Anda di halaman 1dari 2

HR RASUNA SAID: DIHUKUM BELANDA KARENA DELIK UJARAN RADIKAL

Masyarakat Jakarta pasti tidak asing dengan nama Jalan HR Rasuna Said yang terletak di sepanjang
Kuningan hingga Setiabudi, Jakarta Selatan. Nama ini diambil dari muslimah pejuang asal Sumatra
Barat.

Rasuna yang bernama lengkap Hajjah Rangkayo Rasuna Said lahir pada 14 September 1910 di
Maninjau, Agam, Sumatra Barat. Muslimah yang selalu meng gunakan kerudung ini tak hanya
berjuang untuk kemerdekaan bangsa Indonesia tetapi juga untuk perbaikan kondisi kaum
perempuan.

Keluarga Ulama yang Cerdas

Dalam profil Rasuna Said yang ditulis oleh Esti Nurjanah (2017) diketahui bahwa keluarga Rasuna
Said berasal kalangan terpandang di Sumatera Barat yakni kalangan ulama yang sangat dihormati
dan juga dari kalangan pengusaha.

Rasuna mendapatkan pendidikan sedari kecil. Ia memang dikenal dengan kecintaannya kepada ilmu
pengetahuan. Pendidikan dasar Rasuna dihabiskan di SD Maninjau. Setelah itu ia melanjutkan ke
Diniyah School di Padangpanjang. Kecerdasan Rasuna sudah bisa terlihat saat ia bersekolah. Ia
dipercaya mengajar kelas di bawahnya meskipun ia masih pelajar.

Tak hanya pendidikan umum, Rasuna juga menimba ilmu agama di Pesantren Ar Rasyidiyah. Usai
menamatkan Diniyah School, Rasuna mengabdi menjadi pengajar di almamaternya. Tak banyak saat
itu, Muslimah yang menempuh pendidikan hingga tingkat lanjut. Rasuna ingin memajukan
pendidikan bagi para perempuan.

Aktif berorganisasi dan menentang Kolonialisme

Selain pendidikan, ia juga tertarik dengan politik. Ia ingin agar wanita saat itu juga melek politik.
Dalam pandangan agama, bangsa, dan politik, Rasuna banyak di pengaruhi gurunya H Abdul Karim
Amrullah, ayahanda HAMKA. Hingga akhir perjuangannya landasan berpikirnya selalu menggunakan
pemikiran dari Abdul Karim.

Perjuangan politik dimulai Rasuna saat beraktivitas di Sarekat Rakyat sebagai sekretaris. Kemudian,
dia bergabung sebagai anggota di Persatuan Muslim Indonesia. Rasuna Said juga ikut mengajar di
sekolah-sekolah yang didirikan Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI). Kemudian, dia mendirikan
Sekolah Thawalib di Padang, dan memimpin Kursus Putri dan Normal Kursus di Bukit Tinggi

Mahir Berorasi dan Dihukum karena Ujaran Radikal

Pidatonya yang berani, tajam, dan berdaya gugat benar-benar menghunjam tatanan kolonial. Tidak
heran, lantaran pidatonya itu, Rasuna sering berurusan dengan PID (polisi rahasia Belanda). Ia
ditangkap dan ditahan di Payakumbuh. Berita penangkapannya banyak dimuat di koran. Saat itu,
Rasuna dikenai tuduhan delik ujaran Radikal (spreekdelict). Ia akhirnya di penjara di Semarang, Jawa
Tengah.
Kritis dengan menjadi Jurnalis

Selepas dari penjara, Rasuna memimpin sebuah koran bernama “Raya”. Koran ini sangat radikal.
Koran ini bahkan menjadi obor perlawanan bagi kebangkitan gerakan kemerdekaan di Sumatera
Barat. Di mata Belanda, koran ini sangat galak dan berbahaya.

Karena itu, PID mulai mempersempit ruang gerak Rasuna dan kawan-kawannya. Sedangkan tokoh-
tokoh PERMI yang diharapkan berdiri melawan tindakan kolonial ini, justru tidak bisa berbuat
apapun. Rasuna sangat kecewa. Ia pun memilih pindah ke Medan, Sumatera Utara.

Pada tahun 1937, di Medan, Rasuna mendirikan perguruan putri. Untuk menyebar-luaskan gagasan-
gagasannya, ia membuat majalah mingguan bernama “Menara Poeteri”. Slogan koran ini mirip
dengan slogan Bung Karno: “Ini dadaku, mana dadamu”.

Koran ini banyak berbicara soal perempuan. Meski begitu, sasaran pokoknya adalah memasukkan
kesadaran pergerakan, yaitu anti-kolonialisme, di tengah-tengah kaum perempuRasuna Said
mengasuh rubrik “Pojok”. Ia sering menggunakan nama samaran: Seliguri, yang konon kabarnya
merupakan nama sebuah bunga.

Tulisan-tulisan Rasuna dikenal tajam, kupasannya mengena sasaran, dan selalu mengambil sikap
lantang anti-kolonial. Sebuah koran di Surabaya, namanya Penyebar Semangat, pernah menulis
perihal Menara Poetri ini: “di Medan ada sebuah surat kabar bernama Menara Poetri; isinya
dimaksudkan untuk jagad keputrian. Bahasanya bagus, dipimpin oleh Rangkayo Rasuna Said, seorang
putri yang pernah masuk penjara karena berkorban untuk pergerakan nasional.Saat terjun dalam
dunia politik, Rasuna dikenal dengan kemahirannya ber pidato. Isi pidato yang disampai kannya
selalu tajam menyangkut penindasan pemerintah Belanda Ketika itu yakni tahun 1930.

Agar lantang menyuarakan kebenaran, Dia menjadi seorang jurnalis. Dia sering menulis berbagai
kritikan untuk penguasa saat itu. Dia menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah raya di semarang.
Di Semarang dia juga bergabung dengan PERMI. Namun karena perlawanan tokoh PERMI di
semarang kurang bagus, dia memutuskan untuk pindah ke Medan.

Dia menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah raya di semarang. Di Semarang dia juga bergabung
dengan PERMI. Namun karena perlawanan tokoh PERMI di semarang kurang bagus, dia memutuskan
untuk pindah ke Medan.

Pada 1935 Rasuna menjadi pemimpin redaksi Majalah Raya. Karena ruang gerak yang dibatasi
Belanda, Rasuna Said pindah ke Medan dan mendirikan sekolah pendidikan khusus wanita
Perguruan Putri.Dia juga menerbitkan majalah Menara Putri yang membahas seputar pentingnya
peran wanita dan keislaman. Koran mingguan ini tidak hanya berbicara tentang perempuan. Namun
juga berbicara tentang ajakan pribumi untuk melakukan pergerakan. Atau lebih dikenal dengan
istilah antikolonialisme. Kurangnya modal, membuat dia harus rela menutup majalah ini.

Pada masa pendudukan Jepang, Rasuna Said ikut serta sebagai pendiri organisasi pemuda Nippon
Raya di Padang. Tetapi, kemudian organisasi itu dibubarkan oleh Pemerintah Jepang. Tak berhenti,
Rasuna bersama Khatib Sulaiman aktif memperjuangkan dibentuk nya barisan Pembela Tanah Air
(Peta). Laskar inilah yang kelak menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Karena keaktifannya di dunia politik, Rasuna kurang memperhatikan kesehatannya sendiri. Ia baru
diketahui mengidap penyakit kanker darah yang sudah parah. Rasuna akhirnya meninggal dunia
pada 2 November 1965 pada umur 55 tahun.

Anda mungkin juga menyukai