Anda di halaman 1dari 5

EMPAT LOKA (ALAM) SEMESTA

Oleh : I Gede Yusa

Topik di atas mungkin sudah banyak pembaca yang tahu maknanya dengan barbagai sudut
pandang yang berbeda, tetapi sebagai orang yang pernah membaca sebuah kitab kuno yang
berbahasa sanskerta kebetulan sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Dr G
Pudja,M.A dan Prof Dr Tjokorda Rai Sudharta,M.A, yaitu Manawa Dharmacastra (Manu
Dharmacastra), maka menjadi kewajiban moral penulis untuk menyampaikan pula secara sederhana
tentang bermacam alam yang ada di semesta ini termasuk kaitannya dengan kebiasaan umat Hindu
Bali dalam menjalankan ritual keagamaannya.

Pada umumnya yang dipahami alam semesta adalah keseluruhan bumi, planet dan ruang
angkasa. Tetapi di dalam Manawa Dharmasatra, alam dibagi menjadi empat (4), yaitu alam manusia
(Bhur Loka), alam Pitra (Bhwah Loka), alam Dewa ( Swah loka) dan alam Brahman. Ke empat alam ini
punya siang dan malam dimana satu siang dan satu malam disebut satu hari. Disebutkan selanjutnya
pada waktu malam semua penghuni alam ini istirahat dan saat siang adalah hari bekerja. Alam
manusia atau Bhur loka adalah alam fisik yang kita ketahui sebagai alam semestanya manusia yang
bersifat kebendaan dan dapat diraba, seperti manusia, bumi dan isinya, serta planet. Sedangkan
alam Pitra atau Bhwah Loka adalah alam niskala yang tidak bisa diraba atau dilihat dengan panca
indria (kecuali oleh orang-orang tertentu atau Betel Tinggal/ yang punya indra keenam), tetapi dapat
dirasakan oleh manusia biasa atau sering disebut sebagai alam Roh. Di alam inilah penghuninya para
Pitra atau Pitara atau Roh, baik Roh Suci atau Roh yang belum suci yang sebelumnya ada dalam jiwa
manusia atau ada dalam badan halus manusia yang sering juga disebut Atma. Alam Dewa adalah
tempat para Dewa atau ciptaan Tuhan (Brahman) dengan segala kewajibannya untuk menjaga alam
Pitra dan alam manusia. Sedangkan alam Brahman adalah tempat Maha Pencipta/ Brahman atau
dengan sebutan lainnya seperti Ida Sanghyang Widhi Wasa kalau orang Bali, God kalau orang Inggris,
Allah kalau orang Jazirah Arab, dll.

Brahman atau Maha Pencipta sebagai penghuni alam Brahman inilah yang menguasai ketiga
alam sebelumnya yaitu, alam manusia, alam Pitra dan alam Dewa. Beliau yang menciptakan ke tiga
alam ini beserta isinya dan pada waktunya tiba ketiga alam ciptaan dan seisinya akan terserap ke
alam Brahman. Keadaan inilah sering disebut sebagai Pralaya atau Kiamat.

Sekarang timbul pertanyaan berapa lamakah panjangnya siang dan malam ke empat alam ini
atau apakah sama antara siang di alam manusia siang juga di alam Pitra, Dewa dan Brahman. Atau
sebaliknya apakah ketika di alam manusia ini malam apakah di alam Pitra, Dewa dan Brahman malam
juga. Perlu diketahui bahwa panjangnya waktu siang dan malam di masing-masing alam adalah
sama, sedetikpun tidak berbeda dan ini pulalah yang juga disebut dengan Rwa Bhineda. Pengetahuan
tentang lamanya siang dan malam ini sangat detail ditulis dalam Kitab Manawa Dharmasastra,
khususnya Buku Pertama atau yang disebut dengan Pratamo’dhyayah.

