahkan keluarga pasien untuk membayar uang muka
atau DP (down Payment) ke bagian kasir.
 keluarga pasien melakukan pembayaran uang muka ke bagian kasir.
 Petugas admisi melakukan transfer informasi, dokumen, pasien kepada
asisten perawat dan menandatangani formulir check list kelengkapan data
dan dokumen pasien rawat inap.
 Pasien diantar menggunakan alat transportasi sesuai dengan kondisi pasien
(kursi roda / stretcher) ke ruang rawat atau instalasi penunjang.
 Asisten perawat melakukan transfer informasi kepada perawat ruangan

b. Penjaminan Perusahaan / Asuransi


 Petugas admission menghubungi perusahaan / asuransi penjamin untuk
melakukan konfirmasi hak kelas rawat / fasilitas pasien serta meminta
perusahaan / asuransi menerbitkan surat jaminan.
 Petugas admission menghubungi ruang perawatan dan mencarikan kamar
rawat sesuai dengan hak pasien.
 Jika kamar sesuai hak pasien tidak tersedia / penuh, petugas admisi melihat
kembali perjanjian kerjasama dengan perusahaan tersebut.
 Petugas admission menginput data pasien kedalam sistem KHANZA.
 Pasien / keluarga pasien menadatangani surat pernyataan status penjaminan
pasien sebagai pasien asuransi/perusahaan, general consent pasien rawat inap
dan surat-surat yang di kirimkan oleh asuransi terkait (bila ada).
 Petugas admission memberikan kartu tunggu pasien rawat kepada keluarga
pasien, menjelaskan tata tertib yang berlaku.
 Petugas admission melakukan transfer informasi dokumen dan pasien kepada
asisten perawat dan menandatangani formulir check list kelengkapan data
dan dokumen pasien rawat inap.
 Pasien diantar menggunakan alat transportasi sesuai dengan kondisi pasien
(kursi roda / stretcher) ke ruang rawat atau instalasi penunjang
 Petugas admission menghubungi asuransi
 Asisten perawat melakukan transfer informasi kepada perawat ruangan

c. Penjaminan BPJS
 Petugas admisi meminta pasien / keluarga pasien untuk mengisi dan
menandatangani surat pernyataan status penjaminan pasien sebagai pasien
JKN yang dipandu oleh petugas admisi.

 Petugas admisi meminta pasien / keluarga menyerahkan fotocopy kartu


berobat BPJS, fotocopy kartu KTP/SIM atau tanda pengenal lainnya , dan
rujukan dari klinik / puskesmas (PPK1) dari pasien tersebut.
 Petugas admisi melakukan konfirmasi kepada petugas BPJS untuk
mendapatkan acc tindakan atau pembedahan.
 Petugas admisi menghubungi ruang perawatan untuk memesankan kamar
rawat sesuai dengan hak pasien.
 Petugas admission menginput data pasien kedalam sistem KHANZA
 Petugas admission membuat SEP (Surat eligibilitas pasien).
 Petugas admission memberikan kartu tunggu pasien rawat kepada keluarga
pasien, menjelaskan tata tertib yang berlaku dan menjelaskan maanfaatnya
terlebih dahulu.
 Petugas admission melakukan transfer informasi dokumen dan pasien kepada
asisten perawat dan menandatangani formulir check list kelengkapan data
dan dokumen pasien rawat inap.
 Pasien diantar menggunakan alat transportasi sesuai dengan kondisi pasien
(kursi roda / stretcher) ke ruang rawat atau instalasi penunjang

 Perawat melakukan transfer informasi kepada perawat ruangan.

d. Petugas Loket Pendaftaran Rawat Jalan

Dalam proses pendaftaran poliklinik rawat jalan pasien / keluarga pasien di


berikan informasi secara langsung ataupun melalui telepon apabila diketahui ada
penundaan pelayanan poliklinik dikarenakan keterlambatan dokter memulai jam
praktek atau perubahan jadwal praktek.
Tahapan proses pendaftaran tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Pasien mengambil nomor antrian pendaftaran di monitor pendaftaran yang telah
disediakan.
2. Pasien / keluarga pasien duduk di ruang tunggu yang disediakan.
3. Setelah nomor antrian muncul di layar antrian, pasien / keluarga pasien datang ke
bagian loket pendaftaran untuk mendaftaran diri / keluarga ke dokter umun /
spesialis yang di tuju dengan membawa persyaratan sesuai ketentuan penjaminan
dari perusahaan / asuransi / BPJS atau penjaminan pasien tunai.
4. Pasien / keluarga pasien diinformasikan ketersediaan jam praktek dokter.
5. Pasien setuju, petugas menginput data pasien kedalam sistem KHANZA
6. Petugas melengkapi berkas / dokumen seperti resume medis, penggesekan kartu
asuransi dan lain sebagainya.
7. Petugas mengarahkan pasien ke nurse station dokter yang dituju
8. Pasien menuju nurse station.
e. Petugas Nurse Station

1. Pasien atau keluarga pasien datang ke bagian nurse station membawa slip pendaftaran
rawat jalan
2. Petugas nurse station menginput nomor transaksi pendaftaran pasien ke dalam sistem
KHANZA
3. Petugas nurse station melakukan komunikasi kepada pasien untuk menanyakan keluhan,
tensi, timbang berat badan dan lain-lain.
4. Petugas nurse station menginformasikan nomor antrian pemeriksaan kepada pasien /
keluarga pasien: “ Bapak / Ibu …… nomor urut pemeriksaan anda adalah No….. mohon
silahkan duduk dikursi tunggu yang kami telah sediakan sebelum nomor antrian anda
dipanggil”.
5. Setelah no antrian muncul di layar monitor dokter, pasien dipersilahkan masuk.

Dalam hal pelayanan diagnostik jika ada kendala dalam pelayanan termasuk didalam
nya waktu tunggu, pasien diberikan informasi apabila diketahui adanya waktu
menunggu yang lama untuk pelayanan diagnostik dan pengobatan atau dalam
mendapatkan rencana pelayanan yang membutuhkan penempatan di daftar tunggu,
pasien juga diinformasikan tentang alasan penundaan dan menunggu serta diberi
alternatif yang tersedia.

Proses pelayanan di ruang pelayanan penunjang diagnostik adalah sebagai berikut:

1. Pasien datang ke bagian penunjang pelayanan untuk daftar mendapatkan layanan


dengan membawa pengantar / permintaan pemeriksaan dari dokter perujuk.
2. Petugas administrasi memproses administrasi pendaftaran pasien sesuai dengan
klasifikasi penjaminan pasien Tunai, Perusahaan, BPJS, Asuransi.
3. Petugas ahli melakukan persiapan pemeriksaan.
4. Pasien dipersilahkan masuk ke dalam ruang pemeriksaan.
5. Informasikan perkiraan hasil pemeriksaan dapat diambil oleh pasien
f. Pengaturan alur pasien untuk menghindari penumpukan mencakup
A) .Ketersediaan tempat tidur ditempat sementara/transit/intermediate

1. Koordinator
Sebagaimana dimaksud, memiliki tanggung jawab untuk menggerakkan tim ke
lapangan dan mengoordinasikan kegiatan dengan kelompok lain diluar bidang
kesehatan

2. Tenaga Kesehatan
Tenaga medis, tenaga perawat, dan tenaga bidan yang ditunjuk adalah mereka yang
sudah terlatih terkait kasus kegawatdaruratan

3. Tenaga medis lain (supir ambulans)


Tenaga Medis lain yang ditunjuk adalah mereka yang telah terlatih menangani
kegawatdaruratan dasar dan cara mengemudi ambulans yangbaik.
4. Supervisor
Supervisor sebagaimana dimaksud memiliki tanggung jawab untuk
menggerakan team ke lapangan diluar jam kerja Management

Penumpukan yang terjadi di UGD dikarenakan pasien tidak bisa masuk ke ruangan
rawat inap maka penyelenggaraan alur dapat dilakukan penitipan sementara pasien di unit lain
yang fasilitasnya memadai sampai ruangan yang dibutuhkan tersedia

Terkait penitipan sementara pasien, Rumah Sakit bertanggung jawab terhadap


perencanaan fasilitas alokasi tempat, peralatan, utilitas, teknologi medis, dan kebutuhan lain
yang mendukung. Hal ini Bertujuan demi terciptanya budaya Keselamatan Pasien.

Monitoring dan perbaikan proses ini merupakan strategi yang tepat dan bermanfaat
untuk mengatasi masalah. Semua staf Rumah Sakit, mulai dari unit rawat inap, unit darurat, staf
medis, keperawatan, administrasi, lingkungan, dan manajemen risiko dapat ikut berperan serta
menyelesaikan masalah alur pasien.

B) .Perencanaan fasilitas

Rumah Sakit Tarumajaya mulai mengembangkan pelayananan Masing-masing


perawatan memiliki kualifikasi SDM dan kompetensi kasus. Jika pasien datang ke RS
Tarumajaya dan membutuhkan rawat inap, maka pasien akan ditempatkan pada Ruang
Perawatan yang sesuai dengan kualifikasi kasus dan kelas rawatnya.

Hal yang sering terjadi dalam pengaturan ruang rawat inap adalah tidak tersedianya
ruangan yang dituju. Dalam mengatasi hal ini, maka Rumah Sakit Tarumajaya
menetapkan kebijakan untuk menempatkan pasien sementara di ruangan perawatan
manapun yang kosong sampai ruang perawatan dan kelas yang sesuai dengan hak pasien
tersedia, dengan sebelumnya menginformasikan hal tersebut kepada pasien, tertulis dalam
berkas rekam medis.

C) Perencanaan Tenaga

Unit Gawat darurat yang penuh dan sesak dapat berpotensi menyebabkan pasien
menumpuk. Penundaan pelayanan dapat berpengaruh terhadap keselamatan pasien. Untuk
menghindari terjadinya penundaan pelayanan ataupun pelayanan yang tidak sesuai dengan
standar, maka Rumah Sakit Tarumajaya menetapkan sistem oncall petugas sesuai dengan
kualifikasi yang dibutuhkan oleh pasien.

D) Alur Pelayanan Pasien di Tempat Sementara/transit


Pasien yang ditempatkan ditempat sementara atau dititipkan diruangan yang kosong
atau di unit UGD tetap mendapatkan pemberian asuhan, tindakan, pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan radiologi, pemberian gizi, tindakan dikamar operasi, dan
unit pascaanastesi harus sama seperti yang diberikan dirawat inap.

Penempatan pasien sementara di Unit UGD dapat dilakukan maksimal 2 pasien jika
tidak terjadi penumpukan pasien di unit UGD. Namun jika Sudah terjadi penumpukan
maka pasien akan di arahkan untuk menunggu jika hasil screening hijau dan disarankan
ke Rumah Sakit terdekat jika hasil screening pasien Orange/ Merah

E) Pemberian Asuhan Pasien


Pemberian asuhan pasien yang sama kepada pasien yang dirawat ditempat
sementara/transit/intermediate seperti perawatan kepada pasien yang diruang rawat inap
BAB V
KESINAMBUNGAN PELAYANAN

Pada keseluruhan perpindahan pasien di rumah sakit, dimulai dari admisi sampai
dengan kepulangan atau perpindahan, dapat melibatkan berbagai departemen dan pelayanan
serta praktisi kesehatan untuk pemberian asuhan.
Dalam seluruh fase pelayanan, kebutuhan pasien disesuaikan dengan sumber daya
yang tersedia di dalam rumah sakit dan bila perlu di laur rumah sakit. Hal tersebut biasanya
dilakukan dengan menggunakan kriteria yan telah ditetapkan atau kebijakan di dalam rumah
sakit.
Untuk mewujudkan asuhan pasien yang berkesinambungan, rumah sakit memerlukan
desain dan melaksanakan proses pelayanan yang berkelanjutan dan koordinasi para dokter,
perawat dan tenaga kesehatan lain yang berada di :
1. Pelayanan emergensi dan pendaftaran pasien rawat inap.
2. Pelayanan diagnostik dan pelayanan pengobatan.
3. Pelayanan non bedah dan tindakan bedah.
4. Program pelayanan rawat jalan.

I. Tata laksana pengintegrasian dan koordinasi aktivitas asuhan pasien:

1. Rencana pelayanan diintegrasikan dan dikoordinasikan diantara berbagai unit kerja dan
pelayanan dengan berkoordinasi antar unit tim kerja dan pelayanan terkait di rumah sakit
a. Rumah Sakit Umum Semara Ratih merencanakan membuat asuhan pasien yang terintegrasi
dan terkoordinasi dalam satu lembar rekam medis pasien.
b. Semua pasien yang mendapat pelayanan di rumah sakit dibuat pengintegrasikan dan
koordinasi system pelaporan asuhan pasien menjadi tujuan untuk menghasilkan proses asuhan yang
efisien, dan lebih efektif sumber daya manusia dan sumber lainya.
c. Semua unit pelayanan yang memberikan asuhan pasien telah meyedikan rekam medis
pasien yang terintegrasi.
2. Pelaksanan pelayanan terintegrasi dan terkoordinasi antar unit kerja departemen dan pelayanan.
a. Pimpinan menggunkaan perangkat dan teknik agar dapat mengintegrasikan dan
mengkoordinasikan asuhan pasien.
b. Pelaksanaan terintegrasi anatar unit kerja,departemen dan pelayanan di rumah sakit.
c. Membuat asuhan secar tim,ronde pasien multi departemen,dan kombinasi bentuk
perencanaan asuhan, rekam medis pasien terintegrasi.
d. Proses asuhan pasien bersifat dinamis dan melibatkan banyak praktisi pelayanan
kesehtan dan dapat melibatkan berbagai unit kerja dan pelayanan.
e. Hasil rekam medis merupakan data yang akan di tindaklanjuti untuk dapat melakukan
asuhan pasien pada tahap selanjutnya.
f. Hasil rekam medis ini sebagai acuan dalam melakukan tindakan asuhan pada pasien.

