Anda di halaman 1dari 4

Nama : Aninda Thesa Pamangin

NIM : 210602500016

Kelas : 02/B

Critical Rivew

Raden Ayu Lasminingrat

www.semogabermanfaat.web.id

Raden Ayu Lasminingrat terlahir dengan nama Soehara pada tahun 1843, yang
merupakan putri seorang Ulama/Kyai, Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda, Raden Haji
Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Tumbuh dan dibesarkan sebagai keturunan
terhormat, menjadikan sebutan “Raden Ayu” pun disematkan dalam panggilan dan nama atas
dirinya. Seiring beranjak dewasanya usia Lasminingrat, sosoknya tidak redup Ketika beralih
peran menjadi seorang istri. Ia tetap berdaya dengan didukung oleh suaminya yakni Raden
Tmtu-putra Bupati Sumedang. Namun, kebersamaannya dengan Raden Tamtu tidak bertahan
lama karena Raden Tamtu meinggal dunia. Hingga akhirnya Lasmi dipersunting oleh Raden
Adipati Wira Tanu Datar yang menjadikannya sebagai istri kedua dari Raden Adipati Aria Wira
Tanu Datar VII, Bupati Garut. Lasmi wafat pada 10 April 1948 dalam usia 105. Jenazahnya
dimakamkan di belakang Masjid Agung Garut, berdampingan dengan makam suaminya.

Berasal dari keluarga terpandang, tidak menjadikan ayah lasminingrat mendidik


anaknya secara otoriter. Lasminingrat memiliki kecerdasan luas biasa, mendapat pendidikan
di sekolah Belanda di daerah Sumedang. Selama di Sumedang, Lasminingrat diasuh oleh
teman Belanda ayahnya, Levyson Norman. Karena didikan Norman, Lasminingrat tercatat
sebagai perempuan pribumi satu-satunya yang mahir dalam menulis dan berbahas Belanda
pada masanya.

Karakter Muhammad Musa yang gemar menulis dan membaca, juga diturunkan
kepada Lasminingrat yang selanjutnya banyak berkiprah dalam dunia pendidikan dan
kepengarangan. Keahlian Lasminingrat dalam menguasai tujuh bahasa (Sunda, Jawa, Melayu,
Arab, Belanda, Inggris, dan Perancis), menjadikan Lasminingrat juga berperan dalam
pengalihbahasaan literatur asing untuk dikonsumsi secara massif oleh masyarakat Garut pada
saat itu.

Perjuangan Lasmingrat diawali dari dunia kepenulisan. Salahsatu buah tangannya


dengan menerbitkan buku Carita Erman yang merupakan terjamahan dari Christoph vo
Schmid, kemudian Warnasari atawa roepa-roepa dongeng. Kedua karyanya tersebut telah
menjadi salahsatu buku pelajaran bukan hanya di Garut, tetapi juga tersebar hingga daerah
luar Jawa yang telah di terjamahkan kedalam bahasa Melayu. Setelah menikah dengan
Bupati, menjadi istri dari seorang bupati sama halnya Ketika Lasminingrat masih berperan
sebagai anak dari ayahnya, tidak menjadikannya besar kepala dan semena-mena. Perhatian
Lasminingrat beralih ke bidang pendidikan khususnya Pendidikan untuk perempuan yang
diwujudkan dengan mendirikan Sakola Kautamaan Puteri pada tahun 1911 setelah berhasil
mendukung usaha Dewi Sartika mendirikan Sekola Gadis.

Berdasarkan rekam sejarah, pelopor sekolah khusus perempuan apabila dirunut dari
dari kisah asal-muasalnya, mayotitas akan berakar pada Dewi Sartika. Nyatanya, Ketika Dewi
Sartika ingin mendirikan sekolah dengan yang sama di Bandung, ia meminta bantuan kepada
Lasminingrat melaluinya anaknya Raden Ayu Mojoningrat untuk meminta izin Bupati
Bandung yang tidak lain adalah saudara ipar dari Lasminingrat. Karenanya, sekolah yang
diperuntukkan bagi kaum perempuan pun didirikan di depan pendopo oleh Dewi Sartika pada
1903 dengan nama Sakola Gadis.