Dalam ayat/sloka 65 disebutkan Ahoratre wibhajate suryo manusa daiwike, ratrih swapnaya
bhutatam cestayai karmanamahah. Dalam terjemahan disebutkan Matahari membagi hari-hari/siang
(AM) dan Malam-malam (PM), didunia sekala (fisik) maupun di dunia niskala, waktu malam
dimaksudkan untuk waktu beristirahat sedangkan waktu siang adalah waktu untuk bekerja.
Selanjutnya disebutkan satu hari alam Pitra/Roh sama dengan satu bulan di alam manusia. Ketika
Awal Purnama di alam Manusia maka mulai siang di alam Roh dan Ketika Tilem di alam Manusia
sama dengan mulainya malam di alam Pitra/Roh. Jadi 30 hari di alam manusia ini terdiri dari satu
siang dan satu malam di alam Pitra/Roh. Selanjutnya disebutkan satu hari di alam Dewa sama
dengan satu tahun di alam manusia. Disebutkan bahwa jika matahari berada diselatan maka di alam
Dewa itu malam hari dan Ketika matahari bergerak dari tengah menuju ke utara maka di alam Dewa
sudah menapak siang hari. Situasi ini sering disebut sebagai Uttarayana yang puncaknya pada bulan
Juli atau Agustus. Pada saat Uttarayana inilah dikisahkan Rsi Bisma baru mau wafat, agar Atman atau
Roh Beliau jika menuju alam Dewa siang hari. Di Bali sasih Karo inilah dipakai oleh masayarakat
untuk menyelengarakan upacara Ngaben atau Ngroras mengikuti jejak keluarga Kuru atau Pandawa.
Kemudian yang sangat rumit dan pelik adalah mencari panjangnya siang dan malam di alam
Brahman. Di dalam Kitab disebutkan dalam terjemahan, kini dengarkanlah pengungkapan pendek
tentang jangka waktu satu malam dan satu siangnya Brahman dan tentang beberapa zaman dari
dunia sesuai dengan urutannya. Mereka menyatakan bahwa zaman Krtayuga terdiri dari 4000 tahun
Dewa dengan fajarnya sepanjang beberapa ratus tahun dan senjanya beberatus tahun juga. Dalam
ketiga zaman lainnya (Dwapara, Treta dan Kaliyuga) waktu fajar dan senjanya ribuan dan ratusan
tahunnya itu dikurangi dengan satu masing-masingnya. Dua belas ribu tahun ini yang merupakan
jumlah dari empat zaman manusia tersebut di namai satu zamannya Dewa. Selanjutkan disebutkan
tetapi ketahuilah seribu zaman dari Dewa menjadi satu harinya Brahman dan satu malamnya juga
panjangnya sama dengan siangnya itu. Hanya mereka yang tahu bahwa hari sucinya Brahman
sebenarnya berakhir pada waktu cukupnya seribu zaman Dewa dan bahwa malamnya juga berakhir
sama panjangnya, sebenarnya merekalah yang tahu panjangnya siang dan malam.

Sebenarnya kalau para ilmuwan barat tahu tentang naskah ini tentu tidak sampai membiarkan orang-
orang Eropa untuk merayakan dan menyiapkan hari kiamat dunia di selatan Sisilia dengan
melangsungkan pesta yang sangat mahal karena hidup akan berakhir. Pembaca mungkin masih ingat
akan peristiwa ini, termasuk adanya ramalan bahwa dunia akan kiamat tahun 2000 ketika sudah
diramalkan oleh beberapa peramal sekitar tahun 90an. Ada juga ilmuwan Thailand sekitar tahun
80an menyatakan dunia akan kiamat karena letak posisi antara Matahari, Bulan dan Bumi sejajar,
padahal setiap tahun posisi antara Matahari, Bulan dan Bumi adalah seperti itu yang mana di bali
dirayakan sebagai hari Tilem Kesange dan besoknya dinamai hari Raya Nyepi. Jadi bagi ilmuwan
Hindu mestinya tidak ikut gegabah terkait dengan waktu dunia kiamat atau Pralaya jika menghitung
dengan cermat seperti yang sudah tertulis di dalam kitab Manawadharmasastra dan sangat
disayangkan jika ada sementara masyarakat Hindu yang tidak mempercayai akan tibanya masa
Pralaya atau kiamat itu.