3.Hasil atau kesimpulan rapat dari tim asuhan diskusi lain tentang kolaborasi di catat dalam

rekammedis pasien yang ada di Rumah Sakit Umum Semara Ratih.


a. Hasil rekam medis pasien dapat menjadi fasilitas dan menggambarkan integrasi dan koordinasi
asuhan.
b. Hasil rekam medis pasien merupakan data milik Rumah Sakit T a r u m a j a y a hanya
dapat di buka jika di minta pengadilan.
BAB VI
TRANSFER DI DALAM ATAU KELUAR RUMAH SAKIT

I. Latar Belakang

Rujuk pasien dapat dilakukan apabila kondisi pasien layak untuk di rujuk. Prinsip dalam
melakukan rujuk pasien adalah memastikan keselamatan dan keamanan pasien saat menjalani
rujuk. Pelaksanaan rujuk pasien dapat dilakukan intra rumah sakit atau antar rumah sakit.

Rujuk pasien dimulai dengan melakukan koordinasi dan komunikasi pra transportasi
pasien, menentukan SDM yang akan mendampingi pasien, menyiapkan peralatan yang disertakan
saat rujuk dan monitoring pasien selama rujuk. Rujuk pasien hanya boleh dilakukan oleh staf
medis dan staf keperawatan yang kompeten serta petugas profesional lainnya yang sudah terlatih.

I. Definisi

Rujuk pasien adalah memindahkan pasien dari satu ruangan keruang perawatan atau ruang
tindakan lain didalam rumah sakit (intra rumah sakit) atau memindahkan pasien dari satu rumah
sakit ke rumah sakit lain (antar rumah sakit).

II. Tujuan
Tujuan dari manajemen rujuk pasien adalah:
- Agar pelayanan rujuk pasien dilaksanakan secara profesional .
- Agar pemindahan pasien dilaksanakan dengan memperhatikan keselamatan pasien serta sesuai
dengan prosedur yang telah ditetapkan.

Tatacara Rujuk internal pasien di Rumah Sakit :


1. Keputusan untuk melakukan rujuk oleh DPJP.
2. Di informasikan kepada pasien dan keluarga tentang hal – hal yang berkaitan
dengan pelayanan yang ditawarkan, hasil yang diharapkan dan perkiraan biaya
dari pelayanan tersebut dan dicatat dalam Rekam Medis Pasien.

Tatacara Rujuk eksternal pasien di Rumah Sakit :


1. Keputusan untuk melakukan rujuk ditentukan oleh DPJP
2. Diinformasikan kepada pasien dan keluarga tentang hal – hal yang berkaitan
dengan pelayanan yang ditawarkan, hasil yang diharapkan dan perkiraan biaya
dari pelayanan.
3. Hal ini mencakup tahapan: evaluasi, komunikasi, dokumentasi / pencatatan,
pemantauan, penatalaksanaan, penyerahan pasien antar ruangan dalam rumah
sakit maupun ke rumah sakit rujukan / penerima.
4. Tahapan yang penting dalam menerapkan proses rujuk yang aman: edukasi dan
persiapan.
5. Pengambilan keputusan untuk melakukan rujuk harus dipertimbangkan dengan
matang karena rujuk berpotensi mengekspos pasien dan personel rumah sakit
akan risiko bahaya tambahan, serta menambah kecemasan keluarga dan kerabat
pasien.
6. Pertimbangkan risiko dan keuntungan dilakukannya rujuk. Jika risikonya lebih
besar, sebaiknya jangan melakukan rujuk.
7. Dalam rujuk pasien, diperlukan personil yang terlatih dan kompeten, peralatan
dan kendaraan khusus.

8. Dokumentasi pengambilan keputusan harus mencantumkan nama dokter yang


mengambil keputusan tanggal dan waktu diambilnya keputusan, serta alasan
yang mendasari.

9. Terdapat 3 alasan untuk melakukan rujuk pasien keluar RS Tarumajaya, yaitu:.

Rujuk pasien dimulai dengan melakukan koordinasi dan pra transportasi pasien,
menentukan SDM yang akan mendampingi pasien, menyiapakn peralatan dan
monitoring pasien selama rujuk.

Transfer atau rujuk di RS Tarumajayadilakukan atas dasar 3 alasan :

1). Alih rawat

Transfer untuk Penanganan dan Perawatan lebih lanjut ( alih rawat )


 Merupakan situasi emergensi dimana sangat diperlukan transfer untuk
tatalaksana pasien lebih lanjut.
 Pasien harus stabil sebelum di transfer.
2). Pemeriksaan diagnostik

Pasien di rujuk karena tidak ada alat atau dokter spesialis yang berkompeten
untuk mendiagnostik pasien lebih lanjut.

3). Pemeriksaan spesimen.


Pemeriksaan spesimen untuk laboratorium yang tidak dapat dilakukan di RS
Tarumajaya di rujuk ke laboratorium yang memiliki fasilitas yang ada
kerjasama dengan RS Tarumajaya.

10. Saat keputusan transfer telah diambil, dokter yang bertanggung jawab/ dokter ruangan
akan menghubungi unit / rumah sakit yang dituju.
11. Keputusan final untuk melakukan transfer ke luar RS Tarumajaya dipegang oleh
dokter senior/DPJP/ konsultan rumah sakit yang dituju.
12. Beritahukan kepada pasien (jika kondisinya memungkinkan) dan keluarga mengenai
perlunya dilakukan rujuk antar rumah sakit, dan mintalah persetujuan tindakan rujuk.

13. Proses pengaturan rujuk ini harus dicatat dalam status rekam medis pasien yang
meliputi: nama, jabatan, dan detail kontak personel yang membuat kesepakatan baik di
rumah sakit yang merujuk dan rumah sakit penerima; tanggal dan waktu dilakukannya
komunikasi antar-rumah sakit; serta saran-saran / hasil negosiasi kedua belah pihak.
14. Pusat layanan ambulan harus diberitahu sesegera mungkin jika keputusan untuk
melakukan transfer telah dibuat, bahkan bila waktu pastinya belum diputuskan. Hal
ini memungkinkan layanan ambulan untuk merencanakan pengerahan petugas dengan
lebih efisien.

Kriteria Penundaan Pasien saat di Rujuk :


1. Tempat rujukan penuh.
2. Kondisi hemodinamik pasien tidak stabil
3. Pasien menolak untuk di rujuk.
4. Fasilitas dan pelayanan yang dibutuhkan pasien tidak tersedia.
Stabilisasi Sebelum Rujuk
1. Meskipun berpotensi memberikan risiko tambahan terhadap pasien, rujuk yang aman
dapat dilakukan bahkan pada pasien yang sakit berat / kritis.
2. Rujuk sebaiknya tidak dilakukan bila kondisi pasien belum stabil (pasien kalau
kondisi sudah stabil)
3. Hipovolemia adalah kondisi yang sulit ditoleransi oleh pasien akibat adanya
akselerasi dan deselerasi selama rujuk berlangsung, sehingga hipovolemia harus
sepenuhnya dikoreksi sebelum rujuk.
4. Unit/ rumah sakit yang dituju untuk rujuk harus memastikan bahwa ada prosedur /
pengaturan rujuk pasien yang memadai.
5. Perlu waktu hingga beberapa jam mulai dari setelah pengambilan keputusan dibuat
hingga pasien di rujuk ke unit/ rumah sakit lain.
6. Hal yang pentinguntuk dilakukan sebelum rujuk:

a. Amankan patensi jalan napas


Beberapa pasien mungkin membutuhkan intubasi atau trakeostomi.
b. Terdapat jalur / akses vena yang adekuat (minimal 2 kanula perifer atau sentral)
c. Pengukuran tekanan darah invasif yang kontinu / terus-menerus merupakan
teknik terbaik untuk memantau tekanan darah pasien selama proses rujuk
berlangsung.
d. Pasang kateter urin dan nasogastric tube (NGT), jika diperlukan
e. Pemberian terapi /tatalaksana tidak boleh ditunda saat menunggu pelaksanaan
rujuk.

7. Unit/ rumah sakit yang dituju dapat memberikan saran mengenai penanganan segera
/ resusitasi yang perlu dilakukan terhadap pasien pada situasi-situasi khusus, namun
tanggung jawab tetap pada tim rujuk.

8. Seluruh peralatan dan obat-obatan harus dicek ulang oleh petugas rujuk.

9. Gunakanlah daftar persiapan rujuk pasien untuk memastikan bahwa semua persiapan
yang diperlukan telah lengkap dan tidak ada yang terlewat.
Pendampingan Pasien Selama Rujuk
1. Pasien dengan sakit berat / kritis harus didampingi oleh minimal 2 orang tenaga
medis.
2. Kebutuhan akan jumlah tenaga medis / petugas yang mendampingi pasien
bergantung pada kondisi / situasi klinis dari tiap kasus (tingkat / derajat beratnya
penyakit / kondisi pasien).
3. Dokter senior (dr ICU/ dr Anesthesi), bertugas untuk membuat keputusan dalam
menentukan siapa saja yang harus mendampingi pasien selama rujuk berlangsung.
4. Sebelum melakukan rujuk, petugas yang mendampingi harus paham dan mengerti
akan kondisi pasien dan aspek-aspek lainnya yang berkaitan dengan proses rujuk.
5. Berikut ini adalah pasien-pasien yang tidak memerlukan dampingan dr ICU/ dr
Anestesi selama proses rujuk antar-rumah sakit berlangsung.
 Pasien yang dapat mempertahankan patensi jalan napasnya dengan baik dan tidak
membutuhkan bantuan ventilator / oksigenasi
 Pasien dengan perintah ‘Do Not Resuscitate’ (DNR)
 Pasien yang dirujuk untuk tindakan manajemen definitif akut di mana intervensi
anestesi tidak akan mempengaruhi hasil.
 Pasien yang dirujuk untuk tindakan manajemen definitif akut di mana intervensi
anestesi tidak akan mempengaruhi hasil.

Kriteria Tata cara transfer / Rujuk Pasien :


a. Derajat 0:
Pasien dengan Airway, Breathting, Circulation dan Hemodinamika stabil
dapat terpenuhi kebutuhannyadengan ruang rawat biasa.
b. Derajat 1:
Pasien dengan Airway, Breathting, Circulation dan Hemodinamika stabil
namun dengan resiko menjadi tidak stabil, misal dengan pasien setelah
mendapat perawatan di ruang intensif yang sudah memungkinkan dirawat di
ruang perawatan biasa.
c. Derajat 2:
Pasien dengan Airway, Breathting, Circulation dan Hemodinamika tidak stabil
dan membutuhkan observasi lebih ketat dan intervensi lebih mendalam
termasuk penanganan kegagalan ssatu system organ atau pasien yang harus
menjalani operasi besar.
d. Derajat 3:
Pasien dengan Airway, Breathting, Circulation dan Hemodinamika tidak stabil
yang membutuhkan bantuan pernapasan dan atau dengan kegagalan organ
system lainnya.

Jenis – jenis Transfer Pasien :


I. Transfer Intra Rumah Sakit
Transfer intra rumah sakit adalah transfer antar unit atau instansi pelayanan
yang ada di lingkungan RS Tarumajaya, transfer dari Rawat Inap atau
sebaliknya bisa dari IGD atau ke kamar operasi, kamar operasi ke ICU dan
sebagainya. Kesiapan standar peralatan minimal transfer rumah sakit harus
dapat dipenuhi, hal ini bertujuan pada saat transfer berlangsung dianggap baik
termasuk diantaranya adalah kesiapan oksigen yang mobile. Selama transfer
berlangsung semua peralatan yang berhubungan dengan pasien letaknya harus
sejajar tubuh pasien.
Hal yang harus diperhatikan dalam transfer intra rumah sakit adalah :
 Standar pemantauan minimal pelatihan dan petugas yang berpengalaman,
diaplikasin pada transfer dan intra rumah sakit.
 Sebelum transfer lakukan analisis mengenai resiko dan keuntungannya.
 Sediakan kapasitas cadangan oksigen yang cukup untuk mengantisipasi
kejadian emergensi.
 Peralatan listrik harus terpasang ke sumber daya atau stop kontak dan
oksigen sental digunakan selama perawatan di unit tujuan.
 Petugas yang mentransfer pasien ke ruang penunjang medis harus
paham akan bahaya potensial yang ada.