Tidak banyakyang mengenal Lasminingrat, yang disebut oleh “Sang Pemula” sebagai
pribadi perempuan yang berada di luar zamannya. Padahal sebutan itu sendiri mempunyai
arti kekaguman yang mendalam terhadap seorang perempuan pada umumnya. Dalam usia
ke 32 tahun dalam kesibukannya sebagai isteri kedua bupati, ia berhasil menyadurkan banyak
cerita karya Grimm yang popular di Eropa. Tujuan penyadurannya sendiri yaitu agar kaumnya
dapat membaca karya-karya penulis Eropa tersebut dapat mengambil hikmahnya oleh kaum
perempuan Sunda. Kumpulan saudaranya itu kemudian diterbitkan untuk pertamakalinya
pada tahun 1875 oleh percetakan milik pemerintah, Landsdrukkerji dengan judul Tjarita
Erman. Pada tahun berikutnya atau tahun 1876 terbit karyanya yang kedua yang diberi judul
Warnasari atau Roepa-Roepa Dongengpun terbit.
Singkat cerita, pada 1907 Lasminingrat pun mendirikan sekolah yang sama dengan
nama Sakola Kautamaan Istri, hingga Dewi Sartika merubah dengan nama yang sama dari
Sakola Gadis menjadi Sakola Kautamaan Istri. Karenanya, terlihat jasa dari Lasminingrat dalam
hal penamaan sekolah.

Sakola Kautamaan Istri yang didirikan oleh Lasminingrat awalnya berbentuk


kelompok belajar dalam jumlah sedikit, di ruang gamelan tepat di depan Gedung Pendopo.
Lasminingrat mengajak kerabatnya sesame menak dari dari Limbangan sebagai murid-murid
pertamanya.

Sakola Kautamaan Istri sempat berganti nama menjadi Sekolah Rakyat (SR) yang juga
mulai menerima murid laki-laki. Hingga pada tahun 1950, sekolah tersebut pun dikelola oleh
Dinas Pendidikan dan Kebudaan Kabupaten Garut dan dirubah dengan nama SDN Ranggalawe
I dan IV. Berselang empat puluh tahun setelahnya, yakni sekitar tahun 1990-an, sekolah yang
digagas oleh Lasminingrat tersebut ditetapkan menjadi SDN Regol VII dan X hingga hari ini.

Perempuan pada saat itu, masih terkungkung oleh tradisi tentang perempuan yang
“terbelakang dan lemah”. Namun, tidak dengan pola pikir yang dimiliki Lasminingrat. Ia telah
melangkah jauh dan berusaha menepis budaya setempat yang sangat memarginalkan kaum
perempuan. Sebab itu, berbagai upaya ia lakukan untuk dapat memberdayakan kaum
perempuan meskipun masih dalam skala wilayah.

Pada tahun 1875, saat Lasminigrat berkarya, tokoh Wanita seperti R.A Kartini (1879),
Raden Dewi Sartika (1900), dan Rahman El-Yunusiyah (1900), yang telah diangkat oleh
pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan nasional dapat dikatakan semua belum
lahir. Akan tetapi Lasminingrat praktis tidak pernah kedengaran, Namanya tidak pernah
disebut baik dalam sejarah pergerakan kaum perempuan atau Wanita maupun dalam sejarah
Nasional Indonesia. Namanya tenggelam dibawah ketiga tokoh tersebut, bahakn kalah tenar
dengan tokoh wanita-wanita lainnya yang muncul setelah ketiga tokoh tadi. Namun
meskipun begitu, karyanya tidak ikut tenggelam, baik berupa tulisannya yang masih banyak
ditemukan sebagai buku bacaan di Sekolah Rakyat atau Sekolah Dasar di Jawa Barat.
Disamping itu jejak Lasminingrat masih dapat dilihat dari sekolah hasil perjuangannya, yang
kini masih berdiri di salahsatu bangunan yang dilindungi atau dengan kata lain termasuk
kategori Bangunan Cagar Budaya (BCB) di kota Garut.

Jasa Lasminingrat memang pantas untuk disebut sebagai sebuah upaya dari seorang
pahlawan nasional dari Sunda dan pelopor emansipasi wanita pertama. Sayangnya, data
mengenai bukti perjuangannya tidak banyak ditemukan. Lasminingrat meninggal pada tahun
1948 ketika usia 105 tahun dan dimakamkan tepat di belakang Masjid Agung Garut di
Komplek Pemakaman Keluarga Raden Haji Moehamad Moesa

Anda mungkin juga menyukai