Sekarang timbul pertanyaan adakah kaitan antara empat alam ini dengan prilaku masyarakat
Hindu terhadap upacara yadnya yang dilakoni selama ini atau hanya sekedar melanjutkan pepatah
gugon tuwon anak mule keto. Sebagian besar masyarakat Hindu di Bali walaupun tidak tahu atau
belum pernah membaca kitab-kitab suci terkait dengan cruti maupun smerti, tetapi hampir sebagian
besar pelaksaan yadnya atau persembahan sucinya sangat mencerminkan substansi atau isi dari kitab
suci yang ada. Persembahan atau segala upacara yadnya itu dilakukan dalam rangka keterhubungan
harmonis antara manusia yang hidup dan mendiami alam fisik atau sekala ini dengan ketiga alam
lainnya yaitu alam Pitra/Roh, alam Dewa dan alam Tuhan/Brahman. Keterhubungan antara alam
manusia dengan ketiga alam lainnya itulah yang bisa disebut sebagai Tri Hita Karana Alam semesta.
Hubungan yang harmonis dan terjaga dengan baik kesinambungannya ini akan melahirkan
kesejahteraan dan kedamaian di alam manusia atau alam fisik. Berbeda sedikit dengan istilah Tri Hita
Karana yang sudah populer dikalangan umat yang digali oleh beberapa pakar hindu termasuk I Gusti
Ketut Kaler. Tri Hita Karana dalam konsep belakangan ini sebenarnya terkait dengan konsep
pekarangan dalam suatu area perumahan atau natah. Dalam setiap pekarangan atau natah
perumahan haruslah tersedia tempat suci atau Pamerajan, tempat menghubungkan penghuni rumah
dengan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sanghyang Widhi Wasa atau dikenal dengan istilah Parahyangan.
Sedangkan pawongan adalah tempat dimana bisa berinteraksinya sesama manusia atau penghuni
yang ada di perumahan itu dan Palemahan adalah tempat dimana terpeliharanya segala tumbuhan
dan hewan yang ada dipekarangan itu. Dengan harmonisnya ketiga hubungan ini tentu melahirkan
kedamaian dan kesejahteraan bagi penghuni di pekarangan tersebut. Ketiga hubungan harmonis
inilah disebut dengan Tri Hita Karana, yaitu Parahyangan hubungan harmonis dengan Tuhan,
Pawongan hubungan harmonis dengan sesama manusia dan Palemahan hubungan harmonis dengan
segala tumbuhan, hewan dan segala isinya. Sedangkan Tri Hita Karana alam semesta ini
mengisyaratkan bagaimana manusia yang hidup di alam fisik ini untuk bisa damai dan sejahtera lahir
bathin agar selalu berhungan harmonis dengan ketiga penghuni alam lainnya yaitu alam Pitra, alam
Dewa dan alam Tuhan.

Prilaku masyarakat hindu Bali dalam kaitan menjaga keterhubungan dengan Pitra atau Roh
adalah dengan mengadakan persembahan suci atau yadnya baik terhadap Roh Suci atau Bhetara
dengan segala bentuk bebantenan dan rake-rakenya yang sesudahnya kita lungsur sebagai prasadam
untuk kesehatan kita dan persembahan segehan untuk Roh bawah atau ancangan yang sering
disebut sebagai Bhuta atau Kala yang sesudahnya bisa ditanam di tanah atau pertiwi untuk
kesuburan tanah. Dengan pelaksanaan korban suci atau persembahan kepada Roh Suci atau Bhetara
maka diharapkan pula para Roh Suci atau Bhetara akan menjaga dan melindungi kehidupan manusia.
Demikian pula dengan pemberian suguhan atau segehan kepada Roh bawah maka kehidupan
manusia tidak akan diganggunya, lebih-lebih setelah disuguhkannya segehan ini termasuk caru akan
ditanam di pertiwi atau tanah maka akan membuat kesuburan tanah sekitarnya dan segala
hewan/binatang tanah akan dapat pula menikmatinya. Begitupun keterhubungan manusia dengan
alam Pitra/Roh ini selalu terjaga dan terkadang dipakai sebagai penuntun atau petunjuk bagi
beberapa umat yang terkait dengan sakit atau derita yang dialami manusia ataupun ketika umat
manusia akan membuat upacara ngaben. Umat biasanya melalui perantara orang pintar atau sumbu
akan menanyakan terkait dengan segala utang atau hal-hal yang ada atau masih belum tuntas janji
atau karya yang akan dibuat tapi tidak diketahui oleh sauadara atau keluarga yang meninggal.
Kegiatan mepeluasang atau nyanjan ini biasanya roh yang baru meninggal atau roh yang lebih tinggi
tingkatannya dari almarhum akan memberikan petunjuk atau tuntunan agar upacara berlangsung
lancar atau memberitahukan kalau ada utang atau pekerjaan yang belum selesai ketika masih hidup
sehingga menjadi kewajiban bagi keturunannya yang masih hidup untuk menjalankan segala
kewajibannya. Sering pula roh-roh yang datang lewat perantara mengucapkan terima kasih dan
mengatakan tidak ada utang atau tidak ada permintaan apapun bagi keluarga yang masih hidup di
bumi.