II. Transfer antar Rumah Sakit


Transfer dari luar atau keluar RS Tarumajaya berupa transfer dari RS Tarumajaya ke
rumah sakit lain atau sebaliknya.
Transfer mungkin bersal dari kejadian kecelakaan lalu lintas, musibah missal
atau bencana dan sebagainya.
Kompetensi pendamping pasien dan peralatan yang harus dibawa selama rujuk

I. Kompetensi SDM untuk rujuk intra dan ektra RS Tarumajaya

Pasien Petugas keterampilan yang dibutuhkan Peralatan Utama


pendamping
(minimal)
Derajat 0 Perawat Bantuan hidup dasar
Derajat 1 Perawat/Petugas  Bantuan hidup dasar  Oksigen
yang berpengalaman
(sesuai dengan  Pelatihan tabung gas  Suction
kebutuhan pasien)  Pemberian obat-obatan  Tiang infus
 Kenal akan tanda deteriorasi portabel
 Keterampilan suction  Pompa infus
dengan baterai
 Oksimetri denyut
Derajat 2 Perawat  Semua ketrampilan di atas,  Semua peralatan di
ditambah; atas, ditambah;
 Dua tahun pengalaman dalam  Monitor EKG dan
perawatan intensif (oksigenasi, tekanan darah
sungkup pernapasan, monitor)

Derajat 3 Dokter, perawat Standar kompetensi dokter harus di  Monitor ICU


atas standar minimal Dokter: portabel yang
 Minimal 6 bulan pengalaman lengkap
mengenai perawatan pasien  Peralatan rujuk
intensif dan bekerja di ICU yang memenuhi
 Keterampilan bantuan hidup standar minimal.
dasar dan lanjut
 Keterampilan menangani
permasalahan jalan napas dan
pernapasan, minimal level ST 3
atau sederajat.
 Harus mengikuti pelatihan untuk
transfer pasien dengan sakit berat
/ kritis
Perawat:
 Minimal 2 tahun bekerja di
ICU
 Keterampilan bantuan hidup
dasar dan lanjut
 Harus mengikuti pelatihan untuk
transfer pasien dengan sakit berat
/ kritis
(lengkapnya lihat Lampiran 1)
II. Pemilihan Metode Rujuk antar RS untuk Pasien Kritis

1. Pemilihan metode rujuk harus mempertimbangkan sejumlah komponen penting


seperti di bawah ini.
a. Derajat urgensi untuk melakukan rujuk
b. Kondisi pasien
c. Faktor geografik
d. Kondisi cuaca
e. Arus lalu lintas
f. Ketersediaan / availabilitas
g. Jarak tempuh

2. Pilihan kendaraan untuk rujuk pasien antara lain:


a. Jasa Ambulans Gawat Darurat
i. Siap sedia dalam 24 jam
ii. Perjalanan darat
iii. Durabilitas: dengan pertimbangan petugas dan peralatan yang dibutuhkan dan
lamanya waktu yang diperlukan.

III. Alat transportasi untuk rujuk pasien antar rumah sakit


1. Gunakan mobil ambulan. Mobil dilengkapi soket listrik 12 V, suplai oksigen,
monitor, dan peralatan lainnya.
2. Sebelum melakukan rujuk, pastikan kebutuhan-kebutuhan untuk merujuk pasien
terpenuhi (seperti suplai oksigen, baterai cadangan, dll).
3. Standar Peralatan di Ambulan.

a. Suplai oksigen
b. Jarum suntik
c. Suction
d. Baterai cadangan
e. Syringe / infusion pumps (tinggi pompa sebaiknya tidak melebihi posisi pasien
4. Tim rujuk/ SDM pendamping dapat memberi saran mengenai kecepatan
ambulan yang diperlukan, dengan mempertimbangkan kondisi klinis pasien.

5. Petugas harus tetap duduk selama rujuk dan menggunakan sabuk pengaman.

6. Jika terdapat kegawatdaruratan medis dan pasien membutuhkan intervensi segera,


berhentikan ambulan di tempat yang aman dan lakukan tindakan yang diperlukan.

7. Jika petugas diperlukan untuk turun dari kendaraan / ambulan, gunakanlah pakaian
yang jelas terlihat oleh pengguna jalan lainnya.

IV. Dokumentasi dan Penyerahan pasien rujuk antar rumah sakit

1. Lakukan pencatatan yang jelas dan lengkap dalam semua tahapan rujuk, dan
harus mencakup:
b. detail kondisi pasien
c. alasan melakukan rujuk
d. nama konsultan yang merujuk dan menerima rujukan
e. status klinis pre-rujuk
f. detail tanda vital, pemeriksaan fisik, dan terapi yang diberikan selama rujuk
berlangsung
2. Pencatatan harus terstandarisasi antar-rumah sakit jejaring dan diterapkan untuk
rujuk intra- dan antar-rumah sakit.
3. Rekam medis harus mengandung:
a. resume singkat mengenai kondisi klinis pasien sebelum, selama, dan setelah
rujuk; termasuk kondisi medis yang terkait, faktor lingkungan, dan terapi yang
diberikan.
b. Data untuk proses audit. Tim rujuk harus mempunyai salinan datanya.
4. Harus ada prosedur untuk menyelidiki masalah-masalah yang terjadi selama proses
rujuk, termasuk penundaan transportasi.
5. Tim rujuk harus memperoleh informasi yang jelas mengenai lokasi rumah sakit
yang dituju sebelum merujuk pasien.
6. Saat tiba di rumah sakit tujuan, harus ada proses serah-terima pasien antara tim
rujuk dengan pihak rumah sakit yang menerima (paramedis dan perawat) yang
akan bertanggungjawab terhadap perawatan pasien selanjutnya.
7. Proses serah-terima pasien harus mencakup pemberian informasi (baik secara
verbal maupun tertulis) mengenai riwayat penyakit pasien, tanda vital, hasil
pemeriksaan penunjang (laboratorium, radiologi), terapi, dan kondisi klinis selama
rujuk berlangsung.
8. Hasil pemeriksaan laboratorium, radiologi, dan yang lainnya harus dideskripsikan
dan diserahkan kepada petugas rumah sakit tujuan.
9. Setelah menyerahkan pasien, tim rujuk dibebastugaskan dari kewajiban merawat
pasien.

V. Komunikasi dalam Transfer Pasien antar Rumah Sakit

1. Pasien (jika memungkinkan) dan keluarganya harus diberitahu mengenai alasan transfer
dan lokasi rumah sakit tujuan. Berikanlah nomor telepon rumah sakit tujuan dan jelaskan
cara untuk menuju ke RS tersebut.

2. Pastikan bahwa rumah sakit tujuan dapat dan setuju untuk menerima pasien sebelum
dilakukan rujuk.

3. Kontak pertama harus dilakukan oleh konsultan/ dokter penanggung jawab di kedua
rumah sakit, untuk mendiskusikan mengenai kebutuhan medis pasien.

4. Untuk kontak selanjutnya, tunjuklah satu orang lainnya (biasanya perawat senior).
Bertugas sebagai komunikator utama sampai rujuk selesai dilakukan.
a. Jika selama rujuk terjadi pergantian jaga perawat yang ditunjuk, berikan
penjelasan mengenai kondisi pasien yang dirujuk dan lakukan penyerahan
tanggung jawab kepada perawat yang menggantikan.
b. Komunikator utama harus menghubungi pelayanan ambulan, jika ingin
menggunakan jasanya dan harus menjadi kontak satu-satunya untuk diskusi
selanjutnya antara rumah sakit dengan layanan ambulans.
c. Harus memberikan informasi terbaru mengenai kebutuhan perawatan pasien
kepada rumah sakit tujuan.

5. Tim rujuk harus berkomunikasi dengan rumah sakit asal dan tujuan mengenai
penanganan medis yang diperlukan dan memberikan update perkembangannya.

VI. Audit dan Jaminan Mutu

1. Buatlah catatan yang jelas dan lengkap selama rujuk.


2. Dokumentasi ini akan digunakan sebagai acuan data dasar dan sarana audit
3. RS Tarumajaya bertanggung jawab untuk menjaga berlangsungnya proses pelaporan
insidens yang terjadi dalam rujuk dengan menggunakan protokol standar RS Tarumajaya.
4. Data audit akan ditinjau ulang secara teratur oleh RS Tarumajaya
BAB VII

RENCANA PEMULANGAN PASIEN

I. Definisi

Discharge planning / rencana pemulangan pasien adalah suatu proses sistimatik untuk
perkiraan, persiapan dan koordinasi yang dilakukan petugas kesehatan untuk
memfasilitasi perbekalan perawatan kesehatan pasien sebelum dan setelah
pemulangan.

Discharge planning juga merupakan suatu proses yang berkesinambungan dan harus
sudah dimulai sejak awal pasien masuk ke rumah sakit (untuk rawat inap yang telah
direncanakan sebelumnya / elektif) dan sesegera mungkin pada pasien-pasien non-
elektif.

II. Assessmen awal saat masuk rumah sakit

a. Identifikasi, persiapkan, dan rancang discharge planning


b. Peninjauan ulang rekam medis pasien (anamnesis, hasil pemeriksaan fisik,
diagnosis dan tatalaksana)

c. Lakukan anamnesis: Identifikasi alasan pasien dirawat, termasuk masalah


sosial dan perubahan terkini
d. Asesmen kebutuhan perawatan pasien berdasarkan kondisi dan penyakit
yang dideritanya
e. Asesmen mengenai kemampuan fungsional pasien saat ini, misalnya fungsi
kognitif, mobilitas.
f. Asesmen mengenai kondisi keuangan dan status pendidikan pasien
g. Asesmen mengenai status mental pasien Asesmen mengenai kondisi rumah / tempat
tinggal pasien
h. Tanyakan mengenai medikasi terkini yang dikonsumsi pasien saat di rumah
i. Identifikasi siapa pendamping utama/ penanggung jawab perawatan pasien
j. Diskusikan mengenai kebutuhan pasien dan pendampin gutama/ penanggung
jawab perawatan pasien
k. Tanyakan mengenai keinginan / harapan pasien atau keluarganya
l. Libatkanlah mereka dalam perencanaan discharge planning (karena pasien
yang paling tahu mengenai apa yang dirasakannya dan ingin dirawat oleh
siapa)
m. Gunakanlah bahasa awam yang dimengerti oleh pasien dan keluarganya
n. Setelah asesmen pasien dilakukan, tim discharge planner/ DPJP, PPJP dan
Karuakan berdiskusi dengan tim multidisipliner mengenai:
i. Asesmen risiko: pasien dengan risiko tinggi membutuhkan discharge
planning yang baik dan adekuat. Berikut adalah kriteria pasien risiko
tinggi:
 Usia ≥ 65 tahun
 Tinggal sendirian tanpa dukungan sosial secara langsung
 Stroke, Tarumajayaan jantung, PPOK, Gagal jantung
kongestif, Emfisema, Demensia, Alzeimer, AIDS, atau
penyakit dengan potensi mengancam nyawa lainnya

 Pasien berasal dari panti jompo

 Alamat tidak diketahui atau berasal dari luar kota


 Tunawisma
 Dirawat kembali dalam 30 hari
 Percobaan bunuh diri
 Pasien tidak dikenal / tidak ada identitas
 Korban dari kasus criminal
 Trauma multipel
 Tidak bekerja / Tidak ada asuransi

ii. Identifikasi dan diskusi pilihan perawatan apa yang tersedia untuk
pasien.
iii. Verifikasi availabilitas tempat perawatan pasien setelah pulang dari
rumah sakit.
III. Saat Di Ruang Rawat Inap

a. Tetapkan prioritas mengenai hal-hal yang dibutuhkan oleh pasien dan keluarga
b. Gunakan pendekatan multidisiplin dalam menyusun perencanaan dan tatalaksana
pasien
c. DPJP dan PPJP di ruangan harus memastikan pasien memperoleh perawatan yang sesuai
dan adekuat serta proses discharge planning berjalan lancar.
d. DPJP, PPJP harus memahami mengenai discharge planning.
e. Tugas PPJP, adalah:
 mengkoordinasi semua aspek perawatan pasien termasuk discharge planning,
asesmen, dan peninjauan ulang rencana perawatan
 memastikan semua rencana berjalan dengan lancar
 mengambil tindakan segera bila terdapat masalah.
 Mendiskusikan dengan pasien mengenai perkiraan tanggal pemulangan pasien
dalam 24 jam setelah pasien dirawat
 Identifikasi,melibatkan,dan menginformasikan pasien mengenai rencana keperawatan,
pastikan bahwa kebutuhan-kebutuhan khusus pasien terpenuhi

 Catat semua perkembangan ke dalam rekam medis pasien


 Finalisasi discharge planning pasien 48 jam sebelum pasien dipulangkan, dan
konfirmasikan dengan pasien dan keluarga / PJ Perawatan pasien.
 Berikut adalah beberapa peralatan tambahan yang diperlukan pasien sepulangnya
dari rumah sakit (bila diperlukan):
 Peralatan yang portabel dan sederhana: mudah digunakan, instruksi penggunaan
minimal. Contoh: tongkat, toilet duduk.
 Peralatan yang membutuhkan pelatihan mengenai cara menggunakannya. Contoh:
tempat tidur khusus, pegangan terfiksasi (grab rails), oksigen
 Kursi roda (manual dan listrik)

f. Pilihan transportasi yang dapat digunakan adalah:


i. Ambulans
ii. Mobil pribadi
iii. Helikopter (bila diperlukan): biasanya digunakan untuk pasien dengan penyakit
akut yang berat dan harus ditransfer ke rumah sakit lain
iv. Taksi
g. Identifikasi dan latihlah professional kesehatan yang dapat merawat pasien serta lakukan
koordinasi dengan tim multidisiplin dalam merancang discharge planning pasien.

h. Yang dimaksud tim multidisiplin ini adalah para professional kesehatan dari disiplin ilmu
yang berbeda-beda, seperti pekerja sosial, perawat, terapis, dokter.
i. Lakukan diskusi dengan pasien dan keluarga mengenai alasan pasien dirawat, tatalaksana,
prognosis, dan rencana pemulangan pasien.
j. Tanyakan kepada pasien: ‘Anda ingin dirawat oleh siapa sepulangnya dari rumah sakit?
k. Biasanya pasien akan memilih untuk dirawat oleh anggota keluarganya.
l. Tanyakan kepada keluarganya mengenai kesediaan mereka untuk merawat pasien.
Pastikan mereka diinformasikan mengenai Berikanlah mereka waktu untuk memutuskan.

m. Berikut adalah hal-hal yang harus diketahui oleh pemberi layanan perawatan pasien
sepulangnya dari rumah sakit / carer (biasanya keluarga):

 Rencana pemulangan pasien secara tertulis dan lisan


 Kondisi medis pasien
 Hak carer untuk memperoleh asesmen
 Penjelasan mengenai seperti apa terlibat dalam perawatan pasien
 Keuntungan yang didapat
 Dampak finansial
 Akses penerjemah untuk memungkinkan komunikasi dan pemahaman yang efektif
 Pemberitahuan mengenai kapan pasien akan dipulangkan
 Pengaturan transportasi
 Demonstrasikan cara menggunakan peralatan tertentu sebelum pasien dipulangkan dan
pastikan terdapat jadwal pengecekan alat yang rutin.
 Aturlah jadwal pertemuan berikutnya dengan pasien dan Pendamping/ PJ Perawatan
pasien.

n. Jika pasien menolak keterlibatan keluarga dalam diskusi, staf harus memberitahukannya
kepada keluarga dan menghargai keinginan pasien.
o. Jika terdapat konflik antara keinginan pasien dan keluarganya dalam merancang
discharge planning, staf harus melakukan peninjauan ulang mengenai rencana perawatan
dan mencari solusi realistik dari masalah yang timbul. Salah satu cara adalah dengan
konferensi kasus yang melibatkan multi disipliner.