Dengan konsep Dewa Yadnya, masyarakat Hindu menjaga keterhubungan dengan Para Dewa yang
bersemayam di alam Dewa. Berbagai persembahan dihaturkan oleh umat kepada para dewa,
terutama dewa utama yaitu Dewa Brahma, Dewa wisnu dan Dewa Ciwa yang sering disebut juga
sebagai Dewa Tri Murti. Khusus pada masyarakat hindu Bali, para dewa ini distanakan atau
dimulyakan dalam pura atau tempat pemujaan yang khusus seperti Pura Desa atau Pura Penataran
untuk Pemujaan Dewa Brahma, Pura Puseh untuk pemujaan Dewa Wisnu dan Pura Dalem untuk
Pemujaan Dewa Ciwa. Di samping ke tiga dewa utama ini, umat hindu juga masih memuja banyak
dewa seperti Dewa Surya, Dewa Ganesa, Dewa Indra, Dewa Baruna dan puluhan nama dewa lainnya.
Dewa-dewa ini dipuja atau diberi persembahan biasanya setiap enam bulan sekali dengan
perhitungan sasih atau setahun sekali sesuai perhitungan bulan atau bahkan ada setiap hari. Dengan
pemahaman akan alam dewa dan pemujaan para dewa oleh umat hindu di jagat ini khususnya Bali
maka umat hindu sering disebut sebagai pemuja banyak dewa. Pemberian lebel bagi umat hindu
sebagai penyembah atau pemuja banyak dewa sebenarnya adalah benar adanya dan yang tidak
benar itu kalau ada yang mengatakan bahwa umat hindu itu pemuja atau penyembah banyak Tuhan.
Apalagi malah ada segelintir umat hindu yang bangga disebut pemuja banyak Tuhan atau Polyteisme.
Dikalangan penekun kitab Cruti dan Smerti pasti mengenal adanya semboyan Ekam Evam Adwityam
Brahman. Jadi Tuhan atau Brahman itu tunggal tidak ada duanya.

Dengan keterhubungan manusia di alam manusia dengan pitra/roh di alam roh dan
dengan dewa di alam dewa, maka manusia hindu terutama di Bali menjadi sangat dinamis dan kreatif
dalam menciptakan keterhubungan ini sehingga melahirkan segala budaya yang adiluhung. Berbagai
macam segehan diciptakan termasuk segala tingkatan caru. Berbagai bentuk jahitan bebantenan
diciptakan semata mata sebagai wujud rasa syukur atas rahmat yang didapatkan dalam menjalani
kehidupan ini dengan harapan agar keterhubungan yang harmonis ini melahirkan perlindungan dan
tuntunan para roh suci dan para dewa sehingga kehidupan umat manusia di alam manusia menjadi
aman, damai dan sentausa atau bahkan sering diimpikan agar mencapai moksartham jagadhita ya
caiti dharma.

Persoalan yang sangat rumit untuk diungkap adalah keterhubungan manusia dengan
Brahman di alam Brahman. Hal ini berkaitan dengan pandangan bahwa Brahman atau Tuhan tak
terpikirkan atau sering diistilahkan oleh umat hindu sebagai Achintya. Akan tetapi sifat-sifat Tuhan itu
ada banyak yang diketahui seperti maha pencipta, maha penyayang, maha adil, yang berkuasa atas
hukum dst. Dalam kesempatan ini dicoba untuk diungkap sedikit keterhubungan harmonis antara
manusia dengan Tuhan atau Brahman itu sendiri. Seperti kita ketahui bahwa segala persembahan
atau yadnya itu hanya ditujukan kepada para dewa, pitra, rsi, manusa dan butha. Lalu untuk menjaga
keterhubungan dengan Brahman atau Tuhan apakah yang mesti dilakukan oleh umat manusia di
alam manusia ini karena untuk keterhubungan dengan dua alam lainnya sudah diungkap secara
ringkas seperti di atas.