IV. Saat pasien akan dipulangkan dari rumah sakit :

a. Saat pasien tidak lagi memerlukan perawatan rumah sakit, pasien


sebaiknya dipulangkan dan memperoleh discharge planning yang sesuai.

b. Yang berwenang memutuskan bahwa pasien boleh pulang atau tidak


adalah DPJP / konsultan penanggungjawab pasien (atau oleh orang lain
yang mendapat delegasi kewenangan dari konsultan).
c. Pastikan bahwa pasien dan keluarganya berperan aktif dalam perencanaan
dan pelaksanaan pemulangan pasien.
d. Lakukan penilaian pasien secara menyeluruh (holistik)
e. Nilailah kondisi fisik, mental, emosional, dan spiritual pasien
f. Pertimbangkan juga aspek sosial, budaya, etnis, dan financial pasien
g. Tentukan tempat perawatan selanjutnya (setelah pasien dipulangkan dari
rumah sakit) yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pasien.
Penentuan tempat ini dilakukan oleh DPJP dan tim perawatan bersama
dengan penanggungjawab pasien. Berikut adalah beberapa contoh tempat
perawatan :
i. Perawatan di rumah dengan penggunaan peralatan tambahan untuk
menunjang perawatan pasien
ii. Pemulangan pasien ke rumah tanpa perlu perawatan khusus
iii. Perawatan di rumah dengan didampingi oleh perawat /
pendamping pasien
iv. Rumah sakit / fasilitas perawatan jangka panjang
v. Fasilitas keperawatan yang terlatih
vi. Rumah perawatan umum, seperti panti jompo, dan sebagainya.
 Jika tempat perawatan selanjutnya tidak memadai (tidak dapat
memenuhi kebutuhan pasien), maka pasien tidak dapat
dipulangkan.

 Tim discharge planners (DPJP, PPJP, Karu, Tim PKRS)harus


berusaha untuk mencari tempat perawatan yang dapat
menunjang kebutuhan pasien.

 Pastikan terjadinya komunikasi efektif antara pelaksanaan


perawatan primer, sekunder, dan sosial untuk menjamin
bahwa setiap pasien menerima perawatan dan penanganan yang
sesuai dan adekuat.

 Petugas rumah sakit sebaiknya melakukan komunikasi dengan


dokter keluarga pasien / tim layanan primer mengenai rencana
pemulangan pasien.

 Identifikasi pasien-pasien yang memerlukan perawatan khusus /


ekstra seperti kebutuhan perawatan kebersihan diri, sosial, dan
sebagainya. Usahakan untuk memenuhi kebutuhan pasien dan
berikan dukungan tambahan.

 Diskusikan kembali dengan pasien dan buatlah kesepakatan


mengenai rencana keperawatan

 Finalisasi rencana keperawatan dan aturlah proses pemulangan


pasien

 Pastikan bahwa pasien dan keluarga / pendampingtelah


memperoleh informasi yang adekuat.

 Hak pasien sebelum dipulangkan :


1. Memperoleh informasi yang lengkap mengenai diagnosis, asesmen medis,
rencana perawatan, detail kontak yang dapat dihubungi, dan informasi relevan
lainnya mengenai rencana perawatan dan tatalaksana selanjutnya.

2. Terlibat sepenuhnya dalam discharge planning dirinya, bersama dengan


kerabat, pendamping, atau teman pasien.

3. Rancangan rencana pemulangan dimulai sesegera mungkin baik sabelum/


saat pasien masuk rumah sakit.

4. Memperoleh informasi lengkap mengenai layanan yang relevan dengan


perawatannya dan tersedia di masyarakat.

5. Memperoleh informasi lengkap mengenai fasilitas perawatan jangka


panjang, termasuk dampak finansialnya.

6. Diberikan nomor kontak yang dapat dihubungi saat pasien membutuhkan


bantuan / saran mengenai pemulangannya

7. Diberikan surat pemulangan yang resmi, dan berisi detail layanan yang
dapat diakses

8. Memperoleh informasi lengkap mengenai kriteria dilakukannya perawatan


yang berkesinambungan

9. Tim discharge planner (DPJP, PPJP, Karu, Tim PKRS)tersedia sebagai


orang yang dapat dihubungi oleh pasien dalam membantu memberikan saran

10. Memperoleh akses untuk memberikan complain mengenai pengaturan


discharge planning pasien dan meperoleh penjelasannya

h. Pada pasien yang ingin pulang dengan sendirinya atau pulang paksa (di
mana bertentangan dengan saran dan kondisi medisnya), dapat
dikategorikan sebagai berikut:
 Pasien memahami risiko yang dapat timbul akibat pulang paksa
 Pasien tidak kompeten untuk memahami risiko yang berhubungan dengan
pulang paksa, dikarenakan kondisi medisnya
 Pasien tidak kompeten untuk memahami risiko yang berhubungan dengan
pulang paksa, dikarenakan gangguan jiwa
i. Dokumentasikan rencana pemulangan pasien di rekam medis dan berikan
salinannya kepada pasien dan dokter keluarganya
j. Ringkasan / resume discharge planning pasien berisi:

 Resume perawatan pasien selama di rumah sakit


 Resume rencana penanganan / tatalaksana pasien selanjutnya
 Regimen pengobatan pasien
 Detail mengenai pemeriksaan lebih lanjut yang diperlukan dan terapi
selanjutnya
 Janji temu dengan professional kesehatan lainnya
 Detail mengenai pengaturan layanan di komunitas / publik dan waktu
pertemuannya
 Nomor kontak yang dapat dihubungi jika terjadi kondisi emergensi /
pembatalan pertemuan / muncul masalah-masalah medis pada pasien.
k. Rencanakan dan aturlah pertemuan selanjutnya dengan pasien

Evaluasi: monitor dan evaluasi efikasi dan kelayakan rencana perawatan pasien secara
periodik, dengan cara:
a. Peninjauan ulang rekam medis / catatan pasien
b. Gunakan checklist untuk menilai perkembangan dan kemajuan discharge
planning
c. Lakukan perencanaan ulang, jika diperlukan.
Peninjauan Ulang Dan Audit
Peninjauan ulang dan audit harus dilakukan untuk mengevaluasi dan memastikan
bahwa panduan berjalan dengan lancar dan diterapkan oleh seluruh professional
kesehatan di rumah sakit
BAB VIII
PENOLAKAN TINDAKAN MEDIS

A. LATAR BELAKANG

Bahwa setiap pasien atau keluarga pasien yang mendapat pelayan kesehatan berharap
keluahan dan penyakit pasien akan disembuhkan.
Pesetujuan mengenai tindakan medic yang akan dijalaninya merupakan hak pasien
yang mendasar. Pasien dapat menyetujui atau menolak rencana tindakan atau nasehat
medis, dari persetujuan tersebut barulah dokter dapat bertindak upaya – upaya
penyembuhan yan diperlukan. Hak persetujuan atau penolakan merupakan hak asasi
seseorang untuk menentukan nasib kesehatannya sendiri. Setiap manusia dewasa yang
sehat jasmani rohaninya memiliki hak untuk menentukan apa yang akan dilakukan
terhadap tubuhnya.
Dokter tidak berhak melakukan tindakan medik yang bertetangan dengan kemauan
pasien meskipun itu kepentingan pasien.

B. DEFINISI

I. Penolakan atau tindakan nasehat medis :

1. Penolakan pasien atau yang sah mewakilinya atas rencana


tindakan/nasehat kedokteran yang diajukan oleh dokter, setelah menerima
informasi yang cukup dapat membuat penolakan.

2. Penolakan tindakan/nasehat adalah pernyataan sepihak dari pasien dan


bukan perjanjian antara pasien dengan dokter.

3. Proses sekaligus hasil dari suatu komunikasi yang efektif antar pasien
dengan dokter dan bukan sekedar penandatanganan formulir penolakan.

4. Pasien dalam perawatan memiliki hak untuk menolak tindakan yang


hendak dilakukan terhadap dirinya, dan mengakhiri pengobatan serta
perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh penjelasan
dan informasi yang jelas tentang penyakitnya.
II. Tindakan kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostic,
teurapeutik dan rehabiliatif yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien.

III. Tindakan invasife adalah tindakan yang langsung dapat mempengaruhi


keutuhan jaringan tubuh pasien.

IV. Tindakan kedokteran yang mengandung resiko tinggi adalah tindakan medis
yang berdasarkan tingkat probabilitas tertentu dan dapat mengakibatkan
kematian atau kecacatan.

V. Pasien adalah penerima jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit baik dalam
keadaan sehat maupun sakit.

VI. Dokter adalah lulusan pendidikan kedokteran baik di dalam maupun di luar
negeri yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai dengna
peraturan perundang undangan.

VII. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak – anak
kandung dan saudara – saudara kandung.

C. RUANG LINGKUP

Panduan penolakan tindakan/nasehat medis ini diterapkan di lingkup rumah sakit


dan ditujukan kepada :
1. Pasien
2. Keluarga pasien
3. Dokter penanggungjawab
4. Perawat pemberi pelayanan

PENOLAKAN TINDAKAN/NASEHAT MEDIS


Pasien berhak menolak tindakan yang dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri
pengobatan serta perawatan atas tanggungjawab sendiri setelah memperoleh informasi yang
jelas tentang penyakitnya,komplikasi yang ditimbulkan apabila pasien menolak tindakan/
nasehat serta alternatif tindakan.
Pemberian obat-obatan juga harus dengan persetujuan pasien dan bila pasien meminta
untuk dihentikan pengobatan, maka terapi harus dihentikan kecuali dengan penghentian terapi
akan mengakibatkan keadaan gawat darurat atau kehilangan nyawa pasien
Dalam Pedoman Penegakkan Disiplin Kedokteran tahun 2008 seorang dokter
dapat dikategorikan melakukan bentuk pelanggaran disiplin kedokteran apabila tidak
memberikan penjelasan yang jujur, etis, dan memadai (adequate information) kepada pasien
atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran.
Penolakan pengobatan baik dalam hal pemeriksaan/ tindakan dilakukan oleh pasien yang
dianggap kompeten, yaitu pasien yang mampu memahami informasi, menahannya dan
mempercayainya dan mampu membuat keputusan. Pasien tersebut berhak untuk menolak
suatu pemeriksaan atau tindakan kedokteran, meskipun keputusan pasien tersebut terkesan
tidak logis.

Berdasarkan UU No. 36 tahun 2009 mengenai Hak-hak pasien diantaranya meliputi:

1. Hak menerima atau menolak sebagian atau seluruh pertolongan (kecuali tak
sadar, penyakit menular berat, gangguan jiwa berat).
2. Hak atas rahasia pribadi (kecuali perintah UU, pengadilan, ijin ybs, kepentngan
ybs, kepentingan masyarakat).
3. Hak tuntut ganti rugi akibat salah atau kelalaian (kecuali tindakan penyelamatan
nyawa atau cegah cacat).
Bila penolakan tindakan dan pengobatan ini terjadi dan konsekuensi dari
penolakan tersebut berakibat serius, maka keputusan tersebut harus didiskusikan
oleh DPJP dengan pasien, tidak bermaksud untuk mengubah pendapatnya tetapi
untuk mengklarifikasi situasinya. Oleh karena itu perlu dicross cek kembali
apakah pasien mengerti informasi tentang keadaan pasien, tindakan atau
pengobatan serta semua kemungkinan efek sampingnya. Dalam setiap masalah
seperti ini, rincian setiap diskusi harus secara jelas didokumentasikan dengan baik.
A. PENUNDAAN PERSETUJUAN (PERMINTAAN PASIEN)

Persetujuan suatu tindakan kedokteran dapat saja ditunda pelaksanaannya oleh


pasien atau yang memberikan persetujuan/ pihak penjamin dengan berbagai alasan,
misalnya terdapat anggota keluarga yang masih belum setuju, masalah keuangan
atau masalah waktu pelaksanaan. Apabila penundaan tersebut cukup lama, maka
perlu di cek kembali apakah persetujuan tersebut masih berlaku atau tidak. Semua
hal yang terjadi menyangkut penundaan persetujuan harus didokumentasikan secara
jelas dalam rekam medic pasien.

B. PEMBATALAN PERSETUJUAN YANG TELAH DIBERIKAN

Pada prinsipnya, setiap saat pasien dapat membatalkan persetujuan mereka


dengan membuat surat atau pernyataan tertulis pembatalan persetujuan tindakan
kedokteran. Pembatalan tersebut sebaiknya dilakukan sebelum tindakan dimulai.
Selain itu pasien harus diberitahu, bahwa pasien bertanggung jawab atas akibat dari
pembatalan persetujuan tindakan. Oleh karena itu pasien harus kompeten untuk
dapat membatalkan persetujuan.

Menentukan kompetensi pasien pada situasi seperti ini seringkali sulit. Nyeri,
syok atau pengaruh obat-obatan dapat mempengaruhi kompetensi pasien. Jika pasien
dipastikan kompeten dan memutuskan untuk membatalkan persetujuannya, maka
dokter harus menghormatinya dan membatalkan tindakan atau pengobatannya.
Terkadang keadaan tersebut terjadi saat tindakan sedang berlangsung. Bila suatu
tindakan menimbulkan teriakan atau tangisan karena nyeri, tidak perlu diartikan
bahwa persetujuannya dibatalkan, maka tindakan dapat dilanjutkan. Tetapi bila pasien
menolak dilanjutkan, apabila memungkinkan maka dokter harus menghentikan
tindakannya, mencari tahu masalah yang dihadapi pasien dan menjelaskan akibatnya
jika tindakan tidak dilanjutkan.

Jika tindakan sedang berlangsung, maka penghentian tindakan hanya bisa


dilakukan apabila tidak mengakibatkan hal yang membahayakan pasien. Semua hal
yang terjadi menyangkut pembatalan persetujuan harus didokumentasikan secara jelas
dalam rekam medic pasien.
BAB IX
PANDUAN DPJP

Rumah sakit adalah institusi tempat memberikan pelayanan kesehatan kepada


masyarakat dengan tujuan penyembuhan penyakit serta terhindar dari kematian atau
kecacatan. Dalam melaksanakan fungsinya rumah sakit harus pula mengendalikan atau
meminimalkan risiko baik klinis maupun non klinis yang mungkin terjadi selama proses
pelayanan kesehatan berlangsun, sehingga terlaksana pelayanan yang aman bagi pasien.
Oleh karena itu keselamatan pasien di rumah sakit merupakan prioritas utama
dalam semua bentuk kegiatan di rumah sakit. Untuk mencapai kondisi pelayanan yang
efektif, efisien dan aman bagi pasien itu diperlukan komitmen dan tanggung jawab yang
tinggi dari seluruh personil pemberi pelayanan di rumah sakit sesuai dengan kompetensi dan
kewenangannya.
Selanjutnya kerjasama tim para pemberi asuhan pasien merupakan prasyarat untuk
mencapai tujuan tersebut, dan dilengkapi dengan komunikasi yang baik. Serta tidak dapat
dipungkiri bahwa peranan dokter sebagai ketua tim sangat besar dan sentral dalam menjaga
keselamatan pasien, karena semua proses pelayanan berawal dan ditentukan oleh dokter.
Sebagai instrumen monitoring dan evaluasi maka tidak kalah pentingnya faktor
catatan medis yang lengkap dan baik, dimana semua proses pelayanan terhadap pasien
direkam medis secara real time dan akurat. Sehingga apabila terjadi sengketa medis rekam
medis ini benar-benar dapat menjadi alat bukti bagi rumah sakit bahwa proses pelayanan
telah dijalankan dengan benar dan sesuai prosedur, atau kalau terjadi sebaliknya dapat pula
berfungsi sebagai masukan untuk memperbaiki proses pelayanan yang ada.
Salah satu elemen dalam pemberi asuhan kepada pasien (Patient Care) adalah
asuhan medis. Asuhan medis diberikan oleh dokter yang dalam standar keselamatan pasien
disebut DPJP : Dokter Penanggung Jawab Pelayanan. Panduan ini disusun untuk
memudahkan rumah sakit mengelola penyelenggaraan asuhan medis oleh DPJP.

RUANG LINGKUP

Pedoman ini berlaku pada semua lini pelayanan rumah sakit yang meliputi : Rawat jalan,
Emergensi,rawat inap,ruang perawatan khusus (ICU,HCU,NICU,PICI,ICCU,Hemodialisis)
dan ruang tindakan. Dokter penanggung jawab palayanan (DPJP) bertanggung jawab untuk
koordinasi selama pasien dirawat diketahu dan tersedia dalam seluruh fase asuhan rawat.

A. DASAR

Yang menjadi dasar dalam penetapan dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP)
adalah :

1. UU no 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 5 : Rumah sakit mempunyai fungsi
: huruf b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang pari purna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.

2. UU no 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 29 Setiap Rumah Sakit mempunyai
kewajiban : huruf r. Menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit
(hospital by laws).

3. UU no 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran pasal 3 pengaturan praktik


kedokteran bertujuan untuk :

a. Memberikan perlindungan kepada pasien,

b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan


oleh dokter dan dokter gigi, dan

c. Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi

4. UU no 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 43 menyatakan Rumah Sakit wajib
menerapkan sasaran keselamatan pasien.

5. Permenkes 1691 tahun 2011 tentang keselamatan pasien Rumah Sakit

6. Pasal 7 Permenkes 1691 tahun 2011 mengatur hal berikut :

a. Setiap Rumah Sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien

b. Standar keselamatan pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

1) Hak Pasien

2) Mendidik pasien dan keluarga

3) Keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan

4) Penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan


program peningkatan keselamatan pasien
5) Mendidik staf tentang keselamatan pasien dan
6) Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan
pasien.
7) Pada lampiran Permenkes 1691 tahun 2011 pengaturan tentang standar I.
Hak pasien, adalah sebagai berikut.
Standar : Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan
informasi tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan
terjadinya insiden.

Kriteria :

a) Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan

b) Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana


pelayanan

c) Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan


secara jelas dan benar kepada pasien dan keluarganya tentang rencana
dan hasil pelayanan, pengobatan atau prosedur untuk pasien termasuk
kemungkinan terjadinya insiden.

7. Permenkes 755 tahun 2011 tentang penyelenggaraan Komite Medik Rumah Sakit.

8. Permenkes 1438 tahun 2010 tentang standar pelayanan kedokteran.

9. Kode etik kedokteran Indonesia, PB IDI, 2012.

10. SK Pengurus Besar IDI no 111/PB/A.4/02/2013 tentang Penerapan Kode


Etik Kedokteran Indonesia.

11. Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia no 21A/KKI/KEP/IX/2006 tentang


Pengesahan Standar Kompetensi Dokter dan Keputusan Konsil Kedokteran
Indonesia no 23/KKI/KEP/XI/2006 tentang Pengesahan Standar Kompetensi Dokter
Gigi.

12. Peraturan konsil kedokteran Indonesia no 11 yahun 2012 tentang standar


Kompetensi Dokter Indonesia.
13. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia no 48/KKI/PER/XII/2010 tentang
Kewenangan Dokter Indonesia.
14. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia no 4 Tahun 2011 tentang Disiplin
Profesional Dokter dan Dokter Gigi.
15. Keputuran Konsil Kedokteran Indonesia no 19/KKI/KEP/IX/2006 tentang Buku
Kemitraan Dalam Hubungan Dokter – Pasien.

16. Keputusan Konsil Kedoktearn Indonesia no 18/KKI/KEP/IX/2006 tentang Buku


Penyelenggaraan Praktik Kedokteran Yang Baik di Indonesia.

17. Konsil Kedokteran Indonesia : Komunikasi Efektif Dokter – Pasien, 2006.

B. PENGERTIAN

1. DPJP (Dokter Penanggung Jawab Pelayanan) : adalah seorang dokter memberikan


asuhan medis lengkap (paket) kepada satu pasien dengan satu patalogi / penyakit
sesuai dengan kewenangan klinis yang diberikan rumah sakit dari awal sampai
dengan akhir perawatan di rumah sakit, baik pada pelayanan rawat jalan dan rawat
inap. Asuhan medis lengkap artinya melakukan asesmen medis sampai dengan
implementassi rencana serta tindak lanjutnya sesuai kebutuhan pasien.

2. DPJP adalah dokter spesialis, dokter umum dan dokter gigi spesialis.

3. Pasien dengan lebih dari satu penyakit dikelola oleh lebih dari satu DPJP sesuai
kewenangan klinisnya, dalam pola asuhan secara tim atau terintegrasi. Contoh :
pasien dengan Diabetes Mellitus, Katarak dan Stroke, dikelola oleh lebih dari satu
DPJP : Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Dokter Spesialis Mata dan Dokter
Spesialis Saraf.

4. DPJP Utama : bila pasien dikelola oleh lebih dari satu DPJP, maka asuhan medis
tersebut dilakukan secara terintegrasi dan secara tim diketuai oleh seorang DPJP
Utama. Peran DPJP utama adalah sebagai coordinator proses pengelolaan asuhan
medis bagi pasien ybs (“Kapten Tim”), dengan tugas menjaga terlakasananya asuhan
medis komprehensif – terpadu – efektif, keselamatan pasien, komunikasi efektif,
membangun sinergisme, dengan mendorong penyesuaian pendapat (adjustment)
antar anggota, mengarahkan agar tindakan masing – masing DPJP bersifat
kontributif (bukan intervensi), serta mencegah duplikasi.

5. Dokter yang memberikan pelayanan interpretative, misalnya memberikan uraian /


data tentang hasil laboratorium atau radiologi, tidak dipakai istilah DPJP, karena
tidak memberikan asuhan medis yang lengkap.
6. Asuhan pasien (patient care) diberikan dengan pola Pelayanan Berfokus pada
Pasien (Patient Centered Care), dan DPJP merupakan Ketua (Team Leader) dari tim
yang terdiri dari paraprofessional pemberi asuhan pasien / staf klinis dengan
kompetensi dan kewenangan yang memadai, yang a.l. terdiri dari dokter,perawat,ahli
gizi,apoteker,fisioterapis dsb.

7. Manajer Pelayanan Pasien : adalah professional di rumah sakit yang melaksanakan


manajemen pelayanan pasien, yaitu proses kolaboratif mengenai asesmen,
perencanaan, fasilitasi,koordinasi asuhan, evaluasi dan advokasi untuk opsi dan
pelayanan bagi pemenuhan kebutuhan pasien dan keluarganya yang komprehensif,
melalui komunikasi dan sumebr daya yang tersedia sehingga memberi hasil
(outcome) yang bermutu dengan biaya – efektif.

C. PELAYANAN KESEHATAN DI RUMAH SAKIT

Dalam UU 44/2009 pasal 5 huruf b, dinyatakan bahwa pelayanan kesehatan di


rumah sakit adalah pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai
kebutuhan medis.
Pada penjelasan pasal 5 huruf b, disebutkan : yang dimaksud dengan pelayanan
kesehatan paripurna tingkat kedua adalah upaya kesehatan perorangan tingkat lanjut
dengan mendayagunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik. Yang
dimaksud dengan pelayanan kesehatan pasipurna tingkat ketiga adalah upaya kesehatan
perorangan tindak lanjut dengan mendayagunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan
sub spesilaistik. Dengan demikian asuhan medis kepada pasien diberikan oleh dokter
spesialis.

D. ASUHAN MEDIS
Asuhan pasien (patient care) dapat terdiri dari a.l. asuhan medis, asuhan
keperawatan, asuhan obat, asuhan gizi dsb. Asuhan pasien dalam konteks Pelayanan
Fokus pada Pasien (Patient Centered Care), dilakukan oleh semua professional pemberi
asuhan, a.l. dokter, perawat, ahli gizi, apoteker dsb, disebut sebagai Tim Interdisiplin.
Asuhan medis diselenggarakan berdasarkan kesepakatan antara dokter dengan pasien
(UU no 29/2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 39). Asuhan pasien yang dilakukan
oelah masing – masing pemberiasuhan, terdiridari 2 blok kegiatan : Asesment Pasien dan
Implemetasi rencanana.

1. Terdiri dari 3 langkah :

a. Pengumpulan informasi, a.l. pemriksaan fisik, pemerikaan penunjang, dsb

b. Analisis Informasi menghasilkan diagnosis, masalah atau kondisi, untuk


mengidentifikasi kebutuhan pelayanan pasien

c. Menyusun rencana (care plan ) pelayanan dan pengobatan, untuk memenuhi


kebutuhan pelayanan

2. Implementasi rencana dan monitor

Asuhan medis dirumah sakit diberikan oleh dokter spesialis, disebut sebagai DPJP.
Di unit / instalasi gawat darurat dokter jaga yang telah menjalani pelatihan –
bersertifikat kegawat-daruratan, a.l. ATLS, ACLS, PPGD, menjadi DPJP pada saat
asuhan awal pasien gawat – darurat. Saat pasien dikonsul / rujuk ke dokter spesialis
dan memberikan asuhan medis, maka dokter spesilis tsb menjadi DPJP pasien
tersebut menggantikan DPJP tsb sebelumya.