Seperti kita ketahui dari sejak terciptanya alam semesta ini hingga berakhirnya nanti dalam
pralaya atau kiamat selalu terbagi ke dalam empat zaman atau yuga. Empat zaman atau yuga itu
adalah yang pertama Krtha Yuga atau Satya Yuga, kedua adalah Treta Yuga, ketiga Dwapara Yuga dan
keempat itu Kali Yuga. Dalam keempat zaman ini umur manusia juga rata-rata berbeda, dimana
dalam Krtha yuga umur manusia rata-rata 400 tahun, zaman Treta yuga 300 tahun, zaman Dwapara
yuga 200 tahun dan zaman Kali yuga rata-rata 100 tahun. Dalam penghitungan kalender hindu
sekarang ini masuk dalam zaman pertengahan Kali yuga. Upacara yadnya atau korban suci itu lazim
dikenal saat zaman Dwaparayuga dan sampai Kaliyuga dewasa ini seperti yang diuraikan di atas yang
masih dilakukan oleh umat hindu terutama di Bali. Sedangkan zaman Kertayuga manusia gemar
melaksanakan Tapa, Brata dan Semadhi dan zaman Tretayuga manusia gemar membaca kitab suci.
Pertanyaan tentu timbul sekarang bagaimanakah umat hindu melaksanakan keterhubungannya
dengan Brahman atau Tuhan agar mendapatkan kehidupan yang bahagia lahir bathin di alam bumi
ini.

Pada Sebagian besar umat hindu masih menjalankan atau melaksanakan kegiatan tapa, brata
dan semadhi. Dengan kegiatan tapa ini diharapkan umat menjalankan perintahnya dan menjauhi
larangannya, gemar menjalankan dharma dan menjauhi perbuatan adharma. Demikian pula umat
hindu gemar melakukan brata atau tidak memakan sembarangan, memakan yang membawa
kesehatan, malah sebagian umat hindu ada yang gemar berpuasa. Aktifitas semadhi juga sering
dilakoni oleh umat sedharma apalagi dikalangan umat yang mendapat tugas sebagai orang suci. Pada
hari-hari tertentu terutama pada hari Ciwalatri dan malam Tilem Kesanga hampir sebagian besar
umat hindu terutama di Bali menjalankan kegiatan tapa, brata dan semadhi ini.

Demikianlah sekelumit yang dapat disampaikan disini terkait dengan empat alam semesta
atau loka dan empat zaman atau yuga dikaitkan dengan prilaku umat hindu kekinian terutama di Bali.
Perlunya memang evaluasi diri terutama wajib dilakukan oleh pemimpin umat atau yang mempunyai
pemahaman keagamaan agar umat mau dan mampu menjalankan ajaran sucinya yang telah
dituliskan oleh para Maharsi yang hebat. Tidak habis waktu dan dana untuk menjalankan ajaran atau
tuntunan suci terkait dengan keterhubungan dengan tiga alam lainnya hanya sebatas ritual yadnya
atau upacara dan membaca atau menghapal kitab suci, tetapi memberi porsi juga terkait dengan
gemar melakukan tapa, brata semadhi sebagai kegemaran umat manusia di zaman pertama sehingga
mampu membawa sdm umat hindu khususnya di Bali untuk bersaing dengan umat lainnya di alam
manusia ini terutama pada kegiatan semadhi yang bisa bersungguh-sungguh untuk fokus dan
memusatkan pikiran pada kemajuan teknologi. Bukan hanya memusatkan pikiran ke goa-goa angker,
tetapi memusatkan pikiran di dalam laboratorium sains dan teknologi sehingga tercipta teknologi
yang bermanfaat untuk umat manusia. Begitu juga semadhi atau pemusatan pikiran umat juga harus
diarahkan untuk penguasaan dibidang pengelolaan ekonomi dan keuangan sehingga kelak umat
hindu di Bali bisa bersaing dengan umat lainnya. Jika ini bisa diwujudkan maka penghuni ke tiga alam
lainnya akan tersenyum. Astungkara.

Penulis adalah dosen fakultas hukum universitas udayana.

Anda mungkin juga menyukai