Pemberian asuhan medis di rumah sakit agar mengacu kepada Buku


Penyelenggaraan Praktik Kedokteran Yang Baik di Indonesia (Kep Konsil no
18/KKI/KEP/IX/2006). Penerapan panduan ini selain menjaga mutu asuhan dan
keselamatan pasien, juga dapat menghindari pelanggaran disiplin.

Asas, Dasar, Kaidah, dan Tujuan Praktik Kedokteran di Indonesia intinya adalah sbb :

 Asas : nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, kesemimbangan, serta


perlindungan dan keselamatan pasien
 Kaidah dasar moral : Menghormati martabat manusia (respect for person),
Berbuat baik (beneficence), Tidak berbuat yang merugikan (non-maleficence),
Keadilan (justice)
 Tujuan : Memberikan perlindungan kepada pasien, Mempertahankan dan
meningkatkan mutu pelayanan medic, Memberikan kepastian hukum kepada
masyarakat, dokter, dan dokter gigi.

E. KEWENANGAN KLINIS DAN EVALUASI KINERJA

1. Setiap dokter yang bekerja di rumah sakit yang melakukan asuhan medis, termasuk
pelayanan interpretative, harus memiliki STR, SIP, SK dari Direktur / Kepala
Rumah Sakit berupa Surat Penugasan Klinis / SPK (Clinical appointment), dengan
lampiran Rincian Kewenangan Klinis / RKK (Clinical Privilege). Penerbitan SPK
dan RKK tsb harus melalui proses kredensial dan rekredensial yang mengacu
kepada Permenkes 755/2011 tentang penyelengaraan Komite Medik di Rumah Sakit.

2. Regulasi tentang evaluasi kinerja professional DPJP ditetapkan Direktur dengan mengacu
ke Permenkes 755/2011 tentang penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit dan
Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012, khususnya Bab KPS (Kualifikasi dan
Pendidikan Staf).

F. PENUNJUKAN DPJP DAN PENGELOMPOKAN STAF MEDIS

1. Regulasi tentang penunjukkan seorang DPJP untuk mengelola seorang pasien,


pergantian DPJP, selesainya DPJP karena asuhan medis nya telah tuntas, ditetapkan
Direktur / Kepala Rumah Sakit. Penunjukan seorang DPJP dapat a.l. berdasarkan
permintaan pasien, jadwal praktek, jadwal jaga, konsul/rujukan langsung. Pergantian
DPJP perlu pengaturan rinci tentang alih tanggung jawabnya. Tidak dibernarkan
pergantian DPJP yang rutin, contoh : pasien A ditangani setiap minggu dengan pola
hari Senin oleh DrSp PD X, hari Rabu DrSp PD Y, hari Sabtu DrSp PD Z.

2. Regulasi tentang pelaksanaan asuhan medis oleh lebih dari satu DPJP dan
penunjukan DPJP Utama, tugas dan kewenangannya ditetapkan Direktur / Kepala
Rumah Sakit.
3. Kriteria penunjukan DPJP Utama untuk seorang pasien dapat digunakan butir –
butir sbb :
a. DPJP Utama dapat merupakan DPJP yang pertama kali mengelola pasien pada
awal perawatan.

b. DPJP Utama dapat merupakan DPJP yang mengelola pasien dengan penyakit
dalam kondisi (relatif) terparah.

c. DPJP Utama dapat ditentukan melalui kesepakatan antar para DPJP terkait.

d. DPJP Utama dapat merupakan pilihan dari pasien.

4. Pengaturan tentang pengelompokan Staf Medis ditetapkan oleh DIrektur sesuai


kebutuhan. Pengelompokan dapat dilakukan a.l. dengan kategori per disiplin.

(Kelompok Staf Medis Bedah, Penyakit Dalam, Radiologi, Mata, dsb), kategori
penyakit (Kelompok Kerja / Tim Kanker Payudara, Kanker Cerviks, dsb), kategori
organ (Kelompok Kerja / Tim Cerebrovasculer, Cardiovasculer, Hati, dsb).

TATA LAKSANA DPJP

1. Setiap pasien yang mendapat asuhan medis di rumah sakit baik rawat jalan maupun rawat
inap harus memiliki DPJP.
2. Di unit / instalasi gawat darurat, dokter jaga menjadi DPJP pada pemberian asuhan medis
awal / penanganan kegawat – daruratan. Kemudian selanjutnya saat dikonsul / rujuk
ditempat(on side) atau lisan ke dokter spesialis, dan dokter spesilais tersebut memberikan
asuhan medis(termasuk intruksi secara lisan) maka dokter spesialis tersebut telah
menjadi DPJP pasien ybs, sehingga DPJP berganti.

3. Apabila pasien mendapat asuhan medis lebih dari satu DPJP, maka harus ditunjuk DPJP
Utama yang berasal dari para DPJP pasien terkait. Kesemua DPJP tsb bekerja secara tim
dalam tugas mandiri maupun kolaboratif, berinteraksi dan berkoordinasi (dibedakan
dengan “bekerja sendiri – sendiri”).

4. Peran DPJP utama adalah sebagai koordinator proses pengelolaan asuhan medis bagi
pasien ybs (sebagai “Kapten Tim”), dengan tugas menjaga terlaksananya asuhan medis
komprehensif – terpadu – efektif, keselamatan pasien, komunikasi efektif, membangun
sinergisme dengan mendorong penyesuaian pendapat (adjustment) antar anggota,
mengarahkan agar tindakanmasing – masing DPJP bersifat kontributif (bukan intervensi),
dan juga mencegah duplikasi.
5. DPJP dalam pelaksanaannya dibantu oleh dokter jaga untuk menjelaskan kepada pasien
atau keluarga tentang :

a. Rencana / ulsulan Pelayanan.

b. Kondisi medis dan diagnosa.

c. Hasil pelayanan dan pengobatan.

d. Termasuk hasil yang tidak diharapkan.

e. Nama individu yang memberikan pengobatan

f. Potensi manfaat dan kekurangannya.

g. Kemungkinan alternatif.

h. Kemungkinan keberhasilan.

i. Kemungkinan timbulnya masalah selama masa pemulihan serta kemungkinan yang


terjadi apabila tidak diobati.

Informasi pelayanan dan pengobatan termasuk hasil yang tidak diharapkan dari
pelayanan akan disampaikan kepada pasien saat awal pasien masuk, saat ada perubahan
kondisi pasien dan saat pasien akan dilakukan tindakan.

6. Tim membuat keputusan melalui DPJP Utama, termasuk keinginan DPJP


mengkonsultasikan ke dokter spesialis lain agar dikoordinasikan melalui DPJP Utama.
Kepatuhan DPJP terhadap jadwal kegiatan dan ketepatan waktu mislanya a.l. kehadiran
atau menjanjikan waktu kehadiran, adlaah sangat penting bagi pemenuhan kebutuhan
pasien serta untuk kepentingan koordinasi sehari – hari.
7. Setiap penunjukkan DPJP harus diberitahu kepada pasien dan / keluarga, dan pasien dan
/ keluarga dapat menyetujuinya ataupun sebaliknya. Rumah sakit berwenang mengubah
DPJP bias terjadi pelanggaran prosedur.

8. Koordinasi dan transfer informasi antar DPJP dilakukan secara lisan dan tertulis sesuai
kebutuhan. Bila ada pergantian DPJP pencatatan di rekam medis harus jelas tentang alih
tanggung jawabnya.
9. Di unit pelayanan intensif DPJP Utama adalah dokter intensifies. Koordinasi dan
tingkatan keikut-sertaan para DPJP terkait, tergantung kepada system yang ditetapkan
misalnya system terbuka / tertutup / semi terbuka. Bila rumah sakit memakai system
terbuka, gunakan kriteria DPJP Utama tsb diatas (lihat Bab VII).
10. Di kamar operasi DPJP Bedah adalah ketua dalam seluruh kegiatanpada saat di kamar
operasi tsb.

11. Pada keadaan khusus misalnya seperti konsul saat diatas meja operasi / sedang dioperasi,
dokteryang dirujuk tsb melakukan tindakan / memberikanintruksi, maka otomatis
menjadi DPJP juga bagi pasien tsb.

12. Dalam pelaksanaan pelayanan dan asuhan pasien, bila DPJP dibantu oleh dokter lain
(a.l.dokter ruangan, residen), maka DPJP yang bersangkutan harus memberikan
supervise, dan melakukan validasi berupa pemberian paraf / tandatangan pada setiap
catatan kegiatan tsb di rekam medis.
13. Asuhan pasien dilaksanakan oleh para professional pemberi asuhan yang bekerja secara
tim (“Tim Interdisiplin”) sesuai konsep Pelayanan Fokus pada Pasien (Patient Centered
Care), DPJP sebagai ketua tim (Team Leader) harus proaktif melakukan koordinasi dan
mengintegrasikan asuhan pasien, serta berkomunikasi intensif dan efektif dalam tim.
Termasuk dalam kegiatan ini adalah perencanaan pulang efektif dalam tim.
Termasukdalan kegiatan ini adalah perencanaan pulang (discharge plan) yang dapat
dilakukan pada awal masuk rawat inap atau pada akhir rawat inap (Standar Akreditasi
Rumah Sakit versi 2012, Bab APK – akses ke Pelayanan dan Kontinuitas Pelayanan dan
Bab AP – Asesmen Pasien).

14. DPJP harus aktif dan intensif dalam pemberian edukasi / informasi kepada pasien dan
keluarganya. Gunakandan kembangkan tehnik komunikasi yang berempati. Komunikasi
merupakan elemen yang penting dalam konteks Pelayanan Fokus pada Pasien (Patient
Centered Care), selain juga merupakan kompetensi dokter dalam area kompetensi ke 3
(Standar Kompetensi Dokter Indonesia, KKI 2012; Penyelenggaraan Praktik Kedokteran
Yang Baik Indonesia, KKI 2006).

15. Pendokumentasian yang dilakukan oleh DPJP di rekam medis harus mencantumkan
nama dan paraf / tandatangan. Pendokumentasian tersebut dilakukan a.l. di form asesmen
awal medis, catatan perrkembangan pasien terintegrasi / CPPT (Integrated note), form
asesmen pra anestesi / sedasi, intruksi passca bedah, form edukasi / informasi ke pasien
dsb. Termasuk juga pendokumentasian keputusan hasil pembahasan tim medis, hasil
ronde bersama multi kelompok staf medis / departemen, dsb.
16. Resume Medis adalah tanggung jawab DPJP. Bila dirawat bersama oleh beberapa DPJP
maka resume yang merupakan rangkuman dan kompilasi dari resume setiap DPJP,
menjadi tanggung jawab DPJP Utama.

17. Pada setiap rekam medis harus ada pencatatan (kumulatif, bila lebih dari satu) tentang
DPJP, dalam bentuksatu formulir yang diisi secara periodic sesuai kebutuhan /
penambahan / pengurangan / penggantian, yaitu nama dan gelar setiap DPJP, tanggal
mulai dan akhir penanganan pasien, DPJP Utama nama dan gelar, tanggal mulai dan
akhir sebagaiDPJP Utama. Daftar ini bukan berrfungsi sebagai daftar hadir.

18. Keterkaitan DPJP dengan Alur Perjalanan Klinis / Clinical Pathway, setiap DPJP
bertanggung jawab mengupayakan proses asuhan pasien (baik asuhan medis maupun
asuhan keperawatan atau asuhan lainnya) yang diberikan kepada pasien patuh pada Alur
Perjalanan Klinis / Clinical Pathway yang telah ditetapkan oleh RS. Tingkat kepatuhan
pada Alur Perjalanan Klinis / Clinical Pathway ini akan menjadi objek Audit Klinis dan
Audit Medis.
19. Bila DPJP cuti atau berhalangan hadir, DPJP dapat melimpahkan ke dokter spesialis lain
yang mempunyai kewenangan klinis untuk menangani pasien tersebut. Dalam hal ini
DPJP tersebut disebut sebagai DPJP pengganti.

DOKUMENTASI

Regulasi yang adekuat tentang DPJP dalam pelaksanaan asuhan medis, dan
panduan ini merupakan acuan utama bagi rumah sakit. Regulasi mencerminkan pengelolaan
risiko klinis dan pelayanan berfokus kepada pasien (patient centered care). Regulasi tsb
diatas agar dapat diterapkan oleh para pemberi asuhan, termasuk DPJP, sehingga terwujud
asuhan pasien yang bermutu dan aman.
Di Rumah Sakit Krakatau Medika pendokumentasian dalam menetapkan dokter
penanggung jawab pelayanan (DPJP) adalah dengan menggunakan formulir surat pengantar
rawat inap. Bagi pasien dari Unit Gawat Darurat (UGD) penetapan DPJP mengacu kepada
jadwal On Call yang ditetapkan oleh ketua SMF.
Bila seorang DPJP menemukan masalah lain dari pasien yang dirawat olehnya
dan bukan bagian dari kewenangan klinisnya, maka DPJP melakukan konsul/rawat
bersama/alih rawat kepada dokter spesialis lain yang mempunyai kewenangan klinis
terhadap masalah pasien tersebut. Pendokumentasian hal ini dengan menggunakan formulir
Permohonan Konsultasi.
Bila DPJP cuti atau berhalangan hadir, DPJP dapat melimpahkan ke dokter
spesialis lain yang mempunyai kewenangan klinis untuk menangani pasien tersebut. Dalam
hal ini DPJP tersebut disebut sebagai DPJP pengganti. Informasi cuti di isi melalui fornulir
cuti dokter dan menunjuk dokter pengganti untuk pelayanan di rawat jalan dan rawat inap.
BAB X
MENGATASI HAMBATAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam memberikan pelayanan kesehatan di rumah sakit, tidak menutup kemungkinan,
rumah sakit seringkali harus melayani komunitas dengan berbagai keragaman. Ada
pasien-pasien yang telah berumur, atau menderita cacat, bahasa atau dialeknya
beragam juga budayanya, atau ada hambatan lainnya yang membuat proses
mengakses dan menerima perawatan sangat sulit. Rumah sakit mengidentifikasi
hambatan-hambatan tersebut dan menerapkan proses untuk mengurangi hambatan
bagi pasien yang berupaya mencari perawatan. Rumah sakit juga mengambil tindakan
untuk mengurangi dampak dari hambatan yang ada pada saat memberikan layanan.
Hal ini dapat mengganggu jalannya pelayanan kesehatan, bahkan membuat emosi atau
stress yang mempengaruhi efesiensi dan produktivitas kerja.
Sehingga perlu dibuat suatu panduan dalam mengatasi hambatan tersebut agar semua
dapat diatasi dengan baik. Dalam setiap hambatan yang disampaikankan oleh
pelanggan kepada Krakatau Medika Hospital, selalu ditanggapi dengan baik dan
diselesaikan dengan cepat. Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi konflik yang
lebih serius dengan. Setiap permasalahan yang terjadi selalu diusahakan untuk
diselesaikan dengan mengacu pada panduan ini.

B. MAKSUD DAN TUJUAN

1. Maksud dibuatkannya buku Panduan ini adalah sebagai acuan dalam tata cara
menerima dan menyelesaikan hambatan dalam pelayanan dari para pelanggan
untuk mencapai perbaikan kinerja dan kualitas pelayanan yang lebih baik bagi
rumah sakit.

2. Tujuan dibuatkannya buku panduan ini adalah untuk menjaga standar layanan
yang diberikan oleh Rumah Sakit dalam rangka memenuhi harapan Pelanggan
C. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup kegiatan pelayanan dalam mengatasi hambatan untuk seluruh pasien
yang akan berobat ke RS Tarumajaya.

D. PENGERTIAN
Hambatan dapat diartikan sebagai halangan atau rintangan yang dialami (Badudu
Zain,1994:489). Dalam konteks komunikasi dikenal pula gangguan (mekanik maupun
semantik).Gangguan ini masih termasuk kedalam hambatan komunikasi.Efektifitas
komunikasi salah satunya akan sangat tergantung kepada seberapa besar hambatan
komunikasi yang terjadi.
Didalam setiap kegiatan komunikasi, sudah dapat dipastikan akan menghadapi
berbagai hambatan. Hambatan dalam kegiatan komunikasi yang manapun tentu akan
mempengaruhi efektifitas proses komunikasi tersebut. Karena pada komunikasi masa
jenis hambatannya relative lebih kompleks sejalan dengan kompleksitas komponen
komunikasi masa dan perlu diketahui juga, bahwa komunikasi harus bersifat
heterogen

E. JENIS-JENIS HAMBATAN
1. Hambatan Fisik Dalam Proses Komunikasi
Merupakan jenis hambatan berupa fisik, misalnya cacat pendengaran (tuna rungu,
tuna netra, tuna wicara). Maka dalam hal ini baik komunikator maupun
komunikan harus saling berkomunikasi secara maksimal, bantuan panca indera
juga berperan penting dalam komunikasi ini.
Contoh : apabila seorang perawat dengan pasien berusia lanjut, maka perawat
harus bersikap lemah lembut dan sopan tetapi bukan berarti tidak pada pasien
lain. Perawat harus lebih memaksimalkan volume suaranya apabila perawat
bicara pada pasien tuna rungu.Begitu pula halnya si pasien , apabila pasien
menderita tuna wicara maka sebaiknya pasien itu mengoptimalkan
pancainderanya (missal : gerak tangan, gerakan mulut) agar perawat dapat
menangkap apa yang pasien ucapkan, atau pasien tuna wicara bisa membawa
rekannya atau pengantar/keluarga untuk menterjemahkan pada perawat apa yang
sebetulnya pasien itu ucapkan.
Hambatan yang dilihat dari asfek fisiknya dapat dibagi menjadi beberapa bagian:
A. Tuna Netra
Seseorang dikatakan tuna netra apabila mereka kehilangan daya lihatnya
sedemikian rupa sehingga tidak dapat menggunakan fasilitas pada umumnya.
Menurut Kaufman & Hallaha, tuna netra adalah individu yang memiliki lemah
penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau
tidak lagi memiliki penglihatan.
Tuna netra dibagi menjadi dua :
1) Kurang awas (low vision) yaitu seseorang dikatakan kurang awas bila
masih memiliki sisa penglihatan sedemikian rupa, sehingga masih
sedikit melihat atau masih bisa membedakan gelap dan terang.
2) Buta (Blind) yaitu seseorang dikatakan buta apabila sudah tidak
memiliki sisa penglihatan sehingga tidak dapat membedakan gelap dan
terang.
Ciri – Ciri Fisik :
1) Memiliki daya dengar yang sangat kuat sehingga dengan cepat pesan-
pesan melalui pendengaran dapat dikirim ke otak.
2) Memiliki daya pengobatan yang sensitif sehingga apa yang ia rasakan
dapat dikirim langsung ke otak.
3) Kadang-kadang mereka suka mengusap-usap mata dan berusaha
membelalakkannya.
4) Kadang-kadang mereka memiliki perilaku yang kurang nyaman bisa
dilihat oleh orang normal pada umumnya atau dengan sebutan
blindsm ( misalnya: mengkerut-kerutkan kening, menggeleng-
gelengkan kepala secara berulang-ulang dengan atau tanpa disadarinya.

B. Tuna Daksa
Seseorang dikatakan Tuna daksa apabila terdapat kelainan anggota tubuh
sebagai akibat dari luka, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk sehingga
mengakibatkan turunnya kemampuan normal untuk melakukan gerakan-
gerakan tubuh tertentu dan untuk mengoptimalkan potensi kemampuannya
diperlukan layanan khusus. Tuna daksa ada dua kategori, yaitu :
1) Tuna daksa orthopedic (orthopedically handicapped) yaitu mereka yang
mengalami kelainan, kecacatan tertentu sehingga menyebabkan
terganngunya fungsi tubuh. Kelainan tersebut dapat terjadi pada bagian
tulang, otot tubuh maupun pada daerah persendian, baik yang dibawa
sejak lahir maupun yang diperoleh kemudian.
2) Tuna daksa syaraf (neurological handicapped) yaitu kelainan yang
terjadi pada anggota tubuh yang disebabkan gangguan pada syaraf.
Salah satu kategori penderita tuna daksa syaraf dapat dilihat pada anak
cerebral palsy.

Ciri-ciri Fisik :
1. Memiliki kecerdasan normal bahkan ada yang sangat cerdas.
2. Depresi, kemarahan dan rasa kecewa yang mendalam disertai dengan
kedengkian dan permusuhan.
3. Penyangkalan dan penerimaan atau suatu keadaan emos.
4. Meminta dan menolak belas kasihan dari sesama, ini merupakan fase dimana
seseorang akan mencoba menyesuiakan diri untuk dapat hidup dengan
kondisinya yang sekarang.

Ciri-ciri Sosial :
Kelompok ini kurang memiliki akses pergaulan yang luas karena keterbatasan
aktivitas geraknya, dan kadang-kadang menampakkan sikap marah-marah (emosi)
yang berlebihan tanpa sebab yang jelas.

C. Tuna Rungu
Ciri-ciri Fisik :
1. Berbicara keras dan tidak jelas
2. Suka melihat gerak bibir atau gerak tubuh teman bicaranya
3. Telinga mengeluarkan cairan
4. Menggunakan alat bantu dengar
5. Bibir sumbing
6. Suka melakukan gerakan tubuh
7. Cenderung pendiam
8. Suara sengau
9. Cadel

Ciri-ciri mental :

Pada umumnya sering menaruh curiga terhadap orang-orang yang ada


disekitarnya.

D. Tuna Wicara

Seorang dikatakan tuna wicara apabila mereka mengalami kesulitan berbicara. Hal
ini disebabkan kurang atau tidak berfungsinya alat – alat bicara seperti rongga mulut,
lidah, langit – langit dan pita suara. Selain itu , kurang atau tidak berfungsinya organ
pendengaran, keterlambantan perkembangan bahasa, kerusakan pada system syaraf
dan struktur otot serta ketidakmapuan dalam control gerak juga dapat mengakibatkan
keterbatasan dalam berbicara. Diantara individu yang mengalami kesulitan, ada yang
sama sekali tidak dapat berbicara dapat mengeluarkan bunyi tetapi tidak mengucapkan
kata – kata dan ada yang berbica tetapi tidak jelas. Maslah yang utam pada diri
seorang tuna wicara adalah mengalami kehilangan atau terganggungya fungisi
pendengaran dan atau fungsi bicara. Yang disebabkan oleh bawaan lahir, kecelakaan
maupun penyakit.

E. Hambatan Semantik dalam Proses Komunikasi


Semantik adalah pengetahuan tentang pengertian atau makna kata (denotatif).
Jadi hambatan semantic adalah hambatan mengenai bahasa, baik bahasa yang
digunakan oleh komunikan maupun komunikator.
Hambatan semantic dibagi menjadi 3 diantaranya:

a. Salah pengucapan kata atau istilah karena terlalu cepat berbicara


b. Ada perbedaan makna dan pengertian pada kata-kata yang pengucapannya
sama
c. Ada perbedaan makna dan pengertian pada kata-kata yang pengucapannya
sama
d. Adanya pengertian konotatif
Contoh: secara denotative, semua setuju bahwa anjing adalah binatang berbulu,
berkaki empat, sedangkan secara konotatif, banyak orang menganggap anjing
sebagai binatang peliharaan yang setia, bersahabat dan panjang ingatan.
Jadi apabila ini disampaikan secara denotative sedangkan komunikan menangkap
secara konotatif maka komunikasi kita gagal

F. Hambatan psikologis dalam proses komunikasi

Disebut sebagai hambatan psikologis karena hambatan-hambatan tersebut


merupakan unsur dari kegiatan manusia. Hambatan psikologis dibagi menjadi 4 :
a. Perbedaan kepentingan atau interest
Kepentingan atau interest akan membuat seseorang selektif dalam menanggapi
atau menghayati pesan. Orang hanya akan memperhatikan yang ada hubungan
dengan kepentingannya. Kepentingan bukan hanya mempengaruhi kita saja
tetapi juga menentukan daya tanggap, perasaan, pikiran dan tingkah laku
kita.Komunikan pada komunikasi masa bersifat heterogen. Heterogenitas itu
meliputi perbedaan usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan yang
keseluruhannya akan menimbulkan kepentingan. Kondisi komunikan seperti
ini harus dipahami oleh seorang perawat, maka perawat harus berusaha
menyusun pesannya sedemikian rupa agar menimbulkan keterikatan dari
komunikan/pasien.

b. Prasangka
Prasangka berkaitan dengan persepsi orang tentang seseorang atau kelompok
lain, sikap serta perilakunya . untuk mengatasi hambatan komunikasi yang
berupa prasangka pada pasien, maka perawat/tenaga kesehatan yang akan
menyampaikan pesan melalui media/langsung sebaiknya komunikator/tenaga
kesehatan yang netral dalam arti bukan orang controversial, reputasinya baik
artinya tidak, ia tidak pernah terlibat dalam suatu peristiwa yang telah
membuat luka hati pasien atau komunikan, dengan kata lain tenaga kesehatan
harus acceptable, disamping memiliki kredibilitas yang tinggi karena
kemampuan dan keahliannya dalam komunikasi.
c. Stereotip
Adalah gambaran atau tanggapan mengenai sifat atau watak bersifat negative.
Seandainya dalam proses komunikasi ,komunikan/pasien memiliki stereotif
tertentu maka tenaga kesehatan/komunikatornya dapat dipastikan pesan
apapun tidak dapat diterima oleh komunikan/pasien.

d. Motivasi
Motif adalah sesuatu yang mendasari motivasi karena motif memberi tujuan
dan arah pada tingkah laku manusia, tanggapan seseorang terhadap pesan
komunikasipun berbeda sesuai dengan jenis motifnya.

JENIS-JENIS HAMBATAN LAIN


Ada delapan hambatan penting untuk komunikasi lintas budaya dalam keperawatan
a. Kurangnya pengetahuan
Perawat/tenaga kesehatan yang tidak belajar tentang perilaku yang diterima oleh
budaya yang berbeda
b. Ketakutan dan ketidakpercayaan
1) Ketakutan :setiap orang memandang orang lain berbeda, oleh karena itu
berbahaya. Biasanya ketika orang menjadi lebih baik mengenal satu sama lain
, ketakutan secara bertahap menghilang
2) Tidak menyukai : Orang dari budaya yang berbeda sering curiga karena
mereka kurang informasi
3) Penerimaan : biasanya jika dua orang dari berbagai budaya yang berbeda
pengalaman cukup baik selama periode waktu.
4) Respect :jika individu dari berbagai budaya berpikiran terbuka, maka akan
memungkinkan mereka untuk melihat dan mengagumi kualitas satu sama lain.
5) Percaya : orang dari beragam budaya, telah menghabiskan cukup berkualitas
waktu bersama, mereka biasanya saling percaya.
6) Menyukai :untuk mencapai tahap akhir, individu dari berbagai budaya harus
mampu berkonsentrasi pada kualitas manusia yang mengikat orang bersama-
sama.
c. Rasisme
Rasisme dalam keperawatan adalah penghalang transcultural komunikasi antara
perawat dan pasien, dan antara perawat dan penyedia perawatan kesehatan
lainnya , tipe-tipenya:
1. Rasisme individu : diskriminasi karena karakteristik biologis
2. Rasisme budaya : menganggap budaya sendiri lebih superior

3. Kelembagaan rasisme :Lembaga (Universitas, bisnis, rumah sakit, sekolah,


dll) memanipulasi atau mentolerir kebijakan yang tidak adail membatasi ras
tertentu, budaya atau kelompok.

d. Hambatan Bahasa
1. Bahasa asing
2. Berbeda dialek dan regionalism
3. Idiom dan “berbicara jalanan”
Bahasa asing, dialek dan regionalism, bahkan ketika perawat/tenaga kesehatan
dan pasien berbicara bahasa yang sama, kesalahpahaman dapat muncul, bahkan
ketika pasien datang/WNA sedangkan perawat/tenaga kesehatan tidak memahami
bahasa pasien hambatan dapat membawa/menghasilkan frustasi dan konflik.
Untuk berkomunikasi secara efektif dengan pasien , maka perlu seorang
penterjemah, seorang jurubicara yang terampil dapat membantu tenaga kesehatan
sehingga dapat mengatasi kecemasan dan frustasi yang dihasilkan oleh hambatan
bahasa.

c. Konflik Persepsi dan harapan


Ketika orang dari budauya yang berbeda mencoba untuk berkomunikasi, upaya
terbaik mereka dapat digagalkan oleh kesalahpahaman dan konflik dibidang
kesehatan. Kesalahpahaman seringkali muncul ketika perawat/tenaga kesehatan
dan pasien memiliki persepsi dan harapan yang berbeda.
TATA CARA

Untuk dapat memberikan kenyaman dan kemudahan dalam memberikan pelayan


bagi pasien dengan hambatan rumah sakit harus memiliki saran dan prasarana yang mendukung
kursi roda dan brankar.

Pelayanan umum yang diberikan oleh KMH yang dengan yang mengalami hambatan :
Hambatan fisik dengan pasien atau keluarga pasien dapat dibantu oleh seorang
security Jika seorang security mengalami kesulitan dalam membantu pasien atau
keluarga pasien dapat dibantu oleh perawat.

TATA LAKSANA
Upaya-Upaya dalam Menghadapi Hambatan Berkomunikasi
Untuk mengetahui hambatan tersebut dapat ditanggulangi dengan cara sebagai berikut :
1. Mengecek arti dan maksud yang disampaikan
2. Meminta penjelasan lebih lanjut
3. Mengecek umpan balik dan hasil
4. Mengulangi pesan yang disampaikan memperkuat dengan bahasa isyarat
5. Mengakrabkan antara pengirim dan penerima
6. Membuat pesan secara singkat, jelas dan tepat
7. Menunjuk satu PIC atau penanggung jawab bila hambatannya itu karena
ketidakmampuan tenaga kesehatan berbicara dalam bahasa asing(contoh: bahasa
Korea/bahasa Inggris)
BAB XI
TRANSPORTASI PASIEN

A. Latar Belakang
Ambulans sebagai sarana transportasi di sebuah pasien rumah sakit sangatlah penting
baik itu rumah sakit berskala besar atau kecil. RS Tarumajaya sebagai salah satu
pemberi jasa pelayanan kesehatan pada masyarakat di Kabupaten Bekasi khususnya
Tarumajaya umumnya juga memiliki ambulans yang digunakan sebagai sarana
tranportasi pasien dari dan ke luar RS Tarumajaya.
Fungsi ambulans sebagai sarana tranportasi pasien di rumah sakit harus dapat
menjamin keselamatan dan kenyamanan pasien sampai ketempat yang dituju.Sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.

B. Tujuan
1. Memindahkan pasien gawat darurat dengan aman tanpa memperberat keadaaan
pasien ke sarana kesehatan yang memadai.
2. Sebagai alat transportasi bagi pasien yang memerlukan tindakan medis atau
pemeriksaan penunjang ke rumah sakit lain.
3. Memberikan pelayanan bagi masyarakat umum di area Tarumajaya dan sekitarnya
yang memerlukan pelayanan medis di RS Tarumajaya.

C. Landasan Hukum
1. Undang – undang Penaggulangan Bencana Nomor 24 tahun 2007
2. Undang – undang kesehatan Nomor 36 tahun 2006
3. Undang – undang Rumah sakit No.44 tahun 2009
4. S.K MENKES No. 856/Menkes/SK/IX/ 2009 tentang Standar IGD Rumah Sakit.
5. Kepmenkes No.0152/YanMed/RSKS/1987,tentang standarisasi Kendaraan
Pelayanan Medik.
6. Kepmenkes no.143/Menkes-kesos/SK/II/2001tentang Standarisasi Kendaraan
Pelayanan Medik.
D. Ruang Lingkup
1. Pasien rawat inap yang memerlukan transportasi ke luar RS Kurnia
Tarumajayadengan tujuan untuk pemeriksaan penunjang, tindakan medis atau
rujukan untuk alih rawat.
2. Masyarakat umum yang anggota keluarganya memerlukan pelayanan ambulans
untuk tindakan medis di RS Tarumajaya
3. Institusi masyarakat yang memerlukan pelayanan ambulan untuk kegiatan sosial,
olah raga atau kegiatan lain

Definisi :
Pelayanan ambulans adalah suatu prosedur pemindahan pasien dengan menggunakan
kendaraan pelayanan medis yang memiliki fasilitas yang lengkap dan didampingi oleh
perawat atau dokter yang mampu menangani keadaan gawat darurat untuk tujuan
pemeriksaan penunjang, tindakan medis dan alih rawat ke rumah sakit lain.

Pengorganisasian :
- Pelayanan ambulans RS Tarumajaya secara operasional menjadi tanggung jawab
Instalasi Gawat Darurat.

Jenis Ambulans :
a. Ambulas transportasi
1). Tujuan Penggunaan :
Pengangkutan pasien yang tidak memerlukan perawatan khusus / tindakan darurat
untuk menyelamatkan nyawa dan diperkirakan tidak akan timbul kegawatan selama
dalam perjalanan.
2). Persyaratan kendaraan :
1. Teknis
- Kendaraan roda empat atau lebih dengan suspense lunak
- Ruangan pasien mudah dicapai dari tempat pengemudi
- Tempat duduk bagi petugas di ruang pasien

- Dilengkapi sabuk pengaman


- Ruangan pasien cukup luas untuk sekurang – kurangnya 1 ( satu ) stretcher
- Gantungan infuse
- Stop kontak khusus untuk 12 volt DC di ruang pasien
- Lampu ruangan secukupnya
- Lemari obat dan peralatan
- Sirine satu nada
- Lampu rotator warna merah
- Tanda pengenal ambulans transportasi dari bahan yang memantulkan sinar
- Buku petunjuk pemeliharaan semua alat berbahasa Indonesia
2. Medis
- Tabung oksigen dengan peralatannya
- Peralatan medis P3K
- Obat – obatan sederhana, cairan infus secukupnya
3. Petugas
- Satu supir dengan kemampuan P3K dan komunikasi
- Satu perawat dengan kemampuan PPGD
4. Tata tertib
- Sewaktu menuju tempat pasien boleh menggunakan sirene dan lampu
rotator
- Selama mengangkut pasien hanya boleh menggunakan lampu rotator. Semua
peraturan lalulintas harus ditaati
- Kecepatan kendaraan setinggi 40 km di jalan biasa dan 80 km di jalan bebas
hambatan

b. Ambulans Gawat Darurat

1). Tujuan Penggunaan :


Pengangkutan pasien gawat darurat yang sudah distabilkan ke tempat tindakan
definitif / di stabilkan rumah sakit
2). Persyaratan kendaraan :
1. Teknis
- Kendaraan roda empat atau lebih dengan suspense lunak
- Ruangan pasien tidak dipisahkan daari tempat pengemudi
- Tempat duduk yang dapat diatur / dilipat bagi petugas di ruang pasien
- Dilengkapi sabuk pengaman
- Ruangan pasien cukup luas untuk sekurang – kurangnya 1 ( satu ) stretcher
- Gantungan infus terletak sekurang – kurangnya 90 cm di atas tempat pasien
- Stop kontak khusus untuk 12 volt DC di ruang pasien
- Lampu ruangan secukupnya dan lampu sorot bergerak untuk menerangi
pasien yang dapat dilipat
- Lemari obat dan peralatan
- Air bersih 20 liter, wastafel dan penampungan air limbah
- Sirine dua nada
- Lampu rotator warna merah dan biru
- Radio komunikasi
- Persyaratan lain sesuai Peraturan Perundangan yang berlaku
- Tanda pengenal ambulan transportasi dari bahan yang memantulkan sinar
- Buku petunjuk pemeliharaan semua alat berbahasa Indonesia
- Peralatan resque
2. Medis
- Tabung oksigen dengan peralatannya untuk 2 ( dua ) orang
- Peralatan medis P3K
- Peralatan resusitasi lengkap bagi orang dewasa dan anak / bayi
- Monitor

- Obat- obatan gawat darurat dan cairan infus secukupnya


3. Petugas
- Satu supir, perawat gawat darurat dengan kemampuan mengemudi dan
komunikasi
- Satu perawat gawat darurat
- Satu dokter gawat darurat ( tergantung keadaan )
4. Tata tertib
- Sewaktu menuju tempat pasien boleh menggunakan sirene dan lampu
rotator
- Selama mengangkut pasien hanya boleh menggunakan lampu rotator. Semua
peraturan lalulintas harus ditaati
- Kecepatan kendaraan setinggi 40 km di jalan biasa dan 80 km di jalan bebas
hambatan.
A. TATALAKSANA PENGGUNAAN AMBULANS PASIEN RAWAT INAP
1. Perawat rawat inap menginformasikan pemakaian ambulans sesuai dengan
waktu, tujuan dan kondisi pasien yang akan di rujuk.
2. Petugas Instalasi Gawat Darurat / supir ambulans menuliskan informasi tersebut
pada formulir permintaan ambulan RS Kurnia Cilegon.
3. Perawat Instalasi Gawat Darurat menghubungi supir ambulan untuk
menginformasikan waktu dan tujuan transportasi pasien
4. PerawatInstalasi Gawat Darurat dan supir ambulans menyiapkan fasilitas
ambulan sesuai dengan kondisi pasien yang akan di bawa

B. TATA LAKSANA PENGGUNAAN AMBULANS BAGI PASIEN DI


LUAR RS TARUMAJAYA
1. Petugas Instalasi Gawat Darurat menerima permintaan ambulans dari keluarga
pasien.
2. Petugas Instalasi Gawat Darurat konfirmasi ulang ke keluarga serta alamat
lengkap pasien.
3. Perawat menanyakan kondisi dan kebutuhan pasien pada keluarga
4. Perawat menginformasikan kepada dokter jaga tentang kondisi pasien
5. Perawat menginformasikan rencana penggunaan ambulans pada supir ambulan.
6. Perawat dan supir ambulans menyiapkan fasilitas ambulans sesuai dengan
kondisi pasien yang akan dijemput.

C. PERSYARATAN TRANSPORTASI PASIEN DENGAN AMBULANS


1. Pasien sudah dalam kondisi hemodinamik yang stabil( sesuai dengan hasil
pemeriksaan DPJP )
2. Bila kondisi pasien sangat lemah dan terpasang alat bantu ( ETT, Trakeostomi, )
dan lain – lain, harus tersedia monitor, suction, obat – obatan emergency dan
harus didampingi oleh dokter jaga.
3. Petugas medis / paramedik yang menyertai pasienharus duduk / mendampingi
pasien.
4. Bila ada keluarga pasien yang ikut di dalam ambulans diminta untuk duduk di
bagian depan / samping pengemudi.
5. Perawat / dokter harus memonitor keadaan pasien selama dalam perjalanan
sampai ke tempat tempat tujuan dengan mengisi formulir yang sudah tersedia
D. PEMELIHARAAN FASILITAS AMBULANS
1. Pemeliharaan dan pengadaan fasilitas medis / non medis di ambulans menjadi
tanggung jawab Bagian MFK
2. Pembersihan mobil ambulans ( bagian luar dan dalam ) menjadi tanggung jawab
pengemudi yang sedang bertugas pada shiftnya.
3. Untuk kelengkapan alat tenun (laken, boven laken, selimut, bantal dll)bagi pasien
yang akan menggunakan ambulans harus oleh supir ambulans.
4. Perawat ruangan yang akan membawa pasien dengan ambulans harus bertanggung
jawab atas penggunaan semua fasilitas medis / non medis yang ada di ambulans.

5. Bila ada kerusakan alat medis / non medis yang ada diambulans setelah
penggunaan mobil ambulans harus segera dilaporkan pada bagian MFK

Anda mungkin juga menyukai